Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik
5.3.1 Hubungan antara Kompetensi Supervisi dengan Gaya Dominating pada Perawat Supervisor.
Gaya dominating merupakan gaya manajemen konflik dimana pihak yang terlibat konflik hanya berusaha memenuhi tujuannya sendiri tanpa memperhatikan
kebutuhan lawan konfliknya. Seseorang yang menggunakan gaya manajemen dominating dipengaruhi oleh uang, kekuasaan, pengalaman dan pengetahuan
Wirawan, 2010. Kompetensi menunjukkan bahwa perawat professional memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk melakukan pekerjaan Swansburg,
2001. Sehingga individu yang menggunakan gaya dominating adalah individu yang kompeten.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kompetensi perawat supervisor dengan gaya dominating yang digunakan
perawat supervisor di Rumah Sakit Pemerintah Kota Banda Aceh. Hasil penelitian ini menemukan gambaran dimana mayoritas perawat supervisor yang tidak
kompeten baik di RSUDZA maupun BLUDRSJ tidak sering menggunakan gaya dominating dalam manajemen konflik.
Hasil penelitian sesuai dengan teori dimana mayoritas perawat supervisor yang tidak kompeten tidak menggunakan gaya dominating. Perawat supervisor
yang tidak kompeten adalah perawat supervisor yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan masih rendah. Sehingga perawat supervisor tersebut
tidak mampu menggunakan pengaruh agar ide-idenya diterima, tidak mau menggunakan wewenang untuk membuat keputusan sesuai kehendaknya,
menggunakan keahliannya untuk mengambil keputusan, bersikap tegas dalam
menyelesaikan persoalan dan tidak mau menggunakan kekuasaan untuk memenangkan persaingan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Silaban 2013 terhadap gaya manajemen konflik oleh kepala ruangan di
rumah sakit. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kepala ruangan jarang menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan suatu konflik dirumah sakit.
Akibatnya gaya dominating ini menjadi pilihan terakhir yang digunakan oleh kepala ruangan atau perawat manajer dalam manajemen konflik.
Dalam penelitian ini perawat supervisor terkesan kurang percaya diri dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah
konflik seperti menggunakan pengaruh, wewenang, keahhlian, bersikap tegas dan kekuasaan untuk bersaing. Menurut Hendricks 2001, mendominasi
dominating merupakan gaya manajemen konflik dimana tekanannya pada diri sendiri, sehingga kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi, gaya ini sering
diasosiasikan dengan istilah gertakan. Padahal Strategi ini dapat menjadi
reaksioner, digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri. Gaya mendominasi sangat membantu jika individu kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu-isu
yang menjadi konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga ahli yang dapat memberikan masukan atau memiliki sifat tegas untuk menyampaikan
sesuatu kepada orang lain. isu inilah yang menjadi pangkal dari gaya dominasi. Strategi penyelesaian konflik dengan gaya dominasi paling baik dipakai bila
dalam keadaan terpaksa dan dipergunakan sepanjang individu merasa memiliki hak dan sesuai dengan pertimbangan hati nurani.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamouda 2012 mengungkapkan gaya mendominasi menunjukkan tingkat kepedulian tinggi terhadap diri sendiri dan
rendahnya tingkat kepedulian untuk sisi lainnya. Gaya ini juga dapat digambarkan sebagai konsisten dengan resolusi menang-kalah atau sebagai individu yang
memperkuat posisi mereka untuk menang. Menurut Handoko 2009, dominasi dan penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu kekerasan yang
bersifat penekanan otokratik, penenangan yang diplomatis, penghindaran untuk mengambil posisi yang tegas dan aturan mayoritas untuk menyelesaikan konflik
antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara voting melalui prosedur yang adil.
5.3.2 Hubungan Antara Kompetensi Supervisi dengan Gaya Integrating pada Perawat Supervisor
Gaya integrating merupakan gaya manajemen konflik yang ditandai dengan kesediaan untuk saling bertukar informasi secara terbuka, untuk mengatasi
perbedaan secara konstruktif dan untuk melakukan segala upaya untuk mengejar solusi yang akan diterima bersama Rahim, 2001. Cara ini mendorong seseorang
berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah Hendricks, 2001. Bandura 1969 menyatakan bahwa dalam strategi integrasi, pendapat-
pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.
Kompetensi akan mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Kemampuan kognitif dapat menentukan ketepatan respon seseorang dalam
mengambil keputusan Wahyu, 2012. Kemampuan kognitif ini diciptakan dalam proses pendidikan. Sehingga seseorang akan memiliki kemampuan atau kapasitas
Hasil penelitian memberi gambaran bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kompetensi perawat supervisor dengan gaya integrating yang
digunakan perawat supervisor di Rumah Sakit Pemerintah Kota Banda Aceh. Gambaran yang paling menonjol dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Perawat supervisor yang belum kompeten lebih sering menggunakan gaya integrating dalam manajemen konflik .
Swansburg, 2001. Kemampuan kognitif akan mendukung terbentuknya kecerdasan emosional seorang individu. Penelitian Lee Fen Ming 2003 dalam
Wirawan 2010 menemukan ada hubungan kecerdasan emosional dengan gaya integrating. Sehingga seorang individu yang kompeten akan menggunakan gaya
integrating.
Perawat supervisor yang tidak kompeten memiliki kekurangan kapasitas dalam pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan berdasarkan konseptual
ketrampilan dan pengetahuan, ketrampilan intervensi lansung dan ketrampilan yang berhubungan dengan individu atau manusia. Sedangkan perawat supervisor
menggunakan gaya manajemen konflik integrating karena mereka berpersepsi bahwa dalam gaya integrating terdapat aktivitas dalam menyelidiki masalah,
mengintegrasi ide-ide dengan bawahan, bekerja sama dengan bawahan dalam pengambilan putusan, mencari solusi masalah dan memperoleh pemahaman
persoalan, serta mencurahkan perhatian. Jadi karena keterbatasan kemampuan maka perawat supervisor memili cara untuk bekerjasama.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori dimana perawat supervisor yang menggunakan gaya integrating justru perawat supervisor yang tidak kompeten.
Hal ini lebih disebabkan karena perawat supervisor ingin bekerja sama dengan orang lain untuk menyelesaikan masalah. Kerjasama ini dilakukan karena
kekurangan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan. Perawat supervisor butuh bantuan bawahan untuk menyelesaikan konflik. Sehingga dapat disimpulkan gaya
manajemen ini sering digunakan oleh perawat supervisor kompeten dan tidak kompeten dalam menyelesaikan masalah konflik.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Al-Hamdan 2011 yang membahas bahwa gaya integrating merupakan gaya yang paling disukai kedua
pihak yang berkonflik karena kedua belah pihak yang berkonflik akan menang dengan keterbukaan dalam eksplorasi masalah dengan menghargai perbedaan dan
persamaan kedua belah pihak. Sehingga gaya ini menjadi pilihan utama dibandingkan jenis gaya manajemen yang lain.
Dalam memadukan ide-ide, pendapat dan saran dari kedua pihak yang berkonflik dibutukan perawat supervisor memiliki pengetahuan dan kemampuan
yang kompeten. Menurut Bittel 1992 seorang manager akan lebih sukses apabila dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang cukup. Kompetensi pengetahuan adalah
Analisa diatas juga sama dengan penelitian oleh Silaban 2013, dimana ditemukan bahwa gaya integrating
merupakan gaya manajemen konflik paling sering digunakan oleh kepala ruangan di rumah sakit.
kemampuan pengetahuan yang merupakan pintu masuk seseorang untuk bekerja dengan baik. Bila ditinjau dari metoda menyelesaikan masalah konflik. Metoda
integrasi harus merubah konflik menjadi pemecahan masalah. Seorang manajer harus mendorong bawahannya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan
menekankan usaha-usaha pencarian penyelesaian Handoko, 2009. Berdasarkan konsep ini seyogyanyalah perawat supervisor yang kompeten yang menggunakan
gaya integrating. Perawat supervisor yang tidak kompeten akan menunjukan kekhawatiran
terhadap ketidakmampuan penyelesaian masalah konflik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Hamouda 2012, dimana dikatakan bahwa walaupun gaya
integrating dikenal sebagai gaya pemecahan masalah namun menunjukkan sikap kekhawatiran mendalam yang muncul dari diri dan orang lain yang terlibat
konflik. Sehingga integrating merupakan gaya manajemen konflik dengan penggunaan terendah dalam penelitian tersebut, padahal dalam gaya manajemen
konflik ini ada upaya kerja sama dalam keterbukaan, berbagi ide dan pengujian perbedaan untuk mencapai solusi yang dapat diterima kedua belah pihak.
Berdasarkan uraian diatas semakin jelas bahwa penggunaan gaya integrating lebih kepada keinginan perawat supervisor untuk meminta bantuan pihak lain agar
masalah konflik dapat diselesaikan secara bersama-sama bukan karena kompetensi. Sehingga kompetensi yang baik tidak menjamin seorang perawat
supervisor memilih gaya manajemen ini. Faktor lain seperti pendidikan atau pengalaman kerja juga tidak mendukung. Hal ini sama seperti penelitian Silaban
2013 yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
gaya manajemen konflik dengan tingkat pendidikan dan masa kerja kepala ruangan. Namun Wirawan 2010 berpendapat bahwa seseorang akan
menggunakan gaya integrating saat menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin dapat dimenangkan seorang diri. Sehingga faktor situasi dan posisi
dalam konfliklah yang mempengaruhinya.
5.3.4 Hubungan antara Kompetensi Supervisi dengan Gaya Compromising pada Perawat Supervisor
Gaya compromising ini dapat diartikan sebagai bentuk penyelesaian konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang
bersangkutan Wirawan, 2010. Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang Hendricks, 2001. Kedua atau semua subkelompok
yang terlibat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan “jalan tengah halfway” Bandura, 1969. Bentuk-bentuk kompromi meliputi perpisahan pihak-
pihak yang bertentangan sampai mencapai persetujuan, arbitrasi perwasitan dimana pihak ketiga diminta memberi pendapat, kembali ke peraturan-peraturan
yang berlaku dan penyuapan dimana salah satu pihak menerima kompensasi dalam pertukaran untuk mencapai penyelesaian konflik Marquis Huston,
2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kompetensi perawat supervisor dengan gaya compromising di Rumah Sakit Pemerintah Kota Banda Aceh. Mayoritas perawat supervisor yang kompetensinya
belum kompeten sering menggunakan gaya compromising dalam manajemen konflik.
Teori diatas sesuai dengan hasil penelitian dimana perawat yang memiliki nilai kompetensi kurang akan bekerjasama dengan perawat bawahan untuk
mencari jalan tengah saat keduanya sama-sama kuat. Perawat supervisor menyadari bahwa pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya
tidak dapat memberi kekuatan untuk menyelesaikan konflik secara sepihak. Apalagi jika didukung dengan usia, masa kerja dan pendidikan perawat supervisor
setara dengan perawat pelaksana. Maka kekuasaan dan kekuatan perawat supervisor dengan perawat pelaksana akan sama pula sehingga memilih
kompromi untuk menyelesaikan konflik. Menurut Wirawan 2010 apabila pengetahuan dan kekuasaan lebih rendah
sehingga memprediksikan bahwa dirinya tidak bisa menang dalam konflik, maka seseorang akan memilih untuk kompromi. Tindakan kompromi akan berusaha
mencari jalan tengah, berunding dengan bawahan, dan memiliki prinsip memberi dan menerima untuk sepakat dalam menyelesaikan masalah konflik Handoko,
2009. Berarti gaya compromising ini lebih cocok digunakan perawat yang tidak kompeten.
Gaya kompromi lebih ditentukan oleh tempat seseorang bekerja bukan kompetensi. Menurut penelitian Iglesias 2012, ada perbedaan jumlah individu
yang menggunakan gaya compromising antara perawat yang bekerja di akademik dan di klinik. Jumlah angka perawat yang menggunakan gaya compromising yang
bekerja di akademik lebih banyak daripada di klinik. Artinya ada pengaruh
lingkungan kerja dengan penggunaan gaya ini bukan karena tingkat pendidikan. Padahal kita ketahui bahwa pendidikan berdampak pada pengetahuan, ketrampilan
dan kemampuan. Ivancevich 2007 menyoroti penggunaan gaya kompromi lebih bersifat pada kepribadian seseorang bahwa kompromi lebih melibatkan kerelaan
seseorang untuk berkorban dan menghadapi masalah secara langsung atau tidak menghidari masalah.
Penelitian yang dilakukan oleh Safitri 2013, juga menjelaskan bahwa kepribadian menjadi salah satu pengaruh penggunaan gaya compromising.
Menurutnya ada hubungan kepribadian yang bersifat bebas, kreatif, senang mencari pengalaman dan hal-hal baru akan memilih gaya compromising dalam
manajemen konflik. Selanjutnya dalam penelitian ini, kepribadian yang tekun, ambisius dan teratur, pekerja keras, gigih dan tepat waktu juga berhubungan
dengan penggunaan gaya manajemen ini. Namun kepribadian ini identik dengan karakteristik seseorang yang memiliki pengetahuan yang kompeten. Berbeda
dengan hasil penelitian dimana justru perawat supervisor yang tidak kompeten yang cenderung menggunakan gaya compromising ini.
Penelitian Hendel 2005 menemukan hubungan penggunaan gaya manajemen konflik juga bukan dengan kompetensi namun kepada gaya
kepemimpinan. Ada hubungan antara gaya manajemen konflik dengan gaya kepemimpinan. Gaya compromising menjadi yang paling umum digunakan
sebagai strategi manajemen konflik. Pimpinan perawat cenderung memilih model penanganan konflik yang berkaitan dengan bentuk pendekatan lose-lose. Ditinjau
dari sudut kompetensi pemimpin, penelitian ini merekomendasi agar persiapan
seorang pimpinan dalam manajemen konflik harus dimulai dari tingkat pendidikan sarjana.
Pada penelitian sebelumnya oleh Woodtli 1987 tercatat compromising sebagai gaya manajemen konflik pilihan utama oleh 167 kepala perawat. Begitu
juga pada tahun 1991 penelitian oleh Barton pada 69 level kepala perawat yang berbeda Al-Hamdan, 2011. Gaya compromising menjadi pilihan tersering
digunakan. Namun jika dibandingkan dengan penelitian ini, Gaya compromising menjadi urutan kedua sering digunakan oleh perawat supervisor yang memiliki
kompetensi lebih dalam pengetahuan, ketampilan dan pengetahuan. Sehingga kompetensi supervisor bukanlah faktor yang mempengaruhi penggunaan gaya
compromising dalam manajemen konflik. Perawat supervisor yang merasa dirinya punya nilai kompetensi lebih akan melakukan kompromi-kompromi dengan
bawahannya untuk menyelesaikan masalah. Dari masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi dapat
dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan sehingga perawat supervisor yang kompeten seharusnya lebih menggunakan gaya manajemen konflik ini. Namun
tidak berhubungan kompetensi dengan gaya compromising karena hal ini lebih dikaitkan dengan kepribadian dan gaya kepemimpinan yang ingin menyelesaikan
konflik dengan baik.
5.3.5 Hubungan Antara Kompetensi Supervisi dengan Gaya Avoiding pada Perawat Supervisor
Pendekatan avoiding dilakukan dengan cara memilih untuk tidak mengakui adanya masalah dan membiarkan masalah selesai dengan sendirinya.
individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di
dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu Marquis dan Huston, 2010
Menghindar merupakan suatu strategi yang memungkinkan kedua belah pihak yang terlibat konflik menjadi dingin dan mengumpulkan informasi
Swanburg, 2000. Dalam hal ini ketrampilan berkomunikasi akan mempengaruhi dalam menggunakan gaya avoiding. Kompetensi komunikasi bersinergi menjadi
bagian dari kompetensi individu yang dapat digunakan dalam menyikapi persoala- persoalan. Komunikasi adalah sebuah proses dimana sebuah informasi diubah
menjadi simbol, tanda atau tingkah laku oleh seseorang dan disampaikan kepada yang lainnya Slocum dan Hellriegel, 2009. Ketika seseorang membutuhkan
kemampuan komunikasi tinggi untuk berdebat dan berargumentasi namun orang tersebut tidak mampu maka ia akan memilih gaya mengindar dari masalah atau
avoiding Wirawan, 2010. Analisa statistik pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang
significant antara kompetensi perawat supervisor dengan gaya avoiding di Rumah Sakit Pemerintah Kota Banda Aceh. Banyak perawat supervisor yang tidak
kompeten sering menggunakan gaya avoiding. Artinya banyak perawat supervisor
yang pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan masih kurang, menghindar saat menghadapi masalah konflik.
Hasil ini menunjukkan sebahagian besar perawat supervisor
mempersepsikan diri tidak mempunyai kompetensi yang baik dalam pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang ternilai dari unsur konseptual ketrampilan dan
pengetahuan, intervensi langsung dan ketrampilan berhubungan dengan individu. Dalam menyelesaikan konflik, perawat supervisor menghindari tindakan yang
mempersulit orang lain, menghindari diskusi terbuka, mempertahankan sikap tidak setuju, menghindari pertemuan yang tidak menyenangkan, menyembunyikan
ketidaksetujuan dengan bawahan dan berusaha menghindari perdebatan yang tidak menyenangkan. Sehingga perawat supervisor sangat berhati-hati
menggunakan gaya avoiding ini. Perawat supervisor yang menggunakan gaya avoiding menyadari adanya
konflik tetapi memilih untuk tidak mengakuinya. Penghindaran dilakukan ketika individu menilai bahwa kerugian yang ditimbulkan dari penyelesaian konflik lebih
besar dari manfaatnya Marquis Huston, 2010. Orang yang takut dan pasif cenderung untuk menghindari konflik. Sehingga penggunaan gaya ini lebih
berhubungan dengan kepribadian seseorang Wirawan, 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri 2013, dimana ditemukan bahwa
gaya avoiding berhubungan dengan kepribadian neuroticsm yang cenderung pencemas, emosional dan temperamental. Sehingga kecemasan dan rasa tidak
aman yang dimiliki pada kepribadian ini dapat mengarahkannya kepada melarikan
diri. Gaya ini tidak berfokus pada siapapun dan memilih untuk menghidari masalah.
Menurut penelitian oleh Iglesias 2012, ada hubungan antara gaya manajemen konflik dengan pengetahuan. Hal ini dilihat dari adanya perbedaan
penggunaan gaya avoiding antara perawat yang bekerja di akademik sebuah pendidikan dengan perawat yang bekerja di sebuah klinik kesehatan. Penggunaan
gaya avoiding lebih sering digunakan oleh perawat di klinik. Selanjutnya gaya avoiding sering digunakan oleh perawat teregister registered nurse dan perawat
asisten dari pada perawat supervisor. Dalam penelitian sebelumnya oleh Cavanagh 1991 memberi gambaran
bahwa gaya avoiding digunakan sebagai pilihan utama oleh 145 staf perawat. Namun pada penelitian masa selanjutnya oleh Kunaviktikul 2000, gaya avoiding
sebagai urutan ketiga tersering digunakan oleh 354 registered nurse. Walaupun pada penelitian lain oleh Hendel 2005 avoiding berada di urutan ke empat
tersering digunakan oleh 60 perawat manajer Wirawan, 2010. Jika dilihat dari individu yang diukur bahwa maka dapat diasumsikan bahwa gaya avoiding
digunakan sebagai pilihan utama oleh tenaga perawat yang kompeten seperti kepala perawat.
Menurut penelitian Sportsman 2007, gaya avoiding atau persaingan yang digunakan menyebabkan konflik tugas akan meningkat. Hal ini pada gilirannya
akan meningkatkan kemungkinan konflik hubungan dan stres. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi tingkat pendidikan
pada mahasiswa pascasarjana keperawatan dengan penggunaan gaya avoiding.
Gaya avoiding ini dibutuhkan perawat supervisor pada situasi-situasi tertentu. Hal ini disebabkan pendekatan gaya menghindari avoiding dilakukan dengan cara
memilih untuk tidak mengakui adanya masalah dan membiarkan masalah selesai dengan sendirinya Marquis Huston, 2010.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi tidak mempengaruhi perawat supervisor dalam menggunakan gaya avoiding.
Seharusnya gaya avoiding lebih digunakan oleh perawat supervisor yang kompeten karena pengetahuan dan kemampuan kompetensi seseorang dibutuhkan
dalam mengambil keputusan untuk menghindari terjadinya konflik yang lebih besar. Namun banyaknya perawat supervisor yang tidak kompeten menggunakan
gaya avoiding lebih disebabkan karena unsur kepribadian.
5.3.6 Hubungan Antara Kompetensi Supervisi dengan Gaya Obliging pada Perawat Supervisor
Gaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Ada upaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan
menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi konflik ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Sehingga muncul keinginan untuk mempertahankan hubungan baik dengan orang lain Kreitner Kinicki, 2005. Menurut Hendricks
2001 cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada
orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya
terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri
Dalam kompetensi diri upaya untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain dengan cara mengerti dan memahami kepribadian orang lain walaupun
hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sesuai dengan kompetensi diri yang dikemukakan oleh Slocum Hellriegel, 2009
bahwa kompetensi diri merupakan kunci untuk mengerti kepribadian dan sikap orang lain serta diri sendiri, yang mencakup juga memahami, menilai, menafsir
secara akurat orang lain, diri sendiri dan lingkungan terdekat. Mengerti dan melaksanakan pekerjaan sendiri dan orang lain berhubungan dengan motivasi dan
emosi. Kemudian menilai dan menetapkan perkembangan diri sendiri, kehidupan pribadi dan yang berhubungan dengan sasaran yang ingin dicapai dalam
pekerjaan. Serta bertanggung jawab didalam mengatur karier dan diri sendiri dan mengatasi keadaan yang menimbulkan stres. Berdasarkan kepentingan itulah
dapat dijadikan alasan menggunakan gaya obliging untuk menyelesaikan konflik. Hasil analisa statistik memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara
kompetensi supervisi dengan gaya obliging pada perawat supervisor yang bekerja di rumah sakit. Nilai analisa yang paling menonjol adalah mayoritas perawat
supervisor yang kompeten sering menggunakan gaya obliging dalam manajemen konflik.
Hasil penelitian sama dengan teori dimana perawat supervisor yang kompeten dalam pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan dalam konseptual,
intervensi langsung dan hubungan dengan manusia dengan baik banyak yang
menyelesaikan masalah konflik dengan cara memenuhi dan mengakomodir kebutuhan bawahannya, mengabulkan permintaan, memberikan kelonggaran, dan
menyetujui saran-saran dari bawahannya. Hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan tetap harmonis dengan lawan konflik.
Walaupun tidak berhubungan dengan kompetensi, namun menyelesaikan masalah dengan gaya obliging terkait dengan karakteristik demografi individu.
Penelitian sebelumnya oleh Silaban 2013, menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan gaya obliging pada kepala ruangan berdasarkan jenis kelamin.
Selanjutnya Al-Hamdan 2011 dalam penelitian menemukan tingkat pendidikan berbeda secara signifikan pada gaya obliging. Secara keseluruhan pendidikan
terbanyak perawat supervisor dalam penelitian ini adalah sarjana keperawatan. sehingga mendukung penelitian bahwa ada pengaruh kompetensi dengan
pendidikan perawat supervisor. Dalam penelitian Iskandar 2008 menemukan bahwa ada hubungan yang
positif antara pendidikan dengan kompetensi, ini artinya bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk dapat
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. tingkat pendidikan yang tinggi dan juga telah mengikuti pelatihan struktural maupun teknis akan
semakin meningkat kompetensinya yang meliputi pengetahuan dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga jelaslah bahwa kompetensi tidak
berhubungan dengan gaya obliging. Ada aspek lain yang mempengaruhi gaya obliging.
Berpedoman pada nilai kompetensi paling tinggi perawat supervisor di RSUDZA dan BLUDRSJ terletak pada ketrampilan perawat supervisor yang
berhubungan dengan orang lain sehingga membentuk pola pikir ingin menjalin hubungan terapeutik lama, menjaga komunikasi dan menciptakan suasana kerja
yang harmonis dengan bawahannya menjadi alasan perawat supervisor memberi perhatian lebih buat perawat yang disupervisi. Menurut Valentine 2001 dalam
Silaban 2011 Penggunan gaya obliging yang jarang mengindikasikan adanya kesulitan untuk melepaskan suatu isu, menentukan tujuan yang baik dan kesulitan
menerima bahwa seseorang telah berbuat kesalahan. Karena gaya obliging muncul dari keprihatinan rendah untuk diri sendiri dan tinggi kepedulian terhadap orang
lain sehingga memiliki keinginan untuk membantu orang lain. Hendricks 2001 menyatakan karakteristik obliging adalah gaya yang
penyelesaian konflik, kerelaan membantu menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain, sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Gaya ini mungkin
mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Penggunaan penyelesaian obliging dengan menaikan status pihak
lain adalah bermanfaat, terutama peran kita dalam organisasi secara politis tidak berada dalam posisi yang membahayakan. Gaya penyelesaian dengan cara
membantu orang lain bila digunakan secara efektif dapat menjalin hubungan lama.