Perumusan Masalah Rancang bangun bubu lipat modifikasi dan penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai umpan alternatif untuk penangkapan spiny lobster

Selanjutnya Fridman 1988 juga menyatakan bahwa kualitas utama dari alat tangkap dan rancangannya yaitu kelayakan ekonomis dan efisiensi penangkapan, yang tergantung dari banyak faktor seperti adanya sumber daya perikanan, kebutuhan pasar akan ikan dan harganya, biaya operasi armada penangkapan, jumlah, ukuran, dan jenis perahu di tempat tersebut, jauh dekatnya dari pelabuhan, tersedianya bahan dan komponen alat tangkap dan teknik yang mendukung konstruksi dan merawat armada, pengelolaan sumber daya perikanan peraturan dan hambatan operasionalnya, keadaan hidrometeorologi, tersedianya nelayan dan tenaga ahli dan tergantung juga pada kondisi teknik dan kondisi ekonomi lainnya. Rancang bangun yang baru seharusnya disesuaikan sedapat mungkin dengan syarat-syarat tersebut di atas dan kondisi teknik, ekonomi serta sosial lainnya. Ayodhyoa 1981 menyatakan bahwa terdapat indikator perkembangan dan kemajuan metode penangkapan fishing methods dari perikanan tradisional ke perikanan industri, yaitu : 1 Perubahan usaha penangkapan dari seekor demi seekor ke arah usaha penangkapan dalam jumlah banyak. Hasil tangkapan ini tidak hanya diperuntukkan untuk waktu itu, tetapi diharapkan dapat dipergunakan pula untuk sesuatu jangka waktu, menyesuaikan diri dengan situasi harga pasaran. Hal ini menyebabkan alat yang dipergunakan haruslah lebih besar dan efektif; 2 Perubahan fishing ground ke arah yang lebih jauh dari pantai, dan sehubungan dengan itu terjadi pula perubahan dari kedalaman perairan, yaitu dari perairan dangkal ke arah perairan yang lebih dalam; 3 Penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin. Perkembangan teknologi telah mampu menggantikan manusia yang menjaga alat yang digunakan dengan mesin yang serba otomatis, sehingga dengan pengurangan tenaga buruh maka keuntungan akan lebih besar.

2.2 Bubu

Bubu adalah alat tangkap perangkap atau jebakan yang sifatnya pasif. Penggunaan bubu untuk penangkapan lobster sesungguhnya adalah memakai bubu yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu ini ukurannya bermacam-macam yang disesuaikan dengan kedalaman air. Bubu dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan letak mulut bubu. Jenis yang pertama dengan satu mulut bubu yang terletak pada bagian atas bubu, dan jenis kedua yaitu bubu dengan satu atau dua mulut bubu yang terletak di bagian samping bubu Thomas 1973. Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya silinder, segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Satu unit bubu umumnya terdiri atas : badan bubu, mulut bubu, tempat umpan, pemberat, tali-temali dan pelampung atau pelampung tanda. Pengoperasiannya cukup mudah, yaitu dengan memasang bubu diantara karang-karang dengan cara menyelam atau diturunkan dengan tali. Setelah pemasangan bubu maka bubu ditinggal sekurangnya 24 jam baru kemudian diangkat Subani 1978. Alat tangkap yang banyak dipergunakan untuk menangkap lobster adalah jaring insang tiga lembar trammel net, sedangkan alat tangkap bubu sebagai alat tangkap alternatif masih belum banyak dikenal meskipun di luar negeri sudah umum dilakukan. Konstruksi bubu lobster diusahakan dalam keadaan stabil di dasar perairan dan pintu masuk serendah mungkin untuk memudahkan lobster memasuki bubu. Rangka bubu keseluruhannya memakai rangka dari besi behel berdiameter 0,8 cm, badan jaring menggunakan jaring sintetis multifilamen dengan mesh size 0,5 inchi dan kantung umpan memakai bahan kawat kasa. Ukuran bubu ke arah panjang 100 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Pintu masuk panjang 25-30 cm, lebar 20 cm dan tinggi 10-12 cm atau ukuran pintu masuk disesuaikan dengan besar kecilnya lobster yang ada di daerah penangkapan Martasuganda 2003. Beberapa alat tangkap yang dikonstruksikan khusus untuk penangkapan lobster menurut Everett 1972 diacu dalam Monintja dan Budihardjo 1982 adalah : 1 semi-cylindrecal pot, 2 Trapezoidal pot, dan 3 Square pot. Namun penggunaan jenis konstruksi yang cocok akan sangat banyak tergantung pada jenis perairan, jenis lobster, kuat arus dan konfigurasi dasar laut. Pengadopsian jenis perangkap bubu, perlu dilakukan percobaan terlebih dahulu dan mungkin pula bahwa pada alat tersebut harus diadakan beberapa rekonstruksi O’Farrell 1971 diacu dalam Monintja dan Budihardjo 1982. Percobaan penelitian di lapangan dengan membandingkan lobster pot tipe jepang dengan bubu tradisional terhadap hasil tangkapan lobster di Perairan Teluk Pelabuhanratu Monintja dan Budihardjo 1982 menunjukkan bahwa efektifitas lobster pot dalam penangkapan lobster cukup baik dan secara nyata hasil tangkapannya lebih besar dari pada bubu tradisional yang biasa digunakan nelayan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas 1954 diacu dalam Shelton and Hall 1981 yang melakukan pengujian terhadap alat tangkap bubu antara scottish creel dengan traditional cornish inkwell pot yang memberikan hasil tangkapan lobster jenis Homarus gammarus masing-masing adalah 66 ekor dan 48 ekor dalam 384 hauling. Secara statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan lobster dari setiap alat tangkap bubu tersebut terbukti tidak berbeda nyata dalam jumlah dan ukuran. Bennet 1974 diacu dalam Shelton and Hall 1981 menyatakan bahwa hasil tangkapan dari alat tangkap perangkap yang diberikan umpan adalah hasil dari serangkaian kejadian yang kompleks dan bervariasi. Karakteristik fisik dari alat tangkap perangkap merupakan bagian akhir yang menentukan dalam rangkaian ini. Pada mulanya dengan pengetahuan awal dari hewan yang terpikat secara kimiawi di dalam perairan dan berakhir dengan masuk ke dalam perangkap, memakan umpan dan berusaha untuk melepaskan diri. Pengamatan lobster dalam tangki percobaan Shelton 1981 menjelaskan bahwa masuknya lobster ke dalam perangkap mungkin diperlambat oleh kesulitan pengalaman dalam menemukan pintu masuk. Lobster membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berusaha mendapatkan jalan ke arah umpan hingga pada bagian sisi dari perangkap, khususnya jika ada bagian dari jaring yang tersentuh tangan yang terkontaminasi umpan, dimana ada periode waktu bagi lobster dalam usaha memakan jaring yang terkontaminasi umpan tersebut. Phillips et al. 1980 menyatakan bahwa desain yang tepat dari perangkap adalah membuat lobster dapat masuk melalui mulut bubu dan menyulitkannya untuk keluar. Bubu yang dipakai di Selandia Baru untuk penangkapan lobster memiliki bukaan mulut yang berbentuk lingkaran dan terletak di bagian atas bubu dan berhasil menangkap lobster Gorman 1996.

2.3 Makanan Alami Lobster

Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan, khususnya untuk alat tangkap yang bersifat pasif seperti bubu. Seperti yang dinyatakan oleh Raharjo dan Linting 1993, bahwa umpan merupakan perangsang yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu. von Bonded and Marchand 1935 diacu dalam Fielder 1965 menyatakan bahwa : ”Banyak kontroversial yang muncul di sekitar pertanyaan mengenai apakah krustasea adalah hewan pemakan bangkai, atau apakah hal tersebut suka membeda-bedakan dalam makanannya. Adalah suatu yang bersifat alami bahwa sekali waktu terjadi kelangkaan makanan, krustasea akan memakan apapun, tetapi percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium dan juga di laut membuktikan secara meyakinkan bahwa metode penangkapan yang terbaik untuk semua makanan adalah yang menggunakan umpan segar”. Mereka kemudian menggunakan aspek morfologi tertentu untuk menduga kemungkinan sumber-sumber makanan. Berdasarkan kondisi ini, mereka mengabaikan ikan yang bersisik sebagai sumber makanan karena mereka terlalu bergerak cepat dan menduga moluska seperti kekerangan sebagai sumber makanan yang disukainya. Hickman 1946 diacu dalam Fielder 1965 telah memeriksa gastric mill dalam perut dari sejumlah besar lobster Jasus lalandei dan menemukan sisa-sisa makanan dari jenis moluska, spiny lobster, kepiting, ekinodermata, dan rumput laut. Selanjutnya, juga ditemukan hubungan dari material moluska dengan puncak musim spiny lobster betina yang baru moulting dan menduga bahan makanan moluska adalah makanan istimewa untuk keperluan pengerasan skeleton atau karapas lobster. Lindberg 1955 diacu dalam Fielder 1965 telah menguji isi perut sejumlah besar lobster Panulirus interruptus Randall dan menemukan makanan utama seperti cacing laut, moluska, bulu babi, ganggang laut, dan Bryozoa. Alga dan sisa-sisa ikan jarang ditemukan. Dia menyimpulkan bahwa P. interruptus adalah omnivora dan terutama sebagai hewan pemulung. Ia juga menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan yang lebih besar ketika umpan segar digunakan