relevan dengan kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di Indonesia.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan library research dengan alat pengumpulan berupa studi dokumen
yang dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
58
58
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya : a Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c Sebagai sumber data sekunder; d Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f Memperkaya ide-ide baru; dan g Mengetahui siapa saja
peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010,
hal. 112-113.
Selanjutnya yang dilakukan, digunakanlah teknik studi lapangan field research dengan alat
pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan wawancara untuk menunjang bahan hukum primer sebagai bahan hukum pendukung yang diperoleh dari PT. Rea
Kaltim Plantation dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan besar yang keberadaannya berdampak baik positif maupun negatif
terhadap masyarakat sekitar. Wawancara dilakukan dengan bagian Corporate Secretary
dan Legal Department PT. Rea Kaltim Plantation.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya
terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan pengelompokan konsep hukum yang lebih umum, yaitu : kewajiban hukum,
kepastian hukum, pertumbuhan investasi yang kondusif, dan lain-lain.
59
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara
tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam kewajiban sertifikasi ISPO dalam peningkatan investasi di Indonesia.
Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali
artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada
awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut.
60
Penerapan deduktif – induktif adalah menggunakan teori yang disebutkan dalam sub bab kerangka teoritis di atas untuk memecahkan permasalahan mengenai
59
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda, 2006, hal. 248, dalam Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya , Ed. 1, Cet. 3, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 144-145.
60
Ibid. , hal. 26-29.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitan dengan peningkatan investasi di Indonesia. Sertifikasi ISPO dengan pemenuhan kewajiban terhadap Peraturan Menteri Pertanian
No. 19PermentanOT.14032011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO.
Universitas Sumatera Utara
BAB II HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
TERKAIT PENGATURAN KEWAJIBAN SERTIFIKASI ISPO BAGI PERUSAHAAN PERKEBUNAN
Dalam lima tahun terakhir, terjadi pergeseran pasar market minyak nabati dunia, dari sebelumnya didominasi konsumsi minyak kedelai yang diproduksi di
negara maju Eropa menjadi minyak sawit yang diproduksi di negara berkembang Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Nigeria, Ghana, dan lain-lain. Dari sisi suplai
tahun 2011, pasokan produksi Indonesia menjadi yang terbesar menggeser pasokan Malaysia untuk konsumsi minyak sawit dunia. Harga minyak mentah Crude Palm
Oil – CPO yang naik di luar perkiraan juga membuat minyak sawit selalu menjadi
pembicaraan sebagai substitusi dalam bentuk biofuel.
61
Propinsi Sumatera Utara dalam sejarahnya adalah daerah yang pertama kali tahun 1911 mengelola komoditi kelapa sawit secara komersialindustri, dari
sebelumnya yang hanya berupa tanaman hias di Kebun Raya Bogor. Sekarang, hampir seluruh kabupaten di Sumatera Utara melaksanakan budidaya perkebunan
kelapa sawit berupa perkebunan rakyat seluas 408.699 Ha empat ratus delapan ribu enam ratus sembilan puluh sembilan hektar, perkebunan swasta seluas 342.954 Ha
tiga ratus empat puluh dua ribu sembilan ratus lima puluh empat hektar dan Data-data tersebut
mengukuhkan bagaimana strategisnya komoditi kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia termasuk Propinsi Sumatera Utara.
61
World Growth, “Manfaat Minyak Sawit Bagi Perekonomian Indonesia”, Laporan World Growth, Februari 2011, hal. 5.
47
Universitas Sumatera Utara
perkebunan negaraBUMN seluas 296.093 Ha dua ratus sembilan puluh enam ribu sembilan puluh tiga hektar.
62
Jenis pekerjaan di perkebunan yang bersifat padat karya juga sangat membantu penyerapan tenaga kerja di Sumatera Utara dengan struktur tenaga kerja
yang masih didominasi oleh pendidikan rendah. Sampai dengan saat ini, fokus pemerintahtertuju kepada bagaimana meningkatkan kredibilitas produk sawit hingga
mampu melaksanakan pengelolaan dengan sistem keberlanjutan sustainability. Seiring dengan fokus itu, beberapa tahun lalu, diperkenalkan prinsip dan kriteria
RSPO. Puluhan perusahaan perkebunan di Indonesia memperoleh sertifikasi itu, walaupun sifat pemenuhan RSPO adalah sukarela voluntary.
63
RSPO adalah standar yang dibuat berdasarkan kesepakatan roundtable para pemangku kepentingan seperti konsumen, produsen, dan LSM lingkungan bertaraf
Internasional. RSPO yang bersekretariat di Kuala Lumpur ini menjadi wadah komunikasi para pihak yang berkepentingan untuk menyamakan persepsi tentang
konsep keberlanjutan sustainability dari industri kelapa sawit.
64
A. Sejarah Singkat Indonesian Sustainable Palm Oil ISPO
Dalam launching ISPO di Medan satu tahun yang lalu, pemerintah menekankan bahwa Sertifikasi ISPO bukanlah untuk menggantimenyaingi
Sertifikasi RSPO. Prinsip dan kriteria ISPO muncul sebagai inisiatif dari pemerintah
62
Iyung Pahan, Op.cit., hal. 42.
63
Kantor Berita Antara, “Bayu Krisnamurthi : RSPO Bukan Satu-satunya Sistem Sawit Berkelanjutan”, diterbitkan Kamis, 20 Juli 2012.
64
Bambang Sudrajat, “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 31, No. 6, 2009, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
atas kesadarandeklarasi bahwa pengelolaan sumber daya alam termasuk perkebunan sawit harus dilakukan secara berkelanjutan sustainable. Dalam hal terbitnya
pedoman ISPO ini, Menteri Pertanian menyatakan hal ini sebagai amanat konstitusi dalam Pasal 33 ayat 3, UUD 1945, menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
65
Selanjutnya, ISPO juga diterbitkan sebagai upaya tindak lanjut dari latar belakang pembentukan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”.
Lebih spesifik lagi, ISPO ini juga turut menjadi implementasi amanatdari Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa :
“Pembangunan perkebunan harus mampu meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat secara
berkeadilan dan berkelanjutan, sehingga peran penting perkebunan akan semakin meningkat”.
Secara garis besar, pedoman ISPO didasarkan 4 empat hal, yaitu : 1.
Kepatuhan hukum;
65
Harian Medan Bisnis, “Henry Marpaung : Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman ISPO”, diterbitkan Selasa, 17 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
2. Kelayakan usaha;
3. Pengelolaan lingkungan; dan
4. Hubungan sosial.
Hubungan sosial di atas, pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Sistem perizinan dan manajemen perkebunan;
2. Penerapan pedoman teknis budi daya dan pengelolahan kelapa sawit;
3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
4. Tanggung-jawab terhadap pekerja;
5. Tanggung-jawab sosial dan komunitas;
6. Pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan
7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Ketujuh prinsip itu dirinci ke dalam 27 dua puluh tujuh kriteria dan 117 seratus tujuh belas indikator yang lengkapnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri
Pertanian No. 19PermentanOT.14032011 tentang Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan Perkebunan.
Pada banyak perkebunan negara dan swasta besar, pemenuhan terhadap prinsip tersebut sudah relatif memadai kecuali dalam beberapa kriteria, yaitu :
1. Mekanisme penanganan sengketa lahan dan kompensasi;
2. Mekanisme pemberian informasi;
3. Pelestarian keanekaragaman hayati biodiversity;
4. Identifikasi kawasan yang mempunyai Nilai Konservasi Tinggi NKT;
5. Mitigasi emisi Gas Rumah Kaca GRK; dan
Universitas Sumatera Utara
6. Realisasi tanggung jawab sosial perusahaan.
Sedangkan untuk prinsip-prinsip lainnya hanya memerlukan perbaikan secara
dokumentasi agar pemenuhan buktinya dapat ditunjukkan dan berlangsung konsisten.
Seperti juga sistem-sistem sertifikasi lainnya seperti ISO 90001, 140001, dan SMK3, tahapan yang harus dilakukan sebelum mengajukan sertifikasi yaitu perlu
dilakukannya pembenahan di lingkungan internal perusahaan. Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan adalah :
1. Melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa
staf yang dipersiapkan sebagai Tim Internal; 2.
Para personal yang terlatih melakukan analisa kesenjangan gap analysis untuk menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap
awal; 3.
Perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan; dan 4.
Setelah perbaikan dianggap sudah memenuhi, perusahaan mengajukan sertifikasi kepada badan sertifikasi sesuai pilihannya.
Ruang lingkup yang akan disertifikasi adalah mencakup kebun dan industri Pabrik Kelapa Sawit PKS sendiri. Dalam hal perusahaan menerima TBS selain
kebun sendiri, maka secara berkesinambungan Perusahaan berkewajiban untuk mensosialisasikan ISPO kepada para pemasok TBS tersebut. Masa sertifikat ISPO
berlaku selama 5 lima tahun sebelum dilakukan penilaian ulang re-assesment dan
Universitas Sumatera Utara
sekali dalam setahun dilakukan audit pengawasan survailance. Akhirnya, yang menjadi kunci utama suksesnya implementasi ISPO ini adalah adanya komitmen dari
pemiliktop manajemen perkebunan sampai dengan tingkatan terbawah dari suatu Perusahaan. Strategi tersebut di atas hanya bisa berjalan efektif jika pemiliktop
manajemen mempunyai komitmen penuh untuk memenuhi ISPO. Atas hal ini, ke depannyaIndonesia dapat dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa semua
minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari, perkebunan minyak sawit yang dikelola dengan mematuhi hukum, melaksanakan praktek perkebunan terbaik serta
memperhatikan lingkungan dan sosial.
66
B. Tujuan dan Sasaran Indonesian Sustainable Palm Oil ISPO