Sejarah Rabies di Indonesia Landasan Teori Blum dalam Notoatmodjo 2003b menyatakan bahwa perilaku merupakan

Metode pemeriksaan yang lebih canggih untuk mendiagnosa rabies adalah dengan Flourescence Antibody Test FAT. Metode FAT hasilnya akurat dan cepat, sedangkan preparat yang diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam glycerol. FAT juga bisa mendeteksi virus rabies yang berasal dari preparat kelenjar ludah salivary glands. Diagnosis laboratorium dari rabies pada hewan penting dilakukan di laboratorium tertentu oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, karena dalam banyak kasus, ini melibatkan keputusan pengobatan pada manusia Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b. Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam sepuluh hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas Depkes,2007a. Penetapan suatu Kejadian Luar Biasa KLB rabies jika memenuhi salah satu kriteria Depkes 2004 : - Peningkatan jumlah kasus gigitan hewan tersangka rabies menurut periode waktu mingguanharian di suatu kecamatan, desakelurahan dibandingkan dengan periode sebelumnya. - Terdapat satu kasus klinis rabies pada manusia

2.2. Sejarah Rabies di Indonesia

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang telah lama ada di Indonesia dan telah menyebar ke berbagai propinsi. Kejadian rabies pertama kali dilaporkan terjadi pada Universitas Sumatera Utara seekor kerbau oleh J.W. Esser 1884, kemudian dilaporkan oleh Penning yang terjadi pada seekor anjing di Jawa Barat 1889 dan kejadian rabies pada manusia dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 Depkes, 2007a. Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat 1948, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur 1953, Sumatera Utara 1956, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara 1958, Sumatera Selatan 1959, DI Aceh 1970, Jambi dan Yogyakarta 1971. Soeharso 2003 menuliskan pada tahun 1972 ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu dan Kalimantan Timur 1974, Riau 1975 dan Kalimantan Tengah 1978. Penyakit rabies kembali meluas ke Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983 dan pada akhir tahun 1997, wabah rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur Dinas Peternakan Prop.Sumut,2006b. 2.3. Pembagian Status Daerah dan Kriterianya 2.3.1. Status Daerah 2.3.1.1.Daerah Bebas, kriterianya : a. Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies. b. Daerah yang pernah tertular rabies tetapi dalam 2 dua tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut bukan kasus import. Universitas Sumatera Utara Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi daerah tertular telah ditetapkan menjadi daerah bebas rabies yaitu : - Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 892 KptsTN. 560997 - Propinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 566KPTSPD.6402004 2.3.1.2. Daerah Tertular, kriterianya: Daerah yang dalam 2 dua tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia baik secara berurutan atau tunggal secara klinis, epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut bukan kasus import. 2.3.1.3. Daerah Tersangka, kriterianya : a. Daerah yang dalam 2 dua tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris. b. Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.

2.3.2. Batas Daerah

Yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan batasan daerah adalah : a. Pulau b. PropinsiKabupatenKota yang mempunyai sarana pengawasan lalu-lintas hewan penular rabies yang dapat mencegah penularan rabies Departemen Pertanian R.I,2006. Universitas Sumatera Utara

2.4. Program Pembebasan Rabies

Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya selalu diakhiri dengan kematian serta dapat mempengaruhi dampak perekonomian khususnya bagi pengembangan daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilakukan seintensif mungkin menuju pada program pembebasan. Kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006b. 2.4.1.Landasan Kerjasama Program pembebasan rabies merupakan Kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 tiga Departemen, yaitu Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pembinaan Umum dan Otonomi Daerah dan Departemen Kesehatan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Nomor : 279AMen.KesSKVIII 1978, Nomor : 522KptsUm878 dan Nomor : 143 Tahun 1978 yang dikeluarkan tanggal 15 Agustus 1978. Program ini dimulai pada Pelita V 1989 - 1993 di Pulau Jawa dan Kalimantan dan kemudian pada Pelita VI 1994-1998 diperluas ke semua pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi. Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan

Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties OIE yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b. Pembebasan rabies dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini : 1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular penyakit. 2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus rabies yang paling berbahaya. 3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia. 4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit 5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat public awareness untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait. 2.4.2.1. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab Secara alamiah metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan tempat-tempat pembuangan sampah Universitas Sumatera Utara yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing. Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing atau hewan penular rabies HPR yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisa Epidemiologi Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk 1986, diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit, jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies. Di daerah-daerahpulau-pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies HPR dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan pengawasan lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten. 2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah desa, kecamatan, kabupaten yang bersinggungan berbatasan dengan daerah tertularwabah dianggap sebagai daerah rawan. Universitas Sumatera Utara 2.4.2.3. Tindakan Terhadap Hewan Tertular Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies. 2.4.2.4. Tindakan Terhadap Hewan Kontak Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b. Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke propinsi lain Soedarsono,2003. Universitas Sumatera Utara Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan. 2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular Begitu kejadian kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tertular DT dan daerah rawan DR yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuan- ketentuan yang berlaku secara nasional. Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan HPR peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan. 2.4.2.6. Tindakan Terhadap Anjing yang Menggigit Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini Universitas Sumatera Utara dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Apabila anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila menggigitmencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah: - Isolasi dan observasi selama 14 hari - Jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak berpemilik maka dimusnahkan. - Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila menggigitmencakar adalah : - Isolasi dan observasi selama 14 hari. - Jika dalam masa observasi anjingkucing tetap hidup dibebaskan. - Jika dalam masa observasi anjingkucing mati maka otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. Tindakan terhadap hewan yang tidak berpemilik apabila menggigitmencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006b. Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan pembebasan rabies menurut Departemen Peternakan R.I 2006, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah Universitas Sumatera Utara penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa ketentuan, yaitu : 1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi. 2. Bagi anjing berpemilik yang tidak divaksinasi dilakukan eliminasi. 3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 m. 5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda. 6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantaitali dan moncongnya di berangus. 7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun

2.4.3. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan

2.4.3.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan Penular Rabies Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangimematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air sebaiknya air mengalir dengan sabun atau detergen selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik alkohol 70, betadine, jodium. Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas PembantuPuskesmasRumah Sakit harus dilakukan kembali pencucian luka seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan Universitas Sumatera Utara situasi yang tidak terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. Bila memang perlu sekali untuk dijahit dengan alasan kosmetik dan dukungan jaringan. Jahitan dilakukan setelah pemberian Serum Anti Rabies SAR sesuai dengan dosis, yang disuntikkan di sekitar luka. Disamping itu harus dipertimbangkan pula perlu tidaknya pemberian serumvaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik Depkes, 2007a . 2.4.3.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies Pemberian vaksin anti rabies VAR disertai serum anti rabies SAR harus didasarkan jawaban atas pertanyaan terhadap penderita yang meliputi : bagaimana bentuk paparan kontakjilatangigitan, lokasi kejadian di daerah bebas tertular terancam, apakah di dahului tindakan provokatif tidak, apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit hilang lari dibunuh, hewan yang menggigit mati tetapi masih diragukan menderita rabies, penderita pernah mendapat vaksin anti rabies kapan dan hewan yang menggigit pernah mendapat VAR kapan. Dilakukan identifikasi luka gigitan apakah luka dengan resiko tinggi ; jilatan luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu muka, kepala, leher, luka pada jari tangan, kaki , genitalia, luka yang lebar dalam dan banyak multiple . Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Pada luka resiko rendah yaitu jilatan pada kulit luka, lecet akibat garukan atau luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki, hanya diberikan VAR saja. Universitas Sumatera Utara Apabila terjadi kontak dengan air liur hewan tersangka rabies hewan rabies atau penderita rabies, tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR Depkes, 2007a .

2.5. Perilaku

Perilaku manusia menurut Sarwono 2004 merupakan hasil daripada segala pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Skiner 1938 dalam Notoatmodjo 2003b merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Perilaku ini melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Teori ini disebut Stimulus Organisme Respons.

2.5.1. Determinan Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme orang, namun dalam memberikan respons tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Meski stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku Notoatmodjo, 2007. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Berdasarkan pembagian domain perilaku kesehatan, Benyamin Bloom 1908 dalam Notoatmodjo 2003a membagi perilaku menjadi 3 domain yang dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan yang terdiri dari : 1 pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan knowledge, 2 sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan attitude, 3 praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan practice. Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Akhirnya rangsangan itu, yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan action terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Beberapa teori determinan perilaku, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Teori Lawrence Green. Menurut model perubahan perilaku dari Lawrence Green dan M. Kreuter 2005, faktor-faktor penentu atau mempengaruhi perubahan perilaku dibagi atas tiga kategori yaitu : a. Faktor predisposisi predisposing factors Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat. Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial. b. Faktor pendukung enabling factors Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. c. Faktor penguat reinforcing factors Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan dan perundang-undangan yang memperkuat . Dari teori L.Green diketahui bahwa salah satu cara untuk mengubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi yaitu mengubah pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan. Universitas Sumatera Utara 2. Teori Model Kepercayaan Kesehatan Rosenstock . Menurut teori model Kepercayaan Kesehatan Health Belief Model oleh Rosenstock 1982 dalam Sarwono 2004, seseorang individu baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa. Model kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama, yaitu : persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit perceived susceptibility. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua ialah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut perceived seriousness, yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. Unsur yang ketiga adalah pandangan individu terhadap besarnya ancaman suatu penyakit yang dapat menyerangnya perceived threats. Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Unsur selanjutnya yang diambil individu untuk mengurangi rasa terancam terhadap suatu penyakit adalah pandangan individu tersebut tentang besarnya manfaat dan besarnya hambatan dari suatu alternaltif yang diajukan oleh petugas kesehatan perceived benefits and barriers. Memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut diperlukan satu unsur lagi yaitu faktor pencetus cues to action yang dapat timbul dari dalam individu munculnya gejala-gejala penyakit itu ataupun dari luar nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terkena oleh penyakit yang sama. Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan kesehatan, lingkungan dan sebagainya Notoatmodjo 2003b. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : 2.5.2.1. Perilaku pemeliharaan kesehatan health maintenance Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan upaya penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek : a. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal. c. Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. 2.5.2.2.Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, health sekiing behavior. Perilaku yang menyangkut tindakan seseorang saat sakitkecelakaan, mulai dari mengobati diri sendiri self treatment sampai mencari pengobatan keluar negeri. Universitas Sumatera Utara 2.5.2.3. Perilaku kesehatan lingkungan Bagaimana seseorang merespons lingkungan baik fisik, sosial, budaya dan sebagainya agar tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga dan masyarakat.

2.5.3. Perubahan Perilaku

1. Bentuk Perubahan Perilaku Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO dalam Notoatmodjo 2007, perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga: a. Perubahan alamiah Natural Change Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. b. Perubahan terencana Planned Change Perubahan ini terjadi karena direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya, seseorang perokok berat yang pada suatu saat terserang batuk yang sangat mengganggu, ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya berhenti merokok sama sekali. c. Kesediaan untuk berubah Readiness to Change Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut berubah perilakunya, dan sebagian orang Universitas Sumatera Utara lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah readiness to change yang berbeda-beda. Setiap orang di dalam masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda meskipun kondisinya sama. 2. Strategi Perubahan Perilaku Menurut WHO dalam Notoatmodjo 2007, strategi untuk memperoleh perubahan perilaku dikelompokkan 3 kelompok yaitu: a. Memberikan kekuatankekuasaan atau dorongan Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan berperilaku seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturanperundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. b. Pemberian infomasi Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara c. Diskusi Partisipasi Cara ini adalah sebagai peningkatan cara kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku akan mereka peroleh dengan lebih mendalam. Diskusi partisipasi adalah satu cara yang baik dalam rangka memberikan informasi-informasi dan pesan-pesan kesehatan.

2.6. Landasan Teori Blum dalam Notoatmodjo 2003b menyatakan bahwa perilaku merupakan

faktor terbesar kedua setelah lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Intervensi terhadap faktor perilaku dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan. Sebelum intervensi tersebut dilakukan, maka perlu diadakan analisis terhadap masalah perilaku agar upaya atau intervensi menjadi efektif. Konsep yang digunakan untuk menganalisis determinan perilaku adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green 1980 dalam Notoadmodjo 2003b yang menyebutkan bahwa perilaku ini ditentukan oleh tiga faktor utama yakni; faktor predisposisi predisposing factors, faktor pemungkin enabling factors, dan faktor penguat reinforcing factors. Faktor predisposisi predisposing factors, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan Universitas Sumatera Utara kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Faktor pemungkin enabling factors, yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dokter, bidan dan sebagainya. Faktor penguat reinforcing factors yang terwujud dalam sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas termasuk petugas kesehatan. Notoatmodjo 2007 menyimpulkan bahwa faktor determinan perilaku itu dibedakan menjadi dua yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah merupakan karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Universitas Sumatera Utara

2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan maka

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

0 51 177

Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

3 60 154

Profil pemeliharaan anjing dan keterkaitannya dengan kejadian rabies di Kecamatan Pasaman KabupatenPasaman Barat Provinsi Sumatera Barat

0 6 142

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PEMILIK DALAM PEMELIHARAAN ANJING SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN RABIES DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAUH KOTA PADANG TAHUN 2012.

0 1 15

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Vaksinasi Rabies Dalam Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Tahun 2015.

0 0 42

Perhatian Pemilik Anjing dalam mendukung Bali Bebas Rabies.

0 0 8

Perhatian Pemilik Anjing Dalam Mendukung Bali Bebas Rabies.

0 0 8

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEMILIK ANJING DENGAN UPAYA PENCEGAHAN RABIES DI PUSKESMAS TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA | Lesnussa | JURNAL KEPERAWATAN 11898 23724 1 SM

0 2 8

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

0 0 14

Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 18