Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan Metode Penulisan Latar Belakang

9 baik internal diri maupun eksternal, maka akan memudahkan mereka menemukan jalan keluar yang terbaik bagi keluarga. Untuk bisa mencapai itu semua, maka segala ego diri masing-masing pihak harus dikalahkan oleh kepentingan bersama untuk perkembangan karakter anak dalam segala aspek. Keputusan yang diambil orang tua untuk kebaikan anak itulah yang utama. Sebab anak yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang baik, akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas maka permasalahan pokok yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah menjawab pertanyaan: 1. Pola komunikasi macam apa yang diterapkan orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak? 2. Apa peranan fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak? 3. Faktor pendukung dan penghambat apa saja yang dialami oleh orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak? 4. Sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

C. Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguraikan beberapa pola komunikasi orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. 10 2. Memaparkan peranan pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak? 3. Mengungkapkan faktor pendukung dan penghambat yang dialami oleh orang tua dalam berkomunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. 4. Mengetahui sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Membantu menyadarkan dan meyakinkan orang tua akan pentingnya membangun komunikasi yang benar bagi pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik. 2. Memberi gambaran kepada orang tua tentang berbagai pola komunikasi yang efektif dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. 3. Membantu orang tua untuk menemukan berbagai masalah yang dihadapi dalam proses pembentukan karakter dan iman anak. 4. Membantu Gereja khususnya seksi pewartaan Paroki dalam bidang pendampingan keluarga.

E. Metode Penulisan

Proses penulisan ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui penelitian kualitatif.

F. Sistematika Penulisan

Judul yang dipilih u ntuk skripsi adalah “Fungsi komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga katolik di Paroki 11 Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang menyampaikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab tersebut merupakan gambaran awal dari judul yang diajukan oleh penulis dalam tulisan ini. Bab II membahas gambaran umum tentang pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Kristiani. Penulis juga akan membahas tentang pengertian komunikasi dan sejauh mana komunikasi dibangun dalam keluarga. Bab III penulis menjelaskan penelitian tentang dinamika komunikasi orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Penulis juga akan membahas hasil penelitian mengenai fungsi komunikasi, keharmonisan dalam keluarga dan pembentuka karakter dan iman anaK. Bab IV merupakan usulan program yang diajukan penulis sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian. Usulan program berupa rekoleksi keluarga. Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan ususl saran yang perlu diperhatikan. 12

BAB II FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA

DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK Pada bagian ini penulis akan menguraikan dua hal penting yakni pembentukan kepribadian dan iman anak, dan pola komunikasi orang tua dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga Katolik.

a. Pembentukan Karakter dan Iman Anak Dalam Keluarga Katolik

1. Keluarga Katolik

a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik

Ketika manusia berbicara tentang keluarga Katolik maka manusia akan dihantar kepada pemikiran tentang kisah penciptaan. Sebab pada awal mula, penciptaan dan pembentukan keluarga merupakan karya penciptaan Allah. Allah adalah penggagas pertama dan utama pembentukan keluarga. Karena itu dasar utama keluarga Katolik adalah Allah. Atas dasar ini manusia membangun persekutuan dalam keluarga. Manusia tidak diciptakan Allah untuk hidup seorang diri melainkan untuk hidup dalam kebersamaan . Allah berfirman, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya yang sepadan dengan dia” bdk, Kejadian, 2: 18. Manusia diciptakan untuk hidup dalam kesatuan dan persekutuan yang mesra. Alkitab secara jelas mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar 13 Allah diciptakanNya dia; laki- laki dan perempuan diciptakanNya mereka” bdk, Kejadian, 1: 27. Pada mulanya Allah menciptakan manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepadanya bdk, Kejadian, 2: 7. Allah melihat bahwa “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja maka Allah menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah membuat manusia itu tidur nyenyak lalu Allah mengambil satu dari rusuknya lalu diciptakanNya seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu” bdk, Kejadian, 2: 22. Pikiran yang paling penting di sini bukan soal perempuan diciptakan dari tulang laki-laki melainkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah menurut gambarNya. Laki-laki menerima perempuan sebagai bagian utuh dari dirinya, “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” bdk, Kejadian, 2: 23. Tujuannya untuk saling menolong dan saling menyempurnakan. Demi terwujudnya cita-cita ini, m aka “Seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging” bdk, Kejadian, 2: 24. Atas dasar pemikiran teologis ini, maka manusia dari generasi ke generasi terutama orang Katolik yang ingin menikah dan membangun keluarga mesti percaya bahwa dasar pembentukan dan persekutuan keluarga Kristiani adalah Allah. Perkawinan dan keluarga bukan sekedar jodoh, melainkan anugerah Allah bagi pria dan wanita. Karena itu persekutuan suami-istri dalam keluarga dan perkawinan mesti dihayati dalam semangat cinta kasih Allah. Dengan kata lain, urusan keluarga dan perkawinan, bukanlah urusan manusia, melainkan urusan dan rencana Allah. Karena seturut rencana Allah keluarga telah ditetapkan sebagai 14 ‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, dan mengemban misi untuk membangun persekutuan hidup dalam kasih, melalui usaha sebagaimana segala sesuatu yang diciptakan dan ditebus akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah Maurice Eminyan, 2000: 85.

b. Pengertian Keluarga Katolik

Berdasarkan pemikiran teologis-biblis tentang keluarga di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa keluarga secara keseluruhan pada dasarnya adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sedangkan keluarga Katolik khususnya dapat dipahami sebagai sebuah miniatur dari Gereja. Keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak yang disebut dengan keluarga kecil atau keluarga inti. Jika kita merujuk pada sejarah keselamatan maka keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yang nyata dalam persekutuan hidup Adam dan Hawa bdk, Kejadian, 1:27-29. Keluarga pertama ini terdiri dari suami-istri dan anak-anak : Adam-Hawa serta Kain dan Abel bdk, Kejadian, 4: 1-2. Dalam persekutuan hidup keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran sosial yang berbeda-beda, namun tujuannya sama yakni untuk membangunn keluarga Kristiani yang harmonis sesuai rencana Allah. Menurut Lee sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2012: 6, dari segi keberadaan anggota keluarga, sesungguhnya keluarga dapat dibedakan menjadi dua yakni keluarga inti nuclear family yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sabling. Kemudian keluarga 15 batih extendef family yang disebut keluarga besar yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga kekerabatan ayah maupun keluarga kekerabatan ibu. Sedangkan dalam buku yang berjudul “Catholic Parenting” Alfonsus Sutarno, 2013: 42 dikatakan bahwa: keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja rumah tangga”, satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen KGK 1666.

c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen

Perkawinan merupakan persekutuan orang-orang terbaptis yang diikat oleh sakramen untuk membangun keluarga menurut rencana Allah KHK, Kan. 1061. Maka menjadi Katolik melalui pembaptisam berarti bersedia menjadi pengikut Kristus. Menjadi pengikut Kristus berarti berusaha meneladani hidup dan ajaran- ajaran Kristus. Keluarga Katolik merupakan tempat untuk menghayati ajaran Kristus itu secara baik, benar dan utuh. Karena itu perkawinan dan keluarga tidak sekedar suatu persekutuan hidup manusiawi, melainkan suatu panggilan untuk menghayati cinta kasih dari persekutuan Allah Tritunggal secara nyata dalam persekutuan cinta suami-istri dan anak-anak dalam keluarga. Inilah kekhasan yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung 16 dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan GS, art. 48 Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini dapat belajar begaimana membangun persekutuan dalam hidup perkawinan dan keluarga dengan bercermin pada pengalaman dan cara hidup jemaat perdana. Orang Kristen pada umumnya dan keluarga-keluarga Kristen pada khususnya dipanggil untuk mewarisi tradisi hidup Kristen sebagaimana yang diwariskan oleh jemaat perdana bdk, Kisah Para Rasul, 2: 41-47. Mereka mesti berusaha, antara lain pertama, menggali dan menemukan apa yang menjadi dasar dalam hidup Gereja perdana untuk dijadikan kekuatan menyuburkan hidup bersama dalam keluarga; kedua, berusaha meneruskan apa yang baik, luhur dan berharga dalam kehidupan bersama. Pada titik ini, keluarga-keluarga Kristen dituntut untuk benar-benar menjadi sakramen yaitu tanda dan sarana penyelamatan Allah yang nampak dalam kasih Yesus di tengah keluarga dan dunia. Suami-istri merupakan sakramen yang menyelamatkan dari Allah di tengah dunia St. Darmawijaya, 1994: 10. Kesadaran inilah yang melatarbelakangi pertimbangan Gereja Katolik dalam mempersiapkan pasangan nikah sebelum menerima sakramen perkawinan untuk hidup sebagai suami-istri dalam keluarga. Hidup berkeluarga yang diawali dengan penerimaan sakramen perkawinan merupakan suatu panggilan hidup untuk menjadi rekan kerja Allah dalam melangsungkan karya penciptaan-Nya, demi perkembangan hidup dan berlangsungnya generasi hidup manusia bdk, Kejadian, 1: 28. Karena itu manusia terutama suami-istri disebut rekan 17 sepencipta Allah co-creator untuk bersama Allah membangun dunia dan manusia teristimewa dalam melahirkan keuturunan baru bagi kemuliaan Allah. Yoseph Kristianto dalam buku yg berjudul, “Semakin Menjadi Manusia”, Ed, B. A Rukyanto dan Sumarah, 2014: 53 mengungkapkan bahwa apabila pria dan wanita telah dipertemukan dalam cinta kasih, selanjutnya dengan kebulatan hati dan kebebasan nuraninya berniat membangun hidup bersama, maka niat suci ini perlu ditempatkan dalam perspektif menanggapi panggilan Tuhan. Karena sejak awal mula manusia telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sehingga mempunyai potensi untuk bertumbuh dan saling melengkapi satu sama lain di antara suami-istri. Keluarga merupakan tempat suami-istri saling memberi energi, perhatian, komitmen, kasih serta didukung oleh lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh dan berkembang dalam pelbagai dimensi kehidupan. Alfonsus Sutarni dalam buku “Catholic Parenting” 2013: 10, mengatakan bahwa: hidup berkeluarga dimulai dengan perkawinan. Tidak ada keluarga tanpa perkawinan. Bentuk hidup bersama tanpa perkawinan pada dasarnya bukanlah keluarga. Dalam aturan umum perkawinan pada hakekatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita yang saling mencintai untuk membentuk hidup bersama. Kemudian demi anak-anak, maka seharusnya keluarga dibentuk dari sebuah perkawinan yang sah, yang diakui secara agama maupun sipil. Dengan perkawinan yang sah, maka keberadaan anak-anak akan menjadi tujuan perkawinan. Konskuensinya, orang tua akan bertanggung jawab atas hidup, martabat, pendidikan, dan tumbuh kembang anak. Anak yang 18 dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dan dididik secara Kristen. Perkawinan yang sah memungkinkan adanya komitmen yang jelas dari orang tua akan keberadaan keluarga dan masa depan anak-anak. Anak-anak mendapat jaminan kehidupan yang jelas. Sebab di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap individu diperkenalkan ke dalam keluarga manusia dan juga ke dalam keluarga Allah. Dengan kelahiran dan pendidikan, anak-anak yang dikaruniakan diantar masuk ke dalam keluarga Allah, yakni Gereja. Keluarga sebagai Gereja mini adalah tempat dan lingkungan untuk bertumbuh dan berkembang dalam setiap generasi J. Hardiwiratno, 1994: 50. Selanjutnya dalam buku berjudu l, “Menuju Keluarga Bertanggung Jawab” J. Hardiwiratno 1994; 60 mengatakan bahwa saling memberikan hidup di antara individu-individu karena rencana Allah sendiri, merupakan suatu berkat yang fundamental. Saling memberi hidup merupakan suatu tanda cinta dan tanda pemberian diri di dalam hidup perkawinan. Pemberian hidup dalam perkawinan tidak sekedar untuk melahirkan anak, melainkan juga menjadi kekuatan untuk membantu anak dapat berkembang sebagai anak yang bermoral dan berspiritual. Karena di dalam dan melalui keluarga landasan kepribadian dan perkembangan iman anak dibangun dan dikembangkan. Selain itu keluarga merupakan tempat untuk mentransfer nilai-nilai kehidupan yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari segi moral maupun segi spiritual. Untuk itu setiap anggota keluarga perlu saling belajar hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang kurang baik. 19 Rasul Santo Paulus menegaskan bahwa keluarga Kristiani perlu membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka agar masalah dan tantangan apapun dapat diselesaikan dalam nama Tuhan. Setiap keluarga Katolik perlu memahami bahwa yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling melengkapi dan saling mencintai satu sama lain secara total dan menyeluruh bdk, Efesus, 5: 22-30.

2. Anak Dalam Keluarga Katolik

a. Anak Adalah Anugerah Allah bagi Suami-Istri

Salah satu tujuan perkawinan Katolik adalah untuk melahirkan anak. Anak adalah buah cinta suami-istri dalam perkawinan, tapi terutama anak adalah anugerah cinta dari Allah kepada suami-istri dalam perkawinan mereka. Anak sebagai anugerah Allah kepada suami-istri membutuhkan cinta, perhatian dan tanggung jawab orang tua. P aus Yohanes Paulus II dalam “Surat Apostolik Familiaris Consortio” FC, art. 18 mengatakan bahwa: keluarga yang didasarkan dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi-pribadi, persatuan antar suami dan istri, persatuan orang tua dan anak-anak dan persatuan sanak saudara. Tugasnya yang pertama ialah dengan setia menghayati realitas persatuan dalam usaha terus menerus untuk mengembangkan persekutuan antarpribadi yang otentik. Persekutuan antarpribadi ini terjadi dalam komunitas keluarga yang membentuk suatu ikatan yang disebut relasi. 20

b. Relasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Prinsip persekutuan menuntut pribadi-pribadi dalam keluarga untuk menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional. Dalam pembangunan relasi inilah para anggota keluarga memperlihatkan tanggungjawabnya satu terhadap yang lain. Relasi personal berpusat pada hati sedangkan relasi fungsional berkaitan dengan peran masing-masing pribadi dalam keluarga dan dengan keluarga-keluarga lain. Setiap pribadi mesti menanamkan dalam hatinya prinsip rasa ‘memiliki’ satu sama lain. Artinya setiap anggota keluarga mesti menunjukkan rasa tanggungjawab satu terhadap yang lain dan merasa bahwa anggota keluarga yang lain merupakan bagian utuh dari dirinya karena “mereka bukan lagi dua melainkan satu” bdk. Kejadian 2: 24. Relasi personal diartikan sebagai relasi antarpribadi, yang didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang. Dalam relasi ini setiap pribadi adalah setara dengan setiap pribadi yang lain dalam keluarga. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Sedangkan relasi fungsional adalah relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga, misalnya relasi orang tua dengan anak. Dalam keluarga, kedua relasi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena hubungan fungsional dalam keluarga harus selalu personal juga, artinya harus selalu dalam semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak asasi yang sama pula KWI, 2011: 22. Relasi antaranggota keluarga tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan hidup sebagai makluk sosial, melainkan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai tertentu yakni: 21 1 Relasi suami-Istri. Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat eksklusif dan tak terputuskan, kecuali oleh kematian. Persekutuan suami istri itu bertujuan saling melengkapi dan menjadi sakramen cinta-kasih Allah yakni tanda dan sarana kehadiran cinta-kasih Allah yang menyelamatkan KWI, 2011: 22 2 Relasi Orang Tua-Anak. Relasi orang tua dan anak bertujuan menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama maupun untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayah dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” bdk, Efesus, 6: 1-4 3 Relasi Keluarga Inti-Keluarga Besar. Dalam masyarakat Indonesia, pengertian “keluarga” seringkali juga menunjuk pada “keluarga besar”, yang terdiri dari keluarga inti suami-istri dan anak-anak, orang tua dan mertua, serta sanak saudara. Dalam kehidupan sehari-hari relasi antar keluarga inti dan keluarga besar sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. ketika keluarga inti menghadapi suatu persoalan, keluarga besar juga ikut merasakan dan terlibat di dalamnya. Baik keluarga inti maupun keluarga besar hendaknya membangun relasi yang tidak hanya berdasarkan hubungan darah, tetapi lebih dari itu berdasarkan dan bersumber pada cinta-kasih. Perwujudan dari relasi-relasi 22 tersebut dipengaruhi oleh budaya-budaya dan tradisi setempat yang tetap pantas diperhatikan, dipelihara, dan dihargai dengan sikap kritis dan kreatif KWI, 2011: 27 Menurut Sri Lestari 2012: 9, pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi antarsuami-isteri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sabling saudara sekandung. Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk- bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi. Setiap bentuk relasi yang dibangun dalam keluarga tentu memiliki warna atau kerakteristik tertentu. Menurut Calhoun dan Acocela, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2012: 9 disampaikan bahwa relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri karena lemah dalam proses adaptasi. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Proses adaptasi diri ini sifatnya dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Proses penyesuaian adalah suatu interaksi yang yang terus-menerus dan kontinu dengan diri sendiri, di antara suami-istri, suami-isri dengan anak-anak serta dengan orang lain dan lingkungan sosial. Pada tahap ini, komunikasi interpersonal merupakan 23 aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola dan keterampilan dalam berkomunikasi.

c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga

Dalam perkawinan, menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan Sri Lestari, 2013: 16. Dalam buku “Psikologi Remaja”, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2013: 19, menurut Hinde, dikatakan bahwa relasi orang tua dan anak mengandung beberapa prinsip berikut ini: 1 Interaksi. Perlu disediakan waktu agar orang tua dan anakdapat berinteraksi dan berkomunikasi untuk menciptakan keakraban. Berbagai interaksi dan komunikasi dapat membentuk kepribadian anak dan membantu anak untuk bertumbuh secara wajar menuju masa depan yang lebih baik. 2 Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran yang sama dalam interaksi untuk saling memperkaya dalam relasi yang sehat. 24 3 Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik. Walaupun demikian keunikan itu dapat dikomunikasikan dalam relasi timbal balik antara orangtua dan anak untuk saling memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain di dalam keluarga 4 Pengharapan. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi pada awalnya menjadi gambaran pada pengharapan dalam hubungan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan berindak pada suatu situasi Demikan pula sebaliknya anak kepada orang tuanya. 5 Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, maka masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya. Kemudian menurut Dunn, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” 2012: 20 pola hubungan antara saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik yakni: a Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif; b Kedua, keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik; 25 c Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain Untuk mengetahui apa arti keluarga bertanggung jawab menurut ajaran Gereja Katolik, pertama-tama perlu dilihat dalam terang Konstitusi Gaudium et Spes GS. Suami istri harus bertanggung jawab dengan memperhatikan kesejahteraan pasangan, kesejahetraan anak-anaknya yang sudah ada maupun yang akan ada, maka tanggung jawab itu membuka cakrawala suami-isteri lebih luas, sehingga selalu turut memperhitungkan kepentingan masyarakat dan Gereja GS 50. Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus dan Kolose Ef, 5:22- 23; 6:1-4 dan Kol, 3:18-21 terungkap secara jelas bentuk-bentukrelasi timbalbalik dalam keluarga yakni: 1 Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya, 2 Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal, 3 Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya, 4 Anak-anak menghormati dan mentaati orang tuanya. Bentuk-bentuk relasi di atas memberi inspirasi kepada setiap anggota keluarga untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dalam keluarga. Menurut Defrain dan Stinnett, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” 2012: 24-26, dikatakan bahwa: kekukuhan keluarga merupakan 26 kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan well-being keluarga. Ada enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, yakni: a Memiliki komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga perlu diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga perlu memiliki komitmen untuk saling membantu satu sama lain dalam meraih keberhasilan. b Kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap anggota keluarga perlu melihat sisi baik dari anggota keluarga lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikkan tersebut. Setiap ada keberhasilan maka sangat dianjurkan untuk merayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan akan menjadi kebiasaan baik. c Ada waktu untuk berkumpul bersama. Secara berkala keluarga perlu melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka. d Mengembangkan spiritualitas. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan. e Menyelesaikan konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menghargai pendapat masing-masing terhadap permasalahan. f Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh akan memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya 27 kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola dalam keluarga akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya

d. Suami-Istri Dipanggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus

1 Kesaksian dan Keteladanan Dalam Keluarga Kristiani Dalam perkawinan Katolik, suami-istri menghayati pola hidup persekutuan yang dibangun atas dasar kasih mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Dengan menghayati pola hidup persekutuan dalam kasih, suami-istri meneladan teladan Keluarga Kudus Nazaret dalam hal kesatuan dan kesucian perkawinan. Cara hidup seperti ini sangat menolong suami istri untuk menghayati gaya hidup miskin, sederhana, memelihara kesetiaan, ketaatan dan kesucianGS, art. 48. Cara hidup seperti ini menjadi dasar bagi suami-istri dalam mengajar anak, memberi teladan dan kesaksian hidup melalui doa bersama dalam keluarga, menghadiri Ekaristi, melakukan tindakan belaskasih kepada sesama, menghibur yang sakit dan menderita dan tindakan cinta kasih lainnya. Dalam buku “Pedoman Pastoral Keluarga” KWI, 2011: 15-18 dikatakan bahwa keluarga Kristiani sebagai Ecclesia Domestica melahirkan keluarga yang tahu bersyukur dan peduli satu terhadap yang lain dalam keluarga dan terhadap lingkungan sosialnya. Sakramen pembaptisan memberi kekuatan kepada suami- 28 istri untuk mencintai Allah dan dorongan untuk melaksanakan tugas perutusan dengan baik dalam keluarga. Fungsi sakramen baptis dalam hidup perkawinan suami-istri dan keluarga, antara lain:Pertama,berkat Sakramen Baptis, suami istri dan anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat, dan rajawi. Dengan martabat kenabian mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen-sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama; Kedua, berkat sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan Koinonia dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan Leiturgia, mewujudkan pelayanan Diakonia melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian Martyria dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan Kerygma yang baru. Setiap Keluarga Katolik perlu memberi kesaksian dan menjadi teladan dalam hidup bermasyarakat. Untuk itu setiap Keluarga Katolik perlu menyadari bahwa perbuatan baik yang dilakukan kepada siapapun, kapanpun, dan di manapun adalah sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, karena Tuhan telah lebih dahulu berbuat baik bdk, Kolose, 3: 23. Perbuatan baik apapun yang dilakukan bukanlah untuk mendapat pujian atau penghargaan, melainkan sebagai bentuk 29 syukur kepada Tuhan. Tuhan Yesus sendiri dalam sabda-Nya berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga bdk, Matius 5:16”.Perbuatan baik ini hendaknya tercermin dalam sikap sabar dalam menanggung penderitaan, lemah lembut dalam sikap, rendah hati dalam bertutur kata, hormat terhadap sesama, menghargai perbedaan, mendoakan orang lain, berani membela kebenaran, dan peduli kepada sesama dengan berbagi. Ini adalah bentuk kesaksian dari setiap orang yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. 2 Harapan Orang Tua Terhadap Kehidupan Anak Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” 2012: 151-152 mengungkapkan bahwa: setiap keluarga terdapat dua harapan utama yang muncul dari orang tua terhadap anak-anaknya yakni:pertama, orang tua mengharapkan anaknya menjadi anak yang saleh. Adapun ciri anak yang saleh yang dipaparkan oleh para orang tua adalah menjalani kehidupan sesuai dengan tuntutan agama. Kesalehan di sini tentu tidak hanya diukur dari berapa banyak kali ia berdoa, membaca Kitab Suci dan menghadiri Ekaristi, tetapi bagaimana kegiatan rohani itu menjiwai seseorang dalam hidup dan karya, bagaimana seseorang membawa semangat doa dalam praktek hidup harian. Inilah tanda kesalehan. Iamempunyai kemandirian dan kedewasaan rohani terutama dalam mengatasi pelbagai persoalan hidup. Tentunya iman menjadi filter untuk memilah-milah antara yang baik dan buruk dan memungkinkan anak hanya memilih yang baik saja Alfonsus Sutarno, 30 2013: 68 ; Kedua, orang tua mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses ketika dewasa nanti. Kesuksesandi sini tidak hanya dimengerti sebagai sukses dalam karir, jabatan tetapi terutama sukses dalam memainkan peran sosial dalam masyarakat dengan terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan masyarakat jugamenjadi pribadi yang bertanggungjawab atas kehidupan pribadi dan kepentingan sosial. Kesuksesan juga bisa berarti ia mampu menghargai dan menghormati orang lain sebagai pribadi. Orang-orang yang sukses dalam kehidupan ternyata memiliki kemampuan membangun dan membina hubungan dengan orang lain. Ke sana ke mari bukan mencari lawan atau musuh, tetapi mencari teman atau jaringan kerja sebanyak-banyaknya Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 287 a Peran Orang Tua Dalam Keluarga Menurut Sri Lestari 2012: 22, keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi. Orangtua adalah pusat kehidupan, sumber kebaikan dan pengetahuan. Karena itu sebelum orangtua tampil sebagai guru, pembina, pembimbing, pemimpin, pendidik dalam membentuk kepribadian anak, ia harus tahu persis jati dirinya sehingga mampu memainkan peran-peran di atas secara benar dan tepat. Kesadaran orang tua pada jati dirinya menyadarkan mereka pada peran dan 31 panggilannya. Suami dan istri akan berjuang demi hidup dan masa depan anak Alfonsus Sutarno, 2013: 60 Dalam buku “Catholic Parenting” ada beberapa hal pokok yang menjadi jati diri suami-istri, sebagaimana diungkapkan oleh Alfonsus Sutarno 2012: 60- 66. Jati diri tersebut adalah: 1 Menjadi orang tua adalah panggilan. Menjadi orang tua tidak dipandang sebagai upaya manusiawi belaka dari seorang pria dan seorang wanita, tetapi menjadi orang tua adalah panggilan Tuhan. Tuhan sendirilah yang menghendaki agar mereka menjadi orang tua. Dalam diri orang tua Allah ikut campur tangan, berencana, dan menaruh harapan. Bersama Kristus suami-istri dibimbing, diperkaya, diteguhkan dalam tugas luhur sebagai suami-istri, dan diantar menuju Allah 2 Yesus: Pola kesatuan suami-istri. Dengan berpola pada Kristus, keluarga lebih muda menemukan jalan kemanusiaan, keselamatan, dan kesucian. Suami-istri bisa bertekun mendidik anak-anak terutama di bidang keagamaan. Anak-anak ikut menguduskan orang tua dengan berterima kasih, mencintai, membantu dalam kesukaran dan kesunyian usia lanjut. 3 Suami-istri saling menyempurnakan. Persatuan suami-istri harus berakar pada kodrat saling melengkapi. Kesempurnaan sebagai pasangan suami-istri terwujud apabila sama-sama memiliki semangat berbagi, memberi, dan menerima. 32 4 Bangga menjadi orang tua. Mengingat martabatnya yang luhur dan suci, maka sepantasnya orang tua merasa bangga. Menjadi orang tua sebagai panggilan Allah, kehadiran Yesus sebagai pola hidup rumah tangga, dan kekuatan suami- istri untuk saling menyempurnakan adalah alasan bagi orang tua untuk bersuka-cita dengan dirinya. b Tugas Orang Tua Dalam Keluarga. Alfonsus Sutarno dalam buku “Catholic Parenting” 2013: 69-73 mengungkapkan bahwa: orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga terutama dalam proses pembentukan kepribadian dan iman anak. Orang tua tentu memiliki harapan agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam pelbagai aspek kehidupan jasmani, rohani, psikologis, pengetahuan dan lain-lain. Suami istri akan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara tepat bila pertama-tama mereka menyadari diri, siapakah sebenarnya diri mereka, siapakah mereka di hadapan anak-anak. Suami-istri sebagai orang tua terhadap anak-anak mengenal dirinya sebagai berikut : 1 Pendidik pertama dan utama. Orang tua adalah sumber pendidikan iman, moral, pengetahuan dan ketrampilan bagi anak-anak. Peran ini melekat kuat pada diri orang tua dan merupakan suatu tanggung jawab yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun atau institusi mana pun. Proses pendidikan sudah dilakukan orangtua terhadap anak sejak anak masih berada di dalam kandungan. Ibu sangat penting dalam memainkan peran ini. 33 2 Pemenuh kebutuhan dasar anak. Demi proses tumbuh-kembang anak secara optimal di bidang kesehatan jasmani, maka orang tua memperhatikan anak dari sisi pangan, pakaian, rumah, dan kesehatan. Berbagai upaya pendidikan dan pendewasaan anak bisa berjalan dengan baik jika kebutuhan utama itu terpenuhi. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan yang memadai bagi anak adalah syarat standar guna memudahkan upaya pendidikan anak-anak. 3 Pembimbing. Orang tua dapat membimbing anak-anak dengan baik apa bila orangtua peka terhadap anak-anak. Peka artinya mampu memahami kebutuhan, pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan anak-anak. Kepekaan ini akan memudahkan orang tua dalam mengembangkan iman, moral, pengetahuan, dan kretavitas anak. Selain itu, orang tua dapat memberikan kesempatan, arahan, atau fasilitas yang mungkin ketika anak melakukan sesuatu, menunjukkan kemampuannya dan keinginannya untuk belajar sesuatu. Sebagai pembimbing, orang tua juga perlu terbuka pada anak-anak. Orang tua bisa meminta anak untuk menyatakan hal yang telah ia ketahui atau menanyakan apa yang ingin diketahui. Sambutlah pertanyaan-pertanyaan mereka dan berikanlah anak kesempatan untuk belajar melalui kesalahan. 4 Pemimpin. Orang tua adalah pembimbing sekaligus pemimpin mesti peka membaca peluang bagi perkembangan anak di masa depan berdasarkan watak dan bakat anak.Orang tua tentu sudah harus memiliki gambaran yang pasti tentang setiap anak sehingga tahu persis dia mau dibawa kemana sehingga dapat menyia pkan “bekal perjalanan” yang memadai untuk masa depan anak- anak. Orangtua sebagai pemimpin berarti ia menjadi teladan bagi anak. Kata- 34 kata, tindakan, pikiran, dan perasaan orang tua menjadi referensi atau orientasi hidup si anak. Oleh karena itu, orang tua harus menunjukan keteladanan hidup yang baik dan pantas agar kebaikkan dan kepantasan cipta, rasa, dan karsa orang tua tertular kepada anak-anak. 5 Penasihat. Menjadi penasihat adalah jiwa orang tua, di mana orang tua menjadi tempat untuk bertanya, berdiskusi, dan mengadu sang anak. Sebagai penasihat orang tua diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan, mencarikan solusi dan menunjukan jalan yang baik dan benar di kala anak mengalami keraguan atau kebingungan. 6 Sahabat. Menjadi sahabat berarti orang tua perlu mengenal jiwa anak dengan bermain bersama anak. Mengajari anak tentang nilai kejujuran, sportivitas, penghargaan, keteraturan hidup, dan kerja sama dengan sesama. Kemudian mengenal suasana batin anak dengan menciptakan suasana santai, riang, dan gembira. 7 Pelindung. Melindungi anak merupakan suatu keharusan, terlebih ketika anak sedang berada dalam masa sukar dan bahaya. Orang tua bisa menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak di mana pun mereka berada. 8 Panutan. Orang tua bisa menjadi contoh yang baik dan konkret, baik dalam tutur kata, pemikiran, maupun tindakan. Keteladanan orang tua ini akan menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya pendidikan anak. 35

3. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Dan Iman Anak a. Penanaman Nilai Pada Anak

Mengenai penanaman nilai pada anak, menurut Paus Yohanes Paulus II, sebagaimana dikutip oleh Yoseph Kristianto dalam buku “Semakin Menjadi Manusiawi” Ed, B.A. Rukiyanto dan Sumarah, 2014: 67 menguraikan sebagai berikut: Tugas orang tua untuk mengabdi kehidupan adalah mendidik anak-anak. Pendidikan anak merupakan hak dan kewajiban orangtua. Cinta kasih menjadi sumber yang mendasari mereka dalam mengemban tugas untuk mendampingi anak-anak yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baru dalam menghayati hidup manusiawi secara penuh. Orang tua hendaknya mampu menciptakan situasi, relasi dan komunikasi yang penuh cinta kasih dan diliputi semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama, sehingga menunjang pendidikan pribadi termasuk pembinaan iman anak. Sedangkan menurut Sri Lestari 2012: 155-158 proses transformasi nilai ini diketahui melalui pesan-pesan yang sering disampaikan oleh orang tua terhadap anak dalam bentuk kegiatan dan sikap, berikut ini: 1 Pertama, rajin beribadah. Pesan untuk rajin beribadah disampaikan oleh orang tua pada anak dengan harapan agar anak menjadi anak yang saleh; 2 Kedua, bersikap jujur. Semua keluarga menyampaikan pesan moral untuk bersikap jujur kepada anak-anaknya; 3 Ketiga, bersikap hormat kepada yang lebih tua. Kata hormat memiliki beragam makna, hormat dimaknai sebagai kesediaan membantu meringankan beban tugas orang tua. Dengan pemaknaan tersebut maka anak yang menghormati 36 orang tua harus bersedia membantu orang tua untuk melakukan tugas-tugas orang tua di rumah yang telah didelegasikan pada anak. Hormat dapat juga dimaknai sebagai menghargai orang yang lebih tua tanpa memandang status sosialnya. Makna lain dari hormat adalah andhap asor, artinya dalam berelasi dengan orang lain menunjukan sikap rendah hati; 4 Keempat, rukun dengan saudara dan masyarakat. Rukun dalam masyarakat diwujudkan dengan bersedia membantu orang lain dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam keluarga ada pula orang tua yang menyampaikan pesan pada anak agar enthengan ringan tangan dalam kehidupan masyarakat. Maksudnya, anak diminta untuk sering bergaul dengan tetangga, terlibat dalam acara-acara yang berlangsung dalam masyarakat; 5 Kelima, pencapaian pretasi belajar. Pesan untuk rajin bersekolah dan belajar juga merupakan pesan yang umum disampaikan orang tua pada anak. Pada keluarga yang memiliki prioritas terhadap pencapaian prestasi, pesan ini disertai dengan pemantauan orang tua yang cukup intensif terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak selama anak berada di rumah, dan disertai dengan pengecekan terhadap perilaku anak selama di sekolah Selanjutnya dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari 2012: 161-163 mengemukakan beberapa metode untuk mendukung transformasi nilai yang digunakan oleh orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai yakni: a Memberikan Nasihat. Pemberian nasihat dilakukan dengan cara menyampaikan nilai-nilai yang ingin disosialisasikan pada anak dalam suatu komunikasi yang bersifat searah. Orang tua berperan sebagai komunikator pembawa pesan 37 sedangkan anak sebagai penerima pesan. Pemberian nasihat ini biasanya dilakukan setelah anak melakukan pelanggaran peraturan yang sudah disepakati bersama dalam keluarga. b Memberikan contohteladan. Dalam metode ini, orang tua melakukan terlebih dahulu perilaku-perilaku yang mengandung nilai-nilai moral yang akan disampaikan pada anak. c Berdialog. Dalam metode ini orang tua menyampaikan nilai-nilai pada anak melaui proses interaksi yang bersifat dialogis. Orang tua menyampaikan harapan-harapannya pada anak, kemudian anak diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya. d Memberikan instruksi. Dalam memberikan instruksi hendaknya orang tua memperhatikan konsistensi antara perkataan dan tindakan dalam berinteraksi. e Pemberian hukuman. Hukuman yang diberikan oleh orang tua ini sebagai cara untuk mendisiplinkan anak apabila berperilaku kurang sesuai dengan nilai-nilai yang disosialisasikan. Bentuk-bentuk hukuman yang diberikan orang tua kepada anak bentuknya bervariasi tergantung pada tingkat berat-ringan pelanggaran yang dilakukan oleh anak.

b. Pembentukan Karakter Anak

Menurut Park, dkk, sebagaimana dikutib oleh Sri Lestari 2012: 94, dikatakan bahwa dalam sejumlah penelitian tentang karakter anak ditemukan hasil yang menegaskan dua unsur ini: pertama, kekuatan karakter character strengths berkorelasi negatif dengan problem perilaku dan emosi pada remaja 38 seperti depresi, delinkuensi dan kekerasan; kedua, kekuatan karakter berkolerasi positif dengan faktor luar eksternal seperti kesuksesan di sekolah, perilaku sosial dan kompetensi. Kekuatan karakter berfungsi mendukung pencapaian kesejahteraan will-being dan kebahagiaan anak. Sementara menurut Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutib oleh Sri Lestari 2012: 94-95 mengungkapkan bahwa dalam karakter manusia terdapat tiga komponen yaitu: Pertama, pengetahuan moral moral knowing. Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui komponen ini individu dapat membayangkan konsekuensi yang akan terjadi di kemudian hari dari keputusan yang diambil dan siap bagaimana menghadapi konsekuensi tersebut; Kedua, perasaan moral moral affect, yang mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan, komitmen, hati nurani, dan empati, yang semuanya merupakan sisi afektif dari moral pada diri individu. Perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan moral dan tindakan moral; Ketiga, tindakan moral moral action, memiliki tiga komponen: kehendak, kompetensi dan kebiasaan. Sedangkan menurut Koehler dan Royer, seperti dikutib oleh Sri Lestari 2012: 95, ciri-ciri karakter yang mau ditanamkan dalam diri anak adalah sebagai berikut: 1 Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman dari luar; 2 Secara konsisten mampu mengelola emosi; 3 Memilki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan menerimanya tanpa pamrih; 4 39 Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain yang melihat; 6 Memiliki kekuatan dari dalam untuk mengupayakan keharmonisan dengan lingkungan sekitar; 7 Mengembangkan standar pribadi yang tepat dan berperilaku yang konsisten dan standar tersebut Menurut pandangan Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2012: 95-96 keluarga dipandang sebagai pendidik karakter yang utama pada anak, di samping sekolah sebagai pusat pengembangan karakter pada anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh sosialisasi orang tua pada anak terjadi sejak dini sampai dewasa. Melalui interaksi dan komunikasi dua arah antara orang tua- anak, anak dapat merasa diri diakui dan berharga sehingga dapat dijadikan dasar untuk menghargai orang lain. Nilai dasar yang menjadi landasan dalam membangun karakter adalah sikap hormat respect. Sikap hormat mencakup respek pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosial. Sikap respek membawa anak sampai pada pemahaman bahwa dirinya dan orang lain itu berharga dan sederajad serta memiliki hak untuk saling memberi hormat satu sama lain. Menurut Ryan dan Lickona, dalam proses pembentukan karakter ini, orang tua memberi sumbangan kepada anak melalui lima cara sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2012: 96 yakni Pertama, dengan menyayangi anak, orang tua membantu anak untuk merasakan dirinya berharga; Kedua, orang tua menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain; ketiga, hubungan yang hangat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan menghadapi pengaruh moral; Keempat, kasih sayang berperan dalam perkembangan penalaran 40 moral; Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya komunikasi orang tua anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang dan perkembangan penalaran moral. Dengan komunikasi yang baik, orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan dalam menggunakan perspektif orang lain dan berpikir tentang isu-isu moral. Keterbukaan dalam berkomunikasi juga mendukung orang tua untuk memberikan bantuan pada anak ketika anak membutuhkannya.

c. Pembentukan Iman Anak

Dalam buku “Menuju Keluarga Bertanggung jawab” J. Hardiwiratno, 1994: 84-85, dikatakan bahwa dalam keluarga, peran orang tua amat besar dalam pembentukan perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah tempat pendidikan iman yang pertama dan utama. Tanpa pendidikan, mustahil iman anak dapat berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur, sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah sendiri dalam diri anak melalui orangtua dapat berkembang dan berbuah. Keluarga adalah lahan subur pertama dan utama untuk perkembangan iman anak. Keluarga dapat menjadi bagian dari perkembangan iman anak mereka, kalau orang tua dapat menciptakan keluarganya menjadi suatu komunitas antarpribadi yang mengkrasankan semua angggota keluarga, yang ditandai dengan semangat saling mencintai dengan penuh kesetiaan, saling mau berkomunikasi atau berdialog secara terbuka dan jujur, saling mau menerima apa adanya, saling memperhatikan, saling mau memaafkan jika di antara mereka ada yang bersalah, 41 saling mau menolong, saling mau berkorban, saling mendoakan dan lain-lain. Kalau orang tua dapat menciptakan keluarga menjadi komunitas anatarpribadi seperti tersebut di atas, maka keluarga dapat berfungsi sungguh-sungguh menjadi Gereja mini, tempat relasi cinta kasih dan iman kepada Kristus dasar hidupnya, sehingga iman anak kemungkinan besar dapat lebih berkembang dengan baik. Tentu saja berkat rahmat Tuhan sendiri. Dalam ensikliknya FC, art. 36 Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang pendidikan dalam keluarga sebagai berikut: Orang tua harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan terutama bagi anak-anak mereka. Peranan mereka sebagai pendidik sedemikian menentukan sehingga hampir tiada suatu apa pun yang dapat menggantikan bila mereka gagal menunaikan tugas itu. Menjadi kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara anak- anak. Maka keluarga adalah sekolah pertama demi keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Maka dalam hubungan ini orang tua adalah guru mengajar dan ibu mempertumbuh-kembangkan serta ikut memelihara dalam bidang iman bagi putera dan puterinya. Menurut J. Hardiwiratno 1994: 85-86, orang tua adalah pelayan Gereja, sehingga iman diteruskan dari generasi ke generasi melalui keluarga. Di sini keluarga tidak hanya melihat anak sebagai anak-anak mereka sendiri, tetapi hendaknya juga melihat sebagai anak-anak Allah, saudara dan saudari Yesus, bait Allah Roh Kudus dan anggota Gereja. Keluarga sebagai Gereja mini dapat merupakan saluran iman dan tempat inisiasi Kristen dimulai yakni memperkenalkan dan menghidupi misteri iman serta misteri keselamatan 42 yang terjadi dalam perayaan liturgi atau perayaan-perayaan sakramen dan yang terjadi melalui peristiwa hidup sehari-hari. keluarga kemudian menjadi sekolah mengikuti Yesus dan menjadi pusat katekese sakramental bagi anak-anaknya. Orang tualah yang pertama-tama memperkenalkan Allah. Keluarga dipanggil untuk ikut ambil bagian secara aktif dalam mempersiapkan anak untuk menerima sakramen baptis, krisma, pengakuan tobat dan Komuni pertama Dalam buku “Menuju Keluarga Bertanggung Jawab”, J. Hardiwiratno 1994: 86 menegaskan bahwa pengembangan iman sebenarnya tidak hanya terjadi dengan katekse eksplisit dengan kata-kata atau dengan mengajar secara intruksional saja, melainkan lebih-lebih di dalam keluarga adalah kesaksian hidup keagamaan ibu dan ayahnya sendiri FC 38-39. Oleh karena itu peranaan kesaksian kehidupan iman orang tua dalam memperkembangkan iman anak- anaknya adalah vital. Dan inilah sebenarnya metode yang paling efektif dalam pendidikan iman di dalam keluarga yakni dengan contoh konkret kehidupan iman orang tuanya serta anggota yang lain yang hidup serumah. Memang disadari juga bahwa hidup iman bukanlah sesuatu yang secara khusus diisi ke dalam anak oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut ditegaskan oleh J. Hardiwiratno 1994: 86 yang mengatakan bahwa:Iman itu pertama-tama adalah suatu anugerah cuma-cuma dari Allah yang berkembang mengikuti dinamika hidup seseorang dan kehidupan sekitarnya. Iman tidak berkembang secara otomatis, tetapi membutuhkan kerjasama manusia dan kehendak bebasnya dengan rahmat Tuhan untuk menghasilkan buah. Maka dalam rangka proses inilah, 43 peranan orang tua atau keluarga menjadi penting. Dengan menghargai anugerah kebebasan pribadi, orang tua mengarahkan anaknya kepada hidup sebagai orang beriman, sedemikian rupa sehingga akhirnya anak sendirilah merasa bahwa iman itu sebagai yang dipilihnya sendiri secara bebas. Ayah dan ibu bertindak seperti itu karena timbul dari kasih kepada anak-anaknya dan demi keselamatan anak- anaknya pula.

b. Fungsi Komunikasi Orang Tua Dalam Rangka Pembentukan Karakter

dan Iman Anak Dalam Keluarga Katolik. 1. Pembentukan Karakter dan Iman Anak yang Didambakan Dalam Keluarga Katolik

a. Pembentukan Karakter atau Kepribadian Anak yang Didambakan

Pada bagian ini penulis terlebih dahulu akan menguraikan tentang pengertian karakter dan kepribadian. Menurut Samuel Lusi dalam buku ”Seip Intelligence” 2014: 45-46 dikatakan bahwa: akar kata “karakter” berasal dari “karasso” Yunani yang berarti cetak biru atau format dasar. Sedangkan dalam tradisi Yahudi, karakter dikaitkan dengan alam, misalnya laut, angin, badai yang tidak dikuasai manusia. Ini memberi gambaran bahwa karakter adalah sesuatu yang hakiki, dan tidak dapat diintervensi dari luar. Karakter yang dimiliki oleh seseorang selalu dikaitkan dengan kualitas moral yang mencakup nilai-nilai hakiki seperti: kejujuran, kesantunan, integritas keberanian, kebaikan, keadilan dan kesabaran. Sebuah kualitas yang muncul sebagai nilai khas seseorang menjadi acuan moral dalam bertindak dan berperilaku. Nilai diri seseorang tidak dipengaruhi oleh “objek di luar diri”, melainkan sepenuhnya pancaran dari 44 kualitas interior diri. Sedangkan kepribadian menurut Widyapranawa dalam buku “Pendididikan Kepribadian Diri Sendiri” 2008: 2 dijelaskan bahwa: kepribadian merupakan ciri yang khas unik yang tidak dapat terpisahkan dari kemanusiaan seseorang. Kepribadian seorang anak tidak boleh dibiarkan begitu saja atau berkembang sendiri, tetapi perlu dibina dan dididik sepanjang hidupnya serta diarahkan ke arah yang lebih baik dan posistif sejak masih kecil sampai dewasa. Untuk itu pembentukan karakter anak menjadi tujuan utama yang ingin dicapai oleh keluarga. Pertama-tama perlu diketahui bahwa kepribadian keluarga merupakan identitas yang khas dari sebuah keluarga. Identitas khas ini lahir dan berkembang dari interaksi dan komunikasi yang dibiasakan dalam keluarga. Keluarga yang terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka, dialogis, luwes, akan membentuk kepribadian keluarga yang baik Alfonsus Sutarno, 2013: 26. Menurut David Field, sebagaimana dikutip oleh Alfonsus Sutarno 2013: 27-30 terdapat 5 tipe kepribadian keluarga yang sering muncul dalam lingkungan keluarga. Lima 5 Tipe keluarga tersebut adalah: 1 Kepribadian keluarga kacau. Tipe kepribadian keluarga ini dicirikan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas interaksi dari anggota keluarga. Masing- masing anggota kelurga sibuk dengan dirinya sendiri individualis, egois, kekanak-kanakan. Dalam rangka pendidikan anak, sebaiknya tipe kepribadian ini dihindari. 2 Kepribadian keluarga otoriter. Dalam keluarga berkepribadian otoriter, biasanya ada pemegang kekuasaan mutlak. Keputusan yang dibuat tidak bisa 45 didiskusikan, akibatnya anak-anak menjadi korban sehingga mereka akhirnya menjadi sangat kesal, benci dan takut kepada orang tua. Kepribadian keluarga seperti ini sebaiknya dihindari. 3 Kepribadian keluarga overprotective. Jika orang tua terlalu melindungi overprotective, maka anak-anak akan merasa ketakutan, terkekang, dan tertekan. Dampaknya kedewasaan dan kemandirian anak tidak berkembang secara wajar. 4 Kepribadian keluarga simbiotik. Adanya relasi yang sangat lekat di antara anggota keluarga. Saking lekatnya, anggota keluarga merasa saling membutuhkan, saling mendukung, dan tergatung satu sama lain, namun resikonya bahwa anak-anak akan menjadi tidak mandiri dan tidak berani menjadi dirinya sendiri. Untuk itu orang tua wajib mengarahkan agar kedekatan relasi dan interaksi antaranggota keluarga tidak menjadikan anak tidak mandiri 5 Kepribadian keluarga seimbang. Kondisi khas dari kepribadian keluarga seimbang adalah adanya interaksi dan komunikasi dalam keluarga secara luwes. Wewenang dan tanggung jawab keluarga diperankan secara seimbang oleh bapak dan ibu. Anakpun bisa mendengarkan dan menuruti kehendak orang tuanya. Demikianpun sebaliknya orang tua rela mendengar dan bahkan mau belajar dari anak-anaknya. Semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik dengan menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing. Kepribadian keluarga seimbang inilah yang perlu dikembangkan. 46 Dalam buku “Catholic Parenting”, Alfonsus Sutarno 2013: 95-98 mengemukakan beberapa tips membangun keluarga yang berkepribadian positif yakni: a Orang tua sebaiknya bisa berinteraksi dan berkomunikasi kepada anak dengan terbuka, dialogis, luwes, dan akrab. Dengan demikian keberadaan keluarga akan lebih dinamis, demokratis, harmonis, dan terhindar dari salah paham. b Semua anggota keluarga perlu saling peduli dan memberi perhatian. Hindarilah kesibukan dan keasyikan dengan diri sendiri. Hal ini akan membuat keluarga menjadi solid, solider, altruis; jauh dari sikap individualis. c Hendaknya komunikasi verbal dan non-verbal menjadi saran pengenalan dan ekspresi diri antaranggota keluarga. Jika terjadi kesalahpahaman maka hendaknya disiasati dengan bijak dan sabar, bukan dengan sikap emosi dan marah. d Sebagai penentu keputusankebijakan keluarga, sebaiknya orang tua tidak menjadikan anak- anaknya menjadi ‘korban’ dikuasai, diperdaya, atau hanya dijadikan seorang penurut. Hindarilah kesan orang tua sebagai ‘penguasa’ tunggal dalam rumah. e Sebaiknya orang tua bisa menjadi sahabat bagi anak dan bukan penguasa. Orang tua bisa bermain, berdiskusi, bercerita, belajar, atau nonton bersama anak-anak. Dengan demikian, relasi orang tua dengan anak akan semakin akrab dan anak-anak akan merasa dihargai. f Orang tua sebaiknya bisa melindungi anaknya secara proporsional, tidak berlebihan overprotective. Lindungilah anak-anak dengan wajar agar mereka 47 tetap merasa ‘bebas’ berekspresi, berpendapat, bertindak, dan berperasaan, serta bertumbuh-kembang dalam kedewasaan dan kemandirian secara memadai. g Sebaiknya orang tua menciptakan relasi yang sehat antara anak dengan anggota keluarga. Tumbuhkanlah dalam diri anak rasa saling membutuhkan dan saling mendukung, tanpa harus bergantung. h Orang tua perlu menciptakan kepribadian keluarga seimbang. Hal ini dicirikan oleh interaksi dan komunikasi keluarga yang luwes, ada pembagian peran secara seimbang, dan bisa saling menggantikan atau partnership. Dalam kepribadian keluarga yang seimbang, orang tua akan menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing anak dan semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik. Menurut Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2012: 96 dikatakan bahwa: Keluarga dipandang sebagai pendidik karakter yang utama pada anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh sosialisasi orang tua pada anak yang terjadi sejak usia dini sampai dewasa. Melalui interaksi dengan orang tua, anak dapat merasakan dirinya berharga yang selanjutnya dijadikan dasar untuk menghargai orang lain. Nilai dasar yang menjadi landasan dalam membangun karakter tersebut adalah hormat respect. Hormat tersebut mencakup respek pada diri sendiri, orang lain, semua bentuk kehidupan, maupun lingkungan. Dengan memiliki sikap hormat maka seseorang akan memandang dirinya dan orang lain sebagai sesuatu yang berharga dan memiliki hak yang sederajat. 48 Dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari mengutip pandangan Ryan dan Lickon 2012: 96 mengenai lima cara yang dilakukan orang tua terhadap pembentukan karakter anak yakni: a Pertama, dengan menyayangi anak, orang tua membantu anak untuk merasakan dirinya berharga b Kedua, orang tua menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain c Ketiga, hubungan yang hangat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan dalam menghadapi pengaruh moral d Keempat, kasih sayang berperan dalam perkembangan penalaran moral. e Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya komunikasi orang tua-anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang dan perkembangan penalaran moral.

b. Pembentukan Iman Anak yang Didambakan

Dalam dokumen “Konsili Vatikan II”, tentang Gravissimum Educationis no.3 dikatakan bahwa: karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anaknya, maka orang tua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama. Tugas untuk memberikan pendidikan berakar pada panggilan orang-orang yang sudah menikah untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah FC, no. 36 1 Iman Sebagai Jawaban Pribadi Dalam buku “Iman Katolik” KWI, 1996: 128 dikatakan bahwa: iman adalah penyerahan diri secara total kepada Allah yang menyatakan diri tidak 49 karena tidak secara terpaksa, me lainkan “dengan sukarela”. Kebebasan di sini lebih berarti mengikuti suara hati dan menentukan arah hidup sendiri. Dengan bebas manusia memasuki kebebasan sebagai anak-anak Allah bdk, Rm; 8:21 yakni kemerdekaan seseorang yang dibebaskan dari segala rasa takut dan merasa diri aman dalam tangan Tuhan. Iman berarti juga sebagai jawaban pribadi manusia atas perwahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus. Bertolak dari pemahaman ini tentunya usia anak-anak mereka belum dapat menjawab secara pribadi serta bebas atas perwahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus, untuk itu mereka perlu mendapat bimbingan iman secara mendalam dan tertanam dalam hati, sehingga berkat bimbingan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya anak akhirnya mampu menjawabnya secara pribadi dan bebas J. Hardiwiratno, 1994: 84 2 Peranan Keluarga Dalam Pembentukan iman Menurut J. Hardiwiratno 1994: 84 dikatakan bahwa: Peranan keluarga dalam hal ini orang tua sangat besar untuk perkembangan iman anak. Tanpa pendidikan iman anak dalam keluarga, maka mustahil iman anak dapat berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah dapat berkembang dan berbuah. Menurut Alfonsus Sutarno 2013: 40-45 dikatakan bahwa: Pendidikan iman dapat menjadikan pribadi anak rendah hati, cinta pada Tuhan dan cinta sesama. Adapun yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam rangka pendidikan iman dan moral anak adalah: 50 a Pertama, orang tua perlu muncul sebagai figur iman dan moral bagi anak. Contohnya seperti rutin ke Gereja, rajin berdoa, biasa berderma, ramah pada tetangga. Semua ini akan diserap oleh anak dan sebagai referensi kehidupan iman dan moralnya. b Kedua, orang tua wajib mendidik anaknya secara Katolik dengan memulai membaptis anak-anaknya sejak dini baptis bayi, kemudian mengajak anaknya untuk berdoa, pergi ke Gereja, memasukkan anak ke sekolah minggu, mengikutkan anak pada persiapan komuni pertama dan melibatkannya pada kegiatan gerejawi. c Ketiga, keluarga sebaiknya menciptakan kebiasaan suci dalam keluarga seperti: berdoa bersama, membaca dan merenungkan kitab suci, atau mendalami doa- doa dan iman kristiani, juga membaca riwayat orang kudus. Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengajak anak untuk berkunjung ke Seminari, Biara, Pastoran atau Keuskupan guna memperkenalkan kepada anak bentuk panggilan khusus. d Keempat, sesekali orang tua bisa meminta anak untuk sharing atau membuat refleksi pribadi atas iman dan tindakannya. Dengan cara ini orang tua bisa memantau perkembangan iman anak, semakin mengenal anak, dan memahami kebutuhan iman anak. 3 Tahap-Tahap Perkembangan Iman J. Hardiwiratno 1994: 87-91 mengutip pandangan ahli Dr. Jhon. H. Westerboff yang berkaitan dengan tahap perkembangan iman yakni: 51 a Iman diperoleh dari kesaksian orang lain experienced faith Pada tahap ini seorang anak akan bertindak, bereaksi, mengamati dan mengkopi mentransfer iman orang lain. Untuk itu kesaksian orang lain terutama orang tua dan anggota keluarga lainnya sangat penting.Kesaksian orang tua akan membantu anak dalam mengembangkan imannya secara baik dan benar. b Iman yang dihayati dalam kebersamaan affiliated faith Perlu diingat bahwa dunia anak tidak hanya di rumah, tetapi meluas di sekitarnya. Kesempatan untuk bertemu dengan orang lain terutama dalam kelompok memainkan peran yang sangat penting dalam mensharingkan iman. Biasanya iman diekspresikan dalam seni, menyanyi, drama, dan kelompok- kelompok kreatif lainnya. c Iman yang sedang mencari the searching faith Iman ini berkembang pada masa-masa remaja dan tahun-tahun pertama masa dewasa. Pada kesempatan ini seorang remaja mulai membutuhkan kesempatan untuk bertanya dan berkeksperimen. Anak mulai kritis terhadap segala sesuatu dan sedang memperkembangkan imannya dengan dan mulai dengan tindakan- tindakan yang cocok atau sesuai tuntutan iman itu. d Iman yang dimiliki secara pribadi owned faith Pada tahap ini orang mulai yakin akan imannya dan sudah menjadi milik pribadi. Di sini iman sudah mulai diintegrasikan dalam hidup melalui perilaku hidup sehari-hari 52

2. Pengertian Komunikasi a.

Arti Etimologis Komunikasi Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri 2015: 2 dijelaskan bahwa: Secara etimologis, kata “komunikasi” berasal dari bahasa Latin “comunicare” yang berarti mengalihkan atau mengirimkan. Makna kata “komunikasi” juga sebagai konsep untuk menjelaskan tujuan komunikas i, “menjadikan semua orang mempunyai pengetahuan dan perasaan yang sama terhadap suatu hal baik secara umum maupun secara rinci. Maka komunikasi berarti hal memberitahukan, menyampaikan sesuatu pesan kepada yang lain agar semua anggota persekutuan communio memiliki pemahaman yang sekurang-kurangnya sama tentang isi pesan tertentu Saku Bouk Hendrikus, 2012 : 152.

b. Pengertian Komunikasi.

Menurut pandangan Norman Wright sebagaimana dikutip oleh Andreas Chri standay dalam buku “Komunikasi Dalam Keluarga Kristen” 2015: 1 dipaparkan bahwa: komunikasi adalah suatu proses baik lisan ataupun tidak- lisan dengan saling bertukar informasi kepada orang lain sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengerti akan hal yang dikatakan. Berbicara, mendengarkan, mengerti dan terlibat dalam komunikasi. Selanjutnya Andreas Christanday 2015: 1-2 menjabarkan dan melengkapi definisi komunikasi sebagaimana yang telah diuraikan di atas yakni: komunikasi merupakan “proses”, maka untuk bisa berkomunikasi yang baik membutuhkan waktu dan kesabaran; karena dalam berkomunikasi tidak sekadar 53 saling berbicara dan mendengar to hear, tetapi juga saling mendengar to listen dengan mengerti. Kata “saling” menunjukkan bahwa komunikasi adalah berdialog dua arah. Dan kata “sedemikian rupa sehingga” menunjukkan suatu yang harus diusahakan, sebagai seni yang harus dipelajari. Berdasarkan arti etimologis dan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari orangtua kepada anak dan sebaliknya,yang berlangsung secara tatap muka maupun melalui media, yang terjadi secara spontan, informal, timbalbalik feedback dan fleksibel dalam suasana cinta kasih dan kekeluargaan. Berbicara mengenai komunikasi dalam keluarga tentu tidak terlepas dari relasi antaranggota keluarga. Menurut Sri Lestari 1994: 12, komunikasi merupakan: Aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi. Melalui komunikasi yang terbuka dan jujur, keluarga dapat hidup harmonis. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga adalah: kebutuhan dicintai, kebutuhan dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan- kebutuhan dasar lainnya Sri Lestari, 1994: 12. Dalam keluarga terdapat interaksi dan komunikasi, baik verbal maupun non verbal antaranggota keluarga. Keharmonisan keluarga bisa sangat tergantung dari cara dan intensitas anggota 54 keluarga dalam berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain Alfonsus Sutarno, 2013: 20. Untuk itu komunikasi dalam kelurga perlu dibangun secara seimbang anatara orang tua dan anak. Hal tersebut dijelasakan oleh Alfonsus Sutarno 2013: 30 sebagai berikut: Kondisi khas dari kepribadian keluarga seimbang adalah adanya interaksi dan komunikasi dalam keluarga secara luwes. Wewenang dan tanggung jawab keluarga diperankan secara seimbang oleh bapak dan ibu. Di antara bapak dan ibu, berkembang sikap saling menggantikan. Anak pun bisa mendengarkan dan menuruti kehendak orang tuanya. Demikian juga orang tua rela mendengar, bahkan belajar dari anak-anaknya. Kemandirian dan kebersamaan berkembang secara seimbang dan sehat. Semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik. Anggota keluarga dapat menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing. Menurut Ign. Wignyasumarta 2000: 100, diartikan komunikasi sebagai “tindakan berbagi” sharing. Maksudnya, dua orang atau lebih memiliki sesuatu bersama-sama karena sesuatu itu telah dibagikan. Menurut maknanya yang terdalam, “komunikasi” berarti “membagi diri.” Tidak hanya membagi pikiran, pengetahuan, ide-ide, tetapi juga lebih-lebih membagi perasaan: takut, kecewa, jengkel, senang, sedih, was- was, dll.” Dalam rangka pendidikan anak, bahasa cinta adalah bahasa yang paling tepat untuk diterapkan dalam dinamika keluarga. Keluarga perlu mendasari interaksi dan komunikasi dengan nilai-nilai kasih, seperti sopan dan hormat kepada sesama terutama kepada mereka yang lebih tua dan pantas dihormati, kepekaan dan kepedulian terhadap sesama terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan, kepatuhan pada nilai-nilai atau norma yang berlaku, kesadaran akan tanggungjawab, dan ketakwaan kepada Tuhan Alfonsus Sutarno, 2013: 20 55

3. Macam-Macam Jenis Komunikasi

Pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang aneka komunikasi dalam keluarga sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaiful Bahri Djamarah dalam buku “Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi Dalam Keluarga” 2014: 115-118 sebagai berikut:

a. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal adalah suatu kegiatan komunikasi antara individu atau kelompok yang mempergunakan bahasa sebagai alat perhubungan. Proses komunikasi dapat berlangsung dengan baik apabila komunikan dapat dengan tepat menafsirkan pesan yang disampaikan oleh komunikator melalui penggunaan bahasa dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Panjang pendeknya suatu kalimat, tepat tidaknya penggunaan kata-kata yang merangkai kalimat, menjadi faktor penentu kelancaran komunikasi. Demikianpun struktur kalimat yang kacau atau penggunaan kata-kata yang bertele-tele diakui sebagai penyebab ketidakefektifan komunikasi. Kegiatan komunikasi verbal ini menempati frekuensi terbanyak dalam keluarga. Setiap hari tentu orang tua selalu ingin berbincang-bincang dengan anaknya. Perintah, suruhan, larangan, merupakan alat pendidikan yang sering dipergunakan oleh orang tua atau anak dalam kegiatan komunikasi keluarga. Alat pendidikan ini tidak hanya dipakai oleh orang tua terhadap anaknya, tetapi dipakai juga oleh anak terhadap anak yang lain. 56 Dalam hubungan antara orang tua dan anak akan terjadi interaksi satu sama lain. Dalam interaksi ini orang tua berusaha mempengaruhi anak untuk terlibat secara pikiran dan emosi dengan memperhatikan apa yang akan disampaikan. Anak mungkin berusaha menjadi pendengar yang baik dalam menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tuanya.

b. Komunikasi Non Verbal

Fungsi komunikasi non verbal adalah sebagai penguat komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal ini seringkali dipakai oleh orang tua dalam menyampaikan suatu pesan kepada anak. Sering tanpa berkata sepatah katapun, orang tua menggerakkan hati anak untuk melakukan sesuatu. Kebiasaan orang tua dalam mengerjakan sesuatu dan karena anak sering melihatnya, maka anakpun ikut mengerjakan apa yang dilihat dan didengarnya dari orang tua. Dalam konteks sikap dan perilaku orang tua yang lain, pesan non verbal dapat menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang ada di dalam hati, misalnya; tepuk tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak mampu mengekspresikan gagasan, keinginan atau maksud. Sebagai contoh; pelukan atau usapan tangan di kepala anak oleh orang tua adalah tanda bahwa orang tua memberikan kasih sayang. Tidak hanya orang tua, anak juga sering menggunakan pesan non verbal dalam menyampaikan gagasan, keinginan, atau maksud tertentu kepada orang tuanya. Sebagai contoh; malasnya anak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh orang tuanya adalah sebagai ekspresi penolakan anak atas perintah. Selain itu 57 kebiasaan anak mengucapkan salam ketika keluar masuk rumah adalah simbol keberhasilan orang tua dalam mendidik anak-anaknya melalui keteladanan dan pembiasaan. Pendidikan dengan menggunakan metode keteladanan dan pembiasaan akan sangat efektif dalam mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

c. Komunikasi Individual

Komunikasi individual atau komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga. Komunikasi ini berlangsung dalam sebuah interaksi antarpribadi, antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara ibu dan anak, dan antara anak dan anak. Ketika orang tua merasa berkepentingan untuk menyampaikan sesuatu kepada anak, maka orang tualah yang memulai pembicaraan. Pesan yang disampaikan itu berupa gagasan, keinginan atau maksud tertentu.

d. Komunikasi Kelompok

Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk dibina dalam keluarga. Keakraban hubungan itu dapat dilihat dari frekuensi pertemuan antara orang tua dan anak dalam suatu waktu dan kesempatan. Masalah waktu dan kesempatan menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya suatu pertemuan. Moment seperti waktu makan, menonton televisi, duduk santai, ketika anak sedang bermain dalam rumah, dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk bercengkrama, bersenda gurau atau membicarakan hal yang penting yang bermanfaat bagi kebaikan semua anggota keluarga. Untuk menjalin keakraban dalam keluarga tidak mesti diawali dengan pertemuan formal, tetapi pertemuan 58 informal juga memiliki nilai strategis dalam mengakrabkan hubungan antara orang tua dan anak.

4. Fungsi Komunikasi Dalam Pembentukan Karakter dan Iman Anak

a. Pentingnya Komunikasi Pada Umumnya

Menurut Johnson sebagaimana dikutip oleh Supraktiknya dalam buku “Komunikasi antarpribadi” 1995: 9 Menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia yakni: 1 Pertama, komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial seseorang. Perkembangan sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan pada orang lain. Hal ini diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, kemudian lingkaran ketergantungan atau komunikasi ini semakin luas seiring dengan bertambahnya usia seseorang. 2 Kedua, identitas dan jati-diri seseorang terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar seseorang mengamati, memperhatikan, dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Seseorang akan menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain tentang dirinya. Dengan berkomunikasi seseorang akan dibantu untuk menemukan diri, yaitu mengetahui siapa dirinya sebenarnya. 3 Ketiga, dalam rangka memahami realitas di sekelilingnya serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang dimiliki tentang dunia sekitarnya, 59 seseorang perlu membandingkan dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja, pembandingan sosial social comparison semacam itu hanya dapat dilakukan lewat komunikasi dengan orang lain. 4 Keempat, kesehatan mental seseorang sebagian besar ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan significant figures. Bila hubungan dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka seseorang akan menderita, merasa sedih, cemas dan frustasi.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Dalam Keluarga

Menurut pandangan Syaiful Bahri Djamarah dalam buku “Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga” 2014: 137-149 dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga yakni: 1 Citra diri dan Citra Orang Lain. Faktor ini menjelaskan bahwa ketika orang berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunyai citra diri, dia merasa dirinya sebagai apa dan bagaimana. Tentunya setiap orang mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, statusnya, kelebihan dan kekurangannya. Gambaran itulah yang menentukan apa dan bagaimana ia berbicara, menjadi penyaring bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannya terhadap segala yang berlangsung di sekitarnya atau dengan kata lain citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang lain. Di sini manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan dengan orang lain, terutama manusia lain yang dianggapnya penting bagi dirinya. Melalui 60 kata-kata atau komunikasi tanpa kata dari orang lain, ia mengetahui apakah dirinya dicintai atau dibenci dihormati atau diremehkan, dihargai atau direndahkan. 2 Suasana Psikologis Suasana psikologis diakui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi sulit berlangsung bila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka, dan suasana psikologis lainnya. 3 Lingkungan Fisik Komunikasi biasanya berlangsung di mana saja dan kapan saja, dengan gaya dan cara yang berbeda. Komunikasi yang terjadi dalam keluarga tentu berbeda dengan yang terjadi di lingkungan sekolah, karena situasi di rumah biasanya bersifat informal, sedangkan di sekolah situasinya bersifat formal. Demikianpun juga komunikasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang memiliki norma yang harus ditaati, maka komunikasinyapun berlangsung sesuati ketaatan norma. Dalam setiap keluarga pasti memiliki tradisi yang harus ditaati. Tentunya keluarga yang menjunjung tinggi norma agama pasti memiliki tradisi atau kebiasaan yang berbeda dengan keluarga yang mengabaikan atau meremehkan norma agama. Demikianpun keluarga yang miskin atau kaya, terdidik ataupun tidak, dengan gaya hidup yang berbeda. Kehidupan keluarga dengan semua perbedaan ini tentu memiliki gaya dan cara komunikasi yang berbeda atau berlainan. Untuk itu lingkungan fisik dalam hal ini lingkungan keluarga akan mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi. 61 4 Kepemimpinan Dalam lingkungan keluarga seorang pemimpin mempunyai peran dan tanggungjawab yang sangat penting dan strategis. Seorang pemimpin tidak hanya dapat mempengaruhi anggota keluarga yang dipimpinnya, tetapi mempengaruhi situasi dan kondisi sosial dalam keluarga. Berbicara soal kepemimpinan, maka ada tiga pola kepemimpinan yang sering terjadi dalam keluarga; yang pertama adalah: kepemimpinan otoriter pola kepemimpinan yang cenderung menimbulkan permusuhan, ada ketergantungan dan kurang kemandirian, cenderung berkuasa dan memberi perintah; yang kedua adalah: kepemimpinan Laissez Faire kepemimpinan yang cenderung memberikan kebebasan penuh bagi anggota keluarga untuk mengambil keputusan yang individual dengan partisipasi orang tua yang minim; dan yang ketiga adalah: kepemimpinan yang demokratis kepemimpinan yang paling efisien, dan menghasilkan kualitas kerja yang lebih tinggi dan bersikap obyektif. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga, pola kepemimpinan orang tua dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pendidikan anak. Karena ketiga pola kepemimpinan orang tua ini akan melahirkan pola komunikasi yang berbeda maka keluarga yang terbentukpun berbeda. Ketika pola kepemimpinan ini mempengaruhi pola komunikasi maka kehormatan hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga dipengaruhi oleh kepemimpinan dari orang tua dengan segala kelebihan dan kekurangannnya. 62 5 Bahasa Dalam komunikasi verbal orang tua atau anak pasti menggunakan bahasa untuk mengekspresikan sesuatu. Dalam setiap kesempatan bahasa yang digunakan oleh orang tua untuk berbicara kepada anaknya dapat mewakili suatu objek yng dibicarakan secara tepat dan benar. Namun di lain pihak bahasa yang digunakan bisa jadi tidak mewakili objek tersebut. Penafsiran seseorangpun bermacam- macam, karena disebabkan oleh penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh konteks budaya. 6 Perbedaan Usia Dalam berkomunikasi kadang bisa dipengaruhi oleh faktor usia, itu berarti setiap orang tidak berbicara sesuai kehendak hatinya tanpa memperhatikan lawan bicara. Tentunya berbicara kepada anak kecil berbeda dengan berbicara kepada remaja atau orang tua, karena masing-masing pribadi memiliki cara berpikir yang berbeda, apalagi anak kecil biasanya memiliki penguasaan bahasa yang masih sangat terbatas. Untuk itu dalam berkomunikasi orang tua tidak musti menggiring cara berpikir anak ke dalam cara berpikirnya karena anak belum mampu melakukannya. Dalam berbicara hendaknya orang tua mengikuti cara berpikir anak dan menyelami jiwanya, karena jika tidak maka komunikasi akan berlangsung tidak lancar. Orang tua hendaknya tidak terlalu egois memaksakan anak untuk menuruti cara berpikirnya. Sebaiknya orang tua harus menjadi pendengar yang baik. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang pandai menempatkan diri menjadi pendengar yang baik bagi anaknya. Dengan demikian anak akan merasa dihargai. 63 Penghargaan kepada anak ketika berbicara adalah penting untuk membangun hubungan baik antara orang tua dan anak.

c. Pola Komunikasi dan Interaksi Dalam Keluarga.

Menurut Wursanto sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah 2014: 107 dikatakan bahwa komunikasi dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja. Semenjak lahir, seorang anak sudah tinggal dan ada bersama bahkan mengalami ketergantungan dengan kelompok masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh indidvidu yang baru lahir adalah keluarga, di mana individu dapat membangun hubungan dengan ibunya, bapaknya dan anggota keluarga lainnya. Kemudian setelah bertumbuh dewasa hubungan individu semakin luas. Hubungan ini sangat penting dalam rangka pembinaan kepribadian dan pengembangan bakat seseorang. Bakat memerlukan dorongan, pendidikan, pengajaran, serta latihan; dan kesemuanya itu membutuhkan hubungan yang baik dengan semua pihak Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 108

d. Fungsi Komunikasi Dalam Keluarga

Berbicara mengenai komunikasi dalam keluarga, ada dua fungsi komunikasi yang dibangun dalam keluarga, sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaiful Bahri Djamarah 2014: 108 yakni: a. Pertama, fungsi komunikasi sosial. Fungsi ini mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperolah kebahagiaan, untuk menghindarkan diri dari berbagai macam tekanan. Melalui komunikasi juga seseorang dapat bekerja 64 sama dengan anggota masyarakat, terlebih dalam keluarga untuk mencapai tujuan bersama. b. Kedua, fungsi komunikasi kultural. Menurut para sosiolog komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik. Budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi. Peranan atau fungsi komunikasi ini adalah turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Menurut pandangan Alfonsus Sutarno 2013: 20 jika berbicara tentang dinamika dalam keluarga, dikatakan bahwa: dalam rangka pendidikan anak, perlu disadari bahwa bahasa cinta adalah bahasa yang paling tepat untuk diterapkan dalam dinamika keluarga. Keluarga perlu mendasari interaksi dan komunikasi antaranggota keluarga dengan nilai-nilai kasih, seperti sopan dan hormat kepada sesama terutama kepada mereka yang lebih tua dan pantas dihormati, kepekaan dan kepedulian terhadap sesama terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan, kepatuhan pada nilai-nilai atau norma yang berlaku, kesadaran akan tanggungjawab, dan ketakwaan kepada Tuhan Berbicara mengenai komunikasi dalam keluarga tentu tidak terlepas dari relasi antaranggota keluarga. Menurut Sri Lestari 2012: 11 ditegaskan bahwa: Komunikasi merupakan aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola, dan ketrampilan berkomunikasi. Melalui komunikasi yang terbuka dan jujur, keluarga dapat hidup harmoni. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dicintai, kebutuhan 65 dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan- kebutuhan dasar lainnya akan menentukan tingkat keharmonisan dalam keluarga J. Hardiwiratno, 1994: 12. Dalam keluarga terdapat interaksi dan komunikasi, baik verbal maupun nonverbal antaranggota keluarga. Keharmonisan keluarga bisa sangat tergantung dari cara dan intensitas anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain Alfonsus Sutarno, 2013: 20. Kemudian dalam buku yang berjudul “Catholic Parenting” Alfonsus Sutarno, 2013: 30 jelas dikatakan bahwa: Kondisi khas dari kepribadian keluarga seimbang adalah adanya interaksi dan komunikasi dalam keluarga secara luwes. Wewenang dan tanggung jawab keluarga diperankan secara seimbang oleh bapak dan ibu. Di antara bapak dan ibu, berkembang sikap saling menggantikan. Anak pun bisa mendengarkan dan menuruti kehendak orang tuanya. Demikian juga orang tua rela mendengar, bahkan belajar dari anak-anaknya. Kemandirian dan kebersamaan berkembang secara seimbang dan sehat. Semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik. Anggota keluarga dapat menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing.

e. Tujuan Komunikasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga Katolik

Menurut pandangan Clark dan Shileds sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Keluarga” 2012: 61-62 dikatakan bahwa: komunikasi yang baik antara orang tua dan anak merupakan indikator yang membangun rasa percaya diri dan kejujuran dalam diri anak. Sedangkan menurut Fitzpatrick dan Badzinski menyebutkan dua karakteristik dalam relasi orang tua dan anak, pertama:komunikasi yang mengontrol yakni tindakan yang mempertegas otoritas orang tua terhadap anak. Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresi afeksi, 66 pemberian bantuan dan kerja sama. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting bagi orang tua dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua ini dapat dipahami secara positif dan negatif oleh anak, tergantung dari cara bagaimana orang tua berkomunikasi Sri Lestari, 2012: 62 67

BAB III PENELITIAN TENTANG DINAMIKA KOMUNIKASI ORANG TUA

DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

1. Deskripsi Paroki Santo Paulus Pringgolayan

Berdasarkan buku Program Kerja Paroki 2014: 5-19 dirumuskan mengenai profil Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan dan Keadaan umat di Paroki Administratif St. Paulus Pringgolayan sebagai berikut:

1. Profil Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan

a. Latar Belakang Berdirinya Paroki Administratif Santo Paulus

Pringgolayan Perjalanan sejarah Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan tentu tidak dapat dilepaskan dari Paroki induk yaitu Gereja Santo Yusuf Bintaran. Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ini pada awalnya masih bergabung dengan Kring Kota Gede, Sekarsuli, Gamelan dan Mantup. Pada waktu itu wilayah Gedongkuning dalam kegiatan rohani masih bergabung dengan Kring Sorowajan Paroki Baciro. Demikian pula wilayah Pleret masih menjadi bagian dari Paroki Klodran Bantul. Atas kebijakan Rm. Blasius Pujaraharja, Pr selaku Pastor Kepala Paroki Santo Yusuf Bintaran sekaligus Vikep DIY yang berkarya pada tahun 1972-1978, memutuskan bahwa wilayah Gedongkuning masuk wilayah Paroki Santo Yusuf Bintaran. Pada tanggal 24 Februari 1977 wilayah Gedongkuning dan sekitarnya 68 ditetapkan menjadi Kring sendiri dengan nama pelindungnya yakni Santo Matias. Selanjutnya menyusul wilayah Pleret menjadi bagian dari Paroki Bintaran Pada saat berkarya Rm. Blasius Pudjarahardja, Pr bersama Rm. Budyapranata, Pr dibantu para suster Sang Timur, katekis, kaum muda yang aktif, mereka keluar masuk desa untuk menabur benih iman di timor sungai Gajahwong. Daerah tersebut ternyata merupakan lahan yang subur. Banyak katekumen berada di wilayah ini. Bersama para suster mereka mengajar pelajaran agama dan lagu- lagu yang menarik minat anak-anak. Banyak orang tua yang melihat berlangsungnya pelajaran agama anak-anak tersebut kemudian akhirnya meminta untuk dipermandikan. Melihat kenyataan bahwa jumlah umat semakin bertambah, maka timbulah gagasan untuk membangun gereja di kawasan timur sungai Gajahwong. Gagasan ini dilontarkan berdasarkan pertimbangan bahwa jarak yang ditempuh oleh umat di wilayah ini menuju Bintaran cukup jauh dan prospek perkembangan umat di wilayah ini cukup baik. Gagasan ini selalu disampaikan dalam setiap ada kesempatan yang ternyata memperoleh tanggapan yang menggembirakan dari umat. Berbagai macam cara dan upayapun dilakukan untuk membangun sebuah Gereja di wilayah timur sungai Gajahwong yakni: melalui gerakan doa, sarasehan, dan kesepakatan untuk mengumpulkan uang, pencarian tanah sekaligus membeli tanah di dusun Pringgolayan-di tengah perkampungan, mengurus ijin pendirian Gereja, dan pembentukan panitia pembangunan. Akhrinya pada tanggal 10 November 1981, Rm. Julianus Sunarka, SJ sekarang Uskup Purwokerto, melakukan peletakkan batu pertama pembangunan Gereja. Pada tanggal 25 69 Januari 1986 setelah proses pembangunan selesai, maka bertepatan dengan hari raya bertobatnya Santo Paulus, peresmian dan pemberkatan Gereja dilaksanakan. Pemberkatan dan peresmian Gereja dilakukan oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Yulius Riyadi Darmaatmadja, SJ dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul yakni Bapak Murwanto Suprapto. Setelah memiliki Gereja dan jumlah umat semakin berkembang, Stasi Pringgolayan diangkat menjadi Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan melalui Surat Keputusan SK Uskup Agung Semarang. Sejak berstatus menjadi Paroki Administratif, maka semua kegiatan administratifnya berjalan secara mandiri dan terpisah dari Paroki Santo Yusuf Bintaran.

b. Visi dan Misi Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan

Visi dan misi Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan merupakan pedoman strategis untuk mengembangkan paroki yang berlandaskan pada ARDAS KAS 2011- 2015. Visi Paroki adalah: “Umat Allah Paroki Santo Paulus Pringgolayan yang hidup di tengah pluralitas masyarakat, sebagai persekutuan paguyuban murid-murid Kristus, menjadi pembawa keselamatan dan saudara bagi sesama.” Selanjutnya berdasarkan visi tersebut, maka masing-masing bidang karya menjabarkan misinya. Misi tersebut adalah: 1 Bidang Liturgi: Mewujudkan liturgi yang baku dan peribadatan yang berpedoman, memiliki nuansa lokal, merangkul melibatkan, dan menyentuh. 2 Bidang Pewartaan: Mewujudkan pewartaan yang menyelamatkan, menggemakan firman, mengembangkan iman, menumbuhkan kesadaran, dan mengaktifkan umat, serta memberikan keteladanan. 70 3 Bidang Sosial dan Kemasyarakatan: Mengembangkan kehidupan dan keterlibatan umat dalam pelayanan pada masyarakat plural demi terciptanya persaudaraan sejati. 4 Bidang Paguyuban dan Organisasi: Meningkatkan kinerja organisasi gerejani dan sinergi paguyuban-paguyuban umat serta peran komunitas-komunitas. 5 Bidang Sarana dan Prasarana: Menciptakan Gereja yang memadai, lengkap, bersahabat dengan lingkungan, dan membangkitkan kerinduan. 6 Bidang Penelitian dan Pengembangan: Menyediakan data dan informasi gereja yang selalu baru untuk mengembangkan Gereja dan mendukung reksa pastoral. Selanjutnya misi-misi ini diturunkan ke dalam berbagai program kerja tahunan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan.

c. Keadaan Demografis dan Tantangannya

Jumlah umat Katolik dari ke tujuh Kecamatan yang tersebar di wilayah Kabupaten Sleman hanya sekitar 4 dari total penduduk. Mereka tinggal dalam lingkungan yang sangat heterogen. Aktifitas keagamaan umat Katolik yang minorotas ini di beberapa tempat selama ini dilaksanakan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan konflik, karena pengalaman membuktikan bahwa setahun yang lalu 2013, umat yang meninggal ditolak untuk dimakamkan di pemakaman setempat. Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan terletak di dusun Pringgolayan RT 01RW 44 kelurahan Banguntapan. Bangunan Gereja terletak di tengah-tengah pemukiman dengan kepadatan sedang, yang penghuninya relatif 71 heterogen. Untuk menjangkau tapak Gereja ini dapat di tempuh melalui empat arah jalan masuk

2. Keadaan Umat di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan

a. Data Keluarga di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan

Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan terus bertumbuh dan berkembang secara dinamis. Pertambahan jumlah umat setiap tahun terus meningkat dan bertambah. Hal ini terjadi karena kelahiran bayi, pendatang baru, dan juga baptis dewasa. Menurut data statistik Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan tahun 2015, dikatakan bahwa jumlah umat per-31 Desember 2015 berjumlah 3.070 jiwa Statistik Paroki, 2015: 1 yang didata dari 913 KK Kepala Keluarga dan 22 Lingkungan yang tersebar di 5 wilayah. Jumlah keluarga muda terus bertambah, hal ini tentu memberikan kelahiran baru yang cukup besar. Dengan bertambahnya tingkat kelahiran yang cukup tinggi sehingga banyak baptisan baru, membuat Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan disebut sebagai “Gereja muda”. Hal ini tentu memberi rasa optimisme yang tinggi akan perkembangan Paroki di masa depan, sekaligus menjadi tantangan untuk karya pastoral bagi “Gereja muda.”

a. Kondisi Iman Umat

Sejak tanggal 1 Mei 2013, pelayanan atau karya pastoral dilayani secara penuh oleh Rm. BYL Subaggio, Pr yang resmi berdomisili di Pastoran Pringgolayan, tetapi masih dalam kerja sama dengan para Imam di Paroki induk yakni Paroki Santo Yusuf Bintaran. Kunjungan Pastoral secara khusus misa lingkungan berjalan dengan baik dan terprogram seperti misa pesta nama 72 lingkungan. Selain itu ada juga misa dengan ujub khusus seperti pemberkatan rumah, misa arwah, misa ulang tahun, dll. Program pendampingan dan pembinaan iman umat dijangkau melalui berbagai program Dewan paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan, baik bersifat rutin maupun program visioner. Selain itu siraman rohani melalui renungan-renungan dan khotbah semakin dihidupkan dengan terselenggaranya pelayanan misa harian di Gereja pada pkl 06.00 pagi. Setiap Jumad pertama dalam bulan misa diadakan dua kali yakni pada pagi hari pkl 06.00 dan pada sore hari pkl 17.00 dan dilanjutkan dengan penyembahan sakramen. Setiap hari kamis pkl 18.00 diadakan adorasi kurang lebih setengah jam di Gereja.

b. Keterlibatan Umat Dalam Hidup Menggereja dan Masyarakat

Perkembangan dan dinamika Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan tergantung dari kiprah umat dalam mengambil peran dalam membangun kehidupan menggereja secara internal di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolyan dan di tengah masyarakat. Keterlibatan umat juga nampak dalam berbagai bentuk seperti prodiakon, lektor, organis, koor, dirigen, persembahan tata laksana, tim kerja pengutusan lingkunganParoki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Umat juga melibatkan diri dalam wadah-wadah kategorial seperti PIA, PIR, Mudika, Lansia, Worosemedi, dan Legio Maria. Bibit panggilan menjadi imam, biarawani masih sangat terbatas, hal ini terlihat dari jumlah calon imam atau biarawani dari ke 22 lingkungan. Untuk program pendampingan bagi “Gereja Muda” perlu mendapat perhatian. Pemberdayaan para 73 pendamping PIA, Remaja dan Mudika sangat diperlukan, baik di tingkat Paroki administratif maupun di lingkungan. Hal lain yang sangat menggembirakan adalah bahwa sebagian umat mau membuka diri terlibat aktif dan berpartisipasi dalam kepengurusan tingkat RT, RW dan Kelurahan. Umat yang terlibat dalam kepengurusan ini berjumlah 97 orang. Selain itu umat juga terlibat aktif dalam perkumpulan yang ada di RT di mana umat tinggal.

2. Penelitian Tentang Model Komunikasi Dalam Rangka Pembentukan

Karakter dan Iman Anak di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan

1. Latar Belakang Penelitian

Dalam keluarga, komunikasi adalah sebuah kegiatan yang sangat penting untuk membangun sebuah relasi yang baik. Tanpa komunikasi tentu kehidupan keluarga akan terasa sepih dari kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran dan sebagainya Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 109. Dengan membangun sebuah komunikasi yang baik maka situasi keluarga akan terasa hidup. Namun sebaliknya jika komunikasi tidak berjalan sesuai harapan maka besar kemungkinan keluarga akan mengalami berbagai macam konflik dan masalah. Relasi personal antara orang tua dan anak yang dibangun melalui komunikasi yang baik akan mempengaruhi perkembangan karakter dan kepribadian anak. Anak akan belajar banyak hal dari keluarga khususnya dari kedua orang tuanya, karena orang tualah yang meletakkan dasar pembentukan kepribadian itu melalui komunikasi yang baik dan benar. Komunikasi ini 74 melibatkan bahasa Verbal yang bermakna yang dapat ditangkap dan dimengerti oleh anak, tetapi juga melibatkan sikap atau perilaku Non Verbal yang terjadi berupa pelukan, dekapan yang membuat anak merasa nyaman. Kesaksian hidup orang tua yang tercermin dalam perilakunya akan juga berpengaruh bagi anak, karena anak akan melihat dan belajar dari apa yang diperlihatkan oleh orang tuanya. Memang untuk membangun komunikasi yang baik dan benar dalam keluarga, tidaklah mudah. Karena pengalaman membuktikan bahwa banyak orang tua yang cukup mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka. Situasi dunia saat ini yang ditandai dengan proses perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi IPTEK yang cukup mempengaruhi sikap dan cara berpikir seorang anak. Selain itu kesibukan orang tua menjadi sebuah alasan untuk kurang memberi waktu ada bersama anak di dalam keluarga. Anak akan cenderung mencari hiburan di luar keluarga dan asyik dengan dirinya sendiri. Situasi umum yang digambarkan di atas, terjadi pula dalam keluarga- keluarga di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Tak bisa disangkal bahwa keluarga-keluarga Katolik di Paroki ini sedang menghadapi tantangan aktual, yang sebagian besar berasal dari masyarakat luas, sedang sebagian yang lain berasal lingkungan keluarga katolik. Ada beberapa tantangan dan keprihatinan yang sedang terjadi saat ini yakni: pertama, rapuhnya nilai kesetiaan dan perkawinan, yang diwarnai dengan adanya sebagian keluarga yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai-nilai dasar perkawinan katolik. Kedua, kurangnya penanaman dan penghayatan nilai religiusitas dalam keluarga 75 akibat perkembangan IPTEK yang membawa pengaruh negatif bagi penananam nilai iman dalam keluarga. Irama hidup keluarga hanya disibukkan dengan kegiatan yang jauh dari hal-hal rohani. Ketiga, beban ekonomi dan biaya hidup yang tinggi yang menyebabkan orang tua sibuk mencarai nafkah dengan bekerja, sehingga kurang memberi waktu untuk anak dan keluarga. Menanggapi persoalan tersebut di atas maka tentu ada harapan agar orang tua di paroki ini hendaknya mengambil tindakan konkrit untuk mengatasinya. Tindakan ini perlu didukung dengan kesadaran penuh sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian dan iman anak. Orang tua harus menyadari bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam mengarahkan anak-anak untuk menghadapi kehidupannya. Atas dasar ini maka peneliti terdorong untuk mencari dan menemukan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan dalam membangun komunikasi untuk pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga. Melalui penelitian ini juga diharapkan agar keluarga-keluarga Katolik di Paroki ini teristimewa orang tua dibantu untuk mengetahui pola komunikasi yang baik demi kepentingan pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga.

2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan pokok yang mau digali dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pola komunikasi macam apa yang diterapkan orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak? 76 b. Apa peranan fungsi komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak? c. Faktor Pendukung dan penghambat apa saja yang dialami oleh orang tua dalam berkomunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. d. Sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menguraikan beberapa fungsi komunikasi orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. b. Memaparkan peranan fungsi komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak? c. Mengungkapkan faktor pendukung dan penghambat yang dialami oleh orang tua dalam berkomunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. d. Mengetahui sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

4. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualititaif yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll Moleong, 2008: 6. Dengan metode penelitian ini diharapkan peneliti mendapat informasi mengenai pola komunikasi orang tua dan peranannya terhadap pembentukan 77 karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan.

5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Membantu menyadarkan dan meyakinkan orang tua akan pentingnya membangun komunikasi yang benar bagi pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik b. Memberi gambaran kepada orang tua tentang berbagai pola komunikasi yang efektif dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. c. Membantu orang tua untuk menemukan berbagai masalah yang dihadapi dalam proses pembentukan karakter dan iman anak. d. Membantu Gereja khususnya seksi pewartaan paroki dalam bidang pendampingan keluarga.

6. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan mulai dari tanggal 05 sampai 14 Desember 2016

7. Teknik Pengumpulan data

a. Observasi

Observasi menurut Sutrisno Hadi Sugiyono, 2014: 203 merupakan suatu proses yang kompleks yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikhologis. Hal yang penting dalam observasi ini adalah tindakan pengamatan dan ingatan. Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi melalui kunjungan 78 keluarga-keluarga Katolik untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi dalam keluarga itu terjadi.

b. Wawancara

Untuk mendapat gambaran yang lengkap mengenai fungsi pola komunikasi dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga, maka dilakukan pengumpulan data primer dengan menggunakan wawancara mendalam yang diarahkan untuk menggali informasi secara mendalam dan mendasar. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara interviewer yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara interviewee yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu Moeleong, 2006: 186. Teknik ini digunakan untuk mengeksplorasi informasi yang terkait dengan fungsi pola komunikasi dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga. Wawancara mendalam akan dilakukan pada keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Informan yang akan diwawancarai adalah; Keluarga Katolik.

c. Analisis data Study dokumen

Analisis data menurut Bogdan, sebagaimana dikutip oleh Sugoyono 2014: 334 adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga bisa mudah dipahami dan temuannya dapat disampaikan kepada orang lain. Setelah seluruh data diperoleh, peneliti akan menggunakan teknik analisis data bersifat deskriptif yang ingin menggambarkan data tersebut berdasarkan fungsi pola 79 komunikasi orang tua terhadap pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga.

d. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti akan merekam wawancara yang akan dilakukan dan memotret keadaan yang ada di tempat penelitian. Hal ini dilakukan agar penliti tidak kehilangan informasi atau data. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar, rekaman atau karya-karya monumental.

8. Variabel Penelitian

Komunikasi dalam kehidupan berkeluarga merupakan hal yang sangat penting dalam membangun keharmonisan dalam keluarga. Dalam membangun kehidupan komunikasi dituntut sebuah pola agar dapat diterima oleh semua anggota keluarga. Pola yang dibangun didasarkan pada fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga Katolik. Pentingnya komunikasi yang dibangun dalam kehidupan keluarga disatu sisi dapat membangun keharmonisan tetapi disisi lain juga dapat membangun kepribadian dan iman anak. Membangun kepribadian dan iman anak merupakan salah satu aspek dari komunikasi yang baik. Karena komunikasi dapat membentuk kepribadian dan iman anak maka perlu dibangun secara baik dalam kehidupan keluarga. Komunikasi yang baik yang dibangun dalam kehidupan keluarga dapat juga berperan dalam membangun kepribadian anak. Kedua aspek ini dapat juga 80 membantu dalam meningkatkan iman anak. Berdasar keterangan di atas, maka secara skematis variabel penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: No Variabel Indikator No Item 1. Pola Komunikasi - Mampu menjelaskan apa itu komunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi yang diketahui. - Mampu menjelaskan fungsi komunikasi dalam keluarga. - Mampu menjelaskan seberapa besar pengaruh pola komunikasi yang baik dalam keluarga. - Mampu menjelaskan seberapa besar usaha yang dilakukan dalam membangun komunikasi yang baik dan efektif dalam keluarga. 1 2 3 4 2. Keharmonisan dalam Keluarga - Menjelaskan sejauh mana hubungan atau relasi yang terjadi selama ini dalam keluarga. - Menjelaskan bentuk-bentuk kebiasaan yang baik yang selalu dilakukan dalam keluarga. - Mampu menunjukkan sikap ketika salah satu anggota keluarga melakukan 5 6 7 81 kesalahan. - Mampu menyebutkan tantangan atau persoalan yang menganggu keharmonisan dalam keluarga. - Mampu menjelaskan bagaimana menyikapi persoalan yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga. 8 9 3. Pembentukan karakter dan iman anak - Mampu menyebutkan apa harapan terbesar bagi anak-anak. - Mampu menjelaskan sikap orang tua dalam mendampingi anak dalam menentukan pilihan hidup. - Mampu menunjukkan bentuk peran dan tanggungjawab orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman. - Mampu menunjukkan sikap terhadap anak yang sedang menghadapi masalah. - Mampu menyebutkan contoh-contoh keteladanan dalam hidup beriman kepada anak. 10 11 12 13 14 82

9. Instrumen Penelitian

Berdasarkan variabel penelitian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan wawancara sebagai berikut: a. Apa yang anda ketahui tentang komunikasi? Dan bentuk komunikasi apa saja yang anda ketahui? b. Apa yang anda ketahui tentang fungsi komunikasi dalam keluarga? c. Seberapa besar pengaruh pola komunikasi yang dibangun dalam keluarga anda? d. Cara atau usaha apa yang anda tempuh untuk membangun komunikasi yang baik dan efektif kepada suamiistri, anak e. Sejauh mana hubungan atau relasi yang terjadi selama ini? f. Apakah ada kebiasan untuk berkumpul bersama dalam keluarga? Ketika berkumpul bersama apa yang anda lakukan? g. Bagaimana pengalaman anda, ketika salah satu dari anggota keluarga anda melakukan kesalahan? Apa yang anda lakukan dan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga tersebut? h. Persoalan atau tantangan apa saja yang anda temui atau yang anda alami, yang cukup mengganggu keharmonisan dalam keluarga? i. Bagaimana anda menyikapi setiap persoalan yang mengganggu keharmonisan keluarga anda? j. Apa harapan terbesar anda terhadap masa depan anak-anak anda? k. Bagaimana sikap anda dalam mendampingi anak dalam menentukan pilihan hidup. 83 l. Apa peran dan tanggung jawab anda sebagai orang tua bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter dan iman anak? m. Bagaimana sikap anda sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi oleh anak. n. Seberapa dalam anda memberi contoh penghayatan kehidupan beriman anda?

10. Populasi dan Sampel

Unit analisis dari penelitian ini adalah fungsi pola komunikasi dalam pembentukan kepribadian dan iman di lokasi penelitian. Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyeksubjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya Sugiyono, 2014: 297. Populasi penelitian ini adalah Keluarga Katolik di wilayah Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Dengan memperhitungkan keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini terkait dengan waktu, pendanaan dan tenaga, maka dianggap perlu untuk mengambil sampel yang merupakan representasi dari populasi. Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah keluarga yang dipilih dari populasi. Jumlah keluarga yang dipilih adalah 10 keluarga yang tersebar di 10 lingkungan yang berada di 5 wilayah. Masing-masing wilayah akan diacak untuk memilih 2 lingkungan. Sedangkan usia perkawinan keluarga yang akan diwawancara adalah 5 sampai 20 tahun. Dengan mempelajari sampel, peneliti dapat menarik kesimpulan yang akan digeneralisasikan untuk populasi yang diminati. Untuk analisis fungsi pola komunikasi orang tua dalam pembentukan kepribadian dan iman anak, peneliti mengambil 10 keluarga. 84

11. Teknik Analisis Data

Dalam pengumpulan data peneliti akan melakukan observasi, wawancara secara mendalam, analisis dokumen dan dokumentasi. Setelah itu peneliti menggunakan analisis kualitatif yaitu analisis ulang yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang diperoleh dan disusun secara sistematis kemudian ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus. Menurut Bogdam dan Bilken Moleong, 2007: 248 analisis data adalah: upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting untuk dipelajari kemudian memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Berdasarkan hasil definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari analisis data adalah mengumpulkan data. Hasil dari analisis tersebut kemudian diintegrasikan, menjadi suatu informasi yang komprehensif yang menggambarkan fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga. Berdasarkan hasil ini kemudian disusun rekomendasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi komunikasi dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga. 85 C. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian Tentang Model Komunikasi Dalam Rangka Pembentukan Karakter dan Iman Anak di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Penulis melakukan penelitian dengan wawancara, study dokumen dan observasi yang terjadi pada tanggal 5-14 Desember 2016. Latar belakang dan situasi responden yang berbeda-beda, sangat membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data yang beraneka ragam sesuai dengan variabel yang diteliti. Wawancara ini dilakukan di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Pelaksanaan wawancara ini, dikondisikan dengan situasi dan keadaan serta kesediaan responden. Penulis hanya menyesuaikan saja. Pada bagian ini penulis akan memaparkan hasil penelitian, berdasarkan variabel yang diteliti yang terdiri dari: pola komunikasi, keharmonisan dalam keluarga, pembentukan karakter dan iman anak.

1. Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Pola Komunikasi

1 Hasil Penelitian Melalui wawancara dengan responden, peneliti menemukan fakta bahwa dari 10 responden dikatakan bahwa pola komunikasi dalam keluarga berjalan dengan baik, karena setiap anggota keluarga mau memberi waktu, cinta, perhatian dan penghargaan satu sama lain. Selain itu ada pula tantangan dan hambatan yang cukup mengganggu kelancaran komunikasi dalam keluarga. 86 Menurut pemahaman R4 dan R5 komunikasi berarti berbicara, atau menyampaikan informasi atau pesan kepada orang lain dan orang lain menerimanya Lampiran 2: 10, 13. R10 menyatakan bahwa komunikasi berarti berbagi cerita atau menyampaikan pesan dan kesan kepada orang lain Lampiran. Menurut R7 komunikasi adalah berbicara atau menyampaikan pendapat yang melibatkan sisi emosi Lampiran 2: 19. Sedangkan bentuk-bentuk komunikasi menurut R1 terdiri atas dua bagian yakni komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal terjadi melalui kata-kata atau berbagi cerita dan komunikasi nonverbal yang terjadi melalui pelukan dan ciuman Lampiran 2: 1. Sedangkan komunikasi nonverbal menurut R9 ditunjukan melalui menyapa anak, membangunkan anak, bertanya tentang kegiatan anak di sekolah. Komunikasi juga ditunjukan melalui pelukan, menyuap anak, memberi berkat di dahi atau bersalaman Lampiran 2: 1. R1 menegaskan lagi bahwa komunikasi dalam keluarga itu sangat penting karena berfungsi untuk menjaga relasi antar suami istri dan anak agar selalu terjalin dengan baik, sehingga keluarga tetap harmonis, aman dan damai Lampiran 2: 1. Komunikasi dalam keluarga menurut R10 berfungsi untuk mengakrabkan seluruh anggota keluarga, menjaga relasi agar terus terjaga dengan baik. Dengan adanya komunikasi semua merasa diperhatikan, dicintai, dikasihi dan saling melengkapi satu sama lain Lampiran 2: 1. Sedangkan R5 berpendapat bahwa komunikasi dalam keluarga berfungsi supaya apa yang diharapkan bisa tercapai dengan baik, dipahami dan diterima, dengan demikian hubungan dengan keluarga dapat berjalan dengan harmonis, nyaman dan damai Lampiran 2: 1. R9 87 menambahkan bahwa komunikasi dalam keluarga dapat membangun keterikatan batin, dan memupuk kasih sayang Lampiran 2: 1. R1 mengatakan bahwa komunikasi yang baik yang terjadi dalam keluarga membawa pengaruh yang cukup besar bagi seluruh anggota keluarga. Hal ini dapat dibaca dalam kutipan di bawah ini: Komunikasi yang dibangun dalam keluarga itu sangat berpengaruh di mana setiap anggota keluarga dapat menampilkan dirinya apa adanya, merasa diterima, dihargai, merasa senang dan aman. Memang selama ini kadang terjadi hal yang kurang mengenakkan, terlebih ketika berada di kantor, karena sibuk dengan pekerjaan, kami tidak saling memberi khabar. Sehingga muncul kecurigaan yang berujung pada pertengkaran. Hal ini juga menjadi faktor penghambat, ketika kami sebagai suami istri tidak saling percaya, saling curiga satu sama lain, merasa diabaikan atau diremehkan. Kemudian merasa lebih betah di kantor ketimbang cepat pulang ke rumah Lampiran 2: 1. Selain itu komunikasi juga berpengaruh kepada anak. Hal ini sangat jelas diungkapkan oleh R3 dan R8 bahwa anak akan melihat dan mendengar apa yang dibuat oleh orang tuanya. Secara psikologis akan terbentuk, sehingga apapun pengaruh negatif yang datang dari luar tidak mempengaruhi kehidupan anak. Tingkah laku anak bisa jadi karena faktor komunikasi dari orang tuanya Lampiran 2: 7, 22. R5 menegaskan bahwa dengan adanya komunikasi yang berjalan dengan baik, maka kepribadian dan iman anak akan terbentuk Lampiran 2: 13. Adapun faktor penghambat sehubungan dengan komunikasi ini sebagaimana yang diungkapkan oleh R3 dan R4 adalah kadang muncul rasa egois dan ingin menang sendiri atau kadang masih terjadi adanya perbedaan pendapat, karena masing-masing merasa paling benar Lampiran 2: 7, 10. Sedangkan R9 mengatakan bahwa perbedaan budaya juga menjadi faktor penghambat dalam 88 berkomunikasi Lampiran 2: 25. Kemudian R5 dan R10 mengungkapkan bahwa salah satu faktor penghambat dalam berkomunikasi adalah kesibukan kerja yang menyebabkan kurangnya waktu untuk berkumpul bersama dalam keluarga Lampiran 2: 13, 28. Sedangkan R7 berpendapat bahwa sejauh ini pengaruh komunikasi hanya terjadi sebelah pihak saja. Hal ini bisa kita baca pada kutipan di bawah ini: Sejauh ini pengaruhnya tidak seefektif sebagaimana yang diharapkan. Muncul jarak yang seolah memisahkan satu sama lain, sehingga anggota keluarga yang lain, merasa sulit untuk mendekati. Bahkan kadang kami bersikap kasar, apalagi kasar terhadap anak-anak dan kurang memahami situasi atau kondisi yang dihadapi oleh anak. Sebagai orang tua juga kadang kami tidak menjadi sahabat yang baik bagi anak-anak, sehingga kadang anak menjadi protes Lampiran 2: 19. R6 mengatakan bahwa agar komunikasi bisa berjalan dengan baik dan efektif maka perlu adanya keterbukaan dalam berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Supaya tidak ada konflik dalam hidup berkeluarga maka cara yang kami tempuh adalah perlu adanya keterbukaan dan kejujuran dalam berkomunikasi. Misalnya kalau marah, kami mengatakan apa adanya, karena bagi kami marah adalah salah satu proses untuk saling memahami satu sama lain. Memang dalam kenyataan seringkali ada konflik, sehingga anak merekam dan menegur apa yang terjadi dengan orang tuanya. Sebagai orang tua kami merasa egois, dan tidak bisa menahan diri ketika ada sesuatu yang kurang berkenan, sehingga dampaknya anak berani menegur kami Lampiran 2: 16. R10 berpendapat bahwa agar komunikasi bisa berjalan dengan baik maka perlu menjaga kehalusan dan kelembutan dalam berbicara agar tidak menyakiti atau melukai siapapun Lampiran 2: 28. R9 mengatakan bahwa ketika menghadapi persoalan salah satu dari anggota keluarga harus bersikap mengalah. Perihal siapa yang benar dan siapa yang salah, itu urusan kemudian, karena yang 89 terpenting adalah bagaimana mereka saling menerima kelebihan dan kekurangan Lampiran 2: 25. Selanjutnya R4 berpendapat bahwa berkomunikasi perlu adanya saling percaya, saling mengerti kekurangan dan kelebihan Lampiran 2: 10. 2 Pembahasan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden mengenai pola komunikasi, ditemukan bahwa komunikasi berarti berbicara atau mengirim pesan, mengungkapkan gagasan, pendapat atau perasaan kepada orang lain dan orang lain menerimanya. Komunikasi merupakan “proses”, maka untuk berkomunikasi yang baik membutuhkan waktu dan kesabaran; karena berkomunikasi tidak sekedar saling bicara dan mendengar to hear, tetapi juga saling mendengarkan to listen dengan mengertiAndreas, 2015:1. Bentuk-bentuk komunikasi terdiri atas dua bagian yakni komunikasi verbal yang terjadi melalui kata-kata atau berbicara dan komunikasi nonverbal yang terjadi melalui pelukan, ciuman, bersalaman dan memberi berkat. Fungsi komunikasi nonverbal adalah sebagai penguat komunikasi verbal. Dalam konteks sikap dan perilaku, pesan nonverbal dapat menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang ada dalam hati, misalnya; tepuk tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak mampu mengekspresikan gagasan, keinginan atau maksud Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 115-118. Adapun fungsi komunikasi yang terjadi dalam keluarga adalah untuk menjaga dan memperat hubungan keluarga sehingga bisa saling mengenal agar keutuhan keluarga tetap terjaga keharmonisannya dan terciptanya kenyamanan dan kedamaian. Ketika komunikasi itu terjaga dengan baik, maka akan timbul 90 kedekatan dan keterikatan batin, karena komunikasi itu sendiri merupakan wujud saling mengungkapkan rasa cinta kasih dan kasih sayang. Komunikasi yang baik yang terjadi dalam keluarga membawa pengaruh yang cukup besar bagi seluruh anggota keluarga. Tentunya sebuah keluarga akan berfungsi dengan baik apabila di dalamnya terdapat pola komunikasi yang terbuka, ada sikap saling menerima satu sama lain, saling mendukung dan memberi rasa aman dan damai. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dicintai, kebutuhan dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya akan menentukan tingkat keharmonisan dalam keluarga Alfonsus Sutarno, 2013: 30. Komunikasi yang baik dan efektif juga akan membentuk pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dari segi psikologis maupun dari segi iman, karena secara otomatis anak akan melihat dan mendengar apa yang dibuat oleh orang tuanya, atau bisa dikatakan tingkah laku anak bisa jadi karena faktor komunikasi orang tuanya. Ketika anak lebih gampang terpengaruh dengan situasi negatif dari luar maka bisa saja merupakan kegagalan orangtua dalam menurunkan nilai rohani atau nilai moral kepada anaknya. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting bagi orang tua dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua ini dapat dipahami secara positif dan negatif oleh anak, tergantung dari cara bagaimana orang tua berkomunikasi Sri Lestari, 2012: 62. 91 Adapun faktor penghambat sehubungan dengan komunikasi dalam keluarga adalah munculnya rasa egois dan ingin menang sendiri. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan pendapat, karena masing-masing merasa paling benar. Perbedaan budaya juga menjadi faktor penghambat dalam berkomunikasi. Selain itu kesibukan dalam pekerjaan juga mengurangi intensitas komunikasi dengan keluarga karena kurangnya waktu untuk berkumpul bersama dalam keluarga. Bahkan komunikasi sering terjadi hanya sebelah pihak di mana muncul sikap diam dan masa bodoh. Terjadi pula kekerasan dalam rumah tangga dan yang menjadi korban adalah anak-anak. Untuk itu agar komunikasi bisa berjalan dengan baik dan efektif maka perlu adanya keterbukaan dalam berkomunikasi. Perlu juga membangun sikap jujur, terbuka dan kehalusan serta kelembutan dalam berbicara. Sikap mengalah dalam menghadapi masalah dalam keluarga bisa juga merupakan solusi yang tepat karena dapat mengurangi konflik dalam keluarga. Perihal siapa yang benar dan siapa yang salah, itu urusan kemudian, karena yang terpenting adalah bagaimana adanya saling menerima kelebihan dan kekurangan, saling percaya, saling mengerti kekurangan dan kelebihan. Melalui komunikasi yang terbuka dan jujur, keluarga dapat hidup harmoni. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dicintai, kebutuhan dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya akan menentukan tingkat keharmonisan dalam keluarga J. Hardiwiratno, 1994:12 92

b. Keharmonisan Dalam Keluarga 1 Hasil Penelitian

Mengenai keharmonisan dalam keluarga, sebagaimana dalam wawancara dengan 10 responden ditemukan fakta bahwa semuanya berjalan dengan baik, karena adanya sikap saling memaafkan, mengampuni, mengalah, juga ada kerinduan untuk selalu ada bersama dengan keluarga. R6 mengungkapkan bahwa hubungan dalam keluarga selama ini baik, meskipun kadang ada konflik. Namun konflik tersebut selalu diusahakan untuk diselesaikan dengan baik Lampiran 2: 16. R5 menegaskan bahwa mengesampingkan ego adalah solusi yang tepat, karena jika tidak maka masalahnya akan semakin bertambah rumit Lampiran 2: 13. R4 menyebutkan bahwa bertengkar dan beda pendapat itu hal yang wajar, karena pola pikir dan latar belakang budaya pasti berbeda Lampiran 2: 10. R3 menggambarkan bahwa semakin bertambahnya usia perkawinan, relasi kedekatan semakin mendalam. Gambaran pernyataan tersebut dapat dibaca pada kutipan di bawah ini: Ketika usia perkawinan semakin bertambah kami merasa semakin dekat dan semakin mengenal satu sama lain. Relasi yang dibangun semakin dekat ini, membuat kami selalu merasa aman dan damai dalam membangun keluarga. Kami berusaha untuk mengesampingkan ego demi kebaikan bersama Lampiran 2: 7. Supaya keharmonisan dalam keluarga selalu terjaga, R2 mengungkapkan bahwa setiap hari selalu ada kerinduan untuk berkumpul bersama dalam keluarga Lampiran 2: 5. Hal inipun ditegaskan oleh R3 bahwa usaha untuk berkumpul bersama dalam keluarga dilakukan melalui refreshing bersama pada hari libur Lampiran 2: 8. R5 mengungkapkan bahwa ketika berkumpul bersama selalu 93 terjadi sharing pengalaman atau merencanakan kegiatan apa yang mau dilakukan Lampiran 2: 14. Sedangkan R4 mengatakan bahwa berkumpul bersama dalam keluarga terjadi juga pada perayaan-perayaan penting. Hal tersebut bisa dilihat pada pernyataan di bawah ini: Setiap hari kami selau berusha untuk berkumpul bersama. Selain ini pada pada perayaan-perayaan penting seperti ultah perkawinan, ultah kelahiran, natal, dan Paskah kami rayakan dengan makan bersama. Pada saat kumpul bersama selain makan, ada-ada saja pembicaraan yang disampaikan, seperti pekerjaan di kantor ataupun pengalaman keseharian. Untuk berdoa bersama dalam keluarga, jarang kami lakukan Lampiran 2: 11. R6 menegaskan bahwa supaya keharmonisan dalam keluarga terjalin dengan baik, maka sikap yang diambil dalam menyikapi konflik adalah mengalah dan memberi maaf Lampiran 2: 17, bahkan R8 mengatakan bahwa jika masalah itu terjadi pada hari itu, maka harus diselesaikan pada hari itu juga Lampiran 2: 233. Sedangakn R5 mengungkapkan bahwa dalam membangun keluarga pasti ada tantangan atau konflik. Meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, butuh kerendahan hati dan ketulusan hati untuk melakukan itu. Mengalah adalah jalan terbaik untuk mencapai kebaikkan bersama Lampiran 2: 14. Memang dalam membangun keluarga, selalu saja ada persolan yang cukup mengganggu keharmonisan dalam keluarga. R7 mengatakan bahwa persoalan terberat yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga adalah ketidakjujuran dan ketidakterbukaan dalam berkomunikasi, apalagi disinyalir ada orang ke tiga yang hadirnya dalam perkawinan Lampiran 21: 20. R1 juga menyatakan bahwa berkurangnya intensitas komunikasi, maka muncul kecurigaan. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini: 94 Hubungan atau relasi yang terjadi selama ini khusunya beberapa tahun terakhir ini, cukup mengganggu. Persoalannya adalah kurangnya komunikasi dalam hal ini adalah kurang memberi informasi atau bercerita tentang kegiatan apapun ketika berada di tempat tugas sehingga menimbulkan kecurigaan Lampiran 2: 2. R9 mengatakan bahwa persoalan yang menyolok yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga adalah perbedaan budaya, sehingga membutuhkan usaha untuk menyatukan dua budaya yang berbeda Lampiran 2: 26. R10 mengatakan bahwa ada masalah mengenai minimnya waktu untuk berkumpul bersama, dikarenakan kesibukan bekerja, dan tidak ada kesediaan untuk memberi informasi. Lampiran 2: 29. Sedangkan R4, R6, dan R8, mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab lunturnya keharmonisan dalam keluarga adalah faktor ekonomi Lampiran 2: 11, 17, 23. R3 mengisahkan bahwa gara-gara faktor ekonomi mereka harus berpisah dalam beberapa bulan. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini: Persoalan yang cukup mengganggu keharmonisan adalah faktor ekonomi. Memang ketika awal pernikahan, kami bekerja sebagai honorer. Gaji yang kami terima tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam keterbatasan ekonomi ini, kami juga harus berpikir untuk bagaimana menyekolahkan anak. Situasi inilah yang memicu konflik dalam keluarga, bahkan kita berpisah dalam beberapa bulan. Faktor yang lain adalah munculnya sikap cemburu dan curiga yang berlebihan. Situasi ini disebabkan karena tidak ada keterbukaan dari kami dalam membangun komunikasi Lampiran 2: 8. Untuk menyikapi setiap persoalan yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga R5 menyatakan bahwa perlu adanya sikap saling percaya, apalagi ketika membangun hubungan jarak jauh. Frekuensi perjumpaan sangat minim maka media handphone menjadi sarana untuk membangun komunikasi, sehingga relasi tetap terjaga dengan baik Lampiran 2: 14. R9 berpendapat bahwa perlu adanya 95 penyesuaian diri dan tidak memaksakan kehendak Lampiran 2: 26. Sedangkan R3 berpendapat bahwa perlu adanya introspeksi diri ketika ada konflik. Pernyataan ini dapat dibaca pada kutipan berikut: Ketika ada konflik hal pertama yang kami buat adalah kita saling introspeksi diri, kami melihat kira-kira munculnya masalah ini karena apa. Setelah itu kami berbicara dari hati ke hati dan kami saling memaafkan. Kami juga sangat menghargai nilai luhur perkawinan, dan penghargaan ini kami buktikan dengan membangun sikap saling menghormati, menerima kekuarangan dan kelebihan pasangan kami Lampiran 2: 8. 1 Pembahasan Membangun rumah tangga yang harmonis memang menjadi impian semua orang. Keluarga yang harmonis tentu ditandai dengan suatu hubungan atau relasi yang baik yang terjadi melalui meluangkan waktu sejenak di tengah kesibukan untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, sambil membagi pengalaman keseharian di tempat tugas masing-masing. Berkumpul bersama dalam keluarga pada moment-moment penting sekedar untuk merayakan perayaan keluarga, adalah juga bagian dari cara menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Selain itu berjalan-jalan ke tempat rekreasi juga tentu akan membantu mencairkan suasana agar lebih rileks dari kepenatan bekerja. Secara berkala keluarga perlu melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka Sri Lestari, 2012: 24-26 Tetapi tidak dipungkiri bahwa di tengah impian itu pasti ada konflik dan pertengkaran. Situasi ini muncul karena berbagai macam faktor yakni; a Faktor ekonomi yang serba terbatas dengan penghasilan yang minim, apalagi tuntutan 96 hidup terus meningkat, b Ketidaksetiaan dalam perkawinan, karena hadirnya orang ke tiga dalam hidup perkawinan, c Perbedaan budaya yang mempengaruhi karakter dan pola pikir, d Kesibukan bekerja yang menyebabkan frekuensi perjumpaan sangat minim apalagi komunikasi tidak dibangun secara baik, f Adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, e Munculnya kesenjangan rohani, di mana keluarga kurang melibatkan Tuhan dalam keluarga melalui doa- doa keluarga. Untuk mengatasi ini maka perlu meletakkan unsur kasih sebagai dasar dalam hidup perkawinan, sehingga dengan demikian setiap masalah maupun persoalan yang timbul dapat diselesaikan dengan baik. Setiap masalah yang timbul biasanya disebabkan karena mutu komunikasi yang kurang seimbang. Masing-masing terlalu mempertahankan ide dan pendapat, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Agar keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga, maka setiap anggota keluarga perlu membangun komunikasi yang seimbang dan bermutu tanpa saling menyakiti satu sama lain. Setiap keluarga juga perlu membangun suatu kesadaran bahwa ketika usia perkawinan semakin bertambah, maka kualitas atau kedalaman untuk mengenal pasangan harus lebih mendalam. Perlu juga membangun sikap saling percaya, saling memahami dan saling mengerti satu sama lain kendati rasa sebagai manusia akan tetap ada dalam diri. Masing-masing terus belajar untuk introspeksi diri dan membangun semangat untuk saling memaafkan, memberi pengampunan dan lebih penting adalah membangun komunikasi yang baik. Kemudian yang paling penting adalah membangun kesempatan doa bersama dalam keluarga. Melalui doa 97 keluarga, tentu semua anggota keluarga dibawa untuk semakin dekat dengan Tuhan, sehingga meningkatkan keharmonisan dalam keluarga.

C. Pembentukan Karakter dan Iman Anak 1

Hasil Penelitian Melalui wawancara tentang “pembentukan karakater dan iman anak” dari 10 responden ada sebagian mengatakan tidak mengalami kesulitan, tetapi sebagian yang lain sedikit mengalami kesulitan karena berbagai macam faktor. Berkaitan dengan pembentukan karakter dan iman anak ini tentunya ada harapan terbesar dari orang tua terhadap masa depan anaknya. R3 mengharapkan agar kelak anak-anaknya bisa hidup mapan, sukses, mandiri, berkecukupan, bertumbuh dewasa dan kuat dalam iman Lampiran 2: 8. R4 mengungkapkan agar anak- anaknya bisa mandiri dan kariernya harus lebih baik dari orang tuanya dan tidak lagi bergantung pada orang tua Lampiran 2: 11. Sedangkan R5 mengharapkan agar anak-anak bisa menjadi orang baik dan hidupnya menjadi berkat bagi orang lain Lampiran 2: 14. R6 menegaskan bahwa yang terpenting adalah supaya anak semakin beriman Lampiran 2: 17. R8 kembali menegaskan bahwa sebagai orang tua mereka mengarahkan agar anak bisa meraih masa depannya dengan baik. Hal ini bisa dibaca pada kutipan di bawah ini: Kami berharap agar anak-anak bisa bahagia dan senang. Apapun keinginan anak, sebagai orang tua kami hanya sebatas mengarahkan dan mendukung. Memang anak sendiri ingin sekolah yang tinggi dan yakin akan kemampuannya bahkan mau ke luar negeri. Sebagai orang tua kita hanya sebatas mendukung, dan mendampingi Lampiran 2: 23 Mengenai bentuk pendampingan agar anak bisa menentukan pilihan hidupnya, menurut R8 adalah dengan mengarahkan, mendampingi dan 98 mendengarkan anak Lampiran 2: 23. Menurut R7 sebagai orang tua mereka selalu memberikan dukungan berupa nasihat dan peneguhan Lampiran 2: 21. R5 dan R10 mengatakan bahwa sebagai orang tua mereka selalu memantau apapun yang dibuat oleh anak juga melihat bakat dan kemampuannya Lampiran 2: 15, 29. Sedangkan R3 mengatakan bahwa anak-anak diberi kebebasan tetapi tidak lepas kontrol. Dalam hal ini sikap yang diambil adalah selalu mengawasi anak- anak Lampiran 2: 9. Menurut R4 sebagai orang tua peran dan tanggungjawab dalam pertumbuhan dan perkembangan karakter dan iman anak adalah memberi contoh dan teladan yang baik Lampiran 2: 12. Demikian juga dikatakan oleh R1 bahwa orang tua harus menjadi contoh yang baik. Hal ini bisa dibaca dalam kutipan berikut ini: Dalam pembentukan karakter anak, sebagai orang tua kami berusaha untuk memberi contoh yang baik melalui kasih sayang dan cinta bagi anak-anak. Kami menyadari bahwa anak-anak sangat kritis dalam hal ini, memori mereka sangat kuat untuk merekam apa yang dibuat oleh orang tuanya. Oleh karena itu kami harus menjadi contoh. Dalam hal imanpun demikian, kami tetap memberi contoh yang baik, seperti pergi ke Gereja setiap hari dan terlibat dalam setiap kegiatan di lingkungan. Anak-anak selalu kami libatkan dalam kegiatan ini. Dengan melihat apa yang dibuat oleh orang tuanya, anak-anak akan termotivasi untuk juga terlibat dalam hal ini Lampiran 2: 3. R7 punya pengalaman lain yakni sebagai orang tua, mereka kurang memberi perhatian. Pernyataan ini bisa dibaca pada kutipan berikut: Sebagai orang tua kadang kami kurang memberi perhatian, kami lebih asyik dengan dunia kami. Kami hanya membebankan salah satu dari kami untuk memberi perhatian dan dukungan kepada anak. Dengan demikian anak menjadi tidak suka dengan salah satu dari kami Lampiran 2: 21. 99 Dalam hal menghadapi permasalahan anak sikap yang diambil oleh R2 adalah membuat pendekatan terhadap anak, mendengarkan anak dan memberikan solusi yang tepat Lampiran 2: 5. R1 dan R2 menyatakan bahwa ketika anak- anak bercerita tentang permasalahannya, sebagai orang tua memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, memberikan solusi kemudian mengajak anak untuk berpikir dan merefleksikan itu Lampiran 2: 3, 5. R8 menyatakan bahwa ketika anak sedang dalam permasalahan maka jalan keluar yang terbaik adalah membuat pendekatan secara pribadi, memberikan pengertian, mengarahkan dan menerapkan disiplin Lampiran 2: 24. Selain itu, sebagai orang tua memberi contoh dalam penghayatan hidup beriman adalah hal paling penting. R9 menyatakan bahwa sebagai orang tua apapun yang dilakukan orang tua pasti akan diikuti oleh anak. Hal ini bisa kita baca dalam kutipan di bawah ini: Kami selalu berprinsip bahwa apapun yang kami lakukan, pasti akan diikuti anak. Hal yang kami buat selama ini bahwa pagi hari kami berdoa angelus berrsama, dan juga memberi berkat ketika hendak berangkat kerja. Selain itu kami juga melibatkan anak untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan. Hanya bahwa doa bersama dalam keluarga, masih kurang kami lakukan dalam keluarga Lampiran 2: 27. R3 menyatakan bahwa sebagai orang tua perlu memberi contoh yang baik misalnya terlibat aktif di lingkungan dan pergi ke Gereja pada hari Minggu, namun dalam hal doa keluarga masih jarang dilakukan Lampiran 2: 9. R1 menyebutkan bahwa mereka berusaha untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan rohani. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini: Kami selalu berusaha untuk melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan rohani seperti: doa di lingkungan, pendalaman iman, latihan koor, misa harianminggu di Gereja, juga mendukung mereka untuk terlibat dalam 100 kegiatan PIA dan PIR. Hanya yang menjadi kelemahan kami adalah berdoa bersama dalam keluarga, jarang kami lakukan Lampiran 2: 3 2 Pembahasan Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam pembentukan karakter dan iman anak. Setiap orang tua pada awalnya tentu mengharapkan agar-agar anak-anaknya bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan tidak sedikit orang tua yang mengharapkan agar anak- anaknya kelak bisa menjadi manusia yang sukses, mandiri, mapan dan kariernya harus bisa lebih baik dari orang tuanya. Di lain pihak ada orang tua yang berharap agar anaknya bisa menjadi orang baik yang hidupnya berguna bagi orang lain dan menjadi berkat bagi yang lain. Selain itu agar iman anaknya sungguh kuat dan tidak terpengaruh oleh situasi dan keadaan apapun. Harapan ini tentu diimbangi pula dengan bentuk-bentuk pendampingan yang baik sehingga anak bisa bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Bentuk pendampingan ini dilakukan melalui memantau setiap aktivitas anak, menasihati, meneguhkan dan mendukung hal-hal baik yang dibuat oleh anak. Ketika anak menghadapi masalah, maka orang tua hadir sebagai pendengar, kemudian memberikan solusi dan mengajak anak untuk berpikir dan berefleksi. Selain itu orang tua perlu membuat pendekatan secara pribadi, menasihati anak dan meneguhkannya. Kesadaran orang tua pada jati dirinya menyadarkan mereka pada peran dan panggilannya. Suami dan istri akan berjuang demi hidup dan masa depan anak Alfonsus Sutarno, 2013: 60 101 Tentunya orang tua sendiri harus memberikan teladan yang baik dan benar sehingga anak melihat dan ikut melakukan apa yang dibuat oleh orang tuanya. Keteladanan dan kesaksian adalah ekspresi dari komunikasi yang dibangun dalam diri orang tua. Bentuk Komunikasi verbal dan nonverbal yang dibangun dengan penuh kesadaran dan diwujudkan dengan penuh kasih akan berpengaruh pada perkembangan karakter dan iman anak. Di sini peran orang tua sangat penting yakni sebagai pendidik dan pendengar yang baik. Orang tua harus konsisten dengan kata dan perbuatannya agar anak melihat dan belajar dari apa yang dibuat oleh orang tuanya. Dalam hal imanpun orang tua harus bisa memberi teladan yang baik dengan melibatkan anak untuk terlibat dalam kegiatan rohani. Namun dalam kenyataan sebagian keluarga menghadapi kendala-kendala seperti: kurangnya kebiasaan berdoa dalam keluarga, anak kurang terlibat dalam aktivitas rohani baik dilingkungan maupun di tingkat paroki. Orang tua perlu memulai dengan kebiasaan berdoa bersama di rumah, melibatkan anak dalam kegiatan di lingkungan, dan kegiatan rohani lainnya di Gereja. Perlu disadari bahwa orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga terutama dalam proses pembentukan karakter dan iman anak. Orang tua tentu memiliki harapan agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam pelbagai aspek kehidupan jasmani, rohani, psikologi, pengetahuan dan lain-lain. Suami istri akan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara tepat bila pertama-tama mereka menyadari diri, siapakah sebenarnya diri mereka, siapakah diri mereka di hadapan anak-anak Alfonsus Sutarno, 2013: 69-73. 102

2. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang Ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian tentang fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakater dan iman anak dalam keluarga katolik di Paroki Administratif Santu Paulus Pringgolayan, penulis menemukan fakta-fakta berikut ini: a. Melalui penelitian yang dilakukan, fungsi komunikasi dalam keluarga katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan pada umumnya berjalan dengan baik, di mana seluruh anggota keluarga menempatkan komunikasi sebagai penyampaian pesan dengan tujuan untuk mempererat hubungan atau relasi antar ayah, ibu dan anak agar semakin mendalam. Hal ini ditandai dengan adanya kejujuran, keterbukaan, saling pengertian, saling membutuhkan dan saling percaya. Adapun permasalahan yang ditemukan sehubungan dengan pola komunikasi dalam keluarga adalah: munculnya rasa egois dan ingin menang sendiri, yang ditandai dengan sikap diam, masa bodoh dan bermain hakim sendiri. Kesulitan dalam menyatukan dua budaya yang berbeda, sehingga muncul kurang pengertian satu sama lain. Permasalahan lain adalah: terlalu banyak waktun untuk kepentingan pekerjaan sehingga kesempatan berkumpul bersama dalam keluarga terbatas. Akibatnya keharmonisan dalam keluarga kurang tercipta karena komunikasi sangat terbatas. b. Dalam penelitian ini ditemukan banyak keluarga dalam menjaga keharmonisan dilakukan dengan cara memberi waktu untuk berkumpul bersama dalam keluarga, makan bersama, doa bersama, merayakan perayaan penting dalam keluarga dan rekreasi bersama pada waktu libur. Tetapi peneliti juga 103 menemukan fakta bahwa beberapa keluarga kurang harmonis, karena faktor ekonomi yang serba terbatas yang menyebabkan percekcokan. Di samping itu muncul ketidaksetiaan dalam perkawinan karena hadirnya orang ketiga, juga adanya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu karena kesibukan bekerja, mengurangi waktu untuk berkumpul bersama dalam keluarga sehingga komunikasinya terbatas. c. Berkaitan dengan pembentukan karakter dan iman anak, peneliti menemukan fakta bahwa orang tua mengharapkan anak-anak memiliki karakter dan iman yang bermutu yang ditandai dengan pendampingan orang tua melalui cara-cara seperti: mendampingi anak pada saat belajar, menasihati anak, memberi pujian dan menerapkan disiplin kepada anak. Orang tua harus memberi contoh dan teladan yang baik bagi anak-anak, karena apapun yang dibuat oleh orang tua, otomatis akan diikuti oleh anak-anak. Di samping hal-hal positip di atas, juga ditemukan hambatan antara lain: tidak ada kebiasaan doa bersama dalam keluarga. Selain itu anak-anak kurang terlibat dalam kegiatan di lingkungan karena pengaruh individualisme, juga pengaruh minat bersama dari teman- teman sebaya. 104

BAB IV USULAN KEGIATAN REKOLEKSI

UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN AKAN PERAN KELUARGA KATOLIK DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK Pada Bab IV ini penulis akan mengusulkan program untuk meningkatkan kesadaran keluarga-keluarga Katolik dalam membangun hidup berkeluarga. Usulan program ini merupakan tindak lanjut dari hasil penelitian pada bab III.

A. Latar Belakang

Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga-keluarga katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan, pada umumnya keluarga-keluarga telah berjuang untuk menghayati nilai-nilai hidup berkeluarga, sebagai bentuk panggilan untuk melanjutkan karya misi Allah. Membangun hidup berkeluarga tentu membutuhkan perjuangan, karena tanpa perjuangan maka tidak ada faedahnya sama sekali. Memang kenyataan membuktikan bahwa banyak keluarga yang belum sungguh-sungguh memaknai dan memahami panggilan hidupnya, sehingga banyak di antaranya yang gagal membangun keluarga yang ideal sebagaimana yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan dalam membangun hidup berkeluarga yang ditemukan dalam wawancara disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu: egois dan ingin menang sendiri, cuek dan masa bodoh, perbedaan budaya, kurang memberi waktu untuk keluarga, komunikasi yang tidak tulus, ekonomi yang terbatas, perselingkuhan, dan doa keluarga yang melemah. Situasi ini tentu mengganggu lajunya hidup berkeluarga. 105 Sementara itu di sisi lain adanya kemerosotan nilai-nilai dasar tertentu yang cukup mengganggu keharmonisan dalam keluarga. Terjadinya kemerosotan ini, tentu menjadi keprihatinan bersama secara khusus Gereja dalam menyikapi persoalan ini, karena banyak keluarga yang hidupnya terancam karena terjadinya konflik yang berkepanjangan. Ada perubahan pola hidup dari yang tradisional ke yang modern yang berpengaruh pada sikap dan tingkah laku sehari-hari. Tuntutan ekonomi dan irama pekerjaan yang tinggi membuat keluarga selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilki, sehingga ketika mengalami kekurangan muncul ketegangan dan konflik. Prestasi kerja di luar rumah menjadi prioritas tertinggi sehingga nilai kebersamaan di dalam keluarga diabaikan. Kemajuan teknologi komunikasi yang seharusnya melancarkan komunikasi jarak jauh, tetapi tidak difungsikan dengan baik dan benar bahkan merenggangkan hubungan antar anggota keluarga sekaligus menggeser komunikasi tatap muka. Kesetiaan dalam menghayati sakramen perkawinan tidak lagi dihayati dengan sungguh-sungguh akibatnya cenderung mencari pengganti di luar yang sudah ada. Frekuensi perjumpaan dengan Tuhan dalam keluarga melemah, akibatnya ketika ada cobaan tidak ada kekuatan untuk mengatasi. Selain itu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung bersikap kasar, baik terhadap pasangan suamiistri, maupun terhadap anak. Sementara itu dalam kenyataan hidup sehari-hari secara khusus di dalam keluarga, banyak anggota keluarga kurang menyadari dirinya sebagai manusia yang diciptakan untuk hidup saling mengasihi satu sama lain. Pengalaman membuktikan bahwa orang bisa saling menyapa, suami menyapa istri atau 106 sebaiknya istri menyapa suami, atau orang tua menyapa anak dan sebaliknya anak menyapa orang tua, tetapi dalam hatinya masih tersimpan amarah dan benci yang berkepanjangan, karena pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan atau pengalaman dilukai. Luka yang pernah tergores kadang sulit untuk disembuhkan yang menimbulkan rasa sakit hati yang berkepanjangan, sehingga efeknya sesama menjadi korban kebencian dan diri sendiri akan merasa terbelenggu dengan situasi yang tak aman. Jika keluarga tidak menciptakan situasi yang memungkinkan seluruh anggota merasa aman, maka tak dipungkiri bahwa korbannya adalah anak- anak. Karakter dan iman anak terganggu dan tidak dipelihara dengan baik, akibat macetnya komunikasi dari orang tua. Untuk menyikapi hal tersebut di atas maka prinsip-prinsip untuk membangun keluarga yang konsisten dan berkomitmen adalah dengan membangun komunikasi yang baik, sehingga nilai-nilai hidup dalam berkeluarga terus terpelihara. Bertolak dari situasi ini dan harapan ke depan, penulis ingin memberikan usulan program berupa rekoleksi untuk keluarga-kelurga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Adapun kegiatan ini untuk menggali pengalaman keluarga-keluarga dalam membangun hidup berkeluarga dengan aneka suka dan dukanya, serta harapan juga komitmen mereka untuk menata kehidupan keluarga yang lebih baik.

B. Usulan dan Bentuk Program

Dokumen yang terkait

TINJAUAN GEREJA KATOLIK LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

1 7 20

GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

1 11 18

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

0 3 33

Upaya peningkatan tanggungjawab keluarga Katolik di Paroki Santo Petrus Pekalongan terhadap pendidikan iman anak.

0 4 153

Pastoral kunjungan keluarga sebagai jalan membantu umat Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan memperkembangkan iman mereka.

1 10 185

Fungsi komunikasi orangtua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta

0 13 160

Bimbingan orang tua terhadap perkembangan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta - USD Repository

0 2 132

Peranan kunjungan keluarga dalam upaya untuk meningkatkan iman keluarga Katolik di Stasi St. Paulus Pringgolayan Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta - USD Repository

0 0 157

Peranan doa bersama dalam keluarga Katolik bagi pembentukan karakter remaja di Stasi Yohanes Chrisostomus Pojok, Paroki Santo Petrus dan Paulus Klepu, Yogyakarta - USD Repository

0 3 159

Peranan sakramen perkawinan untuk membentuk kehidupan keluarga Katolik ideal di Lingkungan Paulus Gatak Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta - USD Repository

0 0 158