investasi praktis terhenti. Pada periode penjajahan tersebut, mulai terasa penghancuran perekonomian Indonesia terutama di sektor industri manufaktur.
Banyak peralatan industri yang dikirim ke luar Indonesia, demikian juga tenaga kerjanya. Selain itu juga adanya pelarangan impor bahan mentah atau bahan baku
industri dalam jumlah besar.
155
2. Pertumbuhan Investasi Pasca Kemerdekaan
Ketika Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya dari kekuasaan Jepang pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam kaitannya dengan penanaman modal,
sebenarnya pada saat itu pulalah secara yuridis, Indonesia telah memperoleh legalitasnya untuk mengatur ketentuan perundang-undangan penanaman modalnya.
Namun, kondisi politik dan perekonomiannya, serta berbagai permasalahan kenegaraan yang harus dihadapi masih belum memungkinkan untuk secara serius
memfokuskan perhatian kepada penanaman modal.
156
Sampai pada tahun 1949, pada saat kemerdekaan kedaulatan Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda, keadaan penanaman modal asing masih stagnan.
Perusahaan-perusahaan yang tersisa hanyalah warisan kolonial Belanda yang merupakan penanaman modal asing. Namun, pada tahun itu telah digagas suatu
upaya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional antara lain dengan pembuatan Rencana Urgensi Perekonomian RUP. RUP dimaksudkan sebagai salah
satu perwujudan dari kebijakan umum di bidang ekonomi, serta dimaksudkan pula
155
Ibid. , hal. 31-32.
156
Ibid. , hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
untuk memberikan arahan kegiatan pemerintah dalam sektor industri, pertanian, serta memungkinkan untuk perusahaan-perusahaan. Hal ini mengartikan adanya
pengaturan penanaman modal.
157
Menurut Glass Burner, mengenai RUP, menyatakan bahwa : “Rencana tersebut sebagai usaha yang bercorak nasionalistik, untuk mengurangi
ketergantungan bangsa terhadap ekonomi asing”. Disamping itu, menurut Yahya A. Muhaimin, berpendapat bahwa : “RUP tersebut merupakan program yang
menginginkan pendekatan secara pragmatis, dan bertujuan ganda yang meningkatkan industri kecil dan para pengusaha pribumi”.
158
Namun, dalam kabinet sendiri masih terdapat pertentangan pendapat di antara kaum moderat, yang mempunyai konsep bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur
selama perusahaan-perusahaan swasta bermanfaat bagi kepentingan sosial, dan peranan modal asing harus tetap merupakan faktor yang menentukan dalam
perekonomian nasional, sampai perusahaan-perusahaan pribumi dapat dibangun. Sementara itu di pihak lainnya, adalah kelompok radikal, menghendaki suatu
perekonomian nasional harus dirombak secara mendasar.
159
Pada tahun 1953, pemerintah menyusun RUU Penanaman Modal Asing, yang dirancang sebagai persyaratan minimum untuk penanaman modal guna mendorong
masuknya modal asing pada beberapa bidang usaha tertentu. Sampai tahun 1956,
157
Didy Ika Supryadi, “Sejarah Ekonomi Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pemerintahan Reformasi”, http:www.scribd.comdoc51139549SISTEM-EKONOMI-INDONESIA., diakses pada
11 Oktober 2012.
158
Glass Burner, dalam Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik, Jakarta : LP3ES, 1991, hal. 25.
159
I. A. Budhivaya, Op.cit., hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
RUU PMA tersebut masih dalam proses pembahasan dan mengalami beberapa penyempurnaan oleh Kabinet, dan barulah pada tahun 1958 disetujui oleh
Parlemen.
160
Pada garis besarnya Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing menetapkan dan mengatur hal-hal sebagai berikut
161
a. “Menjadi dasar dibentuknya Badan Penanaman Modal Asing BPMA
yang mengurus keperluan penanaman modal asing di Indonesia; :
b. Tidak mencegah pemilikan mayoritas modal oleh pihak asing, namun
usaha patungan akan diprioritaskan; c.
Dimungkinkan untuk transfer keuntungan ke negara lain, namun kursnya tidak ditetapkan, yang artinya pemerintah yang akan
mengendalikan”.
Namun, Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing tersebut tidak efektif lagi karena pemerintah melakukan tindakan-tindakan
nasionalisasi secara sepihak, tanpa adanya kompensasi bagi investor asing yang disepakati bersama, sebagai berikut
162
a. “Pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun
1959; :
b. Menyusul kemudian pada tahun 1963, sebagai dampak dari konfrontasi
dengan Malaysia, maka investasi modal dari Malaysia dan Inggris juga dinasionalisasi;
c. Pada tahun 1965, dilakukan nasionalisasi pada perusahaan-perusahaan
Amerika”.
Sebagai akibatnya, karena ternyata pemerintah Indonesia swasta nasional belum siap untuk menjalankan perusahaannya sendiri, maka berdampak pula pada
160
Ibid. , hal. 33-34.
161
Ibid. , hal. 34.
162
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
stagnasi perekonomian nasional, dan dari sisi lain menyebabkan tidak ada modal asing yang bersedia berinvestasi di Indonesia.
163
Pada tahun 1966, berdasarkan pendapat dari Muhammad Sadli, yang kemudian menjadi penasihat ekonomi pemerintah pada saat itu, mengemukakan
bahwa
164
a. “Keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya
di Indonesia akan mempunyai efek katalisator atas pertumbuhan selanjutnya ekonomi Indonesia;
:
b. Tuduhan yang seringkali didengar dengan perekonomian bekas kolonial
bahwa perusahaan-perusahaan modal asing menghambat pertumbuhan perusahaan-perusahaan pribumi akan dapat dihindarkan;
c. Proses pembangunan ekonomi pada akhirnya akan menuju ke
industrialisasi, yang merupakan hasil pembangunan”.
Pendapat tersebut dapat diterima oleh pemerintah, dan pemerintah mengalihkan perhatiannya kepada sumber-sumber modal asing berupa hutang luar
negeri, yang akan dimanfaatkan untuk memperbaiki kerusakan serta melengkapi infrastruktur, serta mengimpor komoditi secara besar-besaran untuk menanggulangi
inflasi, serta membuka peluang yang luas bagi penanaman modal asing yang dilandasi undang-undang penanaman modal asing yang akomodatif.
165
Pemerintah Indonesia telah menyimpulkan adanya persoalan-persoalan penanaman modal asing dari Konferensi Jenewa yang diadakan pada bulan
November 1967, sebagai berikut
166
a. “Kebijaksanaan
:
163
Ibid.
164
Thee Kian Wie Editor, Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, Jakarta : Buku Kompas, Desember 2005, hal. 106-111.
165
I. A. Budhivaya, Loc.cit., hal. 35.
166
Ibid. , hal. 35-36.
Universitas Sumatera Utara
1 Kebijakan PMA yang bersifat overall dirasa lebih baik daripada
unilateral deals y ang bersifat adhoc dalam mempertimbangkan
permintaan investor PMA. 2
Perlu ada jaminan terhadap perubahan yang sewenang wenang dalam ketentuan perundang undangan, utamanya bagi bahan produksi
import. 3
Persyaratan yang diberlakukan terhadap investor asing harus cukup kompetitif dibandingkan negara lain.
b. Jangka Waktu
Beberapa industri yang kapital dan labor intensif dalam pertambangan dan manufacture diperlukan jangka waktu lebih dari 30 tahun, yang
dianggap terlalu singkat dibandingkan resiko usahanya, dilain pihak transfer tehnologi juga tidak dapat dilakukan.
c. P a j a k :
1 Pajak keuntungan sebesar 60 dinilai terlalu tinggi, apabila
ditetapkan menjadi 25 akan menjadi menarik bagi investor. 2
Perijinan untuk boleh mentransfer pandapatan pekerja asing maksimum 20 dengan maksimum nilai US.400 bulan dianggap
terlalu rendah, hal tersebut akan menghalangi highly skilled managers and technicians yang akan masuk ke Indonesia.
3 Perlu penyederhanaan ketentuan perpajakan secara paket dan bukan
setiap kegiatan di potong pajak sendiri-sendiri. d.
Peraturan Perburuhan : Perlu dibuatkan peraturan yang “wajar dan seimbang”, tidak saja hak
buruh melainkan juga kewajiban kewajibannya.
e. Perlakuan terhadap Investor Asing
1 Dihindari adanya diskriminasi perlakuan antara investor PMA dan
PMDN 2
Diperlukan “proteksi” bagi industri yang belum berproduksi. f.
Hak atas tanah Diperlukan ketentuan ketentuan “khusus” yang berkaitan dengan hak atas
tanah bagi PMA.
g. Infrastruktur
Perlu direalisir infrastruktur yang diperlukan bagi kelancaran PMA, namun terintegrasi dengan infrastruktur umum.
h. Pertumbuhan Usaha
Universitas Sumatera Utara
Diusahakan suatu “pertumbuhan yang nyaman” bagi pengusaha PMA, dengan meniadakan prosedure yang “berbelit” dalam perijinan serta
pengembangan usahanya.
i. Peraturan peraturan tentang perusahaan
Diperlukan peraturan perusahaan yang “up to date” agar mempermudah para investor melaksanakan kegiatan usahanya”.
Dari pengenalan permasalahan di atas, serta sebagai pelaksanaan dari Tap MPRS No.XXIIIMPRS1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan, antara lain menyebutkan : a.
Pasal 9, menyatakan bahwa : “Pembangunan ekonomi, berarti utamanya adalah mengolah ekonomi
potensial menjadi ekonomi riil, melalui penanaman modal, penggunaan tehnologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan
penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen”.
b. Pasal 10, menyatakan bahwa :
“Penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut, harus berdasarkan kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia
sendiri, dengan memanfaatkan potensi modal luar negeri, tehnologi, dan ketrampilan, tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri”.
Maka disusun dan dipersiapkan Undang Undang Penanaman modal, yang kemudian diundangkan pada tanggal 10 Januari 1967, adalah Undang-Undang No.1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sebagai catatan dalam waktu yang hampir bersamaan juga disusun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri,
yang karena Undang-Undang Penanaman Modal Asing dianggap lebih penting dan mendesak, maka Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri baru
Universitas Sumatera Utara
diundangkan pada tahun 1968 adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Sementara itu, menurut Sumantoro, menyebutkan bahwa
167
a. “Kebijakan pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Penanaman
Modal Asing tersebut disertai pertimbangan agar dalam pembangunan sumber sumber dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk menutup
kekurangan modal dalam negeri, tanpa menimbulkan ketergantungan luar negeri.
:
b. Hadirnya modal, tehnologi, dan keahlian manajemen luar negeri tersebut
diharapkan dapat membantu mempercepat pembangunan nasional dalam bentuk pemberian lapangan kerja , peralihan tehnologi serta peningkatan
produksi pada umumnya”.
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta
rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan
pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut
ditambah lagi dengan penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun REPELITA secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara
Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB Bank Pembangunan Asia dibentuk suatu kelompok konsorsium yang
disebut Inter-Government Group on Indonesia IGGI, yang terdiri atas sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai
pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam waktu yang relatif pendek setelah
167
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta : Universitas Indonesia Press., 1986, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
melakukan perubahan sistem politiknya secara drsatis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis, Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu
memang Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat anti komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan
jelas di mata kelompok Negara Barat. Dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pengembangan agribisnis
kelapa sawit, dukungan kebijakan yang berasal dari sektor lain dan kebijakan pemerintah daerah sangat diperlukan. Adapun beberapa dukungan yang diharapkan
dari instansi terkait lainnya adalah sebagai berikut
168
a. “Dukungan Sarana dan Prasarana
:
1 Pembangunan jalan-jalan penghubung, produksi, dan koleksi usaha
tani pada kebun-kebun kelapa sawit. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen PUKIMPRASWIL dan Pemerintah
Daerah;
2 Penyediaan kebutuhan pupuk dan obat-obatan tepat waktu, jumlah
dan jenis. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Perindustrian, dan Kantor Menteri Negara BUMN;
3 Alat pengolahan di sentra produksi kelapa sawit yang mampu
mengefisiensikan biaya transportasi dan meningkatkan kualitas produk. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Perindustrian dan Pemerintah Daerah;
4 Adanya dukungan ketersediaan terminalpelabuhan agribisnis untuk
mendekatkan sentra produksi dengan pasar. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Perhubungan, Kantor Menteri Negara
BUMN, dan Pemerintah Daerah;
5 Ketersediaan sumber energi kelistrikan di sentra-sentra produksi
kelapa sawit. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Kantor Menteri Negara BUMN, dan
Pemerintah Daerah.
b. Kebutuhan Deregulasi dan Regulasi
1 Penurunan atau penghapusan pajak pajak pertambahan nilai dan
pajak penghasilan yang menjadi beban pelaku usaha di sektor
168
Didiek H. Goenadi, et.al., “Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di Indonesia”, Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Juli 2005, hal. 36-37.
Universitas Sumatera Utara
perkebunan kelapa sawit. PPN yang dalam implementasinya menjadi beban biaya yang ditanggung pengolah primer CPO, pengekspor
dan pelaku industri pengolahan hilir minyak goreng, oleokimia dan lainnya akan ditransmisikan melalui mekanisme harga ke pelaku di
bawahnya yang akhirnya bermuara menjadi beban ke petani. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Keuangan;
2 Harmonisasi tarif, yaitu menerapkan tarif impor lebih tinggi untuk
produk-produk olahan kelapa sawit dan substitusinya. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Keuangan dan Departemen
Perdagangan;
3 Insentif investasi terutama pada industri hilir kelapa sawit, seperti
biodiesel, berupa keringanan pajak tax holiday, perpanjangan HGU, kemudahan investasi terutama dalam hal perijinan, penghapusan
retribusi, dan pemberian subsidi khusus untuk konsumen bio diesel. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Keuangan,
Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman modal, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pemerintah
Daerah;
4 Dukungan dan fasilitas pendanaan dari pemerintah melalui skim
kredit khusus yang dapat dimanfaatkan pelaku agribisnis kelapa sawit terutama petani. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Negara Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi;
5 Dalam rangka pengembangan agribisnis kelapa sawit, dukungan dana
melalui pungutan ekspor, seperti cess masa lalu, perlu dihidupkan kembali. Potensi nilai tambah dari pengembangan produk dapat
diaktualisasi dengan tersedianya dana untuk penelitian, perluasan, peremajaan, dan kegiatan lainnya yang memadai. Pengaturan
pungutan dana cess ini berdasarkan Undang-Undang tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak. Dukungan ini terutama diharapkan
dari Departemen Keuangan;
6 Penciptaan pertumbuhan investasi yang kondusif melalui penciptaan
rasa aman dan kepastian hukum bagi para investor. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen yang menangani masalah
hukum, Kejaksaan Agung dan Kepolisian”.
3. Pertumbuhan Investasi sejak diundangkannya Undang-Undang No. 25