Modal dan Tenaga Kerja

terjadi pergeseran karet olah plan sheet ke slab. Secara keseluruhan masyarakat desa tidak mengolah karet ke bentuk plan sheet pada periode ini. Alasan pihak perusahaan dengan penampung produksi menganggap karet olah slab lebih efesien mulai dari penyadapan ke pemasaran sehingga mempercepat proses pengangkutan.

4.5 Modal dan Tenaga Kerja

Sebagai salah satu faktor produksi, modal sangat diperlukan dalam usaha pertanian.Tanpa modal usaha pertanian tidak bisa dilakukan, paling tidak modal dibutuhkan untuk membeli peralatan pertanian dan upah tenaga kerja. Kecukupan modal mempengaruhi ketepatan waktu dan ketepatan takaran dalam penggunaan masukan. Artinya, keberadaan modal sangat menentukan tingkat atau jenis teknologi yang diterapkan. Kekurangan modal menyebabkan kurangnya masukan yang diberikan sehingga menimbulkan risiko kegagalan atau rendahnya hasil yang akan diterima. Masayarakat Desa Rumah Sumbul tidak memerlukan modal yang besar dalam pertanian karet terutama pada periode 1955 sampai 1965, hal ini karena tidak ada perawatan khusus untuk perawatan karet dan fasilitas pertanian belum masuk ke desa. Modal yang dikeluarkan petani karet pada periode 1955 sampai 1965 hanya untuk pemenuhan tenaga keluarga selama mencari dan mengambil bibit di sekitaran kebun karet. Untuk memenuhi asupan tenaga selama mengumpulkan bibit karet, biasanya petani menyiapkan bekal. Bekal yang diperoleh biasanya hasil pendapatan dari penjualan barang pertanian di pusat pasar dalam hal ini Pasar Amplas. Bekal seperti, beras, ikan, sayur, gula, kopi dan kebutuhan pangan lainnya. Penanaman karet tergolong sangat praktis dan tidak mengeluarkan banyak biaya terutama ketika posisi karet hanya dijadikan pembatas lahan pada periode 1955. Hal ini dilakukan dikarenakan infrastruktur jalan raya yang tidak bersahabat sehingga memperkecil harga produksi lewat para penampung yang datang dari luar daerah. Pohon karet tumbuh di lahan-lahan penghulu hasil dari bibit yang diberikan Belanda. Pada periode 1975 dengan membaiknya infrastruktur jalan, masuknya fasilitas pertanian ke desa seperti pupuk, obat tanaman, teknologi pertanian dan harga karet yang melambung tinggi, penanaman karet semakin membutuhkan modal yang banyak. Ada beberapa peralatan yang digunakan petani dalam mengelola karet sebagai berikut :parang goluk, batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember. Parang goluk, berguna untuk membabat semak belukar yang mengelilingi karet. Parang terbuat dari besi dan tangkainya terbuat dari kayu. Panjang kira-kira 40 cm. Batok kelapa berguna untuk menampung susu lateks yang telah disadap agar tidak jatuh ke tanah. Terdapat di kede-kede kelontong sebagai kelapa yang telah selesai diperoses. Pisau deres yang dipegang dengan dua tangan yang ujungnya membentuk sudut berbentuk huruf c memiliki ketajaman seperti pisau bertujuan agar dapat mengikis dan merobek bagian pohon supaya mendapatkan susu lateks. Cara menyadap kulit karet tidak dilakukan kuat-kuat apalagi sampai tertulan atau mengenai sisi dalam pohon yang menyebabkan mengurangi debit lateks. Senter berguna untuk menerangi pohon ketika petani melakukan penyadapan jam 5 pagi. Petani yang memiliki luas lahan karet lebih dari 5 ha dengan tidak menggunakan tenaga kerja upahan menyiasatinya dengan melakukan penyadapan lebih pagi agar semua lahan dapat diselesaikan sebelum siang hari tiba yang dapat mengurangi produksi lateks. Goni digunakan untuk mengumpulkan lateks yang telah menjadi lumb, tahapan pekerja karet membagi dua waktu dalam satu hari. Setengah hari dari jam 05.00-11.00 dilakukan penyadapan sedangkan tahapan kedua 13.00- 17.00 melakukan pengutipan lumb dari wadah batok kelapa yang langsung dimasukkan ke dalam goni. Tali, alat ini digunakan untuk memperoses karet dari lumb menjadi slab. Petani juga menggunakan cadangan jika tali yang diharapkan terlupa tidak dibawa ke lahan pertanian. Tali lainnya diambil berupa bagian akar akar yang ada di lahan pertanian, sehingga mengurangi beban penambahan nilai modal. Ember digunakan untuk menampung cairan lateks yang tidak mengendap menjadi lumb. Cairan ini juga nantinya digunakan sebagai perekat antara lump yang satu dengan lainnya sehingga membentuk slab dan mempermudah dalam pengangkutan. Peralatan dalam pertanian karet ini akan diganti satu kali enam bulan. Pada periode 1955 sampai 1965 terkait dengan harga peralatan karet tidak disebutkan satu persatu namun seperti parang goluk, batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember biaya pembelian peralatan petani tersebut sebesar Rp.300,- dibagi 6= Rp.50,-, 65 65 Pemberian upah yang didasari nilai kekeluargaan masih sering dijumpai pada periode 1965 sampai 1975. Namun pemilik lahan walaupun didasari kekeluargaan, tetap memberi sebungkus rokok nipah kepada tenaga kerja tersebut sebagai tanda perekat nilai kekerabatan. Besaran harga setiap bugkusnya dihargai Rp.5,- . Untuk pembeliaan bibit tidak ada dikeluarkan biaya sama sekali begitu juga mempersiapkan lahan dan pemeliharaan karet tidak diperlukan tenaga upahan. Lahan yang luas beberapa petani memakai tenaga upahan namun masih bersifat kekeluargaan. Biaya yang dikeluarkan hanya berupa memberi makan siang tenaga upahan tersebut. Untuk memberi makan tenaga upahan tersebut dengan rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak lima orang dengan biaya konsumsiminggu Rp.100,- dikalikan 4 = Rp.400,-bulan, lalu dikalikan kembali dengan jumlah tenaga upahan 5 orang. Petani juga menyediakan sebungkus rokok nipah dengan besaran harga Rp.5,-. Pada periode ini pengupahan berupa pengangkutan belum ada, adapun petani memundak sendiri hasil karet tersebut ke pusat pasar. Dari keseluruhannya maka total biaya produksi per hektar ialah : Rp. 855,-bulan. Pada tahun 1975 sampai 1985 harga parang goluk, batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember mulai dibebankan kepada biaya produksi. Total harga keseluruhan ialah peralatan Rp:80.000,- dibagi 6= Rp.13.333,-, Modal yang digunakan petani pada tahun 1975 sampai 1995 yaitu: biaya pembelian bibit sebesar Rp. 5,- x 450 jumlah rata rata setiap hektar maka diperoleh Rp. 2.250,- konsumsi untuk tenaga upahan Rp. 5.000 x 7 = Rp.35.000,-, upah tenaga kerja Rp.15.000,-orangminggu, biasanya menggunakan 2 orang tenaga kerja maka Rp.30.000,-. Upah pengangkutan hasil karet dari lahan pertanian ke pasar sebesar Rp. 3.000,-. Dari keseluruhannya maka total biaya produksi per hektar ialah:Rp,83.583- bulan. Semakin majemuknya teknologi pertanian dan semakin kompleks proses tahapan premajaan karet membuat pada periode 1995 terjadi peningkatan modal. Pada periode ini harga parang goluk, batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember mulai dibebankan kepada biaya produksi. Total harga keseluruhan ialah peralatan Rp:110.000,- dibagi 6= Rp.18.333,-, Modal yang digunakan petani pada tahun 1995 yaitu: biaya pembelian bibit sebesar Rp. 50,- x 450 jumlah rata rata setiap hektar maka diperoleh Rp. 22.500,- konsumsi untuk tenaga upahan Rp. 5000 x 7 = Rp.35.000,-, upah tenaga kerja Rp.15.000,-orangminggu, biasanya menggunakan 3 orang tenaga kerja maka Rp.45.000,-. Upah pengangkutan hasil karet dari lahan pertanian ke pasar per 100 kg sebesar Rp. 3.500,-. Dari keseluruhannya maka total biaya produksi per hektar ialah:Rp,124.333-bulan. Jasa tenaga kerja semakin besar pengaruhnya di Desa Rumah Sumbul terhadap pertanian karet selama kurun waktu 42 tahun dikarenakan dua faktor yaitu pertama , komersialisasi pertanian karet yang semakin menguntungkan masyarakat desa dan kedua, luasnya lahan pertanian karet membuat tenaga keluarga tidak dapat menopang kembali, sehingga dirasakan jasa tenaga kerja sewa sangat dibutuhkan. Tenaga kerja dalam pertanian karet berdasarkan pergerakan dinamika melalui sistem budidaya. Beberapa sistem budidaya yang berperan aktif memperdayakan tenaga kerja sewa yakni bagian pembibitan, bagian persiapan lahan, bagian penanaman, bagian pemeliharaan, bagian produksi dan pengolahan pasca panen. Bagian yang pertama yakni pembibitan, kaitanya dengan kebutuhan tenaga kerja sewaan. Pada tahun 1955, keberadaan karet hanya diapresiasi masyarakat sebagai pembatas lahan saja sehingga karet terisolasi dari tenaga kerja sewaan. Penduduk yang memiliki sedikit lahan karet dari bagian warisan, menanggapinya dengan acuh. Semua kegiatan yang mengandalkan tenaga termasuk dalam pembibit karet dikerjakan seadanya dari tenaga keluarga 66 66 Wawancara, dengan Japen Tarigan, Desa Rumah Sumbul, 25 April 2015. . Dalam proses pengambilan bibit di pinggiran perkebunan desa maupun di perkebunan besar Bangun Purba dikerjakan melalui 2 orang tenaga kerja keluarga, biasanya seorang ayah dan seorang anak. Jadwal pengambilan bibit karet tersebut, bersamaan dengan hari pekan Bangun Purba. Setelah proses pengambilan bibit selesai, selanjutnya yakni penyemaian, untuk jumlah tenaga kerja ini hanya dibutuhkan seorang yang mengerjakanya, biasanya seorang ayah yang mengambil alih pekerjaan tersebut. Terjadi perubahan priode 1975 sampai 1985 dalam pembudidayaan pembibitan karet. Tenaga kerja mulai bertambah dengan mengandalkan sistem kekeluargaan desa. Tenaga kerja kekeluargaan ini berjumlah 5 orang tanpa sistem gaji hanya menanggung makan siang pekerja. Dalam tenaga kerja penuaian, adanya pertambahan anggota berjumlah 2 orang yakni bapak dan anak. Pada tahun 1990 sampai 1995 budidaya pemilihan bibit semakin efesien dalam waktu untuk pengerjaanya. Bibit pada masa itu sudah sistem membeli bibit yang telah disiapkan sebelumya. Tenaga kerja sewaan pada priode ini sudah menggunakan sistem uang dalam membayar jasanya. Biasanya dibutuhkan 3 orang tenaga kerja dalam menerima bibit ini, dengan klasifikasi 2 orang tenaga kerja keluarga yang tidak digaji dan satu orang tenaga kerja sewaan. Sistem penggajian yang dilakukan sistem harian 67 Bagian pengolahan karet dalam kaitan terhadap tenaga kerja yang kedua, yakni bagian persiapan lahan. Pada tahun 1955, sistem budidaya persiapan lahan hanya menggunakan satu tenaga kerja dari tenaga kerja keluarga. Sistem budidaya persiapan lahan dengan melakukan penanaman tumpang sari. Area yang disediakan, yakni hasil dari penanaman usai panen padi tiba. Sedangkan pada priode 1975 sampai 1985 dengan sistem jalan raya yang sudah direnovasi sehingga banyak tengkulak yang menampung produksi karet rakyat membuat harga dan kualitas karet mulai di perhitungkan. Pada masa ini dalam mempersiapkan lahan yang masih dalam bentuk hutan, tenaga kerja yang dikerahkan sebanyak 15-20 jiwa. Mengingat teknologi yang digunakan dalam penebangan masih sangat sederhana. Tenaga kerja ini berasal dari satu kekeluargaan di desa yang sama. Sistem penggajian yang dilakukan hanya dengan memberi makan pada siang hari. Sodaritas dan sosial yang masih tinggi menguntungkan petani dalam menghemat budidaya karet terkhusus di bidang persiapan lahan. Hutan yang dibuka sampai selesai masa pembersihan membutuhkan selang waktu 2-3 bulan. Pada tahun 1990-1995 terjadi lagi perubahan dalam manajemen menggarap tenaga kerja sewaan. Sistem uang sudah sangat pekat pada priode ini sehingga dalam mempersiapkan lahan karet, sistem penggajiannya dengan menggunakan uang. Masuknya uang dalam manajemen penggajian tenaga kerja sewaan membuat pengurangan jumlah anggota yang bekerja. Pada priode ini pemilik . 67 Opcit. lahan pertanian hanya mampu mendatangkan 10 orang dalam pembukaan hutan 68 Bagian pengolahan karet dalam kaitan terhadap tenaga kerja yang ketiga, yakni bagian penanaman karet. Pada priode tahun 1955, tenaga kerja yang diperlukan dalam penanaman karet hanya seorang berasal dari keluarga. Peran ini diambil oleh ayah. Hal ini dapat dilakukan mengingat bibit karet tidak ditanam secara serius hanya diletakkan begitu saja di lahan bekas pertanian padi tersebut. Jarak penanaman bibit yang satu dengan yang lain tidak beraturan. Pada priode1975 sampai 1985 terlihat mulai ada keseriusan para pemilik lahan karet. Jumlah tenaga kerja yang diturunkan sebanyak 15-20 orang. Sedangkan pada tahun 1990-1995, biaya budidaya karet semakin melunjak dan mulai membuat resah petani karet. Tenaga kerja yang diturunkan berjumlah 5-8 orang. Sistem penanaman sudah menggunakan jarak yang teratur, bibit yang unggul membuat dibutuhkanya biaya yang lebih banyak lagi. . Bagian pengolahan karet dalam kaitan terhadap tenaga kerja yang keempat, yakni bagian pemeliharaan, produksi, pengangkutan dan pengolahan pasca panen. Pada priode tahun 1955, tenaga kerja dari keempat bagian budidaya di atas, diusahakan dalam bagian anggota keluarga. Tindakan ini merupakan hasil dari kuantitas karet yang masih minim. Dalam satu hektar lahan hanya terdapat pohon karet 60-100. Tenaga kerja yang dibutuhkan berjumlah 1-2 anggota keluarga. Berbeda pada priode 1975-1985 budidaya karet seperti pemeliharaan, selama 5-6 tahun masa karet bertumbuh terdapat 3 kali pemeliharaan dilakukan dengan 68 Wawancara, dengan Kueh Saragih, Desa Rumah Sumbul, 15 April 2015. mendatangkan tenaga kerja kekerabatan sebanyak 20-25 orang. Sedangkan tenaga kerja produksi hanya memakai tenaga keluarga berjumlah 3 orang. Berbeda dengan tenaga kerja dalam mengolah karet pasca panen hanya satu orang yang terpakai, tindakan yang dilakukan hanya dengan memasukkan karet ke mesin penggiling. Bentuk olah karet yang masih dalam bentuk plan-sheat memudahkan tenaga kerja dalam pengangkutan hasil olah karet tersebut sebelum di pasarkan. Tenaga kerja yang dibutuhkan yakni tenaga kerja keluarga berjumlah satu orang. Pada priode tahun 1990-1995 bagian pemeliharaan, produksi, pengolahan karet pasca produksi dan pengangkutan, semakin memberatkan petani karet dengan biaya yang terus meningkat. Bagian budidaya pemeliharaan, dibutuhkan biaya pemupukan, biaya penyemperotan, biaya pembabatan, peremajaan, pemberantasan hama penyakit, sistem budidaya yang sangat rentan sensitif membuat banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk penanganan masalah tersebut. Biaya pemeliharaan selama 6 tahun membutuhkan 18 kali tenaga kerja sewaan didatangkan. Jumlah tenaga kerja setiap masuk ke pertanian karet berjumlah 3 orang. Tenaga kerja produksi berjumlah 2 orang, pengolahan karet panca produksi 2 orang dan pemasaran 2 orang.

4.6 Pemasaran