Ajaran Gereja tentang hukuman mati Katekismus Gereja Katolik

155 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

b. Ajaran Gereja tentang hukuman mati Katekismus Gereja Katolik

Dalam kaitannya dengan perintah kelima, Katekismus mempertimbangkan topik ini dalam dua perspektif, yakni dari hak untuk mempertahankan diri dan dari perspektif efek yang ditimbulkan dari sebuah hukumanKGK art. 2263-2267. Dalam kaitannya dengan persoalan pertama tentang hak untuk mempertahankan diri, Katekismus membedakan antara “upaya pertahanan diri dan masyarakat yang dilakukan secara sah” dan pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Menurut Katekismus, pertahanan diri yang sah bukanlah sebuah perkecualian dan dispensasi untuk suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Keduanya berada dalam level yang sangat berbeda. Dalam kaitannya dengan upaya pertahanan diri, Katekismus menekankan: “Cinta kepada diri sendiri merupakan dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikanKGK, art. 2264 Lebih lanjut, Katekismus Gereja Katolik juga menekankan bahwa pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius KGK, art. 2266Prinsip inilah yang berlaku bagi negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri. P. William Saunders, Straight Answers: Capital Punishment and Church Teaching, diterjemahkan oleh YESAYA: http:www.indocell.netyesaya atas ijin he Arlington Catholic Herald, http: yesaya.indocell.netid935.htm Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu. Walau Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut, yakni apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan? Karena itu Katekismus juga menegaskan; “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela 156 Kelas XI kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia.”KGK, art. 2267. homas dari Aquino Dengan hukuman mati, dan dengan hukuman pada umumnya, masyarakat mendenda perbuatan seseorang yang di pengadilan terbukti salah. Dengan sanksi hukuman dinyatakan bahwa masyarakat tidak dapat menerima dan menyetujui perbuatan jahat. Dengan menjatuhkan hukuman, masyarakat membela diri, yaitu dengan meringkus penjahat dan dengan demikian mengancam penjahat-penjahat lain. Melalui hukuman, keonaran sosial akibat kejahatan akan dibereskan, dan diharapkan bahwa penjahat pun memperbaiki diri dan kembali menjadi anggota masyarakat yang biasa. Prinsip ini sudah dirumuskan oleh Santo Tomas dari Aquino: “Kesejahteraan bersama lebih tinggi nilainya daripada kesejahteraan perorangan. Kesejahteraan perorangan perlu dikurangi sedikit guna menegakkan kesejahteraan umum.” Paus Yohanes Paulus II Ensiklik Evangelium Vitae dari Paus Yohanes Paulus II yang membahas tentang martabat hidup manusia. Di dalam ensiklik tersebut, Paus menegaskan kembali apa yang telah dikemukakan dalam Katekismus dan juga yang dikemukakan oleh konferensi para uskup. Dengannya, Paus menegaskan lagi kebenaran dari upaya pertahanan diri yang sah serta tujuan sebuah hukuman. Adapun yang menjadi tujuan utama hukuman yang dijatuhkan oleh masyarakat adalah “untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran” dan juga demi menjamin ketertiban dalam masyarakat KGK, art. 2267 Dalam kaitan dengan upaya memulihkan kekacauan dan menjamin ketertiban dalam masyarakat, ketika menunjuk pada pertanyaan apakah eksekusi seorang yang bersalah diijinkan, ajaran Paus tentang persoalan ini nampaknya cukup tegas. Ia menulis: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan secara cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat.” Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, terj.R. Hardawirjana, SJ, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1997, art.56 paragraf 2. Dengan menekankan pada perlunya evaluasi atas hukuman yang dijatuhkan, Yohanes Paulus II tidak menyangkal ajaran tradisional mengenai hak penguasa dalam menjatuhkan hukuman mati. Karenanya, ia memang tidak menolak legitimasi hukum pada umumnya, namun demikian ia menentang aplikasi hukuman mati dalam dunia modern. Di sini Bapa Suci lebih lanjut menjelaskan perbedaan antara status sah hak 157 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti untuk melaksanakannya di dalam keadaan tertentu dan kebutuhan untuk penggunaan hak itu dalam dunia sekarang. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa status sah yang memungkinkan pelaksanaan hukuman mati ini tidak terletak lagi pada pertimbangan berat ringannya suatu tindak kejahatan yang dilakukan, tetapi pada ketidakmampuan masyarakat di dalam mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain. Menurutnya, status ketidakmampuan masyarakat melindungi dan mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain adalah faktor yang menentukan di dalam memutuskan apakah hukuman mati diperbolehkan atau tidak bagi seseorang yang melakukan kejahatan. Sejalan dengan itu, sejak masyarakat kita dapat menghukum yang melakukan kejahatan serius dengan hukuman penjara seumur hidup, Bapa Suci menilai bahwa bukan lagi sebuah kebutuhan mutlak untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai upaya mempertahankan dan melindungi masyarakat. “Mengenai soal ini makin kuatlah kecenderungan di dalam Gereja maupun dalam masyarakat sipil, untuk meminta supaya hukuman itu diterapkan secara sangat terbatas, atau bahkan dihapus sama sekali.” Singkatnya, menjatuhkan hukuman mati ketika itu tidak mutlak perlu karena hukuman mati merupakan sebuah tindakan yang melanggar ajaran Gereja Katolik yang sejak semula selalu dengan tegas mengulagi perintah jangan membunuh. Pandangan Gereja yang demikian tentang hukuman mati ini dirasakan sejalan dengan martabat manusia dan juga dengan rencana Allah sendiri. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan tujuan utama hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang berbuat jahat, yakni untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan seseorangbdk. KGK, art. 2266. Atas dasar ini, maka Gereja melihat bahwa pemerintah wajib memenuhi tujuan mempertahankan kepentingan umum, serta menjamin keamanan rakyatnya sekaligus memberikan dorongan dan bantaun kepada pelaku kejahatan pelanggaran untuk bisa mendapatkan rehabilitasi.bdk. KGK, art. 2266. Pandangan ini didasarkan pada ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia, yang menentang tindakan mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri. bdk. KGK, art. 2264

3. Menghayati Ajaran Gereja tentang Hukuman Mati