Pertanian Karet Rakyat Di Desa Rumah Sumbul Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang 1953-1995

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Ali Ginting Umur : 76 tahun

Pekerjaan : Agen Tokeh Getah Alamat : Desa Tiga Juhar

2. Nama : Benar Ginting Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontong Alamat : Desa Rumah Sumbul

3. Nama : Beras Barus Umur : 79 tahun Pekerjaan : Petani


(2)

4. Nama : Benar Ginting Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontog Alamat : Desa Rumah Sumbul

5. Nama : Dison Perangin-Angin Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontog Alamat : Desa Tiga Juhar

6. Nama : Jam Sitepu Umur : 73 Tahun Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

7. Nama : Jenda Br Karo Umur : 42 Tahun

Pekerjaan : Bidan Desa Rumah Sumbul Alamat : Desa Rumah Sumbul


(3)

8. Nama : Kueh Saragih Umur : 80 Tahun Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

9. Nama : Murni Br Sitepu Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Tokeh karet olah Slabdan Petani Alamat : Desa Rumah Sumbul

10.Nama : Nueh Ginting Umur : 75 Tahun Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

11.Nama : Nini Br Surbakti Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani


(4)

12.Nama : Pinter Tarigan Umur : 70 Tahun Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

13.Nama : Runggun Tarigan Umur : 71 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

14.Nama : Simula Br Sinuhaji Umur : 77 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kuta Surbakti

15.Nama : Suruhen Perangin Angin Umur : 59 Tahun

Pekerjaan : Petani


(5)

16.Nama : Japen Tarigan Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

17.Nama : Tukiman Ginting Umur : 85 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

18.Nama : Terang Barus Umur : 81 Tahun Pekerjaan : Petani


(6)

ampiran I:

Gambar I

Karet Okulasi di Desa Rumah Sumbul

Sumber: Koleksi Pribadi, Desa Rumah Sumbul, 12 Mei 2015 Gambar 2

Karet Okulasi Saat Beroperasi berproduksi berupa lateks


(7)

Lampiran II:

Alat-Alat Yang Dibutuhkan Dalam Budidaya dan Penyadapan Karet Gambar 3

Tempurung Sebagai Penampung Getah Lateks


(8)

Gambar 4

Pisau Deres, Alat Utama Dalam merobek Bagian Luar Pohon Karet Untuk Mendapatkan Lateks


(9)

Gambar 5

Goni, Berguna Untuk Tempat Pengumpulan Getah Lumb Yang Telah Mengeras


(10)

Lampiran 3

Prosses dan Hasil Penyadapan Produksi Karet Petani Saat Melakukan Penyadapan Karet

Gambar 6

Petani Karet Saat Melakukan Penyadapan

Sumber: Koleksi Pribadi, Desa Rumah Sumbul, 12 Mei 2015 Gambar 7

Produksi Karet Dalam Bentuk Karet Olah Slab


(11)

Lampiran 4

Karet Olah Slab Saat Terjadinya Pemasaran Dengan Terlebih Dahulu di Timbang dan Diangkut

Gambar-8

Proses Penimbangan dan Pengangkutan Karet Olah Slab


(12)

Lampiran 5

Keadaan Petani Memilih Melakukan Konversi Karet Ke Kelapa Sawit Gambar 9

Pemanenan Kelapa Sawit Membutuhkan Waktu Lebih Sedikit Sehingga Lebih Menguntungkan Daripada Karet


(13)

Gambar 10

Produksi Kelapa Sawit Saat Terjadinya Transaksi Pemasaran


(14)

DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU

Awan, Setya Mubyarto. Karet Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Penerbit Aditya Media Yogyakarta 1991.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press. 1985.

Indera. “ Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij 1883-1940”, dalam Tesis S2, belum diterbitkan. Jakarta : Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996.

Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta. 1990. Mongoensoekarjo Soepadiyo. Semangun Haryono. Manajemen Agrobisnis Kelapa

Sawit. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2003.

Mubyarto. Pengantar Ekonomi Pertanian . LP3ES. Jakarta : Anggota IKAPI. 1989. Penebar Swadaya Tim. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan

Pengolahan. Jakarta : PT Penebar Swadaya. 1993.

Proseding Konfrensi Negara Karet, Volume I, II, III, Medan. Medan : Balai Penelitian Sungai Putih. 1986.

Purba Hasim, Ginting Nurlisa, dkk. Hubungan Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten/Kota. Medan: CV. Mentari Persada. 2004.


(15)

Sadona, Sukirno. Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta : LP-FEUI.

Said, mohammad. Kuli Kontrak Tempo Dulu : Dengan Derita dan Kemarahannya.

Medan : Percetakan Waspada. 1977.

Sumarno, Edi. “ Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942”, dalam Tesis S2, belum Diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Univeritas Gajah Mada, 1998.

Suharjo, Habid, dkk. Bidang Tanaman Vadmecum Kelapa Sawit. Pematang Siantar: PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 1996.

Wahid, Asrul. “ Faktor Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengkonversi Lahan Karet Menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Asahan”, dalam Tesis S2, belum Diterbitkan. Medan : Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 1992.


(16)

BAB III

LATAR BELAKANG PERTANIAN KARET DI DESA RUMAH SUMBUL

Pada bab ini akan membahas berbagai faktor yang melatarbelakangi masuknya karet ke Desa Rumah Sumbul. Secara umum terdapat empat faktor yang melatarbelakangi yakni ketersediaan lahan, keuntungan ekonomi, infrastruktur yang mendukung, dan sistem budidaya karet yang lebih mudah dibandingkan dengan tanaman palawija. Pada tahun 1953 luas hutan mendominasi lahan pertanian berbanding 90% sehingga hutan dijadikan sebagai lahan mentah yang dapat dieksploitasi menjadi lahan pertanian karet.

Secara historis, awal keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul didasari atas kebijakan pihak Belanda yang memberikan bibit karet39 kepada penghulu-penghulu

kuta. Kueh Saragih menyatakan setelah Belanda angkat kaki dari Desa Rumah Sumbul terdapat beberapa area yang ditumbuhi oleh pohon karet yang sudah siap untuk diproduksi40. Menurutnya juga, awalnya pihak Belanda menyerahkan beberapa bibit karet untuk ditanami di area pertanian penghulu. Dalam hak penanaman karet tersebut, pihak Belanda hanya mempercayakan penghulu dan keluarganya yang menanam tanaman tersebut41

39 Bibit karet yang diberikan pihak Belanda berupa bibit tunas biji, dengan di bagikan kepada kedelapan pengulu kuta. Jenis bibit ini Karet Hevea Brasiliensis yang dibawa dari Desa Bangun Purba sebagai pusat bagian perkebunan karet pada waktu itu.

. Penghulu yang tunduk kepada Belanda mengawali

40Wawancara, dengan Kueh Saragih, 17 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

41 Belanda sangat paham tentang tiga komponen utama dalam sistem Kekerabatan Karo, yakni Sangkep Sitelu yang terdiri dari kalimbubu (kelompok pemberi gadis), anak beru (kelompok penerima gadis), dan senina/sembuyak (kelompok kerabat sendiri). Karet didistribusikan Belanda dimulai dari penghulu, dengan sistem Kekerabatan ini Belanda berharap karet dapat menyebar luas ke


(17)

masuknya Karet Hevea Brasiliensis ini ke Desa Rumah Sumbul.

Keadaan alam Desa Rumah Sumbul juga mendukung keberadaan dan perkembangan tanaman karet. Ketinggian desa ini dari permukaan air laut kira kira 350 s/d 600 meter, luas dataran rendah 1.300 ha. Curah hujan merata setiap tahun, dengan dua musim yakni: musim penghujan dan musim kemarau. Desa ini dialiri oleh tiga sungai yakni Sungai Batu Mukak, Sungai Gerpang, dan Sungai Belukum dengan lebar 8 m dengan panjang Sungai Batu Mukak 2,80 km42

Karet yang diserahkan kepada penghulu dan keluarga terdekat penghulu mengakibatkan tanaman ini berkembang cepat di kedelapan kuta yang menganut sistem kekerabatan Karo itu. Keluarga terdekat penghulu menjadikan pohon karet sebagai pembatas lahan pertanian. Sistem ladang berpindah yang diterapkan masyarakat kuta membuat lahan pertanian sering berpindah tangan begitu saja kepada lain pihak. Tindakan keluarga penghulu menjadikan pohon karet sebagai pembatas lahan pertanian, secara tidak sengaja diikuti oleh masyarakat lainya yang bukan dari sanak keluarga penghulu.

. Keadaan ini menjadi pendukung tumbuhnya tanaman dengan baik di area desa tersebut.

Untuk memperjelas mengenai latar belakang masuknya pertanian karet di Desa Rumah Sumbul akan dibahas di sub bab selanjutnya.

penduduk kuta lainya. Baca juga, Wara Sinuhaji , “ Kehidupan Aron di Tanah Karo pada tahun 1890-1962”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Jakarta : Pasca Sarjana UI, 1998.Hal20.

42 Badan Pusat Statistik Kecamatan STM-Hulu Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2002.


(18)

3.1 Ketersediaan Lahan

Pembahasan mengenai ketersediaan lahan sudah disinggung sedikit di bagian pengantar sub bab. Hutan yang mendominasi lahan pertanian berbanding 90% dengan luas hutan 1890 ha. Adapun lahan pertanian dan pemukiman dengan luas 210 ha43

Lahan karet di desa beragam, ketika Belanda menyerahkannya kepada pihak penghulu seperti lahan yang disediakan secara khusus dari pihak Belanda sendiri, lahan dari pengulu, dan lahan dari warga yang meninggalkan kuta

memberi peluang untuk jenis tanaman lain di desa, itu terutama tanaman karet.

44

Lahan yang dijadikan tempat budidaya karet merupakan lahan hutan dan tumpang sari dengan tanaman palawija. Luas hutan yang belum dijamah oleh warga

kuta menjadi tempat penanaman karet. Berbeda dengan lahan palawija, karet yang ditanam biasanya dalam bentuk tumpang sari. Lahan padi yang telah selesai dipanen dijadikan lahan pertanian karet dengan system jerami dibiarkan tanpa dibersihkan agar menjadi pupuk alami terhadap karet muda tersebut. Selain sistem tumpang sari . Lahan yang disediakan oleh Kolonial Belanda memiliki ketentuan ketentuan tersendiri dari perkebunan besar karet. Ketentuan tersebut misal, lahan berada dekat dengan perkebunan Belanda untuk memudahkan dalam pengawasan dan berada di area datar. Kuta Surbakti dan Kuta Bintang Asi kerap menjadi tempat percobaan tanaman karet karena jarak kuta berdekatan dengan perkebunan.

43Wawancara, dengan Tolap Tarigan, Desa Rumah Sumbul 22 April 2015.

44 Warga yang pergi dari kuta yang lahanya diambil alih oleh penghulu karena diusir secara paksa oleh petinggi kuta akibat pelanggarang hukum berat yang telah ditentukan oleh penghulu dan pihak Belanda. Pelanggaran yang dimaksud melanggar hukum adat yang menikah dengan satu marga atau mencuri hasil pertanian penghulu.


(19)

lahan karet juga hasil konversi lahan palawija, dengan keuntungan lebih ekonomis, karena biaya penyiapan lahan seperti pembukaan hutan sudah dulu dilakukan ketika mempersiapkan tanaman palawija. Keuntungan dari lahan yang ditanam ketika membuka hutan yakni unsur hara tanah sangat subur sehingga karet dapat dimanfaatkan lebih lama dari lahan bekas palawija.

Seperti yang telah disebutkan proses pembukaan hutan untuk menjadi lahan pertanian karet membutuhkan proses yang sama dengan padi. Hutan yang akan diubah menjadi lahan pertanian karet dikerjakan secara bertahap. Tahap pertama menebang hutan. Batang pohon setelah ditebang dibiarkan begitu saja untuk beberapa waktu. Pekerjaan selanjutnya melakukan pemangkasan dahan-dahan pohon. Alat yang digunakan dalam penebangan dan pemangkasan dengan kapak dan pisau laras panjang. Pohon yang tumbang diusahakan terkena sinar matahari agar cepat kering dan agar mudah disusun dengan rapi nantinya tidak mengganggu dalam proses penanaman. Setelah selesai ditebang, petani membersihkan rumput dengan cara membabat dan membakar. Menunggu datangnya hujan pertama untuk membasahi lahan yang baru, bertujuan untuk menyegarkan lahan dari sisa sisa bakaran dan tanda proses penanaman karet siap dilakukan45

Proses pembersihan hutan selesai, selanjutnya yakni penanaman karet. Karet mudah tumbuh subur dari unsur hara tanah hasil pelapukan hutan yang masih berlimpah.

.


(20)

3.2 Keuntungan Ekonomi

Faktor lainya dari keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul adalah keuntungan ekonomi. Karet dihargai Rp. 600 per kilo sebanding dengan dua kaleng beras46

Keuntungan karet dari segi produksi. Hal ini dapat diketahui sejak mempersiapkan lahan. Lahan karet hasil konversi dari tanaman palawija memiliki keuntungan tanpa harus mengeluarkan biaya seperti pada lahan yang masih dalam bentuk hutan. Tenaga kerja hanya memaksimalkan tenaga anggota keluarga yang ada tanpa mengeluarkan biaya sewa tenaga kerja. Modal dalam membudidayakan karet hampir tidak ada. Bibit karet misalnya, hanya dipungut dan diambil begitu saja dari lahan karet yang ada

. Keuntungan ini dijadikan petani sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder seperti membeli televisi, radio, emas, dan sepeda. Harga tanaman sekunder lainya seperti cabe dan jagung, memiliki harga lebih tinggi dari karet, namun karena tanaman jenis itu sering gagal akibat hama penyakit busuk daun oleh Cendawan Phytophtora Infestano membuat harga jual tanaman ini menurun.

47

46Wawancara, dengan Terang Barus, Desa Rumah Sumbul, 22 April 2015.

, dan ditanam tanpa ada pemupukan dan perawatan terlebih dahulu. Dalam bidang manajemen, awal pertama karet ditanam, karet dibiarkan begitu saja oleh masyarakat kuta. Karet yang tumbuh dan dapat bertahan hidup menjadi keuntungan bagi petani. Karet juga tahan terhadap hama penyakit. Karet yang dapat tumbuh dan masa produktif untuk disadap menjadi keuntungan ekonomi

47 Masyarakat kuta mengambil karet di sekitar perkebunan dekat desa dan di Desa Bangun Purba. Warga memunguti karet dalam bentuk tunas biji dan tunas batang di sekitar pinggiran jalan perkebunan besar Desa Bangun Purba, tanpa ada pemilihan bibit yang berkualitas. Nyatalah karet di Desa Rumah Sumbul tidak mendapatkan hasil produksi yang maksimal.


(21)

dengan menambah nilai output. Dengan 1 hektar petani dapat mengumpulkan 30 kg karet setiap panennya.

Dilihat dari sisi ekonomi karet memiliki keuntungan. Karet tahan terhadap hama penyakit yang dapat membuat tanaman palawija gagal panen dan sudah ada penampung hasil produksi karet rakyat sudah ada yang menampung yakni para tengkulak Cina. Tanaman karet yang selama ini hanya dipandang sebagai penjaga lahan pertanian kini dilihat memiliki keuntungan lainya.

Hasil yang diperoleh petani karet dari satu hektar yakni 30 kg. Jumlah pohon yang terdapat dalam satu hektar sekitar 100-120 batang. Jumlah ini sebenarnya tidak maksimal karena biasanya jumlah pohon di dalam area satu hektar lahan, minimal berkisar 500 batang. Keuntungan karet ini didasari dari tindakan masyarakat yang menjadikan karet hanya sebagai tanaman sekunder, sehingga biaya budidaya dan produksi dapat di tekan sekecil mungkin. Hal ini berbeda dengan tanaman primer seperti padi, karena sebagai kebutuhan pokok masyarakat desa menyebabkan dalam pengolahannya membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.

3.3 Infrastruktur yang Mendukung

Faktor lain yang melatarbelakangi perkembangan pertanian karet di Desa Rumah Sumbul adalah infrastruktur jalan yang mendukung. Masa kolonial Belanda berkuasa di Sumatera Timur, jalan di Desa Rumah Sumbul telah dapat menghubungkan jarak dari Desa Rumah Sumbul ke Desa Bangun Purba dan Desa Delitua. Fasilitas ini diberikan kepada Desa Rumah Sumbul karena sebagian lahan


(22)

desa itu dijadikan sebagai lahan perkebunan tembakau. Jalan ini lebarnya tiga meter yang masih berbentuk tanah yang diratakan, dengan lebar 3 meter sehingga dapat dilalui oleh mobil gardang dua milik kolonial belanda48

Peran jalan sangat vital bagi kemajuan perekonomian ekonomi pertanian. Semakin dinamisnya dan tertatanya infrastruktur jalan, dipastikan mobilisasi ekonomi pun semakin meningkat. Meningkatnya mobilisasi ekonomi menambah meningkatnya perilaku ekonomi dalam jumlah dan variasi tindakan-tindakan ekonomi lainnya. Sistem ekonomi seperti produksi, distribusi dan konsumsi hanya dapat berjalan baik dengan bantuan dari infrastruktur jalan.

.

Peran jalan di Desa Rumah Sumbul menghubungkan empat titik yang penting dalam menciptakan ekonomi pertanian. Secara tingkat kebutuhan dapat diurutkan dari panjang jarak mulai dari urutan yang terkecil yakni

1. Jalan desa menuju perkebunan karet rakyat 2. jalan desa menuju pusat pasar

3. jalan menghubungkan Tengkulak Cina dengan petani karet 4. jalan menghubungkan desa dengan pusat kota, yakni Lubuk

Pakam dan Medan (20 km-40km)

Rute pertama, yakni jalan menuju perkebunan karet rakyat memiliki rute Desa Rumah Sumbul – Kuta Surbakti – Kuta Bintang Asi dengan jarak 5km. Rute kedua, yakni jalan besar menuju pusat pasar melalui rute Desa Rumah Sumbul - Desa Tiga Juhar dengan jarak kurang dari 1 km. Rute ketiga, jalan yang menghubungkan


(23)

Tengkulak Cina dengan petani karet dengan jarak asal tengkulak Cina dari Medan - Desa Rumah Sumbul sejauh 40 km. Rute keempat, jalan yang menghubungkan Desa Rumah Sumbul dengan Kota Bangun Purba dan Kota Delitua dengan jarak 20-40 km. Jalan buatan Kolonial Belanda memiliki rute yang panjang yakni sejauh 40 km yang menghubungkan Desa Rumah Sumbul dengan Kota Lubuk Pakam dan Kota Medan. Fasilitas ini dimanfaatkan oleh Tengkulak Cina sehingga dapat mencapai Desa Rumah Sumbul sebagai penampung hasil karet yang menguntungkan petani setempat.

Faktor jalan yang dapat menghubungkan Desa Rumah Sumbul dengan tengkulak sangat membantu petani karet. Tengkulak ini terbagi menjadi dua golongan, yakni Tengkulak Cina dan Tengkulak yang berstatus sebagai anggota TNI. Para tengkulak ini menggunakan mobil gardang dua.Pihak TNI ini datang dari Pasar 6 Delitua, sedangkan Tengkulak Cina datang dari Medan. Pihak TNI yang memiliki tugas mengumpulkan karet rakyat menggunakan mobil TNI sendiri49

Para Tengkulak Cina berperan untuk memasarkan karet olahan petani. Produksi karet yang telah selesai di proses akan dijual. Pemasaran hasil karet dilakukan setelah melalui proses penjemuran dan setelah menghasilkan warna kekuningan maka karet ini siap untuk di pasarkan. Biasanya dalam menjajakan hasil produksi karet para petani meletakkannya di depan rumah dan menjualnya ke pasar pada hari pasar mingguan dibuka.

.

Para tengkulak berperan tidak saja sebagai pemasar produksi karet, tetapi juga menjual keperluan rumah tangga kepada petani karet. Dalam proses jual beli ini


(24)

para petani dapat membayar secara tunai uang dari hasil penjualan karet yang telah diterima, atau mengambil terlebih dahulu barang tersebut dan pada pertemuan berikut para petani akan membayarnya. Cara ini dilakukan agar para petani tetap memiliki hubungan dengan tengkulak dan para petani karet lebih serius sebagai petani karet. Proses pemasaran selanjutnya setelah dari tangan tengkulak biasanya di tahan di area perumahan tengkulak ini untuk menambahkan beberapa hal agar kualitas dari produksi karet ini bertambah nilainya. Dalam pemasaran tanaman karet lebih unggul dari tanaman palawija karena penampung hasil produksi karet langsung datang ke desa. Berbeda dengan tanaman palawija yang harus dipikul dan dibawa ke pusat pasar untuk dijual yang memiliki jarah cukup jauh.

3.4 Budidaya Karet yang Mudah

Faktor lainnya mengenai keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul karena budidaya karet yang lebih mudah dan tahan terhadap hama penyakit daripada tanaman palawija. Masalah yang sering timbul terhadap tanaman palawija karena dibutuhkanya biaya yang tinggi dalam membudidayakannya dan tanaman palawija sangat sensitif terhadap hama penyakit Cendawan Phytophtora Infestano50

Sejak tahun 1950 pembudidayaan karet dilakukan petani melalui proses pembibitan, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, produksi dan pengolahan pasca panen. Dalam proses pembibitan, biji karet diambil dari lahan perkebunan

.

50 Gejala serangan dari hama penyakit Cendawan Phytophtora Infestano ditandai dengan adanya noda noda hitam pada buah dan daun seperti cacar tidak teratur dan pada akhirnya menjadi kering, keras dan busuk. Pencegahanya dapat dilakukan dengan melakukan pemangkasan yang teratur, menjaga kelembaban kebun, dan melakukan sanitas secara teratur.


(25)

dalam bentuk tunas batang dan tunas biji, dan untuk mendapatkan bibit karet petani sama sekali tidak mengeluarkan biaya. Bibit yang diambil oleh para petani berada di pinggiran jalan perkebunan. Bibit tersebut langsung dimasukkan ke sumpit dan dibawa ke lahan petani. Bibit yang masih dalam bentuk biji disemaikan terlebih dahulu di pekarangan belakang rumah petani, setelah dia mengeluarkan tunas dan telah siap, maka akan dipindahkan ke lahan yang sesungguhnya.

Budidaya karet kedua, yakni persiapan lahan. Dalam proses kedua ini, petani karet kembali diuntungkan, karena lahan yang dipakai untuk tanaman karet adalah hasil dari konversi tanaman palawija, sehingga tidak memerlukan biaya tambahan untuk membersihkan lahan. tidak seperti pada lahan yang masih berbentuk hutan. Keuntungan yang lainnya menyangkut mengenai persiapan lahan. Kondisi desa yang telah kondusif dari gangguan para gerombolan sehingga petani dapat lebih berkonsentrasi dalam mengolah lahan pertanian mereka.

Budidaya karet ketiga yakni penanaman. Dalam proses ini, karet yang sudah siap ditanam memiliki kriteria yaitu biji karet sudah mengeluarkan tunas dan lepas dari biji asal. Lahan yang dipersiapkan merupakan lahan bekas tanaman padi, dengan memanfaatkan jerami sebagai pendorong kesuburan tanah. Dalam proses penanaman, ukuran jarak penanaman tidak ditetapkan, sehingga jarak karet yang satu dengan yang lainya tidak menentu. Dalam budidaya penanaman ini tidak ada biaya tambahan, kecuali tenaga kerja yang berupa tenaga kerja keluarga.


(26)

dilakukan, petani membiarkan karet sampai berumur 6-7 tahun. Hal ini sangat menguntungkan petani karet, karena tidak diperlukan lagi biaya untuk pemupukan, pembersihan lahan, peremajaan. Lahan yang berada di lahan bekas padi, setelah pohon karet berumur dua tahun, tanaman padi kembali ditanam di lahan yang sama. Tanaman karet dapat lebih terawat ketika petani membersihkan lahan padi, karena tanaman karet juga ikut dibersihkan51

Budidaya karet yang kelima yakni produksi. Setelah karet mencapai masa produksi, banyak tanaman karet yang mati dan tidak dapat tumbuh dengan baik. Hal ini karena tidak adanya proses pemeliharaan dan premajaan karet. Karet hanya dapat tumbuh sekitar 30% dari awal penanaman. Kualitas produksi karet juga kurang memuaskan. Adapun jenis tanaman karet yang dibudidayakan petani Desa Rumah Sumbul yakni karet jenis GT 1, karet jenis 46, dan karet jenis PR 228

.

52

Dalam proses produksi dan pengolahan pasca panen, bentuk produksi karet sebelum memakai pupuk dalam menggumpalkan lateks adalah dengan menggunakan cuka, jenis bahan olah karet ini disebut Plain-Sheet

.

53

51Wawancara, dengan Dison Perangin-Angin, Desa Rumah Sumbul, 21 April 2015. . Jenis bahan olah karet ini diproses terlebih dahulu setelah selesai disadap, lalu hasilnya yang masih dalam bentuk susu dikumpulkan ke suatu tempat, seperti goni dan ember. Hasil sadapan dibawa ke tempat mesin penggilingan yang terdapat di kuta lalu dituang ke dalam bak berbahan alumanium lalu dicampur dengan cuka. Setelah pencampuran dengan cuka

52Ibid.

53Plain-Sheat disebut juga unsmoked sheat yakni jenis bahan olah karet yang diproses dari penggilingan atas lateks yang sudah dibekukan yang dijemur atau dianginkan. Lihat juga, Edi Sumarno, “ Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1998.


(27)

tindakan selanjutnya dikocok kocok, setelah itu dituang ke alas yang terbuat dari papan kayu, lalu diratakan dengan menekanya melalui kedua tangan, setelah itu masukkan ke penggilingan pertama dengan memakai penggilingan halus. Didalam penggilingan ini karet olah dibentuk agar menjadi halus, setelah halus karet kembali dimasukkan ke penggilingan, kali ini ke penggilingan bunga. Setelah selesai dari penggilingan kedua, langkah selanjutnya dengan mengeringkan hasil olah karet tersebut. Dalam pengeringan hasil olah karet ini dapat dilakukan dengan dengan dua cara. Cara yang pertama yakni dengan mengeringkannya di perapian dapur yang dinamakan pengasapan. Cara yang kedua yakni dengan mengeringkanya dibawah sinar matahari yang diletakkan dipelataran pekarangan rumah petani. Hasil olah karet ini tidak lengket dan tidak berbau, namun dalam proses mengubah lateks ke bentuk

sheet prosesnya lebih panjang dari karet dengan bentuk lump54

Kriteria standarisasi karet olah dalam bentuk lump yang baik yakni dengan melihat bentuk dari berat lump itu sendiri. Bentuk besaran lump sejalan dengan berat tafsiran sebelum dilakukan penimbangan. Jika hasil tafsiran lebih berat ketika lump telah ditimbang kemungkinan besar karet olah lump tersebut telah dicampur sesuatu hingga beratnya bertambah

.

55

54 Lump, bentuk lateks yang menggumpal secara utuh. Lihat juga Edi Sumarno, “ Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942”, Dalam Tesis S2 Belum Diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1998.

. Kriteria lump yang baik yakni tidak dicampur sama sekali dengan air, keadaan lump benar benar tanpa ada campuran selain pupuk yang berfungsi untuk memadatkan lateks tersebut.


(28)

Kecurangan-kecurangan yang sering terjadi pada produksi karet bentuk lump bertujuan untuk mendapatkan harga yang lebih. Adapun tindakan kecurangan itu seperti mencampur lump tersebut dengan tanaman kompi yang telah dihaluskan dengan sengaja, atau ditambahkan air ke dalam lumb. Sistem penambahan air ke lump dilakukan ketika lateks akan disusun menjadi lump disediakan celah di tengah tengah lump dengan diisi air di dalam plastik. Berat air dapat mencapai 5-10 kg. Setelah air dalam bentuk ditempatpatkan di plastik langkah selanjutnya ditimbun dengan lump lump di atasnya lalu disatukan dengan susu lateks, merekatlah karet lump yang satu dengan yang lainya bersama dengan berat lump menjadi bertambah. Pihak tengkulak yang sudah terbiasa dengan permainan kecurangan-kecurangan dari perlakuan petani karet ini menyiasatinya dengan dua cara. Cara yang pertama dengan membuka kedok kecurangan petani, yakni karet yang hendak ditimbang langsung ditusuk terlebih dahulu dengan pisau. Jika lump mengeluarkan air dengan besaran yang tidak wajar maka terbukti petani sudah melakukan permainan kotor sehingga lump tidak dihargai. Cara yang kedua yakni dengan menukangi ukuran berat timbangan sehingga berat karet yang sebelumnya mencapai 100 kg setelah ditimbang dapat menyusut hingga 20 kg sehingga berat karet tinggal 80 kg56

Tanaman karet dalam masa produksi juga lebih menguntungkan dari tanaman palawija. Jika harga turun tanaman karet tanaman karet dapat dijadikan tanaman tidur. Tanaman tidur maksudnya karet tidak disadap menunggu harga karet naik dan lateks juga akan meningkat selama tidak disadap berbeda dengan tanaman palawija lainya

.

56ibid.


(29)

jika masa produksi tanaman ini tidak diambil hasilnya maka hasil tanaman akan membusuk.


(30)

BAB IV

DINAMIKA KARET DI DESA RUMAH SUMBUL 1953-1995

Bab ini membahas tentang dinamika karet di Desa Rumah Sumbul selama kurun waktu 42 tahun, dari awal terbentuknya desa sampai tahun 1995 dengan beralihnya pertanian karet ke pertanian kelapa sawit. Adapun faktor fluktuasi harga dan sistem budidaya yang menguntungkan mempengaruhi banyak hal, seperti pertambahan jumlah petani karet, luas lahan pertanian karet, jumlah pohon karet, produksi, tenaga kerja yang dibutuhkan, dan pemasaran.

Dari semua pengaruh dinamika tersebut, tidak terdapat bagian yang konsisten bertumbuh secara sistematis. Keadaan ini tidak terlepas dari sifat tanaman karet sendiri, yang mengenal masa terek, yakni tertahannya masa produksi bersamaan dengan musim ganti daun pada Bulan Januari dan Februari diikuti Musim Penghujan pada Bulan November dan Desember di Desa Rumah Sumbul. Keadaan ini berpengaruh terhadap produksi dan harga, yang berakibat pada penurunan produksi dan terkait pula pada penghasilan. Di sisi lain, fluktuasi harga juga mempengaruhi pola pertanian petani, terutama guna mencukupi biaya hidup. Kondisi ini disikapi dengan penanaman tanaman sekunder lainnya seperti padi, pisang, cabe, durian dan jagung. Suasana karet yang terus menunjukkan angka kerugian dari segi budidaya dan pemasaran mengakibatkan petani beralih dari tanaman karet ke kelapa sawit.

Pada pembahasan sub bab ini, penulis banyak menggunakan data sampel berupa wawancara dari pihak petinggi desa dan petani karet untuk mengetahui


(31)

pembahasan mengenai jumlah petani, luas lahan, jumlah pohon dan produksi sebagai perbandingan untuk mendapatkan data mendekati kebenaran objektifitas.

Untuk lebih jelasnya mengenai dinamika karet, mulai dari tahun 1953 sampai 1995 akan dibahas di sub bab selanjutnya.

4.1 Jumlah Petani

Sistem budidaya pertanian karet yang lebih kompleks pada tahun 1985 dengan pemakaian pupuk, obat tanaman, dan bibit klon unggul seperti karet okulasi membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Peningkattan jumlah penduduk desa yang semakin meningkat setiap tahunya juga menjadikan jumlah petani karet melonjak. Kebutuhan produksi karet yang semakin vital perannya dalam meningkatkan kesejahtraan masyarakat menggeser jumlah petani tanaman palawija lainya. Informasi dari beberapa orang perangkat desa dan petani karet membenarkan lebih 90 % masyarakat Desa Rumah Sumbul terlibat dalam pertanian karet.57 Angka ini dapat dibandingkan dengan pemilik karet di tahun 1955, 1965, 1975, 1985, 1995.

57

Wawancara, dengan Japen Tarigan, Desa Rumah Sumbul, 26 April 2015 ; Tukiman Ginting, Desa Rumah Sumbul, 27 April 2015; Kueh Saragih, Desa Rumah Sumbul, 7 Juli 2015; Nueh Ginting, Desa Rumah Sumbul, 25 Juli 2015; Simula Br Sinuhaji, Desa Rumah Sumbul, 11 Agustus 2015.


(32)

Tab el 1

Jumlah Petani Karet Rakyat di Desa Rumah Sumbul 1955-1995

Tahun Jumlah Keluarga di Desa Rumah Sumbul

(KK)

Jumlah Petani Karet (KK)

Persentase Jumlah Petani Karet Dengan Jumlah Penduduk di Desa Rumah Sumbul

(%)

1955 60 KK 5 KK 0,85%

1965 95 KK 30 KK 31,5%

1975 350 KK 300 KK 85,7%

1985 620 KK 600 KK 96,7%

1995 781 KK 700 KK 89,6%

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari tabel 1 di atas, menerangkan tentang pertambahan KK (kepala Keluarga) dalam jangka waktu 40 tahun, dengan perincian tahun 1955 terdapat 60 KK meningkat pada tahun 1995 jumlah penduduk Desa Rumah Sumbul menjadi 781 KK terjadi peningkatan jumlah KK sebesar 721 KK. Peningkatan jumlah KK di Desa Rumah Sumbul diikuti dengan pertambahan jumlah petani karet. Jumlah petani karet dari tahun 1955 sampai 1995 meningkat sebesar 88,8%. Rata-rata peningkatan petani karet setiap tahunya didapat dari jumlah petani tahun 1995 sebesar 700 KK dibagi 40 tahun dari jumlah periode didapat 18 KK/tahun. Secara keseluruhan periode dari 1955 sampai 1985 terjadi peningkatan jumlah petani terus bertambah namun pada periode 1995 terjadi penurunan. Persentase penurunan jumlah petani terhadap jumlah KK di Desa Rumah Sumbul sebesar 7,1% atau sama dengan terdapat 5,04 petani karet yang berpindah ke tanamann lain.


(33)

Peningkatan jumlah petani menandakan bahwa pertanian karet dapat membantu perekonomian masyarakat Desa Rumah Sumbul. Peningkatan petani ini juga dipengaruhi oleh faktor adanya pembagian warisan dan munculnya petani karet yang baru. Kehadiran petani karet yang baru hasil dari infrastruktur jalan raya membaik dan harga. Pengaruh perbaikan jalan raya terhadap pemasaran produksi karet memiliki andil yang besar dengan bertambahnya jumlah petani yang baru secara signifikan pada periode 1975 sampai 1985 didorong suasana harga karet yang menjanjikan. Dari periode 1965 ke 1975 terjadi peningkatan jumlah petani karet sebesar 255 KK. Pada periode 1985 terjadi perkembangan jumlah petani sebanyak 600 KK. Peran masuknya pupuk ke desa juga turut mempengaruhi peningkatan jumlah petani. Sebagian besar lahan karet yang dimiliki oleh masyarakat merupakan tanah warisan dari orang tua dari periode 1965 dan 1975. Pada periode 1995 terjadi penurunan jumlah petani karet. Jumlah penduduk desa sekitar 781 KK, sedangkan jumlah petani karet sebesar 700 KK, sebesar 81 KK memilih untuk berpindah ke tanaman lain. Terdapat indikasi dari 81 KK, terdapat petani yang beralih ke kelapa sawit, penyebab perpindahan karena terjadinya pergeseran karet olah pasca produksi dari karet yang berbentuk plain sheet menjadi bentuk slab yang mempengaruhi harga dan masa terjadinya penurunan produksi karet disebabkan pohon karet sudah tua.


(34)

4.2 Luas Lahan

Sub bab ini membahas tentang luas lahan pertanian karet di Desa Rumah Sumbul. Luas lahan karet, terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan memanfaatkan lahan hutan menjadi lahan pertanian karet. Sebagai perbandingan pada tahun 1955 luas lahan hutan di Desa Rumah Sumbul mencapai 1.800 ha terjadi pengurangan lahan dengan sistem eksploitasi besar besaran pada tahun 1985 memperkecil luas hutan menjadi berkisar 10 ha58

Utuk memperoleh gambaran tentang luas area pertanian karet di Desa Rumah Sumbul pada tahun 1955 digunakan data rata-rata luas lahan yang disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini,

. Kondisi hutan yang tertinggal ini tidak layak untuk ditanami produk pertanian. Keadaan yang curam dan terjal menjadi bagian hutan yang tidak terjamah penduduk desa. Luas pertanian karet juga bertambah melalui penanaman dengan sistem tumpang sari dan konversi lahan.

Tab el 2

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1955

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Tukiman Ginting 1 ha

2,04 ha

Tolap Barus 1 ha

Kueh Saragih 2 ha

Beras Barus 4 ha

Terang Barus 2,2 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

58Ibid.


(35)

Dari tabel 2 diatas, menerangkan tentang jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1955 sebesar 10,2 dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,04 ha. Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 4 ha dan terkecil sekitar 1 ha. Pada tahun 1955 jumlah petani karet sebanyak 5 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 0,85%, dimana pada tahun 1955 penduduk berjumlah 420 jiwa. Luas lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1955, jumlah petani yakni 5 KK dan dikalikan 2,04 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1955 yakni: 10,2 ha. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1955 yakni: 10.5 ha.59 Untuk membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1955 dengan tahun 1965, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1965 sebagai berikut:

59

Wawancara, dengan Japen Tarigan, Desa Rumah Sumbul, 26 April 2015 ; Tukiman Ginting, Desa Rumah Sumbul, 27 April 2015; Kueh Saragih, Desa Rumah Sumbul, 7 Juli 2015; Nueh Ginting, Desa Rumah Sumbul, 25 Juli 2015; Simula Br Sinuhaji, Desa Rumah Sumbul, 11 Agustus 2015.


(36)

Tab el 3

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1965

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha) Runggun Tarigan 1,5 ha

2,2 ha

Nueh Ginting 3 ha

Pinter Tarigan 2 ha Simula Sinuhaji 2 ha Nini br Surbakti 2,5 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Br Sinuhaji, dan Nini Br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 3 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1965 sebesar 31,0% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,2 ha. Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 3 ha dan terkecil sekitar 1,5 ha. Terjadi penurunan jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1955 sebesar 4 ha menjadi 3 ha pada tahun 1965. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1955 sebesar 1 ha mengalami peningkatan menjadi 2 ha pada tahun 1965. Pada tahun 1965 jumlah petani karet adalah 30 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 31,0%, dimana pada tahun 1965 penduduk berkisar 665 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1965, jumlah lahan keseluruhan sampel dari lima sampel dibagi 5 dikali jumlah petani karet keseluruhan diperoleh hasil 2,2 x 30. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1965 yakni: 66 ha. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1965 yakni: 66 ha. Untuk membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1965


(37)

dengan tahun 1975, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1975 sebagai berikut:

Tab el 4

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1975

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha) Japen Tarigan 1,5 ha

2,6 ha

Jam Sitepu 1,5 ha

Suruhen Perangin-Angin

2 ha

Jenda Br Karo 2 ha

Ali Ginting 6 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 4 diatas menerangkan jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1975 sebesar 43% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,6 ha. Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 6 ha dan terkecil sekitar 1,5 ha. Terjadi peningkatan jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1965 sebesar 3 ha menjadi 6 ha pada tahun 1975. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1965 sebesar 2 ha mengalami penurunan menjadi 1,5 ha pada tahun 1975. Pada tahun 1975 jumlah petani karet adalah 350 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 43%, dimana pada tahun 1975 penduduk berkisar 2.450 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1975, jumlah petani yakni 350 KK dan dikalikan 2 ,6 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1975 yakni: 350


(38)

ha. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1975 yakni: 350 ha. Untuk membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1975 dengan tahun 1985, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1985 sebagai berikut:

Tab el 5

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1985

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Tukiman Ginting 2 ha

3,02 ha

Dison Perangin-angin

2 ha

Japen Tarigan 2,1 ha

Jam Siteppu 2,5 ha

Ali Ginting 6,5 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 5 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1985 sebesar 94,2% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 3,02 ha. Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 6,5 ha dan terkecil sekitar 2 ha. Terjadi peningkatan jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1975 sebesar 6 ha menjadi 6,5 ha pada tahun 1985. Luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1975 sebesar 1,5 ha mengalami peningkatan menjadi 2 ha pada tahun 1985. Pada tahun 1985 jumlah petani karet adalah 600 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 94,2%, dimana pada tahun 1985 penduduk berkisar 4.340 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil


(39)

rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1985, jumlah petani yakni 600 KK dan dikalikan 3,02 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1985 yakni: 1812 ha. Dengan memperhatikan jumlah KK dan jumlah pemilik seperti yang terlihat dalam sub bab 4.1 dengan jumlah petani 94.2 %. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1985 yakni: 1812 ha. Untuk membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1985 dengan tahun 1995, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1995 sebagai berikut:

Tab el 6

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Desa Rumah Sumbul, Tahun 1995

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha) Jenda Br Karo 1,1 ha

2,16 ha

Ali Ginting 4,2 ha Murni Br Sitepu 2 ha Benar Ginting 1,5 ha Jam Sitepu 1 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 6 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1995 sebesar 77,1% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,16 ha. Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 4,2 ha dan terkecil sekitar 1 ha. Terjadi penurunan jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1985 sebesar 6,5 ha menjadi 4 ha pada tahun 1995. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1985 sebesar 2 ha mengalami penurunan menjadi 1 ha pada tahun 1995. Pada tahun 1995 jumlah


(40)

petani karet adalah 700 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 77,1%, dimana pada tahun 1995 penduduk berkisar 5.467 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1995, jumlah petani yakni 700 KK dan dikalikan 2,16 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1995 yakni: 1620 ha. Dengan memperhatikan jumlah KK dan jumlah pemilik seperti yang terlihat dalam sub bab 4.1 dengan jumlah petani 77,1 %. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1995 yakni: 1620 ha.

Dari rata-rata luas yang diperoleh setiap periodenya didapat besaran luas lahan karet keseluruhan dengan perbandingan terhadap luas desa sebesar 2.100 ha.

Tab el 7

Jumlah Keseluruhan Luas Lahan Karet Dengan Perbandingan Terhadap Luas Desa Rumah Sumbul 1955-1995

Tahun Jumlah Petani

Rata-Rata Luas Lahan Karet

(ha)

Luas-Lahan Karet Keseluruhan

(ha)

Persentase Perbandingan

Lahan Karet Dengan Lahan

Desa (%)

1955 5 kk 2,04 ha 10,2 ha 0,048%

1965 30 kk 2,2 ha 66 ha 0,31%

1975 350 kk 2,6 ha 350 ha 43%

1985 600 kk 3,02 ha 1812 ha 94,2%

1995 700 kk 2,16 ha 1620 ha 77,1%

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji


(41)

1.609 ha dengan setiap tahunnya lahan bertambah sebesar 40,5 ha. Perbandingan luas lahan karet dengan desa terbesar pada periode 1985 yakni 2.100 ha lahan desa berbanding 1812 lahan karet. Pada periode 1955 sampai 1965 terjadi peningkatan luas lahan 10,2 menjadi 66 ha. Indikasi pertambahan luas lahan pada periode ini dikarenakan hasil warisan dari keluarga penghulu terdahulu dan pertambahan luas lahan dijadikan pohon karet sebagai pembatas lahan pertanian masyarakat Desa Rumah Sumbul.

Pada periode tahun 1975 sampai 1985 kembali terjadi pertambahan luas lahan karet sebesar 94,2 % dari luas lahan desa. Pertambahan lahan karet yang terluas terjadi pada periode ini. Pada periode 1975 luas rata-rata penambahan lahan karet di Desa Rumah Sumbul sebesar 2,6 ha dengan 350 lahan keseluruhan karet. Sedangkan pada periode 1985 luas rata-rata penambahab lahan karet di desa sebesar 3,02 dengan 1812 ha. Idikasi yang menjadikan perode ini sebagai perluasan lahan karet terbesar di Desa Rumah Sumbul terjadi penanaman lahan karet pada tahun 1967 dengan isu pembenahan jalan raya yang dilakukan salah seorang mantan pegawai penerangan. Bersamaan dengan selesainya jalan pada tahun 1976, penduduk desa semakin memperluas lahan dengan membuka lahan baru melalui eksploitasi hutan. Harga yang melonjok pada periode 1985 dengan karet olah plan sheet memperluas lahan dengan pengalihan lahan palawija ke lahan karet. Lahan sebagai hasil warisan memperbanyak kepemilikan lahan karet.


(42)

sebesar 192 ha dari 1620 ha. Dengan perbandingan terhadap lahan desa sebesar 77,1%. data ini menunjukan bergesernya lahan karet ke lahan kelapa sawit. Tindakan ini bentuk kegelisahan petani terhadap persoalan harga, pohon karet sudah tua, dan budidaya karet yang tidak efektif dan efesien sehingga mendekat kepada angka kerugian yang memangkas keuntungan produksi karet. Daerah yang menjadi titik konversi lahan yakni dusun 2 dan 3.

Sebagai perbandingan terjadinya penambahan lahan karet dengan lahan desa akan dibahas melalui grafik balog di bawah ini,

Gambar 1

Perbandingan Luas Lahan Karet Dengan Lahan Desa Rumah Sumbul 1955-1999

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari gambar di atas menerangkan tentang terjadinya penambahan luas lahan karet dalam kurun 40 tahun. Setiap tahun terjadinya penambahan luas lahan rata-rata

Periode 1955

Periode 1965

Periode 1975

Periode 1985

Periode 1995

2.100 2.100 2.100 2.100 2.100

10,2 66

780

1812

1620


(43)

sekitar 40,5 ha. Peningkatan luas lahan karet diartikan sebagai fungsi karet terhadap masyarakat semakin kompleks. Pada periode 1955 peran karet hanya sebagai pembatas lahan pertanian masyarakat sehingga luas lahan yang terpakai pada periode 1955 sampai 1965 sebesar 66 ha dengan jumlah petani karet 30 KK setara dengan 210 jiwa. Pada periode 1975 sampai 1985 terjadi perubahan luas lahan mengarah kepada penambahan luas lahan karet. Pertambahan lahan karet sebesar 1812 ha, tersisa lahan desa sekitar 288 ha. Dengan klasifikasi lahan desa yakni pemukiman 10 ha, lahan persawahan 170 ha, lahan perkuburan 3 ha, sungai 5 ha, hutan 8 ha, dan lahan pertanian lainnya 92 ha60

• Masa pohon karet sudah berada pada batas usia produktif (usia karet 20-30 tahun), sehingga terjadi penebangan pohon di lahan penduduk.

. Peningkatan luas lahan karet salah satu faktor dari hasil warisan sebagai karet tanaman turun temurun. Sedangkan periode 1995 terjadinya pengurangan lahan karet dari 1812 ha menjadi sekitar 1620. Beberapa analisa menguatkan terjadinya penurunan luas lahan karet karena:

• Adannya indikasi penurunan luas lahan dengan peralihan karet ke kelapa sawit.

• Lahan karet sebagai lahan warisan kepada keluarga yang telah merantau di luar desa, mengkonversi lahan karet ke tanaman tua lainnya, seperti pohon jati dan durian.


(44)

4.3 Jumlah Pohon

Produksi berdasarkan tingkatan harga tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas pohon karet. Pohon karet berdasarkan kualitas di Desa Rumah Sumbul pada awal desa terbentuk terhambat dengan pemasaran dan harga tanaman palawija seperti padi yang lebih dominan mempercepat waktu transaksi pendapatan dari proses pasar. Dampaknya pembudidayaan karet tidak terawat hanya sebagai penjaga dan pembatas lahan masyarakat. Sulitnya pemasaran produksi karet memperkecil jumlah pohon dari standarisasi yang ditentukan. Jumlah pohon dalam 1 ha berdasarkan pola tanam masyarakat Desa Rumah Sumbul berkisaran 100-120 pohon. Dengan bagian pohon pada masa produksi-aktif hanya berkisar 60-70 pohon. Bagian pohon masa pertumbuhan dan pohon berusia tua berkisar 30-45%. Perkembangan dan penambahan jumlah pohon berangsur berubah keterkaitannya dengan aspek jalan raya yang semakin kondusif dalam kemantapan infrastruktur dan pemasaran yang semakin mudah dengan budidaya yang bermutu dengan kemudahan pupuk, obatan, dan teknologi pertanian karet dengan mudah digapai penduduk desa.

Utuk memperoleh gambaran tentang jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul pada tahun 1955 digunakan data rata-rata luas lahan yang disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini,


(45)

Tab el 8

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1955

Nama Luas Lahan

(ha)

Jumlah-Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata-Jumlah Pohon/ha Tukiman

Ginting

1 ha 100 Pohon 100 Pohon

Tolap Tarigan 1 ha 88 Pohon 88 Pohon

Kueh Saragih 2 ha 176 Pohon 88 Pohon

Beras Barus 4 ha 480 Pohon 120 Pohon

Terang Barus 2,2 ha 286 Pohon 130 Pohon

Rata-rata 2.04 226 Pohon 105,2 Pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

Pada tabel 8 berdasarkan dari 5 sampel informan yang ada, kepemilikan pohon yang paling banyak dengan 480 pohon sedangkan kepemilikan pohon yang paling sedikit hanya 100 pohon. Rata-rata jumlah pohon sebesar 105,2 pohon dari jumlah total sebesar 1130 pohon. dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon yang ditanami oleh masyarakat di Desa Rumah Sumbul tahun 1955 yakni :1.073,04 pohon. Jumlah pohon di sini adalah jumlah rata-rata/ha di kalikan dengan luas lahan keseluruhan tahun 1955.61 Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1955 dengan tahun 1965 maka akan dilihat pada tabel sebagai berikut:

61


(46)

Tab el 9

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1965

Nama Luas Lahan

(ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Runggun Tarigan 1,5 ha 225 pohon 150 pohon

Nueh Ginting 3 ha 600 pohon 200 pohon

Pinter Tarigan 2 ha 450 pohon 225 pohon

Simula Br Sinuhaji

2 ha 360 pohon 180 pohon

Nini Br. Surbakti 2,5 ha 750 pohon 300 pohon

Total 11 ha 2385 pohon 211 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Sinuhaji, dan Nini br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 9, dapat dilihat bahwa jumlah pohon yang paling banyak dengan 600 pohon sedangkan jumlah pohon yang paling sedikit dengan 225 pohon. Rata-rata jumlah pohon sebesar 211 pohon dari jumlah total sebesar 11 ha meningkat sebesar 105,8 pohon dari priode sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon yang ditanami oleh masyarakat di Desa Rumah Sumbul tahun 1965 yakni :14.586 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1965 dengan tahun 1975 maka akan dilihat pada tabel sebagai berikut:


(47)

Tabel 10

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1975

Nama Petani Luas Lahan

(ha)

Jumlah Pohon Keselruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon /ha

Japen Tarigan 1,5 ha 525 pohon 350 pohon

Jam Sitepu 1,5 ha 525 pohon 350 pohon

Suruhen Perangin-Angin 2 ha 800 pohon 400 pohon

Jenda Br. Karo 2 ha 600 pohon 300 pohon

Ali Ginting 6 ha 2400 pohon 400 pohon

Total 10.2 ha 4850 pohon 360 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, Jenda Br. Karo dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 10, dapat dilihat bahwa jumlah pohon yang paling banyak 2400 pohon sedangkan kepemilikan lahan yang paling sedikit sebanyak 525 pohon. Rata-rata luas lahan sebesar 360 pohon dari jumlah total pohon sebesar 4850 pohon meningkat sebesar 2492 pohon dari priode sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul tahun 1975 yakni 327.600 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1975 dengan tahun 1985 dilihat pada tabel sebagai berikut:


(48)

Tab el 11

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1985

Nama Petani Luas Lahan (Ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Tukiman Ginting 2 ha 1100 pohon 550 pohon

Dison-Prangin-Angin

2 ha 1180 pohon 590 pohon

Japen Tarigan 2,1 ha 1171.8 pohon 558 pohon

Jam Sitepu 2,5 ha 1225 pohon 490 pohon

Ali Ginting 6,5 ha 3770 pohon 580 pohon

Total 10.2 ha 8446.8 pohon 553.6 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 11, dapat dilihat bahwa kepemilikan jumlah pohon yang paling luas sebesar 3770 pohon meningkat 1370 pohon sedangkan kepemilikan pohon yang paling sedikit sebesar 1100 pohon. Rata-rata luas jumlah pohon sebesar 553.6 pohon dari jumlah total sebesar 8446.8 pohon meningkat sebesar 3596.8 pohon dari priode sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul tahun 1985 yakni 1.003.123 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1995 dilihat pada tabel sebagai berikut:


(49)

Tabel 12

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1995

Nama Petani Luas Lahan (Ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Jenda Br. Karo 1,1 ha 550 500

Ali Ginting 4,2 ha 2322 553

Murni Sitepu 2 ha 1176 588

Benar Ginting 1,5 ha 649.5 433

Jam Sitepu 2 ha 800 400

Total 10.2 ha 5447.5 494,8

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 12, dapat dilihat bahwa kepemilikan lahan sebesar 2322 pohon menurun sebesar 1448 pohon sedangkan kepemilikan lahan yang paling sedikit dengan jumlah pohon 800 pohon. Rata-rata jumlah pohon sebesar 494,8 pohon dari jumlah total sebesar 5447.5 pohon terjadi penurunan sebesar 2999,3 pohon dari priode sebelumnya. Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul tahun 1995 yakni 801.576 pohon.

Dari rata-rata jumlah pohon yang diperoleh setiap priodenya didapat jumlah pohon karet keseluruhan dengan data yang diolah berdasarkan tabel di bawah ini,


(50)

Tabel 13

Jumlah Keseluruhan Pohon Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995

Tahu n

Jumla h Petani

(kk)

Rata-rata Luas lahan/ha

Luas Lahan Keseluruhan

(ha)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Jumlah Pohon Keseluruhan/Desa

1955 5 kk 2,04 ha 10,2 ha 105,2 Pohon 1.073,04 Pohon

1965 30 kk 2,2 ha 66 ha 221 Pohon 14.586 Pohon

1975 350 kk 2,6 ha 910 ha 360 Pohon 327,600 Pohon

1985 600 kk 3,02 ha 1812 ha 553.6 Pohon 1.003.123 Pohon

1995 700 kk 2,16 ha 1620 ha 494.8 Pohon 801.576 Pohon

Sumber:Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari tabel 13 di atas, menggambarkan mengenai jumlah pohon karet pertambahan selama kurun waktu 40 tahun sebesar 800.502,96 pohon dengan setiap tahunnya pohon karet bertambah sebanyak 20.039,4 pohon. Peningkatan jumlah pohon karet terbesar pada periode 1985 yakni 1.003.123 pohon. Pada periode 1955 sampai 1965 terjadi peningkatan jumlah pohon karet sebesar 1.073,04 pohon menjadi 14.586 pohon. Indikasi pertambahan jumlah pohon pada periode ini dikarenakan pohon karet dijadikan sebagai pembatas lahan masyarakat. Namun adanya prilaku sekelompok masyarakat melakukan pembabatan tanaman karet


(51)

sebagai pembatas tersebut. Untuk menghindari pemotongan pohon karet secara sengaja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab maka pihak petani menambah jumlah bibit pohon.

Pada periode tahun 1975 sampai 1985 terjadi pertambahan jumlah pohon karet sebesar 327.600 pohon menjadi 1.003.123 pohon. Pertambahan jumlah pohon karet yang terluas terjadi pada periode ini. Pada periode 1975 jumlah rata-rata penambahan pohon karet di Desa Rumah Sumbul sebesar 360 pohon. Sedangkan pada periode 1985 jumlah rata-rata penambahan pohon karet secara keseluruhan di desa sebesar 1.003.123 pohon dengan rata-rata 553.6 pohon. Indikasi yang menjadikan periode ini sebagaai pertambahan jumlah pohon karet terbesar di Desa Rumah Sumbul diakibatkan terjadinya penambahan pohon secara standar menurut aturan dinas pertanian yang menuntut penambahan jumlah pohon dalam area satu hektar. Terstrukturnya jalan raya dengan baik membawa informasi dengan penyuluhan penyuluhan mengenai jumlah pohon yang ideal ditanam dalam satu hektar. Masyarakat desa menambah jumlah pohon dari 100 pohon/ha menjadi 500/ha.

Pada periode 1995 terjadi penurunan jumlah pohon karet sebesar 201.547 pohon dari 1.003.123 pada periode 1985. Indikasi penurunan jumlah pohon disebabkan adanya konversi lahan pohon karet ke kelapa sawit dan pohon karet sudah mencapai non produktif dengan umur 20-30 tahun. Pohon karet yang telah melewati usia produktif langsung ditebang dengan menyisipi lahan berupa tanaman palawija dan kelapa sawit.


(52)

4.4 Produksi

Bab ini menjelaskan tentang bagian produksi. Bagian produksi didefenisikan kedalam dua bagian yakni produksi dalam bentuk kuantitas dan produksi dalam bentuk kualitas. Nilai kuantitas didasarkan pada volume atau jumlah yang diperoleh melalui ukuran standar yang telah disepakati antara pihak perusahaan terhadap tengkulak dan sebaliknya pihak tengkulak kepada petani karet. Sedangkan defenisi arti kualitas yakni mutu hasil karet setelah melakukan sentuhan akhir dari karet olah pasca produksi. Bagian produksi dari kuantitas terdiri dari beberapa bagian seperti jumlah produksi karet setiap minggunya, jumlah pohon yang berproduksi, jumlah produksi karet pasca olah plan sheet dan slab , dan jumlah produktivitas setiap pohon per bulanya.

Produksi karet olah plant sheet dengan slab memiliki perbedaan jumlah produksi dan harga. Karet olah plant sheet degan slab perbandingannya 1:3 dengan perbandingan harga 3:1. Plant sheet mendapatkan volume produksi 10 kg/ha dengan jumlah pohon maksimal 100 pohon sedangkan karet olah slab mendapat nilai produksi 30-35 kg/ha dengan maksimal pohon 100 pohon. Pada priode 1955 masyarakat Desa Rumah Sumbul lebih memilih produksi karet olah plant sheet. Lahkah yang diambil petani karena faktor pemasaran yang sulit. Jalan yang rusak dan berlubang menjadi medan yang sulit dilalui oleh mobil para tengkulak yang hendak menampung hasil produksi karet setempat.


(53)

petani karet di Desa Rumah Sumbul tentang jumlah rata-rata produksi karet pada tahun 1955 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 14

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet Desa Rumah Sumbul 1955

Nama Petani Luas Lahan (ha) Jumlah Pohon Produksi Lumb/Minggu (Kg) Produksi Sheet /Minggu (Kg) Rata-Rata Produksi /Pohon /minggu /Lumb (kg) Tukiman

Ginting

1 ha 100 Pohon 30,2 kg 10,06 0,30 kg

Tolap Barus 1ha 80 Pohon 22 kg 7,3 0,27 kg

Kueh Saaragih

2 ha 176 Pohon 55,2 kg 18,4 0,31 kg Beras Barus 4 ha 480 Pohon 133 kg 44,3 0,27 kg

Terang Tarigan

2,2 ha 286 Pohon 95 kg 31,6 0,33 kg

Total 335.2 kg 111,66 1.48 kg

Rata-Rata 67.04 kg 23,3 0,29 kg

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

Dari tabel 15 diatas pada tahun 1955 jumlah produksi karet diolah masyarakat desa menjadi karet olah plan sheet. Produksi karet olah sheet berbading 1:3 dengan produksi lumb. Total produksi karet pada tahun 1955 sebesar 111,66 kg dengan rata rata 23,3. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kuantitas produksi tahun 1955 adalah 23,3 kg/minggu. Jumlah produksi di sini adalah: jumlah pohon keseluruhan tahun 1955 dikalikan dengan jumlah produksi


(54)

rata-rata/minggu.62

Tabel 15

Satu batang karet mampu menghasilkan lebih 3 ons. Untuk membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1955 dengan tahun 1965 maka akan dilihat pada tabel dibawah ini:

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet di Desa Rumah Sumbul 1965

Nama Petani Luas Lahan (kg) Jumlah Pohon Produksi Lumb /Minggu (Kg) Produksi Sheet/Minggu (kg) Rata-Rata Produksi/ Pohon/ Minggu (kg) Runggun Tarigan

1,5 ha 225 Pohon 75 kg 25 kg 0,33 kg Nueh Ginting 3 ha 600 Pohon 180 kg 60 kg 0,3 kg

Pinter Barus 2 ha 450 Pohon 122 kg 40,6 kg 0,27 kg Simula 2 ha 360 Pohon 10,8 kg 3,6 kg 0,03 kg Nini 2,5 ha 750 Pohon 222 kg 74 kg 0,29 kg

Total 707 kg 203,2 kg 1.22 kg

Rata-Rata 141.4 kg 40,69 0,24 kg

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Sinuhaji, dan Nini Br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 16 diatas pada tahun 1965 total produksi karet pada tahun 1965 sebesar 203,2 kg dengan rata rata 40,69 kg. Untuk mendapatkan jumlah produksi keseluruhan dengan perhitungan jumlah produksi sheet setiap minggu dikali jumlah petani dihasilkan 40,64 kg. Terjadi peningkatan rata-rata produksi sheet setiap minggu dari periode 1955 sebesar 23,3 kg dengan jumlah keseluruhan produksi 111,

62

Wawancara, dengan Tukiman Ginting, ibid; Kueh Saragih, ibid; Tolap Barus, ibid; Terang Barus, Desa Rumah Sumbul, 5 April 2015; Beras Barus, Desa Rumah Sumbul, 27 April 2015.


(55)

66 kg meningkat menjadi 40,69 kg dengan jumlah keseluruhan 40,64 kg. Untuk membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1955 dengan tahun 1965 maka akan dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 16

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab Desa Rumah Sumbul 1975 Nama Petani Luas Lahan (ha) Jumlah Pohon Produksi Lumb/ Minggu (Kg) Prouksi sheet/ Minggu (Kg) Produksi/ Slab/ Minggu (kg) Rata-Rata Produksi/ Pohon/mi nggu (kg) Japen Tarigan

1,5 ha 525 Pohon 75 kg 20 kg 5 kg 0,14 Jam Sitepu 1,5 ha 525 Pohon 80 kg 20 kg 6,6 kg 0,15 Suruhen 2 ha 800 Pohon 160 kg 50 kg 3,3 kg 0,2

Jenda 2 ha 600 Pohon 143 kg 42 kg 5,6 kg 0,23

Ali 6 ha 2400

Pohon

360 kg 100 kg 20 kg 0,15

Total 818 kg 272,5 kg 0,87

Rata-Rata 136.6 kg 54,5 kg 0,17

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 17 diatas, pada tahun 1975 total produksi karet sebesar 272,5 kg dengan rata rata 54,5 kg. Untuk mendapatkan jumlah produksi keseluruhan dengan perhitungan jumlah produksi karet olah sheet dan slab setiap minggu dikali jumlah petani dihasilkan 16.350 kg. Terjadi peningkatan rata-rata produksi setiap minggu dari periode 1965 sebesar 40,69 kg dengan jumlah keseluruhan produksi 203,2 kg meningkat pada tahun 1975 menjadi 54,5 kg dengan jumlah keseluruhan 16.350 kg.


(56)

Untuk membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1975 dengan tahun 1985 maka akan dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 17

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab Desa Rumah Sumbul 1985 Nama Petani Luas Lahan (ha) Jumlah Pohon Produksi Lumb /Minggu (Kg) Prouksi sheet /Minggu (Kg) Produksi /Slab /Minggu (kg) Rata-Rata Produksi/ Pohon/mi nggu (kg) Tukiman Ginting

2 ha 1100 Pohon

180 kg 50 kg 10 kg 0,16 Dison

Perangin-Angin

2 ha 1180 Pohon

120 kg 25 kg 15 kg 0,10

Japen Tarigan

2,1 ha 1171,8 Pohon

220 kg 70 kg 3,3 kg 0,18 Jam Sitepu 2,5 ha 1225

Pohon

265 kg 8,3 kg 8 kg 0,21 Ali Ginting 6,5 ha 3770

Pohon

720 kg 200 kg 40 kg 0,19

Total 1405 kg 501,6 kg 0,94

Rata-Rata 281 kg 100,32 kg 0,18

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari data 18 diatas pada tahun 1985 jumlah produksi karet diolah masyarakat desa menjadi karet olah plan sheet dan slab. Produksi karet olah sheet berbading 1:3 dengan produksi slab. Total produksi karet pada tahun 1985 sebesar 501,6 kg dengan rata rata 100,32. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kuantitas produksi tahun 1985 adalah 60.192 kg/minggu. Jumlah produksi di sini adalah:


(57)

jumlah pohon keseluruhan tahun 1985 dikalikan dengan jumlah petani.63

Tabel 18

Untuk membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1985 dengan tahun 1995 maka akan dilihat pada tabel dibawah ini:

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Slab Desa Rumah Sumbul 1995

Nama Petani Luas Lahan

(ha)

Jumlah Pohon Produksi/Minggu (Kg)

Rata-Rata Produksi/Pohon/

minggu (kg) Jenda Br. Karo 1 ha 550 Pohon 120 kg 0,30 kg

Ali 4,2 ha 2322 Pohon 500 kg 0,27 kg

Murni Br. Sitepu

2 ha 1176 Pohon 240 kg 0,31 kg

Benar Ginting 1,5 ha 649.5 Pohon 185 kg 0,27 kg

Jam Sitepu 2 ha 800 Pohon 240 kg 0,33 kg

Total 335,2 kg 1.48 kg

Rata-Rata 67.04 kg 0,29 kg

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 19 diatas pada tahun 1995 jumlah produksi karet diolah masyarakat desa menjadi karet olah slab bergeser dari karet olah sheet. Total produksi karet pada tahun 1995 sebesar 335,2 kg dengan rata rata 67.04 kg. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kuantitas produksi tahun 1995 adalah 46.928 kg/minggu.

Dari rata-rata jumlah produksi yang diperoleh setiap priodenya didapat jumlah

63

Wawancara, dengan Tukiman Ginting, ibid; Kueh Saragih, ibid; Tolap Barus, ibid; Terang Barus, Desa Rumah Sumbul, 5 April 2015; Beras Barus, Desa Rumah Sumbul, 27 April 2015.


(58)

produksi karet keseluruhan dengan data yang diolah berdasarkan tabel di bawah ini,

Tabel 19

Jumlah Keseluruhan Produksi Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995

Tahun Jumlah Petani (KK) Jumlah Pohon keseluruhan Rata-Rata Produksi (kg) Rata Rata Produksi /Pohon /kg Jumlah Produksi Keseluruhan /Minggu/kg 1955 5 KK 1.073,43

Pohon

22,33 0.2 kg 116,65 kg

1965 30 KK 14.586 Pohon

40,64 0,2 kg 1.219,2 kg

1975 300 KK 327.600 Pohon

54,5 0,17 kg 16.350 kg

1985 600 KK 1.003.123 Pohon

100,32 0,18 kg 60.192 kg

1995 700 KK 801.576 Pohon

67,04 0,2 kg 46.928 kg

Sumber: Diolah Dari Wawancara Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula br Sinuhaji

Perkembangan jumlah produksi karet secara menyeluruh dari priode 1955 sampai 1995 berkisar, 108 238 kg. Jumlah produktivitas karet dengan tingkatan yang paling besar terjadi pada priode 1985. Dengan jumlah produksi keseluruhan berkisar 108604 kg/minggu. Sedangkan jumlah produktivitas karet dengan tingkatan yang paling kecil terjadi pada priode 1955. Dengan jumlah produksi keseluruhan setiap pohon berkisar 2.04 kg. Sedangkan terjadi penurunan jumlah produksi pada priode 1995. Terjadinnya penurunan didasari penurunan dan peralihan karet olah plan sheet


(59)

ke slab. Pada periode 1955 sampai 1965 rata-rata produksi karet setiap petani berkisar 22,33 kg dengan jumlah produksi secara keseluruhan setiap minggunya sebesar 116,65 kg. Pada periode ini produksi karet merupakan produksi terlemah. Indikasi lemahnya produksi karet disebabakan karena petani mengolah karet menjadi bentuk plan sheet. Bentuk plan sheet mengurai berat berbanding 1/3 dengan karet bentuk lumb. Para tengkulak yang datang dari kota lebih memilih dan menampung produksi karet olah plan sheet dikarenakan faktor jalan menuju Desa Rumah Sumbul sangat membahayakan bagi tengkulak sendiri dan produksi yang ditampung. Keadaan harga juga membuat produksi karet lambat bergerak. Harga yang lemah membuat petani tidak termotivasi untuk melakukan penyadapan dan peremajaan. Lahan pertanian yang berisi karet lebih sering terbelangkalai dan disebut sebagai tanaman tidur.

Pada periode 1975 dan 1985 terjadi peningkatan produksi besar besaran. Para tengkulak menampung karet masyarakat desa berupa plan sheet dan slab. Produksi karet olah plan sheet lebih diutamakan pengerjaan dan pemasaran sedangkan slab

merupakan bagian produksi karet yang terkena percampuran dengan serpihan serbuk kayu dengan kualitas rendah. Namun beberapa masyarakat lebih memilih mengolah produksi karet menjadi slab dengan jumlah yang minim. Peningkatan produksi disebabkan beberapa faktor seperti, harga karet olah plan sheet melambung tinggi, pemakaian pupuk dan teknologi pertanian karet telah intens dilakukan petani, pemadatan jumlah pohon dalam satu hektar mencapai 600 setiap hektar dan


(60)

pembukaan lahan-lahan pertanian karet yang baru baik secara konversi maupun

replanting dan lahan bentuk warisan.

Pada periode 1995 terjadi penurunan jumlah produksi karet. Adapun indikasi menurut petani setempat merupakan pertama, pohon karet yang telah memasuki usia tua, sehingga pohon karet dibiarkan begitu saja maupun dilakukan penebangan sebagai lahan konversi maupun replanting. Kedua, adanya aktivitas penebangan pohon masa produktif dari petani karet dengan mengalihkannya ke kelapa sawit.

Ketiga, faktor harga yang menurun setelah terjadi peralihan penjualan karet bentuk

plan sheet ke slab. Faktor produksi menurun akibat dari jumlah pohon yang ditebang. Pada periode 1985 jumlah pohon secara keseluruhan desa sebesar 1.003.123 pohon mengalami penurunan 801.576 pohon pada periode 1995. Penurunan jumlah pohon ini berdampak pada jumlah produksi rata rata hanya mencapai 67,4 kg dari 46.928 kg produksi keseluruhan setiap minggu. Berbeda pada periode 1985 jumlah produksi mencapai 60.192 kg dengan rata-rata produksi 100.32 kg , terjadi penurunan jumlah produksi keseluruhan dalam setiap minggu sebesar 13.264 kg dengan rata rata penurunan setiap tahun 1.326,4 kg.

Dari bagian kualitas karet, terdapat dua jenis bentuk karet olah pasca produksi yang dilakukan petani Desa Rumah Sumbul. Yang dimaksud dengan kualitas produksi dalam tulisan ini ialah banyak getah karet yang dihasilkan berdasarkan jenis dan ukuran getah karet/minggu di Desa Rumah Sumbul umumnya petani menjual getah dalam dua jenis yaitu: Plan Sheet dan Slab. Dari masing-masing bagian ini


(61)

terdapat perbedaan dalam proses mengolah sehingga takaran-takaran kualitas juga menjadi berbeda. Bentuk karet olah Plain-Sheet dalam menentukan kualitas terdapat kelebihan yang memumpuni daripada hasil dalam bentuk slab. Dalam priode tahun 1955 sampai 1985 penggunaan karet olah Sheet lebih diunggulkan penggunnaannya. Bagian karet olah slab dari bagian karet lateks yang telah bercampur dengan remah-remah pohon dengan mutu yang rendah. Getah susu yang memiliki kualitas baik adalah getah yang terdapat pada bagian atas dari wadah penampungan yang dapat berupa alumanium, plastik dan tempurung dengan cairan lateks seperti tahu yang hanya dapat dijadikan bentuk karet olah sheet dengan kualitas tinggi. Getah susu yang higenis merupakan getah susu hasil dari sadapan kedua atau ketiga pada pembukaan awal produksi pohon karet64

Awalnya petani karet tidak menggunakan wadah sebagai penampung lateks.

Cairan getah yang telah disadap dan mengering langsung ditarik dari batang. Sedangkan cairan getah yang telah jatuh ke tanah dan mengering diangkat bersamaan dengan campuran tanah. Pada tahun-tahun selanjutnya priode 1965 petani karet menggunakan daun sebagai penampung lateks dan terus berkembang. Pada pertengahan tahun 1975 petani lebih cendrung menggunakan batok kelapa. Harganya . Hal ini agar terhindar dari tercampurnya getah susu pada penyadapan yang pertama dengan remah-remah dari pohon karet berupa serbuk-serbuk kayu yang dapat mempengaruhi kualitas karet olah Sheet

sendiri.

64 Ibid.


(62)

lebih ekonomis dan mudah ditemukan di sekitar desa. Dalam posisi peletakan, petani menempatkan tempurung tersebut tepat di atas tanah. Hal ini membuat percikan lateks berbaur dengan tanah yang menurunkan nilai kualitas. Bentuk batok tergolong kata baik yakni batok yang lebar dan tidak keropos. Batok yang sudah rapuh dan keropos dapat memberi kerugian terhadap petani karet sendiri.

Bentuk Plan-Sheet lebih memiliki kualitas yang teruji daripada bentuk slab.

Keadaan ini terdapat pada proses pembentukan dari masa sadap sampai dibentuk ke

plain-sheet. Proses interval waktu dapat mencapai 2-3 hari karena harus dijemur di panas api yang membuat warna menjadi kuning dan mengurai berat karet. Kualitas karet dari bentuk plain-sheet pada penghujung pengolahan tidak berbau sehingga pada tahap pemasaran karet bentuk olah ini lebih tiba tepat waktu dan tidak banyak memakan biaya. Hanya menggunakan anggota keluarga telah mudah menghemat pengeluaran ekonomi.

Pada karet olah bentuk slab terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan petani sehingga mengurangi kualitas karet itu sendiri yang merugikan petani. Sebelum tahun 1985 karet olah slab dibentuk bersamaan tanpa terpisah dengan karet Sheet, dari susu getah yang berada di bawah wadah penampung getah

lateks. Posisi awal getah slab berada di akhir yang membuat mudahnya masuk serbuk kayu. Terkontaminasinya karet olah membuat kualitas karet menurun dan merugikan pihak tengkulak sendiri. Setelah tahun 1985 karet olah Sheet berhenti beroperasi dari kesepakatan perusahaan karet dan hanya bentuk produksi pasca panen


(63)

yang resmi dipakai petani olah slab di Desa Rumah Sumbul. Semenjak karet olah yang diberdayakan petani dalam bentuk slab, terjadi secara intens perlakuan tidak baik dari petani sehingga merusak kualitas karet itu sendiri. Tidak jarang para petani sebelum mencetak lateks menjadi lump lalui diolah kembali menjadi slab diberi beberapa penambah berat, sehingga tidak murni merupakan karet olah dengan kualitas baik. Tindakan seperti ini merugikan banyak pihak terutama petani. Penggunaan karet olah plan sheet dan slab hanya terjadi pada periode 1975 dengan periode 1985 dengan petani karet lebih mengkonsentrasikan produksi dan pemasaran ke bentuk sheet. Sedangkan faktor jalan penghubung petani dengan penampung produksi masih rentan tidak baik sehinga pada periode 1955 dan 1965 masyarakat desa hanya mengolah karet sebatas bentuk sheet saja. Pada Periode 1995 masyarakat desa kembali mengalihkan karet olah atas anjuran pihak perusahaan pengolah dan penampung menjadi bentuk slab. Peran jalan raya yang telah berbenah membuat produksi karet slab dapat terealiser.

Sama halnya dengan kuantitas, kualitas produksi juga tidak ada data ditemukan. Maka untuk menjelaskan tentang kualiitas sheet dengan slab digunakan informasi hasil wawancara dari para tokoh masyarakat di Desa Rumah Sumbul bisa dilihat dari tabel sebagai berikut


(64)

Tabel 20

Jumlah Kualitas Produksi Karet/Minggu Tahun 1955-1975

No Periode

Mutu Karet Olah Plain Sheet dengan Slab

Jumlah Produksi/ Desa/ Minggu /kg Jumlah Produksi /Bulan Jumlah Produksi /Tahun Plan Sheet/ Minggu

% Slab/ Minggu

%

1 1955 111,66 446,64 5.359,68 111,66 100 - 0 2 1965 1.219,2 4.876,8 58.521,6 k 16,968 100 - 0 3 1975 16.350 65.400 784.800 13.815,7 84,

5

2.534,5 15, 5

4 1985 60.192 240.768 2.889.216 51.163,2 85 9.028,8 15 5 1995 179.900 719.600 8.635.200 - 0 179.900 10

0 Rata-rata 3.120

Sumber: Diolah Dari Wawancara Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula br Sinuhaji

Dari tabel 14 menerangkan tentang perbedaan jumlah produksi berdasarkan kualitas dari plan sheet dengan slab. Produksi karet olah plan sheet lebih lama menjadi produk pendapatan karet selama 30 tahun di Desa Rumah Sumbul. Karet olah plan sheet merupakan karet olah unggulan dibandingkan slab. Perbandingan karet plan sheet dengan slab pada periode 1985 berbanding 85% dengan jumlah 51.163,2 kg sedangkan slab 15% dengan jumlah 9.028,8 kg. Pada periode 1995


(65)

terjadi pergeseran karet olah plan sheet ke slab. Secara keseluruhan masyarakat desa tidak mengolah karet ke bentuk plan sheet pada periode ini. Alasan pihak perusahaan dengan penampung produksi menganggap karet olah slab lebih efesien mulai dari penyadapan ke pemasaran sehingga mempercepat proses pengangkutan.

4.5 Modal dan Tenaga Kerja

Sebagai salah satu faktor produksi, modal sangat diperlukan dalam usaha pertanian.Tanpa modal usaha pertanian tidak bisa dilakukan, paling tidak modal dibutuhkan untuk membeli peralatan pertanian dan upah tenaga kerja. Kecukupan modal mempengaruhi ketepatan waktu dan ketepatan takaran dalam penggunaan masukan. Artinya, keberadaan modal sangat menentukan tingkat atau jenis teknologi yang diterapkan. Kekurangan modal menyebabkan kurangnya masukan yang diberikan sehingga menimbulkan risiko kegagalan atau rendahnya hasil yang akan diterima.

Masayarakat Desa Rumah Sumbul tidak memerlukan modal yang besar dalam pertanian karet terutama pada periode 1955 sampai 1965, hal ini karena tidak ada perawatan khusus untuk perawatan karet dan fasilitas pertanian belum masuk ke desa. Modal yang dikeluarkan petani karet pada periode 1955 sampai 1965 hanya untuk pemenuhan tenaga keluarga selama mencari dan mengambil bibit di sekitaran kebun karet. Untuk memenuhi asupan tenaga selama mengumpulkan bibit karet, biasanya petani menyiapkan bekal. Bekal yang diperoleh biasanya hasil pendapatan dari penjualan barang pertanian di pusat pasar dalam hal ini Pasar Amplas. Bekal seperti,


(66)

beras, ikan, sayur, gula, kopi dan kebutuhan pangan lainnya.

Penanaman karet tergolong sangat praktis dan tidak mengeluarkan banyak biaya terutama ketika posisi karet hanya dijadikan pembatas lahan pada periode 1955. Hal ini dilakukan dikarenakan infrastruktur jalan raya yang tidak bersahabat sehingga memperkecil harga produksi lewat para penampung yang datang dari luar daerah. Pohon karet tumbuh di lahan-lahan penghulu hasil dari bibit yang diberikan Belanda. Pada periode 1975 dengan membaiknya infrastruktur jalan, masuknya fasilitas pertanian ke desa seperti pupuk, obat tanaman, teknologi pertanian dan harga karet yang melambung tinggi, penanaman karet semakin membutuhkan modal yang banyak. Ada beberapa peralatan yang digunakan petani dalam mengelola karet sebagai berikut :parang (goluk), batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember.

Parang (goluk), berguna untuk membabat semak belukar yang mengelilingi karet. Parang terbuat dari besi dan tangkainya terbuat dari kayu. Panjang kira-kira 40 cm. Batok kelapa berguna untuk menampung susu lateks yang telah disadap agar tidak jatuh ke tanah. Terdapat di kede-kede kelontong sebagai kelapa yang telah selesai diperoses. Pisau deres yang dipegang dengan dua tangan yang ujungnya membentuk sudut berbentuk huruf c memiliki ketajaman seperti pisau bertujuan agar dapat mengikis dan merobek bagian pohon supaya mendapatkan susu lateks. Cara menyadap kulit karet tidak dilakukan kuat-kuat apalagi sampai tertulan atau mengenai sisi dalam pohon yang menyebabkan mengurangi debit lateks. Senter


(67)

berguna untuk menerangi pohon ketika petani melakukan penyadapan jam 5 pagi. Petani yang memiliki luas lahan karet lebih dari 5 ha dengan tidak menggunakan tenaga kerja upahan menyiasatinya dengan melakukan penyadapan lebih pagi agar semua lahan dapat diselesaikan sebelum siang hari tiba yang dapat mengurangi produksi lateks. Goni digunakan untuk mengumpulkan lateks yang telah menjadi

lumb, tahapan pekerja karet membagi dua waktu dalam satu hari. Setengah hari dari jam 05.00-11.00 dilakukan penyadapan sedangkan tahapan kedua 13.00- 17.00 melakukan pengutipan lumb dari wadah batok kelapa yang langsung dimasukkan ke dalam goni. Tali, alat ini digunakan untuk memperoses karet dari lumb menjadi slab. Petani juga menggunakan cadangan jika tali yang diharapkan terlupa tidak dibawa ke lahan pertanian. Tali lainnya diambil berupa bagian akar akar yang ada di lahan pertanian, sehingga mengurangi beban penambahan nilai modal. Ember digunakan untuk menampung cairan lateks yang tidak mengendap menjadi lumb. Cairan ini juga nantinya digunakan sebagai perekat antara lump yang satu dengan lainnya sehingga membentuk slab dan mempermudah dalam pengangkutan. Peralatan dalam pertanian karet ini akan diganti satu kali enam bulan. Pada periode 1955 sampai 1965 terkait dengan harga peralatan karet tidak disebutkan satu persatu namun seperti parang

(goluk), batok kelapa, pisau deres, senter, goni, pupuk pengganti cuka, tali, dan ember biaya pembelian peralatan petani tersebut sebesar Rp.300,- dibagi 6= Rp.50,-,65

65

Pemberian upah yang didasari nilai kekeluargaan masih sering dijumpai pada periode 1965 sampai 1975. Namun pemilik lahan walaupun didasari kekeluargaan, tetap memberi sebungkus rokok nipah kepada tenaga kerja tersebut sebagai tanda perekat nilai kekerabatan. Besaran harga setiap bugkusnya dihargai Rp.5,-


(1)

BAB IV Dinamika Karet di Desa Rumah Sumbul 1953-1995

4.1 Jumlah Petani ... 40

4.2 Luas Lahan ... 43

4.3 Jumlah Pohon ... 53

4.4 Produksi ... 61

4.5 Modal Dan Tenaga Kerja ... 74

4.6 Pemasaran ... 83

BAB VPengaruh Pertanian Karet Rakyat Terhadap Masyarakat Desa Rumah Sumbul Tahun1953-1995 5.1Penghasilan ... 88

5.2Kesejahteraan ... 109

5.3Pengaruh Terhadap Desa ... 112

5.4 Gaya Hidup ... 115

BAB VIPeralihan Pertanian Masyarakat Desa Rumah Sumbul Dari Karet Ke Kelapa Sawit 6.1Proses Peralihan Karet Ke Kelapa Sawit ... 120

6.2Faktor Penyebab Peralihan ... 123

6.2.1 Sistem-Pembudidayaan-Kelapa-Sawit-Lebih Menguntungkan ... 123

6.2.2 Keuntungan Ekonomi ... 127

6.2.3 Sensitifitas Tanaman Karet Terhadap Penyakit ... 130

6.3Akibat Peralihan Pertanian Karet ... 133

BAB VIKesimpulan dan Saran 7.1 Kesimpulan ... 135


(2)

DAFTAR PUSTAKA ... 139 DAFTAR INFORMAN ... 141 LAMPIRAN


(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Perbandingan Luas Lahan Karet Dengan Lahan

Desa Rumah Sumbul 1955-1999 ... 51 Gambar 2 : Jalur Tata Niaga Karet di Desa Rumah Sumbul ... 86


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Petani Karet Rakyat di Desa Rumah Sumbul

1955-1995 ... 41

Tabel 2 : Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1955 ... 43

Tabel 3 : Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1965 ... 45

Tabel 4 : Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1975 ... 46

Tabel 5 : Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1985 ... 47

Tabel 6 : Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1995 ... 48

Tabel 7 : Jumlah Keseluruhan Luas Lahan Karet Dengan Perbandingan Terhadap Luas Desa Rmah Sumbul 1955-1995 ... 49

Tabel 8 : Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1955 ... 54

Tabel 9 : Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1965 ... 55

Tabel 10 : Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1975 ... 56

Tabel 11 : Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1985 ... 57

Tabel 12 : Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1995 ... 58

Tabel 13 : Jumlah Keseluruhan Pohon Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995 59 Tabel 14 : Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet Desa Rumah Sumbul 1955 ... 62

Tabel 15 : Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet Desa Rumah Sumbul 1965 ... 63


(5)

Tabel 16 : Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab

Desa Rumah Sumbul 1975 ... 64 Tabel 17 : Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab

Desa Rumah Sumbul 1985 ... 65 Tabel 18 : Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Slab

Desa Rumah Sumbul 1995 ... 66

Tabel 19 : Jumlah Keseluruhan Produksi Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995 67 Tabel 20 : Jumlah Kualitas Produksi Karet/Minggu Tahun 1955-1975 ... 73

Tabel 21 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Tahun 1955 ... 89 Tabel 22 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Tahun 1965 ... 90 Tabel 23 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Tahun 1975 ... 91 Tabel 24 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Tahun 1985 ... 93 Tabel 25 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Tahun 1995 ... 94 Tabel 26 : Rekapitulasi Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Minggu Periode 1955-1995 ... 95 Tabel 27 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul Per Hektar

Per Minggu 1955 ... 97 Tabel 28 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul Per Hektar

Per Minggu 1965 ... 97 Tabel 29 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul Per Hektar


(6)

Tabel 30 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul Per Hektar Per Minggu 1985 ... 99 Tabel 31 : Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul Per Hektar

Per Minggu 1995 ... 99 Tabel 32 : Rekapitulasi Penghasilan Petani Karet Rakyat Desa Rumah Sumbul

Per Hektar Per Minggu periode 1955 -1995 ... 100 Tabel 33 : Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap Keseluruhan

Penghasilan Petani Per Bulan Tahun 1955 Dalam Rupiah ... 102 Tabel 34 : Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap Keseluruhan

Penghasilan Petani Per Bulan Tahun 1965 Dalam Rupiah ... 103 Tabel 35 : Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap Keseluruhan

Penghasilan Petani Per Bulan Tahun 1975 Dalam Rupiah ... 104 Tabel 36 : Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap Keseluruhan

Penghasilan Petani Per Bulan Tahun 1985 Dalam Rupiah ... 105 Tabel 37 : Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap Keseluruhan

Penghasilan Petani Per Bulan Tahun 1995 Dalam Rupiah ... 106 Tabel 38 : Rekapitulasi Persentase Konstribusi Karet Rakyat Terhadap

Keseluruhan Penghasilan Petani Per Bulan Periode 1955-1995

Dalam Rupiah ... 107 Tabel 39 : Perbandingan Harga Karet Terhadap Harga Beras

Desa Rumah Sumbul 1955-1995 ... 108 Tabel 40 : Perbandingan UsahaTani Karet Dengan Kelapa Sawit

Ditinjau Dari Aspek Teknis Budidaya Desa Rumah Sumbul ... 124 Tabel 41 : Perbandingan Penghasilan Karet Dengan Kelapa Sawit Per Hektar