perkebunan kelapasawit berkelanjutan dan mempromosikan ISPO baik dalam negeri maupundunia internasional.
4. Koordinator Penyelesaian Sengketa mempunyai tugas di
bidangpenyelesaian keluhanpengaduan berkaitan dengan penilaian perkebunankelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan menyerahkan
permasalahan diluar kewenangan Komisi ISPO kepada instansi terkait untuk diselesaikansesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
Sekretariat berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada KetuaKomisi ISPO.Seluruh personil Sekretariat diangkat dan dan bertanggungjawab
kepadaKetua Komisi ISPO.
131
D. Kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No.
19PermentanOT.14032011 Dalam Hierarki Peraturan Perundangan
1. Dasar Hukum Kewajiban ISPO
Sebelum dibahas mengenai kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No. 19PermentanOT.14032011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, terlebih dahulu harus diketahui mengenai definisi
hukum dan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya mengarah mengenai teori hierarki peraturan perundang-undangan. Mengenai definisi hukum, akan
dikemukakan oleh beberapa ahli hukum di bawah ini : Menurut AH. De Wild, sebagai ahli hukum yang mendefinisikan hukum,
yaitu : “Hukum bukanlah kosmos kaidah yang otonom. Lebih dari itu adalah bahwa hukum merupakan kompleks kaidah, hukum tidaklah gejala netral. Hukum berada
131
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam jalinan problem dan dinamika kemasyarakatan. Hukum dan fenomena sosial diletakkan pada fenomena yang sama”.
132
Menurut D. Schindler, sebagai ahli hukum yang mendefinisikan hukum, menyatakan bahwa
133
“Hukum memiliki suatu kesatuan empat momen. Masing-masing momen memiliki sifat dialektikal, yang berarti bahwa pertentangan-pertentangan itu
dipikirkan dalam hubungan antara yang satu dengan lainnya. Adapun 4 empat momen hukum tersebut adalah :
:
1. Momen normatif-formal adalah bentuk-bentuk hukum: aturan, keputusan,
dan asas hukum. Hukum di sini dipandang sebagai penataan hukum yang berkaitan dengan hal mewujudkan ketertiban, perdamaian, harmoni,
kepastian hukum;
2. Memiliki suatu sifat faktual-formal merujuk pada kekuasaan. Dalam
kedua momen tersebut, aspek-aspek formal ditampilkan ke muka. Tetapi antara keduanya memiliki perbedaan dalam cara beradanya.
3. Momen normatif-materil. Hukum itu terdapat suatu sisi aspek etikal.
Terdapat kaidah-kaidah yang berlaku yang isinya untuk hukum relevan. Hukum dan etika tidak dipisahkan satu dari yang lainnya.
4. Momen faktual-materil berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan vital.
Pikiran ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan yang minimal diperlukan bagi keberadaan eksistensi manusia.
Jika semua momen-momen tersebut disatukan, maka dapat dikemukakan bahwa hukum itu adalah suatu penataan yang mencoba mempengaruhi
perilaku manusiawi sedemikian rupa, sehingga pemenuhan keperluan dan kebutuhan-kebutuhan vital dapat diupayakan dengan cara yang adil”.
Selanjutnya mengenai perundang-undangan, dalam bahasa Inggris disebut legislation
, dalam bahasa Belanda disebut wetgeving, dan dalam bahasa Jerman disebut gezetzgebung yang memiliki dua arti :
1. “Diartikan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan
negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
132
Prasetijo Rijadi dan Sri Priyati, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi
, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, hal. 28.
133
JJ. H. Bruggink, B. Arief Sidharta alih bahasa, Refleksi Tentang Hukum : Pengertian- Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum
, Bandung : Citra Aditya, 2011, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
2. Diartikan sebagai keseluruhan peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah”.
134
Berdasarkan pengamatan terhadap opini dan pandangan para ahli hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah himpunan undang-undang
dan kaidah-kaidah untuk mengatur dan memaksa masyarakat. Hans Kelsen mengembangkan sebuah teori hukum murni general theory of
law and state . Aliran teori hukum murni merupakan suatu pengembangan dari teori
mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti ajaran teori hukum
murni adalah
135
“Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum
adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan
ilmu alam. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Teori hukum adalah
formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori dan sistem yang khas dari hukum positif
adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata”. :
Selain ajaran hukum murni, Hans Kelsen mengemukakan teori hierarki norma hukum stufenbau theory – stufenbau des recht. Ajaran stufenbau
berpendapat bahwa : “Sistem hukum itu merupakan suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu,
suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi
134
Ade Saptomo, dalam Prasetijo Rijadi dan Sri Priyati, Loc.cit., hal. 48.
135
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 57-58.
Universitas Sumatera Utara
dan ketentuan tertinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah merupakan konkretisasi dari ketentuan
yang lebih tinggi”.
Hans Nawiansky menyempurnakan stufenbau theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawiansky mengembangkan teori tersebut dan
membuat tata susunan norma hukum negara die stufenordnung der rechtsnormen dalam 4 empat tingkatan, yaitu
136
1. “Staatsfundamentalnorm norma fundamental negara atau grundnorm
menurut teori Kelsen; :
2. Staatsgrundgezets aturan dasarpokok negara;
3. Verordnung dan autonome satzung aturan pelaksana dan aturan
otonomi. Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm
adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan presupposed, tidak tertulis; ia tidak ditetapkan gezets, tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum
positif, berada di luar namun terjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, sifatnya meta-juristic”.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia sudah menerapkan hierarki norma hukum stufenbau theory yang
dicetuskan Hans Kelsen dan dikembangkan Hans Nawiansky. Meskipun teori ini sudah lahir jauh hari sebelum Indonesia lahir, namun hierarki dimaksud masih
relevan serta menjadi acuan yang diterapkan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Penerapan stufenbau tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No.
IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
136
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya
, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
Undangan.
137
Seiring perjalanan dan perkembangan negara dan politik, kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-
Undangan dan diperbaharui lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
138
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengenai kedudukan pedoman
perkebunankelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang mengatakan bahwa dikarenakan pedoman tersebut tidak diperintahkan oleh suatu perundang-undangan
yang berada di atasnya, maka untuk pengaturan dariperaturan tersebut tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi di dalam Pasal 8
ayat 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, adanya frase “atau dibentuk berdasarkan kewenangannya” adalah memberikan kepastian hukum bagi Peraturan
Menteri Pertanian No. 19PermentanOT.14032011 yang dibuat oleh Kementerian
137
Pasal 2, Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Tata urutan peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundang- undangan Republik Indonesia adalah : 1 Undang-Undang Dasar 1945; 2 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3 Undang-Undang; 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu; 5 Peraturan Pemerintah; 6 Keputusan Presiden; 7 Peraturan Daerah”.
Pasal 4 ayat 1, Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Sesuai dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan ini maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.
Pasal 4 ayat 2, Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung,
Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan ini”.
138
Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri
atas : a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d
Peraturan Pemerintah; e Peraturan Presiden; f Peraturan Daerah Provinsi; dan g Peraturan Daerah KabupatenKota”.
Universitas Sumatera Utara
Pertanian yang mempunyai kewenangan untuk mengatur aspek-aspek yang terkait dengan tugas dan wewenang Kementerian Pertanian.
2. Keterkaitan ISPO Dengan Peraturan Lainnya