pelayanan kesehatan. Terbatasnya penyediaan sarana kesehatan yang berupa tenaga medis, peralatan medis, obat-obatan, vaksin dan sebagainya serta
kelangkaan sarana transportasi, jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya tempuh merupakan faktor-faktor penyebab rendahnya akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan, dan menyebabkan rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang ada oleh masyarakat.
4.3.3. Ketenagakerjaan
Masalah krusial yang dihadapi KTI adalah masalah yang berkaitan dengan pasar kerja yaitu semakin banyaknya jumlah penganggur. Masalah ini timbul
sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab
terjadinya ketidakseimbangan pasar kerja tersebut adalah ketidakcocokan keinginan atau kebutuhan antara pasar kerja dengan pengguna tenaga kerja.
Disamping itu seringkali dijumpai keterampilan dan pendidikan yang dimiliki pencari kerja kurang sesuai dengan persyaratan yang diminta, sedang pengguna
tenaga kerja umumnya mensyaratkan kualifikasi yang dibutuhkan harus sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditawarkan baik dilihat dari tingkat pendidikan,
keterampilan, keahlian dan pengalaman kerja. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 10 terlihat bahwa lapangan
kerja yang ada di KTI belum dapat sepenuhnya menyerap tenaga kerja. Secara keseluruhan terdapat 7,92 persen tingkat pengangguran terbuka. Tingkat
pengangguran terbuka untuk tenaga kerja perempuan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat pengangguran laki-laki. Tingkat pengangguran terbuka perempuan mencapai lebih dari dua kali lipat tingkat pengangguran
terbuka laki-laki yaitu 11,20 persen bagi perempuan dibandingkan dengan 5,36 persen bagi laki-laki.
Tabel 10. Kegiatan Tenaga Kerja di Pasar Kerja KTI dan Indonesia persen
KTI Indonesia
Kegiatan Lk
Prp Total
Lk Prp
Total Angkatan
kerja 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
100,00 Bekerja
94,64 88,80 92,08 93,97 93,12 93,64
Cari kerja
5,36 11,20 7,92 6,03 6,88
6,36 Pernah
kerja 28,08 16,12 20,66 38,30 27,98
34,01 Tidak
Pernah kerja
71,92 83,88 79,34 61,70 72,02 65,99
Bukan Angkatan kerja 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
100,00 Sekolah
49,94 13,95 21,28 49,67 15,04 23,64
Mengurus RT
5,59 73,63 59,77 5,47 72,58 55,91
Lainnya 44,47 12,42 18,95 44,85 12,38
20,45
Sumber : BPS, Sakernas 1999 diolah. Ket :
Lk : Laki-laki
Prp : Perempuan
Tingginya tingkat pengangguran penduduk perempuan tersebut dapat dimaklumi karena secara alam kebanyakan diantara mereka masih terikat oleh
kultur yang secara tidak langsung mengekang partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Untuk memperlancar aktivitas pembangunan, seyogyanya
perempuan diberi kesempatan yang sebesar-besarnya dalam memasuki pasar kerja. Apabila penduduk perempuan yang terdidik tersebut dibiarkan menganggur
tentunya merupakan pemborosan sumber daya manusia yang besar pula. Gambaran di atas menunjukkan indikasi adanya ketidaksepadanan antara
peluang kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Sementara sulit bagi investor untuk mendapatkan tenaga kerja lokal yang siap pakai dan sesuai dengan
kualifikasi yang diinginkan sehingga kadangkala peluang kerja yang ada di KTI
diisi oleh tenaga kerja dari luar KTI. Persaingan kesempatan kerja di sektor informal banyak dijumpai di KTI. Dominasi para pendatang di KTI dalam pasar
kerja, memberikan petunjuk bahwa penduduk di daerah tersebut cenderung sebagai pihak yang kalah dalam memperebutkan pasar kerja. Rendahnya kualitas
penduduk, terutama dari pendidikan dan keterampilan merupakan salah satu penyebab banyaknya penduduk KTI yang menganggur disamping karena faktor
sosial budaya. Terjadinya arus migrasi yang tinggi ke beberapa provinsi di KTI
berpengaruh pada keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari antara pendatang dan penduduk setempat, terutama dalam hubungannya dengan
kebutuhan untuk mengisi peluang kerja. Persaingan antara penduduk asli yang kurang berpengalaman dengan pendatang yang lebih siap pakai bisa menimbulkan
potensi terjadinya disintegrasi antar etnis. Dari kondisi ketenagakerjaan yang terdapat di KTI dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan pokok dalam hal
ini yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja dan pencari kerja serta adanya ketidaksepadanan peluang kerja yang tersedia dengan keahlian pencari kerja.
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah : 1.
Sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang tersedia belum sesuai dengan kebutuhan dan potensi perekonomian wilayah setempat.
2. Belum adanya upaya atau program terpadu dari pemerintah yang mengkaitkan antara potensi yang dimiliki daerah dengan para investor dan pencari kerja.
3. Kurangnya alokasi dana dari pusat dalam upaya mengembangkan KTI.
4. Sikap mental dan nilai budaya dari penduduk khususnya tenaga kerja tidak mendukung dalam upaya membentuk tenaga kerja yang berkualitas, dan
secara umum menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Dalam rangka mengantisipasi keadaan ketenagakerjaan yang lebih buruk lagi, maka pemerintah harus segera mengatasi hal ini diantaranya dengan
melakukan perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan kerja yang semula bertumpu pada pemerintah, dirubah untuk lebih bertumpu pada masyarakat,
utamanya para pengusaha sebagai pengguna jasa tenaga kerja. Sementara dari segi program harus lebih dikembangkan lagi program pelatihan yang bersifat multi
keterampilan serta mempunyai standar ataupun kualifikasi nasional dan internasional sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja dari mancanegara.
4.4. Perkembangan PDRB Kawasan Timur Indonesia