Hambatan dalam mengelola konflik 1

2 Sebagai Mediator Partisipan sebagai manajer lini pertama harus dapat mengelola konflik yang terjadi diruangannya. Penyelesaian konflik dengan cara melakukan mediasi yaitu proses penyelesaian konflik antara 2 pihak atau lebih melalui perundingan dengan bantuan pihak netral Penengahmediator. Partisipan sebagai mediator memanggil pihak-pihak yang terlibat konflik dalam suatu pertemuan. Menurut Marquis Huston 2010 Manajer keperawatan kadang kala dapat digunakan sebagai pihak yang netral untuk membantu orang lain menyelesaikan konflik secara konstruktif. Ini seharusnya dilakkukan jika kedua belah pihak termotivasi untuk menyesaikan masalah dan jika tidak ada perbedaan dalam kekuasaan atau status kedua pihak. Menurut Sumaryanto 2010 Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektifitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.

5.1.2 Hambatan dalam mengelola konflik 1

Peraturan yang tidak mempunyai batasan yang jelas Dalam penelitian ini partisipan mengatakan bahwa adanya larangan menolak pasien sering menghambat partisipan dalam mengelola konflik di ruang perawatan intensif. Pasien yang masuk sering tidak sesuai dengan indikasi pasien masuk ruangan intensif. Ruangan intensif khusus jantung harus tetap menerima pasien stroke karena ruangan unit stroke sudah penuh. Pasien dengan kategori Universitas Sumatera Utara DNR Do not resusitation juga tetap dirawat di ruang intensif sehingga hal tersebut dapat membuat pasien yang benar-benar membutuhkan pertolongan segera sesuai indikasi pasien masuk ruang intensif tidak dapat masuk ruang intensif itu sendiri karena ruangan intensif sudah penuh. Partisipan sering memberi pengarahan kepada staf perawatnya agar tetap menerima pasien baru yang ingin masuk ruang intensif walaupun pasien tersebut tidak sesuai dengan indikasi pasien masuk ruangan intensif. Alasan yang diberikan oleh partisipan terhadap stafnya adalah karena ruangan perawatan intensif jantung setara dengan ruang unit stroke yang sama-sama adalah ruangan intensif. Kebijakan rumah sakit yang berpedoman dari adanya surat edaran dari menteri kesehatan Nomor HK.04I012010 tentang pelarangan penolakan pasien di pelayanan kesehatan. Surat edaran ini berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat 1 dan ayat 2 yang menyatakan “ Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu” dan “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien danatau meminta uang muka” Surat edaran tersebut juga berpedoman kepada Undang-undang Nomer 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 ayat 1 huruf c dan huruf f yang menyatakan “ Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya” dan “ Universitas Sumatera Utara setiap rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampumiskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Kebijakan pemerintah tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam menyediakan sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya. Menurut penelitian Simanjuntak 2012 kebijakan pemerintah dalam hal kegiatan sosial dengan membantu masyarakat yang tidak mampu, tidak mempunyai batasan yang jelas. Rumah sakit tidak mendapat kejelasan mengenai seberapa besar rumah sakit harus melakukan kegiatan sosial tersebut. Menurut penelitian Putra 2012 ada 12,5 persen pasien miskin yang pernah ditolak oleh pihak rumah sakit. Alasan rumah sakit menolak pasien miskin beraneka ragam. Mulai dari penuhnya daya tampung rumah sakit, administrasi yang diajukan pasien tidak lengkap dan peralatan rumah sakit tidak cukup lengkap dalam menangani pasien serta masih ada pungutan uang dalam administrasi. Ancaman pidana sesuai ketentuan undang-undang yang dibuat dalam surat edaran Menkes Nomer HK.04I012010 tentang pelarangan penolakan pasien di pelayanan kesehatan membuat partisipan tetap menerima pasien walaupun tidak sesuai dengan indikasi pasien masuk ruang perawatan intensif. Menurut keputusan direktur jendral bina upaya kesehatan mengenai petunjuk teknis penyelenggaraan pelayanan intensive Care Unit ICU Tahun 2011, pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan Universitas Sumatera Utara reversible pulih kembali mengingat ICU adalah tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga yang khusus. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif prioritas satu-1 didahulukan dirawat di ICU, dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif prioritas dua-2 dan pasien sakit kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek untuk sembuh prioritas tiga-3. Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk pasien. Pasien Prioritas 1 Satu Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti dukunganbantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pascabedah kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 satu umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya. Pasien Prioritas 2 Dua Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami Universitas Sumatera Utara pembedahan major. Pasien prioritas-2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah. Pasien Prioritas 3 Tiga Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 tiga mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner. Pengecualian Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk masuk ICU, dan hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa, atas persetujuan kepala ICU. Lagi pula pasien-asien tersebut bila perlu harus dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 satu, dua, tiga. 1. Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death. Pasien-pasien seperti itu dapat dimasukkan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi hanya untuk tujuan menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu donasi organ. 2. Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup Universitas Sumatera Utara yang agresif dan hanya demi ”perawatan yang nyaman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah ”DNR”. Sesungguhnya, pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya. 3 Pasien dalam keadaan vegetatif permanen. 4 Pasien yang secara fisiologis stasbil yang secara statistik risikonya rendah untuk memerlukan terapi ICU. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasien pascabedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concussion, atau payah jantung kongestif ringan. Pasien-pasien semacam ini lebih disukai dimasukkan ke suatu unit intermediet untuk terapi definitif dan atau observasi. 2 Masalah komunikasi Dalam penelitian ini partisipan mengatakan bahwa komunikasi yang salah dapat menjadi hambatan bagi partisipan dalam mengelola konflik di ruang perawatan intensif. Komunikasi dengan menggunakan kata-kata yang kasar atau volume suara yang kuat dapat menimbulkan konflik antara petugas tim ICU atau antara tim ICU dengan pasien dan keluarga pasien. Emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien. Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan yang dikirimkan. Kemampuan berkomunikasi yang baik adalah salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh manajer keperawatan baik manajer tingkat puncak, menengah maupun manajer tingkat pertama. Tenaga keperawatan baik pada Universitas Sumatera Utara tingkat manajerial puncak, menengah, maupun bawah berada dalam rentang komunikasi yang saling bekerja sama dalam memberikan pelayanan keperawatan untuk dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanan keperawatan serta untuk dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap profesi. Kepala ruangan sebagai front line manager harus dapat menciptakan komunikasi yang baik dalam ruangan yang dipimpinnya untuk menghindari ataupun mengelola konflik yang terjadi McCarthy Fitzpatrick, 2009. Komunikasi yang baik harus dapat dilakukan dalam setiap hubungan yang ada di ruang perawatan intensif baik antara petugas kesehatan maupun antara petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahman, Hamzah Jafar 2013 bahwa ada pengaruh komunikasi, tim kerja, konflik, kepemimpinan, dan pembuatan keputuasan kelompok dengan kepuasan perawat. Menurut penelitian Ikawati Sulastri 2011 ada hubungan komunikasi perawat dengan kecemasan keluarga pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis ICU di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Arah hubungan antara variabel komunikasi perawat dengan kecemasan anggota keluaarga adalah negatif, artinya semakin baik komunikasi yang dibangun antara perawat dengan anggota keluarga menjadikan kecemasan anggota keluarga menurun. 3Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana Partisipan mengatakan bahwa fasilitas sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan di ruang intensif sudah banyak yang rusak sehingga sarana dan prasarana yang dapat digunakan dalam perawatan pasien di ruangan intensif Universitas Sumatera Utara menjadi berkurang. Sarana seperti ventilator sudah rusak namun belum ada perbaikan walaupun sudah lama bahkan ada yang lebih setahun, hal tersebut biasanya diupayakan dengan meminjam ventilator dari ruangan intensif yang lainnya namun sering sekali ruangan intensif yang lain juga memakai alat tersebut sehingga pada akhirnya pasien tetap dirawat di ruangan intensif tanpa menggunakan ventilator atau alat lain yang dibutuhkan. Kurangnya alat di ruangan perawatan intensif membuat tim ICU susah untuk bekerja karena bila tidak ada peralatan ICU maka kerjanya secara manual, hal tersebut dapat mempengaruhi pelayanan terhadap pasien dan dapat menjadi sumber konflik di ruang perawatan intensif. Peraturan pemerintah mengenai sarana dan prasarana yang harus disediakan oleh rumah sakit harus berpedoman kepada keputusan mentri kesehatan No. HK 02.04I199611 tentang petunjuk teknis penyelenggaraan pelayanan intensif care unit ICU di rumah sakit. Dikatakan bahwa sarana dan prasarana yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat membantu kelancaran pelayanan di ruang intensif. Pelayanan di ruangan intensif ini juga disesuaikan dengan klasifikasi pelayanan ICU yang terbagi atas ICU primer, sekunder dan tertier. Masing- masing klasifikasi ICU tersebut disesuaikan dengan tipe rumah sakit yang bersangkutan, dimana pelayanan ICU primer terdapat pada rumah sakit dengan tipe C, ICU sekunder terdapat pada rumah sakit dengan tipe B dan pelayanan ICU tertier terdapat pada rumah sakit dengan tipe A. Lokasi penelitian ini terdapat di RSUP H. Adam Malik Medan dengan pelayanan ICU tertier dan RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan pelayanan ICU Universitas Sumatera Utara sekunder. Partisipan dari kedua lokasi penelitian ini sama-sama mengatakan bahwa sarana dan prasarana di ruangan intensif yang mereka pimpin saat ini kurang sehingga dapat menjadi sumber konflik di ruangan intensif. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Putra 2012 bahwa tidak lengkapnya peralatan rumah sakit membuat rumah sakit menolak pasien. 4Kurangnya tenaga perawat Hambatan dalam mengelola konflik di ruang perawatan intensif menurut partisipan adalah karena keterbatasan jumlah tenaga perawat. Perbandingan jumlah pasien dengan jumlah tenaga perawat tidak sesuai lagi sehingga asuhan keperawatan terhadap pasien tidak sepenuhnya dapat terjangkau dan terpenuhi. Jumlah tenaga yang terbatas sementara tindakan keperawatan yang banyak membuat partisipan jadi lama pulang. Jumlah jam kerja partisipan juga sudah melebihi 8 jam sehari. Rumah sakit adalah suatu institusi pelayanan kesehatan dengan fungsi yang kompleks dengan padat pakar dan padat modal. Untuk melaksanakan fungsi yang demikian kompleks, rumah sakit harus memiliki sumber daya manusia yang professional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan. Salah satu tenaga di rumah sakit adalah perawat dengan pelayanan keperawatannya. Indikator keberhasilan rumah sakit yang efektif dan efesien adalah tersedianya sumber daya manusia yang cukup dengan kualitas yang tinggi, profesional, sesuai dengan fungsi dan tugas setiap personil Depkes, 2002. Pelayanan perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu faktor penentu citra dan mutu rumah sakit, disamping itu Universitas Sumatera Utara tuntutan masyarakat terhadap pelayanan perawat yang bermutu semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan kewajiban dari masyarakat. Kualitas pelayanan harus terus ditingkatkan sehingga upaya pelayanan kesehatan dapat mencapai hasil yang optimal Nursalam, 2002. Salah satu bagian yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yaitu pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap pelayanan kesehatan, selain itu keperawatan merupakan armada terbesar dalam pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit sehingga pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang sangat penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Salah faktor utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan adalah tenaga keperawatan yang efektif dan efisien sebagai sumber daya manusia. Efektifitas dan efisiensi ketenagaan dalam keperawatan sangat ditunjang oleh pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan kompetensi perawat yang memadai. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan perencanaan yang strategis dan sistematis dalam memenuhi kebutuhan tenaga keperawatan. Perencanaan yang baik mempertimbangkan : klasifikasi klien berdasarkan tingkat ketergantungan, metode pemberian asuhan keperawatan,jumlah dan kategori tenaga keperawatan serta perhitungan jumlah tenaga keperawatan. Kontribusi dari manager keperawatan dalam menganalisis dan merencanakan kebutuhan tenaga keperawatan di suatu unit rumah sakit sangat penting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Saparwati, Sahar dan Universitas Sumatera Utara Mustikasari 2013 yang mengatakan bahwa kepala ruangan perlu memahami, melaksanakan fungsi manajemen guna mendukung kelancaran pelayanan di ruang rawat inap yang menjadi tanggungjawabnya dan diharapkan meningkatkan perencanaan ketenagaan di ruangan. 5 Prilaku yang berkaitan dengan konflik Partisipan mengatakan bahwa prilaku yang berkaitan dengan konflik dapat menghambat partisipan dalam mengelola konflik di ruangan perawatan intensif. Prilaku yang berkaitan dengan konflik dari staf perawat adalah sifat perawat yang tidak mau tahu mengenai masalah kesehatan pasiennya. Sifat tidak mau tahu terhadap suatu tindakan yang baru saja dilakukan oleh seorang perawat, contohnya baru saja pemasangan infus langsung bengkak di daerah pemasangan infus namun perawatnya tidak mau tau dengan hasil pekerjaaannya. Sifat keras yang dimiliki oleh seorang bawahan juga dapat menjadi sumber konflik di ruangan perawatan intensif dimana dalam mengatur jadwal dinas dia tidak mau mempunyai beban yang sama dalam hal jadwal dinas. Menurut Azolay et al. 2009 prilaku perawat yang berkaitan dengan konflik di ruang perawatan intensif antara lain: kebencian pribadi, rasa tidak percaya, masalah komunikasi, tidak adanya pertemuan staf keperawatan secara teratur, salah pengertian antar staf, salah pengertian antara staf dengan keluarga pasien, prilaku staf yang tidak pantas, kurangnya kemampuan kepala ruangan dalam memimpin suatu unit, membantah informasi, kebijakan visitasi yang tidak adequat dan salah pengertian antara staf dan pasien Universitas Sumatera Utara

5.1.3 Dukungan dalam mengelola konflik 1 Pendidikan dan pelatihan