perkebunan besar. Konflik ini dinamai konflik antara tanah seribu dengan tanah afdeling
19
. Sebagian lahan Desa Rumah Sumbul merupakan bekas lahan perkebunan tembakau pada masa kekuasaan Belanda. Setelah Belanda angkat kaki dari Sumatera
Timur, lahan perkebunan tembakau tersebut diakui dimiliki oleh perkebunan besar swasta. Konflik bermula ketika masyarakat hendak membangun perumahan di lahan
desa dilarang oleh pihak perkebunan, sehingga memunculkan konflik yang tidak dapat dihindari
20
. Untuk mengatasi konflik ini, beberapa masyarakat pergi menghadap pemerintah setempat. Hasil penyelesaian tersebut menyatakan
masyarakat desa menang atas tanah tersebut, dan tanah afdeling dibagi bagi ke setiap masyarakat desa mendapat 2 ha
21
2.2 Komposisi Penduduk
, Masyarakat yang telah memiliki lahan tersendiri di sekitar area desa tidak berhak mendapatkan pembagian tanah dari bekas perkebunan
tembakau tersebut.
Masyarakat kuta sebelum terbentuk menjadi Desa Rumah Sumbul merupakan bagian masyarakat yang homogen, kebanyakan masyarakat Suku Karo.
Kesamaan masyarakat di desa ini karena wilayahnya berada pada posisi berdekatan dengan Desa Bangun Purba dan Desa Delitua yang memiliki mayoritas penduduk
Suku Karo
22
19
Wawancara, dengan Tolap Barus, Desa Rumah Sumbul, 17 April 2014.
.
20
Konflik yang terjadi berupa pemukulan dan tindakan lainnya yang kurang baik. Masyarakat melakukan pembakaran dan berlaku anarkis sehingga membuat desa menjadi tidak
terkendali. Pihak perkebunan swasta menanggapinya dengan menaikkan perkara tersebut ke ranah hukum.
21
Ibid.
22
Jarak Desa Rumah Sumbul dengan Desa Bangun Purba dapat ditempuh selama 6 jam
Kedelapan kuta tersebut merupakan bagian dari marga yang lahir dan mendominasi. Struktur masyarakat dalam adat karo yang wilayahnya disebut Desa
genealogisketurunan. Desa Genealogis merupakan kesatuan masyarakat dimana para anggota masyarakatnya terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian
darah atau kekerabatan
23
Jumlah rata-rata kepala keluarga setiap kuta kira-kira 15 kk, dengan jumlah penduduk kira-kira 75 jiwa. Jika digabungkan kedelapan kuta, jumlah keseluruhan
penduduk kira-kira 600 jiwa. Satu sama lain hidup rukun dan mampu memelihara adat istiadat karena masih dalam satu lingkup suku yang sama
.
24
Dari kedelapan kuta, terdapat marga yang dominan di setiap masing-masing kuta. Dari kedelapan kuta tersebut, dapat diurutkan marga yang dominan dari urutan
marga terbanyak sampai terkecil adalah sebagai berikut .
1. Marga Barus dari empat kuta 240 jiwa
2. Marga Tarigan dari tiga kuta 165 jiwa
3. Marga Ginting dari dua kuta 120 jiwa
25
Marga mayoritas dari kedelapan kuta adalah marga Barus yang meliputi empat kuta yakni Kuta Tanjung Jahe, Kuta Surbakti, Kuta Rumah Perira, dan Kuta Sigempual
Ginjulu. Di urutan kedua terdapat Marga Tarigan yang meliputi tiga kuta yakni Kuta Lau Perira, Kuta Solu dan Kuta Sigempual Ginjahe, dan yang terakhir terdapat Marga
perjalanan dengan berjalan kaki. Sedangkan Jarak Desa Rumah Sumbul dengan Desa Delitua dapat ditempuh selama 8 jam perjalanan dengan berjalan kaki.
23
Samosir Djamanat, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung : CV Nusantara Aulia, 2003, hlm 82.
24
Wawancara, dengan Tukiman Ginting, Desa Rumah Sumbul 12 April 2015.
25
Ibid.
Ginting yakni Kuta Bintang Asi dan Kuta Langguren
26
Penduduk kuta yang homogen memiliki kepercayaan yang sama yakni kepercayaan animisme dan dinamisme, dan dalam masyarakat Karo disebut Pemena
agama asli Karo. Pemena merupakan kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural dan kekuatan adikodrati. Seseorang dapat dikatakan pemimpin agama
atau spiritual bila memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia supranatural dan menghubungkanya dengan alam fana. Peminpin spiritual masyarakat kuta disebut
Guru Sibaso. .
Masyarakat dari kedelapan kuta hanya sebagian kecil dapat mengecap pendidikan. Dari Kuta Rumah Perira terdapat 4 orang yang menempuh pendidikan di
Sekolah Bumi Putera. Letak sekolah berada di Desa Gunung Manupak A memiliki jarak 5 km dari Kuta Rumah Perira
27
Dalam mempertahankan budaya, biasanya masyarakat dari setiap kuta berkumpul pada waktu yang telah ditentukan, untuk mendengar ajaran dan petuah
dari penghulu dan petinggi kuta dengan membahas cerita-cerita rakyat yang ada di sekitar kuta. Mereka juga mengadakan syukuran atas panen yang sedang berlangsung
atau meminta doa kepada roh-roh yang telah meninggal agar diberi panen yang . Kebanyakan warga kuta yang berusia produktif
enggan untuk mengecap pendidikan. Di samping biaya, faktor jarak dan lamanya pendidikan membuat penduduk tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka.
26
Wawancara, dengan Beras Barus, Desa Rumah Sumbul, 13 April 2015.
27
Wawancara, dengan Kueh Saragih, Desa Rumah Sumbul 16 April 2015.
berlimpah dan kesehatan serta umur yang panjang
28
2.3 Mata Pencaharian