Hambatan dalam mengelola konflik

4.3.2 Hambatan dalam mengelola konflik

Hambatan dalam mengelola konflik dapat dilihat dari 5 kategori yaitu: 1 Peraturan yang tidak mempunyai batasan yang jelas, 2 Masalah komunikasi, 3 Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana, 4 kurangnya tenaga perawat, 5 Prilaku yang berkaitan dengan konflik. 1 Peraturan yang tidak mempunyai batasan yang jelas Peraturan yang tidak mempunyai batasan yang jelas yang terdapat di ruang perawatan intensif adalah berkaitan dengan adanya larangan menolak pasien sehingga sering pasien yang masuk ICU tidak sesuai dengan indikasi pasien masuk ruangan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan seperti yang dibawah ini, “kalau konflik antara pasien dengan perawat itu ada.. inikan khusus jantung sebenarnya ruangan kita ini khusus jantung, Perawat kita itu konflik. Konflik itu apa…ee..kenapa masuk misalnya pasien stroke, sehingga terjadi konflik karena bukan penyakit jantung, cuma saya untuk menangani konflik ini sering saya bilang kepada bawahan saya, teman-teman yang disini, ini sebenarnya khusus jantung, tetapi kita tidak boleh menolak pasien, karena pasien yang diruangan unit stroke, ICU itu penuh, jadi ICCU, ICU, unit stroke itu setara, namanya aja yang khusus jantung, tapi itu umumnya itu intensif. jadi konflik itu seperti gitu. Ini kog pasiennya stroke.. kog masuk ke jantung itu, itu saja sih memang konfliknya” [P1, L85-94] Pernyataan tersebut didukung oleh partisipan lainnya yang mengatakan bahwa karena adanya larangan menolak pasien maka pasien tetap diterima masuk ICU walaupun sebenarnya bukan indikasi masuk ICU. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan seperti yang dibawah ini, Universitas Sumatera Utara “yang lain adalah satu yang paling utama juga dan paling sering kita lakukan adalah mengenai pemeriksaan fisik dan di samping itu tadi juga kita waktu toleransi dari pada menejerial ataupun dari pada pasien-pasien yang kita lakukan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan seperti salah satu contoh seperti pasien masuk, SOP sudah ada tapi nanti juga pasien ini bisa dikatakan karena rumah sakit kita ini juga rumah sakit pemerintah bahwa bisa dikatakan bahwa SOP yang sudah baku bisa juga nanti dikatakan ini bahwa pasien itu diterima dengan salah satu misalnya ini..apa…eee… eee apa namanya itu?.. terminal.. terminal pasien, jadi dalam kategori DNR do not resusitation, jadi kita terpaksa rawat, seperti itu’ [P6, L30-39] Peraturan rumah sakit yang dapat menghambat partisipan dalam mengelola konflik adalah mengenai birokrasi atau prosedur suatu tindakan yang mana harus disetujui oleh beberapa pihak sebelum melakukan suatu tindakan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan dibawah ini, “ tapi kadang-kadang begitu ada tindakan yang mau kita lakukan misalnya mau skenning, kadang-kadang kita istilahnya kayak mana ya? prosedur kitakan rumit, birokrasi, harus ACC, itu sering pasien ga menerima yang seperti itu kalau ga kita lakukan yang seperti itu kita kena marah, belum ada ini, belum diACC belum gini, itu birokrasi umumnya saya lihat belum, birokrasi kita ribet, kalau bahasa jawanya ribet, kalau pelayanan kita lakukan, merekapun mau, mungkin itu saya perhatikan seperti itu” [P3, L39-46] Pernyataan tersebut didukung oleh seorang partisipan lainnya yang mengatakan bahwa akibat peraturan yang dibuat oleh rumah sakit, perawat jadi harus mengerjakan prosedur suatu tindakan yang tidak sesuai dengan uraian tugasnya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “iya, jadi nanti tiba-tiba muncul kebijakan umpamanya dari farmasi kalau rumah sakit pemerintah ini ada obat itu ga sembarangan diberikan hanya pasien dengan penyakit tertentu yang diberikan karna obatnya mahal jadi harus ada suratnya yang harus ditandatangani oleh beberapa pihak, jadi itu tanpa membuat Universitas Sumatera Utara tanpa kebijakannya ikut perawat, yang mengACC semuanya itu perawat,itukan konflik, kita maunya total ke pasien..malah mengurusin administrasi obat keluar kebijakan perawat ga ikut, jadi keluar kebijakan perawat ga ikut.. jadi aturan-aturan yang ga berpihak ke kerjaan kita jadi menghambat juga” [P12, L367-374] Partisipan yang lain juga mengatakan bahwa yang hambatan lain dalam mengelola konflik adalah berasal dari masih banyak pekerjaan perawat yang tidak sesuai dengan uraian tugasnya misalnya kebersihan ruangan dan melakukan administrasi lain. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan dua partisipan dibawah ini: “misalnyakan maunya farmasi klinik inilah yang mengAcckan misalnya ke direksi atau kemanalah sesuai prosedur, jadi jangan lagi keperawatan, sehingga perawat itu bisa memberikan asuhan keperawatan yang sesuai ke pasien sesuai fungsi dan tanggung jawabnya sebagai seorang perawat, ini tidak.. kalau farmasi di luarkan begitu resep itu pun begitu maunya orang itu yang mengambil langsung dikemas dan langsung di antar ke pasien masing-masing dan dilakukan serah terima kepada perawat yang bertanggung jawab ke pasien itu, kalau kami alami disini konfliknya resep diambil oleh perawat, obatnya diambil oleh perawat dan perawat juga yang memberikannya semuanya dan perawatlah yang betul-betul yang melakukan asuhan itu..” [P8, L141-150] “iya itu jadi konflik kita juga harusnya kita bisa mengerjakan yang sesuai uraian tugas kita kalau untuk kebersihankan harusnya ada petugasnya khusus jadi kita di pasien gitu tapi karena mereka terbatas hanya 2 orang jadi masih juga kita harus mengerjakan pekerjaan cleaning service itu ga bisa kita hanya mengandalkan mereka saja apa lagi mereka sore hanya sendiri” [P10, L429-433] 2 Masalah Komunikasi Komunikasi yang salah dapat menjadi penghambat dalam mengelola konflik. Komunikasi dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan volume suara Universitas Sumatera Utara yang kuat dapat menimbulkan konflik. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan seperti yang dibawah ini, “kadang-kadang konflik itu bisa karena omongan kitakan?.. omongan keras bisa jadi konflik..makanya sering saya bilang keras sama lembut itu tujuannya samanya, jadi ga perlu kita keras, itu menurut saya itu..” [P1, L183-185] “kalau perawat kadang ngomongnyakan masih kasar tapi ga semua, kan ngomongnya seperti inikan..dokterkan pasiennya sudah cek lab, adekmu itu tadi kog sekarang cek lab lagi?..seperti itu memang masih ada tapi kita kasih taulah kamu ga boleh seperti itu.. coba kamu bayangkan kalau itu itomu kalau orang batakkan itomu.. bagaimana perasaanmu? samanya itu manfaatnya kalau kau bilang dokter jangan seperti itu tadikan sudah cek lab kog dibuat lagi.. seperti itu memang susah memang karena banyak orang batak disitu..agak kuat suaranya.. tapi terakhir sepertinya sudah mulai berkuranglah..sepertinya sudah banyak yang berkurang kalau kitapun ngomong janganlah buat seperti itu sama orang lain kalau kita pun ga suka digituin” [P9, L610-619] Masalah komunikasi yang sering terjadi di rumah sakit adalah informasi yang tidak diketahui oleh petugas kesehatan mengenai suatu program kesehatan sehingga dapat menimbulkan terjadinya suatu konflik. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan seperti yang dibawah ini, “jadi sebenarnya konflik itu salah satu ketidaknyambungan ataupun ketidaktahuan program pemerintah ataupun manajemen yang rumah sakit, jadi kita tidak sejalan sementara kita sebagai penanggung jawab ruangan itu setiap minggu kita rapat informasi yang disampaikan oleh manajemen kita sampai, sementara dia jangankan rapat, jumpa pasien saja paling 2-3 menit aja selanjutnya keluar, jadi kita tidak nyambung” [P2, L109-114] Universitas Sumatera Utara 3 Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana Fasilitas sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan di ruang intensif sudah banyak yang rusak sehingga sarana dan prasarana yang bisa dipakai jadi berkurang sehingga hal tersebut menjadi sumber konflik di ruang perawatan intensif. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan seperti yang dibawah ini: , “ memang kalau secara teori itu betul semua.. cuma kenyataan di lapangan ini tidak semudah yang diteori jadi kedepan itu SDMnya disesuaikan dengan fasilitas yang ada termasuk fasilitas seperti tempat tidur atau alat-lat penunjang yang lain banyak yang rusak itu juga jadi konflik [P2, L487-491] Kurangnya alat di ruangan perawatan intensif membuat tim ICU susah untuk bekerja karena bila tidak ada peralatan ICU maka kerjanya secara manual, hal tersebut dapat mempengaruhi pelayanan terhadap pasien “kendalanya seperti itu..alasan mereka blum ada alat, belum ada biaya gitu, kalau menurut saya kendala yang paling, jadi kita kalau alat rusak kayak mana kita mau kerja, karena di ruangan intensif itukan lebih dibantu dengan alat, ga bisa.. itulah bedanya dengan ruangan, kalau diruangan tanpa alat bisa kerjakan, kitakan harus ada pakai ventilator, pakai seringe pump, kalau itu belum dikalibarasi kan hang sama dengan.., jadi kita kerja manual jadinya kan susah, itu dia kendalanya, karena wajib kalau namanya di ruangan intensif itu harus ada pendukung yaitu alat- alat itulah alat ventilator seringe pump, use pump, monitor, kalau itu rusak karnakan ga dikalibarasi hasilnya eror.. kan berdampak ke pasien..” [P3, L79-88] Sarana seperti ventilator di ruangan intensif karena ventilator yang sudah rusak namun belum ada perbaikan walaupun sudah lama bahkan ada yang lebih setahun, hal tersebut biasanya diupayakan dengan meminjam ventilator dari ruangan intensif yang lainnya namun sering sekali ruangan intensif yang lain juga memakai alat tersebut sehingga pada akhirnya pasien tetap dirawat di ruangan Universitas Sumatera Utara intensif tanpa menggunakan ventilator atau alat lain yang dibutuhkan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan tiga partisipan dibawah ini: “kadang sampai ini.. kadang cuma fasilitasnya seperti oksigennya yang kurang, tabung meterannya yang rusak, sementara kita fasilitas sentral terbatas kita kan ada 6 yang ada sentral itu 4, 2 yang ga ada.. pakai tabung ya..kadang meterannya yang rusak itupun kadang, saya itu tidak cepat kadang ginikan kadang itu msnjadi masalah kadang oksigen ga ada.. antisipasinya kadang kalau kita masih ada tabung oksigen kita pakai sementara, jadi kadang masalah itulah kalau fasilitasnya atau misalnya ventilator itu.. ICCU juga punya ventilator, udah selama setahun inikan rusak sampai sekarang belum ada penggantinya jadi kalau ada pasien pasang ventilator jadi kita pinjam ke ICU untuk pasang ventilator ke ICU kalau misalnya ICU penuh ga ada ventilator kita pakai, jadi masalah peralatan itu masalahlah kalau tidak mendukung, bisa sumber konflik memang..[P4, L147-157] “kalau di ruangan paska bedah kadang masalah peralatanlah.. kadang diruangan kami ada 8 tempat tidur, kemudian ventilatornya hanya 5 jadi kadangkan pelayanan itu tidak sesuai dengan semestinya, kadang pasien perlu ventilator, ventilator tidak ada.. seperti itu, udah itu,siringe pump disitupun kurang, masalah sarana kadangkan perbaikan seringe pump itu bisa beberapa hari seperti itu..jadi mungkinkan gimana ya? mungkin dia tidak bekerja sesuai porsinya gitulah..” [P9, L27-32] “sarana kitakan terbatas, misalnya seringe pump, infus pump sementara untuk pasien anak, kitakan untuk obat-obat inotrop misalnyanya untuk hanya 1 cc per jam, kitakan ga boleh kalau ga pakai seringe pump tapi kadang alat itu terbatas sementara pasien membutuhkan kadang itu konflik juga” [P10, L62-65] 4 Kurangnya tenaga keperawatan Hambatan dalam mengelola konflik yang ada di ruang perawatan intensif menurut partisipan adalah karena keterbatasan jumlah tenaga perawat . Jumlah tenaga keperawatan yang terbatas tidak sesuai dengan jumlah pasien, apalagi pada shift sore dan malam. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan pembicaraan yang disampaikan oleh partisipan berikut: Universitas Sumatera Utara “kalau ketenagaan di intensif itu contohnya kalau kami itu di ICU biasanya kalau bisa, kita itu perbandingannya 1 pasien pakai ventilator itu maunya satu.. yang kita hadapi konflik sekarang misalnya pasien ada 8 yang tenaga yang jaga malam ada 3 iyakan? sedangkan yang pakai ventilator pasiennya ada 5 jadi banyak konflik yang dihadapi mereka, terutama dalam pelayanan pasien dan kita juga tidak bisa memberikan pelayanan itu semestinya yang sebenarnya dan apalagi kita selaku manusia ya..kita punya keterbatasan, kita sih pingin mengerjakan semua itu, tapi ga bisa lagi kita pantau pasien itu, kalaulah 1: 1 bisa kita berikan asuhan keperawatan yang penuh sama dia kalaulah dia 3 yang jaga 8 pasien, kita tidak bisa memberikan asuhan keperawatan yang sepenuhnya buat pasien itu sendiri..” [P8, L31- 41] “nah.. itulah sampai sekarang belum terpenuhi karena kalau kita bandingkan dengan 8 pasien perawat hanya jaga malam, jaga sore 3 itu tidak ideal, seharusnya memang 1 pasien yang berventilator harus 1 perawat.. nah..itu masih istilahnya inilah itu maximallah ya..itu harusnya kalau sudah pakai mesin satu pasien 2 perawat tapi kenyataannya 3 perawat 8 pasien dengan ventilator 6 terkadang 7, memang itu belum ideal” [P11, L79-84] Pernyataan diatas juga di dukung oleh partisipan lainnya yang menyatakan bahwa kurangnya ketenagaan perawat membuat partisipan jadi lama pulang karena banyak tindakan keperawatan yang harus dilakukan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut: “kalau itu keluarga ga pernah protes, hanya bertanya kenapa lama pulang?.. ya udah kita kasih tau ada tugas yang harus diselesaikan dan harus selesai hari ini,” [P11, L263-265] Kurangnya tenaga keperawatan membuat tindakan keperawatan tidak dapat dijangkau semuanya. Pernyataan tersebut seperti yang diungkapkan oleh partisipan dalam kutipan percakapan berikut: “kalau masalah keperawatan itu saja mungkin jumlah tenaga tidak sesuai sama jumlah pasien jadikan kadangkan kita tau kalau perawatan ini mestinya seperti itu tapi kadang waktu ga ada, tenaga ga ada, inikan contohnya pasien kami sekarang 8 yang dinas hanya 5 orang udah disitu kepala ruangan udah disitu ketua Universitas Sumatera Utara grup jadi pasien.. sebenarnya kita tau bagaimana keperawatan itu tapi kadangkan ga terjangkau semua.. tidak terjangkau semua seperti itulah, mungkin kalau boleh ya tenagalah ditambah..”[P9, L95-101] 5 Prilaku yang berkaitan dengan konflik Prilaku yang berkaitan dengan konflik dapat menjadi hambatan bagi partisipan dalam mengelola konflik di ruangan perawatan intensif adalah karena ada sifat perawat yang tidak mau tahu mengenai masalah kesehatan pasiennya. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan percakapan partisipan berikut: “pengalaman saya walaupun banyak pelatihan penerapannya kurang inisiatifnya kurang, apanya pun kurang ibarat pasien pun masuk dengan penurunan kesadaran itu karena apa sering masuk ICU karena jelek-jelek masuk ICU, ga taunya hanya karena hipoglikemi hanya melihat masalah dia karena hanya melewatkan masalah dia tidak mencari kenapa gitu” [P4, L381-385] Prilaku perawat yang juga dapat menjadi hambatan dalam mengelola konflik di ruang perawatan intensif adalah sifat tidak mau tahu. Sifat tidak mau tahu terhadap suatu tindakan yang baru saja dilakukan oleh seorang perawat, contohnya baru saja pemasangan infus langsung bengkak di daerah pemasangan infus namun perawatnya tidak mau tau dengan hasil pekerjaaannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan percakapan partisipan berikut: “Contoh menginfus dan memberikan obat, menyuntiklah contohnya, dia tidak mau tau, terus ada masalah.. ya baru dia infus langsung terus bengkak, dia tidak mau tau, yang penting selesai pekerjaannya menginfus, itulah konflik banyak di ruangan ini” [P5, L17-20] Sifat keras yang dimiliki oleh seorang bawahan juga dapat menjadi sumber konflik di ruangan perawatan intensif dimana dalam mengatur jadwal dinas dia Universitas Sumatera Utara tidak mau mempunyai beban yang sama dalam hal jadwal dinas. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan tiga partisipan berikut: “ada, tapi masih bisa kita atasi kita rasa paling di ICU anak ya, dulu ya.. itu bu adi itu dulu, aku dinas, kog aku terus dinas minggu gitu, kak.. ada bawa ke sini daftar dinas, kak adi 2 kali cuma jaga minggu, memang yang lain satu kali, iyalah mereka satu kali tapikan mereka dinas malam juga, mungkin libur dinas malamnya kena di hari minggu, gitu juga dulu sama bu adi dulu, dia merasa karena pagi 2 yang lain engga, dia ga liat mereka kenanya di malam, kenanya di libur, itulah paling keras ya itu..” [P10, L163- 169] “contohnyakan dia hanya mau menang sendiri daftar dinas aja kalau memang ada kalau ada 4 hari minggu kalau dia sudah kena 2 yang lain kena 1 itu dia langsung protes tapi kalau kita dekati dia, ini seperti ini, tapi kadang dia menerima juga seperti itu” [P9, L123126] “nah itu memang selalu ya..misalnya di dalam kita membimbing bawahan kita, di dalam suatu pembagian tugas itu memang selalu terjadi, salah satunya di jadwal dinas, nah..disitu ada selalu teman yang merasa tidak seimbang di dalam pembagian tugas misalnya di dalam segi shift sore malam.. ada yang merasa dia terlalu banyak shiftnya sehingga ia mengatakan dan mengadakan selalu ee pengajuan tidak setuju dengan yang dilakukan tenaga jadwal dinas tersebut.” [P11, L29-34] Secara keseluruhan, matrik hambatan dalam mengelola konflik dapat dilihat pada tabel berikut ini: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

4.3.3 Dukungan dalam mengelola konflik