Pandangan Gereja tentang bunuh diri 1 Kitab Suci:

145 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny. Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny. Agian Isna Nauli 33 hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya Hassan Kusuma meminta RSCM menyuntik mati isterinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih,” demikian dr Marius. Muhammad Atqa - detikNews • Setelah menyimak artikel tersebut, cobalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk mendalami artikel itu, dengan memperhatikan beberapa hal seperti; pendapat pribadi tentang cerita tersebut, makna euthanasia, euthanasia diperbolehkan atau tidak serta apa alasannya.

3. Pandangan Gereja tentang Bunuh Diri dan Euthanasia

Setelah memahami pandangan umum tentang bunuh diri dan euthanasia, sekarang simaklah apa dan bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang bunuh diri dan euthanasia.

a. Pandangan Gereja tentang bunuh diri 1 Kitab Suci:

- Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia yakni hidup biologisnya tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. 146 Kelas XI Bagi manusia, hidup biologis adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ lih. Mrk 8:37. Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ lih. Mzm. 56:14. Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ lih. Mzm. 90:10 dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ lih. Ibr. 13:14. Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan pada masa mendatang. - Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup seka- rang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia. 2 Katekismus Gereja Katolik. Tentang “bunuh diri” secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kris- tus, seksi dua tentang Sepuluh Perintah Allah yang kelima. • 2280“Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih, karena itu mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”. • Gereja katolik tidak merestui bunuh diri dengan alasan pertama yang sangat masuk akal. Ini alasan adikodrati istilah kerennya, atau gampangnya dalam kaitannya manusia dengan penciptanya. Hidup yang mengalir di diri kita ini bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya titipan dari Tuhan sang pencipta dan pemilik sejati. Oleh karenanya manusia, saya dan kamu, tidak berhak untuk memusnahkannya. Bunuh diri sama beratnya dengan membunuh orang lain. • -2281 Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup. Alasan kedua bersifat: kodrati, alamiah, dan sosial. Bunuh diri melawan dorongan kodrat “mempertahankan hidup” dan melanggar hukum cinta kepada diri sendiri 147 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dan sesama. Dorongan naluriah setiap orang adalah agar terus hidup dorongan ini asli, terbawa sejak lahir, ada pada setiap pribadi, ditanam oleh Tuhan sendiri. Orang normal akan sekuat tenaga mempertahankan hidup. Sakit diobati, kalau ada bahaya menghindar atau membela diri. Maka bunuh diri jelas-jelas mengabaikan keinginan itu. Secara sosial, juga sangat jelas. Bunuh diri mempunyai akibat lanjutan yang tidak baik bagi orang-orang lain di sekitarnya terutama keluarga. Ingatlah, keluarga selain berduka juga akan menanggung malu. • 2282 “Kalau bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk memakainya sebagai contoh -terutama bagi orang-orang muda- maka itu pun merupakan satu skandal yang besar. Bantuan secara sukarela dalam hal bunuh diri, melawan hukum moral. Gangguan psikis yang berat, ketakutan besar atau kekhawatiran akan suatu musibah, akan suatu kesusahan atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri”. • Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia sekalipun tidak dianggap benar. Di sini berlaku prinsip moral “tujuan tidak dapat menghalalkan cara”. Sebaik apapun tujuan hidup manusia tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Prinsip ini juga berlaku terhadap hidup manusia lain. Kita tidak boleh mempermainkan hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apapun. Kemudian ditegaskan juga, yang membantu orang untuk bunuh diri juga ikut bersalah. Hal yang dapat dianggap meringankan “dosa” bunuh diri hanyalah beberapa kondisi nyata seperti: gangguan psikis berat, ketakutan atau kekhawatiran besar, kesusahan atau penganiayaan serius. • 2283 “Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya”. • Walaupun demikian, kita tetap diajak mengimani 100 pada kerahiman Tuhan. Kita didorong untuk meyakini bahwa “rahmat-Nya tetap bekerja” sampai detik terakhir hidup semua orang. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan pasti mendorong orang yang bunuh diri untuk bertobat, sampai detik dimana dia sudah tidak bisa kembali lagi. Tuhan yang maharahim pasti akan menyelamatkan orang yang bertobat itu.

b. Pandangan Gereja tentang Euthanasia • Katekismus Gereja Katolik