Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu Baron Byrne, 2005. 3. Efek senjata Dalam penelitian Berkowitz dan LePage dalam Krahe, 2005 yang menguji tentang efek senjata terhadap kecenderungan perilaku agresif pada individu menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang berhubungan dengan senjata cenderung menjadi lebih agresif dari pada individu yang tidak berhubungan dengan senjata. 4. Kekerasan di media Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkan agresi pada anak-anak atau orang dewasa. Anak-anak yang menonton film dan acara televisi yang mengandung kekerasan, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa. Dengan demikian, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin kuat hubungannya tersebut Baron Byrne, 2005. 5. Alkohol dan obat-obatan Percobaan-percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa alkohol merangsang agresivitas. Gustafson dalam Baron Byrne, 2005 menyatakan orang yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi yang cukup untuk membuat mereka mabuk, ditemukan bertindak lebih agresif, dan merespon provokasi secara lebih kuat, daripada mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Dengan demikian, alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi. 6. Temperatur Suhu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Sebagaimana penelitian yang dihasilkan oleh Anderson dalam Baron Byrne, 2005 Suhu udara tinggi cenderung akan meningkatkan agresi. Hal senada juga dinyatakan oleh Grifft dalam Sarwono, 2002 bahwa udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi. 7. Kesesakan crowding Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif terutama bila sering timbul kejengkelan, dan frustasi afek negatif karenanya Krahe, 2005. 8. Polusi udara Polusi udara, bau tidak enak, dan bahkan pemandangan menjijikan ternyata meningkatkan hukuman yang diberikan, atau kekerasan yang ditunjukan terhadap orang lain. Jelaslah, tekanan psikologis juga tidak menyenangkan, dan hal itu pun bisa menyebabkan agresi Berkowitz, 1995. 9. Kebisingan Kebisingan dilaporkan dapat meningkatkan perilaku agresif. Dalam kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung, kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah muncul pada si pelaku. Tetapi, tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan sering kali merupakan kejadian aversif yang tidak dapat dikontrol. Bila kebisingan itu dipersepsi sebagai dapat dikontrol, maka dampaknya terhadap perilaku agresif akan berkurang secara substansial Krahe, 2005. 10. Kepribadian Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif Larsen Buss, 2005. Menurut Glass dalam Baron Byrne, 2005 bahwa orang-orang dengan kepribadian tipe A yang bersifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif cenderung lebih agresif daripada orang dengan kepribadian tipe B ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan kendali. 11. Penyebab hormon Perilaku agresif juga bisa disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron Sarwono, 2002. 12. Gender Peran gender atau jenis kelamin yang dikembangkan oleh Harris dalam Baron Byrne, 2005 yang menyatakan pria secara umum cenderung lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita. 13. Harga diri Baumerster, Smart Boden dalam Sarwono, 2002 menjelaskan bahwa harga diri yang tinggi justru memberi peluang lebih besar untuk agresif. Penyebabnya antara lain adalah karena orang dengan harga diri tinggi merasa lebih percaya diri, kalau berkonflik dengan orang lain ia akan berada di pihak yang menang, dan bahwa selaku orang yang nilainya lebih tinggi dari orang lain, ia merasa berhak untuk agresif kepada orang lain.

2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik

2.2.1. Pengertian Persepsi

Robbins 2001 menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses seseorang dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitarnya. Sedangkan Rakhmat 2000 menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi berhubungan dengan pemberian makna pada stimuli inderawi. Di dalam prosesnya, pemberian makna terhadap informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Persepsi merujuk kepada cara kita menyadari benda-benda, manusia, dan peristiwa-peristiwa. Penilaian meliputi semua cara kita menarik kesimpulan mengenai apa yang telah diamati. Ada dua cara mempersepsi yang amat berlainan yakni mengamati melalui indera sensing dan mengamati melalui perasaan intuiting dan ada dua cara penilaian yang amat berlainan_penilaian melalui pikiran thinking dan penilaian melalui perasaan feeling. Bila orang berbeda secara sistematis dalam cara mereka mempersepsi, masuk akal untuk mempercayai bahwa mereka akan menunjukkan tipe gaya pengoperasian yang berlainan pula. Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah hasil dari pengorganisasian dan pengintegrasian terhadap stimulus-stimulus yang diterima oleh panca indera agar dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitar.

2.2. 2. Perubahan Persepsi

Menurut Sarwono 1992 persepsi itu bukan sesuatu yang statis, melainkan bisa berubah-ubah. Proses perubahan pertama disebabkan oleh proses faal fisiologik dari sistem syaraf pada indera-indera manusia. Jika suatu stimulus tidak mengalami perubahan, misalnya, maka akan terjadi adaptasi atau habituasi, yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah. Habituasi menunjukkan kecenderungan faali dari reseptor yang menjadi kurang peka setelah banyak menerima stimulus. Misalnya, jika seseorang mendekati tempat dimana banyak timbunan sampah, maka mula-mula ia akan mencium bau busuk sampah yang sangat menusuk sehingga reaksinya adalah menutup hidungnya. Akan tetapi, setelah beberapa saat bau itu seolah-olah tidak tercium lagi. Dipihak lain, adaptasi adalah berkurangnya perhatian jika stimulus muncul berkali-kali. Kalau seseorang mendengar ketokan palu di ruang sebelah, mula-mula ia akan terkejut dan merasa bising di luar batas persepsi optimal. Akan tetapi, kalau ketokan-ketokan itu berlangsung terus berkali-kali untuk jangka waktu lama, orang itu seakan-akan tidak memperhatikannya lagi sehingga suara ketokan itu tidak mengganggunya lagi masuk dalam batas persepsi optimal karena terjadinya peningkatan ambang toleransi. Dapat ditambahkan di sini, bahwa stimulus yang muncul secara teratur lebih mudah diadaptasi daripada stimulus yang munculnya tidak teratur.