musim penghujan juga membuat petani sulit menyadap pohon karet karena keadaan tanah yang licin dan faktor fisik pohon karet yang rentan tumbang dapat membuat
kerugian dari kondisi kesehatan petani sendiri. Cara mensiasati dari keadaan musim penghujan ini, tindakan yang dilakukan petani yakni dengan menunggu hujan reda.
Sehingga membuat jadwal penyadapan dapat dilakukan pada sore hari. Posisi waktu sadap sore hari menjadikan keluaran getah karet semakin minim.
Jenis bibit yang dihasilkan petani bervariasi dan jumlah produksi tanaman karet yang dihasilkan petani karet cendrung tidak mengalami peningkatan. Bibit jenis
Karet Kuta masih tetap mendominasi di Desa Rumah Sumbul sampai tahuun 1995. Hal ini dibiarkan tanpa ada peremajaan karena tingkat pendidikan yang menjadi
petani karet hanya mencapai tingkat SMP. Sehingga wawasan untuk menambah produksi getah karet dari penanaman klon unggul dan ouklasi tidak merata diterapkan
di Desa Rumah Sumbul. Tujuan lain petani mempertahhankan bibit karet kuta karenna pohon ini lebih unggul dan kokoh dalam menghadapi keadaan curah hujan
meningkat dan erosi.
6.2.2 Keuntungan Ekonomi
Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya peralihan karet ke kelapa sawit yakni, keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi yang dimaksud dengan terjadinya
fluktuasi harga karet yang lebih dominan penurunan harga. Peralihan yang terjadi pada tahun 1995 sebagai batas akhir penulisan dan awal penanaman kelapa sawit
menimbulkan perbandingan keuntungan pertanian karet dengan keuntungan kelapa sawit dimulai dari biaya penyiapan lahan sampai produksi hasil. Keuntungan
ekonomi pertanian karet semakin melemah bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan yang majemuk pada masyarakat dan tersedianya obat-obatan tanaman dan
pupuk. Perkembangan karet semakin membutuhkan perawatan yang maksimal dengan melibatkan keintensan pupuk yang mengurai keuntungan.
Budidaya karet sebelum priode 1975 merupakan tanaman pengganti. Peran tenaga kerja juga masih bentuk kekeluargaan yang mengurangi beban petani.
Pertanian durian, cabe, dan padi pada pengerjaanya rentan terhadap hama penyakit yang mengurai minat petani untuk memperpanjang budidaya tanaman karet tersebut.
Membahas harga perbandingan penghasilan karet dengan kelapa sawit telah dibahas pada tabel di bawah ini.
Tabel 41 Perbandingan Penghasilan Karet Dengan Kelapa Sawit Per Hektar Per Bulan
Pada Tahun 1995
No .
Nama Karet
Kelapa Sawit Penjualan
Biaya Produks
i Penghasila
n Penjuala
n Biaya
Produks i
Penghasila n
1. Jenda
Br Karo
1.286.061, 6
124.333 1.161.728, 6
1.100.00 41.000
1.059.000
2. Ali
Gintin g
1.407.429, 6
124.333 1.283.096, 6
979.000 41.000
938.000
3. Murni
Br Sitepu
1.422.668 124.333 1.298.335
1.078.00 41.000
1.037.000
4. Benar
Gintin g
1.476.001, 2
124.333 1.351.668, 2
1.211.10 41.000
1.170.100
5. Jam
Sitepu 2.845.336
124.333 2.721.003 1.067.00
41.000 1.026.000
Total 8.437.496,
4 7.815.831,
4 5.435.10
5.230.100 Rata-Rata
1.687.499 1.563.166
1.087.02 1.046.020
Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul
Dari tabel 41 di atas menggambarkan adanya selisih harga dari kedua komoditi di atas pada tahun 1995. Penghasilan dari kedua komoditi tersebut
mengarah kepada tingkat perbandingan harga. Komoditi karet lebih tinggi tingkat penghasilannya dengan skala lahan karet per hektar per bulan. Besaran penjualan
yang diperoleh petani karet rata-rata Rp. 1.563.166,- dengan penghasilan Rp. 7.815.831,4. Berbeda dengan komoditi kelapa sawit berdasarkan per kilogramnya
dihargai Rp.550,- besaran penjualan yang diperoleh Rp.1.087.020,- dengan penghasilan Rp. 1.046.000. Selisih penghasilan dari kedua komoditi ini sebesar Rp.
517.146,-. Selain perbedaan pada penjualan dan penghasilan terdapat perolehan perbedaan juga
pada biaya produksi. Modal yang digunakan petani dalam mengelola pertanian kelapa sawit pada tahun 1995 yaitu: biaya pembelian bibit sebesar Rp. 50,- x 120 jumlah
pohon rata rata setiap hektar maka diperoleh Rp. 6.000,- konsumsi untuk tenaga upahan Rp. 2.500 x 2 hari = Rp.5.000,-, upah tenaga kerja Rp.10.000,-orangbulan,
biasanya menggunakan 2 orang tenaga kerja maka Rp.20.000,-. Upah pengangkutan hasil karet dari lahan pertanian ke pasar per 1000 kg sebesar Rp. 100,-. menjadi Rp.
100.000,- Dari keseluruhannya maka total biaya produksi ialah:Rp.41.000-bulan. Sedangkan biaya produksi dari karet sebesar Rp. 83.583,- terdapat selisih sekitar
Rp.42.583,-. Perbedaan nilai ekonomi di atas tidak semata mata menyudutkan komoditi kelapa sawit, hal ini dapat dilihat berdasarkan biaya produksi serta
pemasaranya. Secara matematis harga kelapa sawit berada di bawah karet dengan selisih
Rp.517.146,- secar luasan per hektar. Perolehan ini memungkinkan dengan penanaman dan pemanenan dini pada kelapa sawit. Petani karet mulai menanam
kelapa sawit pada tahun 1990-an sehingga posisi waktu panen kelapa sawit sekitaran 3-4 tahun. Pemanenan dini disebut buah pasir dengan rata-rata berat kelapa sawit
TBS berkisaran 0,5-1 kg. Keadaan ini juga belum termasuk sistem budidaya kelapa sawit yang lebih efesien. Pemaparan penghasilan di atas masih dalam cangkupan per
hektar sehingga terlihat posisi karet berada selisih di atas kelapa sawit. Keadaan ini belum dimasukkan dengan prilaku petani yang telah di bahas di atas dimana petani
karet memperkosa produksi karet dengan melakukan penyadapan melebihi waktu rata-rata. Petani karet dapat melakukan penyadapan 4-5 kali dalam seminggu
sehingga memperoleh volume debit produksi bertambah. Posisi ini terjadi terlebih kepada petani yang hanya memiliki lahan 1-1,5 ha saja. Dari umur pohon kedua
komoditi ini berbeda jauh. Tanaman karet sudah memasuki batas-batas produksi karena umur tua pada tahun 1995 sedangkan posisi kelapa sawit masih dalam tahap
belajar berbuah sehingga monopoli keunggulan berada pada komoditi karet. Namun
dapat disimpulkan kelapa sawit lebih unggu dari segi harga, proses pemaaran, dan budidaya yang belum dapat dibandingkan melihat posisi umur kedua komoditi yang
berbeda.
6.2.3 Sensitifitas Tanaman Karet Terhadap Penyakit