The Study Effectiveness of Modification one funnel on top collapsible pot and one funnel aside collapsible pot with Type Kanikil (Chiton sp) Bite on Lobsters (Panulirus spp.) Catches in Palabuhanratu, , Jawa Barat

(1)

(

Panulirus

spp.) DI PALABUHAN RATU, JAWA BARAT

DIKI PATRA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas dan Pintu Samping dengan Jenis Umpan Kanikil (Chiton sp.) pada Penangkapan Lobster (Panulirus spp.) di Palabuhanratu, Jawa Barat dalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun. Kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Diki Patra C44060067


(3)

DIKI PATRA, C44070067. Studi Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas dan Pintu Samping dengan Jenis Umpan Kanikil (Chiton sp) pada Penangkapan Lobster (Panulirus spp.) di Palabuhanratu, Jawa Barat. Dibimbing oleh ZULKARNAIN dan M FEDI A SONDITA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bubu lipat modifikasi dan penggunaan umpan kanikil pada penangkapan lobster. Penelitian ini menggunakan metode uji coba penangkapan (experimental fishing), desain penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor yaitu digunakan 3 jenis bubu lipat 2 jenis umpan dengan jumlah ulangan sebanyak 24 trip penangkapan. Faktor jenis bubu lipat terdiri dari bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar (S), bubu lipat modifikasi pintu samping satu pintu (PS), dan bubu lipat modifikasi pintu atas satu pintu (PA). Faktor jenis umpan terdiri dari umpan ikan tembang (Sardinella fimbriata) sebagai umpan standar dan kanikil (chiton sp) sebagai umpan alternatif. Hasil tangkapan terdiri dari hasil tangkapan utama yaitu spiny lobster (Panulirus spp.) dan hasil tangkapan samping ( by-catch). Komposisi hasil tangkapan secara total didominasi oleh hasil tangkapan sampingan yaitu sekitar 61,11 %, hasil tangkapan utama sebesar 38,89 %. Hasil tangkapan sampingan adalah krustasea (rajungan) 34 ekor (26,89%), kelompok moluska (sotong-sepia sp.) 34 ekor (26,89%), kelompok ikan (kerapu - Epinephelus coioides) 2 ekor (1,59%), singreng (Canthigaster sp) 2 ekor (2,4%) kelompok keong (keong macan- Babilonia Spirata) 2 ekor (1,59%). Hasil tangkapan utama adalah lobster yang terdiri terdiri dari 3 spesies yang didominasi oleh lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 47 ekor (37,30%), lobster hijau (Panulirus versicolor) 1 ekor (0.83%) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (0,83%). Perbandingan hasil tangkapan dari kedua jenis umpan memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan taraf nyata 5 %. Sedangkan dari tiga jenis bubu standar lebih baik dari bubu lipat pintu samping, dan bubu lipat pintu samping sama dengan bubu lipat pintu atas (S > PS = PA).


(4)

DIKI PATRA, C44070067. The Study Effectiveness of Modification one funnel on top collapsible pot and one funnel aside collapsible pot with Type Kanikil (Chiton sp) Bite on Lobsters (Panulirus spp.) Catches in Palabuhanratu, , Jawa Barat. Mentored by ZULKARNAIN and M. FEDI A SONDITA.

The purpose of this research are to find out the effectiveness the modified of collapsible pot and the use of chiton on catching lobsters. This research is used by the experimental fishing method. Design research using the Completely Randomize Design with two factors. The factors is 3 collapsible pot type and 2 type of bait with the number of catching repeats as much as 24 trip. Factors of collapsible pot consists of the swimming crab pots as the standar of collapsible pot (S) and two modified of collapsible pots. The modification is the pot that have one funnel on aside (PS) and the pot that have one funnel on top (PA). The bait factors consists of bait fish Fringescale sardinella (Sardinella fimbriata) as standard bait and worm (Chiton sp) as an alternative bait. The catch is consist of the main target catches is that the spiny lobster (Panulirus spp.) and (by-catch). The totally composition of catches dominated by (by-catch) about 61,11 %, and target catches about 38,89 %. By catch are the swimming crabs about 34 (26,89 %), cuttlefish (Sepia sp.) about 34 (26,89 %), fish about 2 (1,59 %). The main target catches of 3 type is dominated by spiny lobsters(Panulirus homarus) about 40 (37.30 %), one painted rock lobster (Panulirus versicolor) (0.83%), and one ornate rock lobster (Panulirus ornatus) (0.83%). Comparison of two types of catches bait has a value that is not significantly different (α = 5 %). Between three kinds of pots, catches standar collapsible pot better than one funnel aside collapsible pot, and one funnel aside collapsible pot same with one funnel on top collapsible pot (S > PS = PA).

Key Words: Swimming crab collapsible pots (Standars), modification pot, lobster, Kanikil.


(5)

© Hak Cipta IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan tersebut hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(6)

(

Panulirus

spp.) DI PALABUHAN RATU, JAWA BARAT

DIKI PATRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(7)

Jawa Barat

Nama : Diki Patra

NIM : C44070067

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua,

Dr. Ir. Zulkarnain, M.Si. NIP. 19630519 199203 1 001

Anggota,

Dr. Ir. M.Fedi A Sondita, M.Sc. NIP. 19630315 198703 1003

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP. 19621223 198703 1 001


(8)

Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus 2011 ini adalah Studi Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas dan Pintu Samping dengan Jenis Umpan Kanikil (Chiton sp) pada Penangkapan Lobster (Panulirus spp.) di Palabuhanratu, Jawa Barat

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1) Dr. Ir. Zulkarnain, M.Si. dan Dr. Ir. M. Fedi A Sondita, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan bantuan, saran dan bimbingannya selama penulisan skripsi ini, Dr. Ir. Moh. Imron, M.Si. selaku ketua komisi pendidikan dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.pi, sebagai penguji dalam sidang, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya;

2) Kedua orang tua yang selalu memberikan doa, dukungan, dan memberikan semangat. Kakak-kakak saya Adi Satria, Budi Setiawan, Candra Wijaya yang selalu memberikan dukungan dan arahan.

3) Teman-teman Asrama Sylvapinus IPB angkatan 44, Apriansyori Barus, Eno sumarno, Fandi Ahmad, Sugianto, dan lain-lain. Keluarga Departemen PSP dan IPB yang telah memberikan dukungan

4) Teman-teman PSP 44, Muklish, Baginda, Erul, Sudi, Leo, Harits dan lain-lain. Keluarga Departemen PSP dan IPB yang telah memberikan dukungan dan bantuannya;

5) Bapak Bambang Suparna (Pak MB) dan keluarga, Bapak Wawan (Pak Akew), Ibu RT dan semua warga Sanggrawayang yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian;

6) Pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, September 2012


(9)

Penulis dilahirkan di Kecamatan Sungai lilin, Muba, Sumatera Selatan pada tanggal 02 September 1988 dari Bapak Amir Hamzah dan Ibu Zanuriah. Penulis merupakan anak ke empat dari enam bersaudara, dengan lima saudara laki-laki dan satu saudara perempuan.

Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Sekayu pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis aktif dalam berapa organisasi kemahasiswaan seperti Asrama Sylvasari IPB sebagai kepala Departemen Hubungan Masyarakat pada tahun ajaran 2007/2008, Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun ajaran 2008/2009 dan Forum Komunitas Muslim (FKM-C) sebagai staf Human Resource Development (HRD) pada tahun ajaran 2008/2009

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan,

penulis melakukan penelitian dengan judul “Studi Efektivitas Bubu Lipat

Modifikasi Pintu Atas dan Pintu Samping dengan Jenis Umpan Kanikil (chiton sp) pada Penangkapan Lobster (panulirus spp.) di Palabuhanratu , Jawa Barat


(10)

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Deskripsi Udang Barong (Spiny Lobster) ... 4

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ... 4

2.1.2 Daur hidup dan habitat spiny lobster ... 7

2.1.3 Tingkah laku dan cara mencari makan... 8

2.2 Unit Penangkapan Bubu ... 8

2.2.1 Alat tangkap ... 9

2.2.2 Nelayan ... 11

2.2.3 Kapal ... 11

2.2.4 Metode pengoperasian ... 11

2.3 Umpan 2.3.1 Deskripsi ikan tembang (Sardinella fimbriatta) ... 12

2.2.2 Deskripsi kanikil (Chiton sp) ... 14

2.4 Rancangan Acak Lengkap ... 17

3 METODOLOGI ... 19

3.1 Waktu dan tempat ... 19

3.2 Alat dan bahan ... 19

3.3 Metode penelitian ... 24

3.4 Analisis data ... 28

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 34

4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi ... 34

4.1.1 Nelayan ... 35

4.1.2 Armada penangkapan ... 35

4.1.3 Alat tangkap ... 35


(11)

4.2.3 Alat tangkap ... 39

4.2.4 Produksi perikanan ... 39

4.3 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 41

5 HASIL ... 43

5.1 Komposisi hasil tangkapan total selama penelitian ... 43

5.1.1 Komposisi hasil tangkapan total jumlah (ekor) per bubu ... 46

5.1.2 Komposisi hasil tangkapan jumlah (ekor) berdasarkan desain bubu ... 47

5.1.3 Komposisi hasil tangkapan berat (gram) berdasarkan desain bubu ... 48

5.1.4 Komposisi hasil tangkapan jumlah (ekor) berdasarkan jenis umpan ... 49

5.2 Pengaruh Desain Bubu dan Jenis Umpan terhadap hasil tangkapan jumlah (ekor), berat (gram) total hasil tangkapan per trip ... 51

5.2.1 Proses analisis data ... 52

5.2.1.1 Uji kenormalan ... 52

5.2.1.2 Hasil analisis faktorial ... 53

5.2.1.3 Uji lanjut (duncan) ... 54

5.3 Pengaruh Desain Bubu dan Jenis Umpan terhadap hasil tangkapan jumlah (ekor), berat (gram) lobster hasil tangkapan per trip ... 55

5.3.1 Proses analisis data ... 56

5.3.1.1 Uji kenormalan ... 56

5.3.1.2 Hasil analisis faktorial ... 57

5.3.1.3 Uji lanjut (duncan) ... 58

5.4 Perubahan Kadar Protein dan Lemak Umpan ... 59

6 PEMBAHASAN ... 61

6.1 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar ... 61

6.2 Umpan Kanikil (Chiton sp) dan Umpan Standar Ikan Tembang (Sardinella fimbriatta) ... 62

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

7.1 Kesimpulan ... 64

7.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(12)

1 Komposisi kimia ikan tembang (Sardinella fimbriata) per 100 g ... 13

2 Alat dan bahan penelitian utama ... 20

3 Spesifikasi Alat tangkap bubu penelitian ... 20

4 Kegunaan bagian alat tangkap bubu penelitian ... 23

5 Rancangan percobaan yang diterapkan dalam penelitian ... 25

6 Rancangan percobaan per trip untuk setiap jenis bubu dan umpan ... 25

7 Urutan dan penempatan Bubu pada Tali Utama ... 26

8 Struktur data ... 29

9 Struktur tabel sidik ragam ... 32

10 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten Sukabumi tahun 2004- 2008 ... 34

11 Jumlah nelayan perikanan tangkap tahun 2006-2009 di kabupaten Sukabumi ... 35

12 Jumlah armada penangkapan ikan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 - 2009 ... 35

13 Alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Sukabumi tahun 2009 ... 36

14 Perkembangan volume dan nilai produksi ikan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 - 2009 ... 36

15 Jumlah nelayan PPN Pelabuhanratu tahun 2006 - 2010 ... 37

16 Jumlah rumah tangga perikanan (nelayan dan buruh) ... 38

17 Desa-desa pantai kegiatan penangkapan ikan pada kawasan perikanan tangkap ... 38

18 Jumlah armada penangkapan ikan PPN Pelabuhanratu tahun 2005 – 2009 ... 39

19 Perkembangan alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2006 - 2010 ... 39

20 Nilai produksi hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu tahun 2006 - 2010 .. 40

21 Produksi perikanan tangkap khusus di laut per jenis ikan pada tahun 2008 ... 40

22 Komposisi hasil Tangkapan Total ... 44

23 Hasil tangkapan berdasarkan Jumlah bubu ... 46

24 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan desain bubu ... 47


(13)

28 Uji lanjut desain bubu ... 52

29 Hasil Tangkapan lobster per trip untuk setiap jenis umpan dan

jenis bubu ... 54 30 Uji Kruskal-wallis untuk desain bubu dan jenis umpan pada total hasil

tangkapan lobster ... 57

31 Pasangan perbandingan ... 58


(14)

Halaman

1 Morfologi spiny lobster ... 2

2 Bagian kepala panulirus homarus dan panulirus versicolor. ... 3

3 Konstruksi bubu lipat. ... 7

4 Ikan tembang atau Sardinella fimbriatta. ... 10

5 Illustrasi morfologi Kanikil (Chiton sp.) ... 11

6 llustrasi morfologi Kanikil (Chiton sp.) ... 12

7 Langkah perhitungan dengan minitab 14 ... 14

8 Langkah perhitungan dengan minitab 14 ... 15

9 Lokasi Penelitian ... 19

10 Konstruksi bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar ... 21

11 Bubu lipat rajungan (bubu standar). ... 21

12 Bubu lipat pintu samping ... 22

13 Bubu lipat pintu atas ... 23

14 Kanikil (Chiton sp.) di lokasi penelitian ... 24

15 Rangkain bubu saat operasi ... 27

16 Pengukuran panjang karapas, lebar karapas hasil tangkapan ... 28

17 Komposisi hasil tangkapanTotal (ekor) ... 44

18 Komposisi hasil tangkapanTotal (gram) ... 45

19 Hasil Tangkapan lobster berdasarkan Panjang karapas ... 45

20 Rata-rata Hasil Tangkapan jumlah (ekor) antara lobster dan bycatch ... 47

21 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis umpan ... 48

22 Rata-rata hasil tangkapan Jumlah (ekor) antara lobster dan Bycatch ... 48

23 Rata-rata Jumlah tangkapan total per trip desain bubu lipat dengan jenis umpan ... 50

24 Rata-rata berat tangkapan total per trip desain bubu lipat dengan jenis umpan ... 51

25 Rata-rata jumlah tangkapan lobster per trip desain bubu lipat dengan jenis umpan ... 55


(15)

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel lapang pengambilan data ... 69

2 Data Sheet hasil tangkapan ... 70

3 Hasil tangkapan total per trip berdasarkan desain bubu dan umpan ... 82

4 Hasil tangkapan lobster per trip berdasarkan desain bubu dan umpan. ... 84

5 Analisis data... 86

6 Rangkaian bubu saat operasi ... 100

7 Dokumentasi kegiatan penelitian ... 101


(17)

(18)

Lobster atau spiny lobster (Panulirus spp.) atau udang barong atau udang karang adalah salah satu jenis hasil laut yang bernilai tinggi dalam perdagangan produk perikanan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Harga lobster (lokal) umumnya sangat tinggi dengan variasi yang sangat ditentukan oleh jenis dan ukuran lobster. Nilai jual lobster yang tinggi biasanya berlaku untuk lobster yang berkualitas tinggi, seperti lobster dalam keadaan hidup dan anggota tubuhnya masih lengkap, belum ada yang putus atau rusak. Tingginya nilai ekonomi lobster inilah yang menjadi pendorong nelayan untuk menangkapnya karena walaupun jumlah yang ditangkap sedikit namun berkualitas maka nelayan mendapatkan penghasilan yang tinggi (Zulkarnain et al. 2011).

Kegiatan penangkapan lobster sudah dilakukan sejak dahulu secara tradisional menggunakan teknologi yang sederhana dalam usaha berskala kecil. Jenis alat yang umum digunakan untuk menangkap lobster adalah jaring insang dasar (bottom gillnet) dan krendet, sejenis perangkap yang terbuat dari jaring (hoopnet) serta bubu (traps). Dua jenis alat pertama menangkap lobster dengan metode membelit atau memuntal tubuh atau anggota badan lobster (entangling) sedangkan bubu menangkap lobster dengan metode entrapment dimana seluruh tubuh akan berada di dalam perangkap. Berbagai bentuk bubu dengan bahan yang berbeda dapat dibuat untuk menangkap berbagai jenis ikan dan krustasea (Subani dan Barus, 1989).

Cara menangkap lobster dengan membelit atau memuntal memiliki kelemahan, yaitu rusaknya atau hilangnya anggota tubuh lobster sehingga harga lobster menjadi lebih rendah (Zulkarnain et al. 2011). Sebaliknya, cara menangkap lobster dengan bubu memberikan keuntungan karena lobster tertangkap hidup dan keutuhan tubuhnya dapat dijaga sehingga harganya cenderung tinggi karena dianggap lebih berkualitas.

Konstruksi bubu umumnya dirancang terdiri atas rangka (frame), badan (body) dan pintu masuk (inlet). Ada bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung tempat menyimpan umpan. Bentuk bubu


(19)

dapat berbeda di antara nelayan yang berbeda lokasinya atau negara (Martasuganda 2003).

Bubu juga ada yang dapat dilipat atau disebut bubu lipat (collapsable trap). Bubu ini lebih disukai nelayan dan cocok untuk dioperasikan pada berbagai tipe dasar perairan dan kedalaman, serta tidak mahal namun kuat. Bubu ini biasanya dioperasikan dengan biaya yang tidak mahal. Selain itu, ikan yang tertangkap bubu ini biasanya dalam keadaan hidup sehingga nelayan mendapat kesempatan untuk memilih, misalnya jika ukurannya terlalu kecil untuk dijual (under sized) maka dapat dilepaskan kembali dalam keadaan hidup (Krouse 1989; Miller 1990).

Desa Kertajaya di pesisir pantai sebelah timur teluk Palabuhanratu memiliki karakteristik pantai berupa batu karang besar (rock) dan substrat dasar perairan lumpur dan berkarang. Perairan seperti ini merupakan habitat yang baik untuk lobster. Adanya lobster di habitat seperti ini ditandai oleh adanya aktivitas nelayan yang menangkap lobster di perairan tersebut. Nelayan di daerah ini biasa menangkap lobster secara langsung dengan menyelam atau menggunakan jaring insang dasar (bottom gillnet).

Agar lobster tertarik untuk masuk ke dalam bubu, nelayan biasanya menempatkan umpan. Salah satu jenis hewan yang dapat dijadkan umpan lobster adalah kanikil (Chiton), namun nelayan desa Kertajaya belum pernah menggunakannya sebagai umpan ketika menangkap lobster. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi et al. (2010) menyimpulkan bahwa penggunaan kanikil meningkatkan efektivitas jaring krendet yang digunakan untuk menangkap lobster.

Selain umpan, pintu masuk bubu (inlet) merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan besarnya hasil tangkap. Bubu lipat diduga akan lebih efektif jika memiliki pintu masuk di samping dan di atas. Bubu tersebut berbeda dari bubu lipat standar yang memiliki pintu jebakan pada mulut bubu berbentuk kisi-kisi (Zulkarnain et al. 2011). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Thomas, 1973 dalam Zulkarnain (2011) menyimpulkan bahwa bubu lipat dengan satu pintu ditujukan untuk mengoptimalkan penggunaan ruang pada bubu sehingga luas dengan tujuan agar dapat menampung lebih banyak hasil tangkapan.


(20)

Kedua hal tersebut merupakan alasan untuk melakukan penelitian yang menguji pengaruh umpan dan posisi pintu masuk terhadap hasil tangkapan lobster. Secara khusus, penelitian ini akan menguji efektivitas kanikil (Chiton sp.) untuk menangkap lobster. Penelitian ini dilaksanakan dengan membandingkan kinerja bubu lipat modifikasi terhadap bubu lipat berpintu di samping dan pintu atas membandingkan efektivitas kanikil terhadap ikan tembang sebagai umpan untuk menangkap lobster.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan membandingkan:

(1)Efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping dan pintu atas terhadap bubu lipat rajungan (bubu standar) dalam penangkapan lobster (Panulirus spp.) (2)Efektivitas umpan kanikil (Chiton sp) terhadap umpan standar ikan tembang

(Sardinella fimbriatta) dalam penangkapan lobster (Panulirus spp.)

1.3 Manfaat Penelitian

Dari penelitian diperoleh informasi tentang jenis bubu lipat yang paling efektif dan jenis umpan yang paling baik untuk menangkap lobster (Panulirus spp.)


(21)

2.1 Deskripsi Udang Barong (Spiny Lobster) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Klasifikasiudang barong atau spiny lobster menurut Burukovskii (1974) diacu dalam Lesmana (2006) adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda Class : Crustacea

Sub Class : Malacostraca Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Reptantia Seksi : Palinura

Famili : Palinuridae Genus : Panulirus

Spesies : Panulirus homarus

Panulirus penicillatus

Panulirus ornatus

Panulirus versicolor

Panulirus longipes

Panulirus polyphagus

Menurut Purnomo (1988) diacu dalam Adyanawati (1994), ordo Decapoda terdiri atas empat famili lobster, lobster sejati (true lobster), udang barong (spiny lobster), udang watang (cray fish) dan udang pasir (Spanish lobster). Famili pertama hanya terdapat di perairan subtropis dan perairan dingin sedangkan famili kedua terdapat di perairan subtropis dan tropis, termasuk perairan Indonesia (Subani 1981 diacu dalam Adnyanawati 1994).

Di Indonesia, spiny lobster dikenal dengan nama udang barong. Udang barong juga dikenal sebagai udang karang karena hampir sepanjang hidupnya memilih tempat-tempat di karang, baik di peraran berbatu-karang (rock) maupun terumbu karang (coral reefs) yang masih hidup maupun yang mati di perairan pantai (Subani 1981 diacu dalam Adnyanawati 1994).


(22)

Morfologi spiny lobster sangat berbeda dari true lobster. True lobster memiliki capit besar yang terbentuk dari pertumbuhan sempurna pasangan kaki pertama dari kaki jalannya (periopod). Sementara itu, ujung kaki-kaki jalan spiny lobster tidak bercapit tetapi tumbuh menjadi kuku lancip. Udang barong atau spiny lobster termasuk kelompok jenis udang besar, panjang badannya dapat mencapai 50 cm seperti pada lobster mutiara (Fischer 1978). Panjang badan ini kira-kira sebanding dengan panjang karapas sebesar 24 cm atau lobster dengan panjang badannya 50 cm = panjang karapasnya 24 cm . Morfologi spiny lobster dapat dilihat pada Gambar 1.

antena pertama

Sumber : Nontji (1993) diacu dalam Nawangwulan (2001) Gambar 1 Morfologi spiny lobster (Panulirus spp.)

pleura (somite)

telson pale band

eksopod duri

Lempeng antenula antenu

karapas antena kedua Tangkai antena flagelata

periopod


(23)

Udang barong memiliki dua buah antena. Antena pertama lebih kokoh dan lebih panjang dari antena kedua, serta ditutupi duri. Antena pertama ini berfungsi sebagai alat perlindungan. Hal ini terlihat ketika spiny lobster memberikan reaksi terhadap ancaman, yaitu dengan menyilangkan kedua antena pertama tersebut. Antena yang kedua berukuran lebih pendek, tidak berduri, bercabang dan lebih halus. Antena kedua berfungsi sebagai indera perasa yang cukup peka terhadap rangsangan suara, cahaya dan bau. Apabila spiny lobster merasakan adanya rangsangan, maka antena kedua akan bergerak seperti bergetar (Herrnkind 1980 diacudalam Prasetyanti 2001).

Udang barong dapat diketahui dari pola pewarnaan tubuh, ukuran dan bentuk kepala. Selain itu, pola-pola duri di kepala, dapat juga dijadikan sebagai tanda spesifik dari setiap jenis spiny lobster (Adnyanawati 1994). Gambar 2 menyajikan perbandingan morfologi kepala di antar Panulirus homarus dan Panulirus versicolor.

Sumber : Linnaeus (1758)

Gambar 2 Bagian Kepala Panulirus homarus (a)dan Panulirus versicolor (b)

Pada kepala Panulirus homarus terdapat empat duri yang berukuran sama besar dan terpisah oleh sejumlah spinula kecil yang teratur, sedangkan pada kepala Panulirus versicolor terdapat empat duri dimana dua duri yang di depan berukuran lebih besar dari dua duri yang ada di belakangnya. Perbedaan lain di antara kedua lobster ini adalah ukuran tanduk atau frontal horn. Tanduk pada P. homarus berukuran kecil, tidak tumbuh ke depan melewati mata, sedangkan pada P. versicolor berukuran besar, tumbuh memanjang ke depan melewati mata.


(24)

Jenis udang barong yang paling banyak di perairan Indonesia menurut Subani (1971) diacu dalam Budiharjo (1981) adalah Panulirus versicolor namun jenis udang barong yang paling banyak di perairan Palabuhanratu adalah P. homarus ataulobsterhijau pasir (Pitrianingsih 2002). P. homarus biasanya hidup bergerombol dan menempati perairan dangkal pada kedalaman belasan meter.

2.1.2 Daur hidup dan habitat spiny lobster

Daur hidup spiny lobster dapat dibagi menjadi 5 fase utama, yaitu fase dewasa, telur, phyllosoma (tahap larva), puerulus (tahap post- larva) dan juvenil (Rimmer dan Phillips 1979 diacu dalam Prasetyanti 2001). Saat mendekati usia dewasa, banyak spiny lobster yang bermigrasi dari daerah perawatan (nursery ground) menuju habitat batu karang (rock) di perairan yang lebih dalam untuk mencari tempat bereproduksi (Phillips dan Kittaka 2000). Spiny lobster betina akan membawa telur yang telah dibuahi selama kira-kira 20 hari. Telur-telur tersebut kemudian menetas; larva spiny lobster disebut phyllosoma. Larva ini menyukai cahaya dan hidup bergerombol di dekat permukaan air. Setelah itu, larva phyllosoma akan tumbuh dan berubah menjadi puerulus. Lama fase puerulus diperkirakan 10-14 hari dan mencapai ukuran panjang total 5-7 cm. Kemudian puerulus akan tumbuh menyerupai spiny lobster dewasa, yaitu aktif berenang dan terkadang terbawa arus laut menuju daerah pembesaran, seperti padang rumput laut (weed bed) di perairan dangkal.

Udang barong atau spiny lobster memiliki habitat yang berbeda di setiap jenisnya. P. homarus hidup di perairan dangkal hingga kedalaman beberapa belas meter dan tinggal dalam lubang bebatuan (rock). Jenis lobster ini banyak ditemukan di perairan selatan dan barat Jawa Barat/Banten, selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur, perairan timur Flores, perairan utara Timor, perairan Sulawesi dan pantai barat Sumatera. P. penicillatus atau lobster batu ditemukan di dalam dan luar terumbu karang (coral reefs), yaitu di lokasi yang mengalami hempasan ombak yang keras. Biasanya lobster jenis ini hidup di daerah batu-batuan (rock) di luar perairan karang (George 1974 diacu dalam Cobb dan Philips 1980 diacu dalam Adyanawati 1994). P. ornatus atau lobster mutiara hidup di perairan berarus kuat pada kedalaman 5-20 m (Batia 1974 diacu dalam Adyanawati 1994)


(25)

dan P. versicolor atau lobster hijau hidup diantara karang (rock) pada kedalaman beberapa meter (Adnynawati,1994). Jenis lobster lain, yaitu P. longipes atau lobster bunga hidup di tempat yang terlindung dan perairannya oseanik, biasanya ditemukan di perairan pada kedalaman 1-16 m hingga lebih dari 130 m.

2.1.3 Tingkah laku dan cara mencari makan

Udang barong bergerak dengan cara merangkak. Udang barong yang sedang merangkak, ketika berhadapan dengan predator, akan segera mundur dengan cepat mengandalkan kekuatan otot-otot abdomennya. Udang barong dapat dikatakan tidak pandai untuk berenang walaupun memiliki kaki renang (Subani 1978). Indera penglihatan udang barong secara langsung tidak begitu berperan untuk pergerakannya; bagian tubuh yang paling berperan adalah antenanya (Herrnkind 1980).

Udang barong termasuk hewan nokturnal, yaitu keluar dari tempat persembunyiannya untuk aktif mencari makan pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari. Aktivitas hewan nokturnal yang paling tinggi terjadi pada permulaan atau menjelang malam hari. Aktivitas spiny lobster mulai berhenti ketika matahari terbit (Cobb dan Wang 1985). Udang barong dapat memakan hewan-hewan laut lain, baik yang masih hidup maupun sudah mati. Makanannya adalah udang-udang kecil, bulu babi, dan berbagai hewan lunak atau moluska lainnya. Udang barong menggunakan kukunya yang lancip untuk mencengkeram mangsanya sebelum dimakan (Subani 1978). Menurut Cobb dan Wang (1985), bau makanan dapat mudah direspon oleh indera perasa spiny lobster dengan karena arus air yang membawa bau makanan sehingga spiny lobster tertarik untuk bergerak ke arah sumber bau tersebut.

Ketika akan memasuki perangkap, tingkah laku lobster diawali dengan mengelilingi permukaan terluar dari sebuah perangkap. Spiny lobster akan menggunakan antena yang kedua untuk merasakan bau dari umpan. Setelah itu spiny lobster akan memutari perangkap, kemudian mencari pintu masuk kedalam perangkap (Anwar 2001).


(26)

2.2 Unit Penangkapan Bubu 2.2.1 Alat tangkap

Menurut Subani dan Barus (1989), bubu termasuk ke dalam kelompok perangkap (Traps). Selanjutnya dikatakannya juga bahwa bubu memiliki bentuk yang bervariasi, hampir setiap daerah perikanan mempunyai model sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain-lain. Secara umum konstruksi bubu terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk. Ada bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat menyimpan umpan. Bentuk bubu tidak ada keseragaman diantara nelayan di suatu daerah dengan daerah lainnya, termasuk bentuk bubu di suatu negara dengan negara lainnya (Martasuganda 2003).

Bubu merupakan alat tangkap yang dirancang untuk menangkap berbagai jenis ikan dan krustasea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung (Subani dan Barus 1989). Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec and Prado 1990).

Menurut Meenakumari and Rajan (1985) diacu dalam Zulkarnain (2011). Bubu yang terbuat dari bambu memiliki konstruksi yang lemah dan rapuh. Bubu yang terbuat dari bahan kayu cukup berat dan tidak disukai. Bubu yang terbuat dari bahan logam, yaitu batang baja ringan dan mata jaring dari kawat baja yang dilas serta dilindungi secara utuh oleh lapisan plastik telah memberikan kinerja yang efisien dan memiliki daya tahan pakai lebih lama.

Desain bubu secara fisik berpengaruh terhadap efektivitas dan selektivitas alat tangkap yang memperhatikan karakteristik target species atau ikan yang akan ditangkap (Zulkarnain et al. 2011). Untuk mengembangkan dan meningkatkan efisiensi usaha penangkapan dengan menggunakan bubu, bubu lipat (collapsible fish pots, Gambar 3) (von Brandt (1984) diacu dalam Purnama (2006). Bubu lipat telah umum digunakan secara komersial oleh nelayan Jepang untuk menangkap


(27)

gurita dan oleh nelayan Thailand untuk menangkap rajungan (Boutson et al. 2009) diacu dalam Zulkarnain et al.2011).

Bubu lipat merupakan alat tangkap yang lebih disukai dan cocok untuk dioperasikan pada berbagai tipe dasar perairan dan variasi selang kedalaman, serta tidak mahal namun kuat, kemudian kualitas bubu lipat sebagai perangkap adalah karena hasil tangkapan dalam keadaaan hidup dengan kualitas yang sangat baik, hasil tangkapan dibawah ukuran ekonomis (under size) dapat dikembailkan di perairan dalam keadaan hidup dan biaya penangkapan rendah (Krouse 1989; Miller 1990).

Sumber : Boutson et al.(2009) diacu dalam Zulkarnain et al.(2011) Gambar 3 Konstruksi bubu lipat (Collapsible Pot) untuk menangkap rajungan


(28)

2.2.2 Nelayan

Dalam pengoperasian sebuah unit penangkapan, salah satu faktor yang berperan penting adalah nelayan. Jumlah nelayan dalam setiap pengoperasian suatu unit penangkapan bergantung pada ukuran kapal. Pada unit penangkapan bubu, jumlah nelayan disesuaikan dengan sistem pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal atau rawai serta jumlah bubu yang ditangani. Pada umumnya pengoperasian bubu memerlukan dua sampai tiga orang (Subani dan Barus, 1989).

2.2.3 Kapal

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut, disamping adanya alat tangkap itu sendiri diperlukan perahu, baik perahu tanpa motor, perahu bermotor maupun kapal motor. Ukuran kapal/perahu disesuaikan dengan jenis alat penangkapan dan luas jangkauan daerah penangkapan ikan yang dituju orang (Subani dan Barus, 1989). Perahu yang digunakan untuk mengangkut bubu di perairan Palabuhanratu berukuran (LxBxD) 11 m x 2 m x 1,5 m.

2.2.4 Metode pengoperasian

Menurut Wudianto et al. (1988), secara umum bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu: (1) Dipasang secara terpisah, satu bubu dengan satu pelampung, dan (2) Dipasang secara bergandengan menggunakan tali utama sebagai penghubung. Cara kedua ini dinamakan pengaturan dengan cara longline trap; beberapa buah bubu dipasang dalam suatu rangkaian dengan jarak tertentu di antaranya.

Menurut Wibyasatoto (1994) Bubu lipat memiliki konstruksi yang lebih rumit jika dibandingkan dengan bubu yang tidak bisa dilipat. Walaupun demikian bubu lipat tidak banyak menyulitkan dalam pemasangan (setting). Bubu lipat yang dioperasikan di Perairan Bengkulu dipasang secara bergandengan atau longline traps tujuannya untuk memudahkan pemasangan bubu (setting) dan Pengangkatan bubu (hauling).

2.3 Umpan

Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan penangkapan bubu, karena umpan berfungsi untuk merangsang lobster masuk ke


(29)

dalam bubu. Umpan yang biasa digunakan untuk lobster menurut Everett (1972) diacu dalam Budiharjo (1981), umpan untuk menangkap lobster adalah ikan mati yang dipotong-potong atau belum, yang sudah diproses atau organisme lain yang memiliki bau menyengat yang menarik daya cium lobster. Lobster juga menyukai umpan yang memiliki komposisi protein, lemak dan kitin yang tinggi serta memiliki bau yang menyegat sangat disukai oleh lobster (Moosa dan Aswandy,1984). Salah satu jenis ikan yang dapat digunakan sebagai umpan dalam menangkap lobster dengan bubu adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata) sedangkan jenis hewan lunak atau moluska adalah kanikil (Chiton sp.).

2.3.1 Deskripsi ikan tembang (Sardinella fimbriatta)

Klasifikasi ikan tembang atau Sardinella fimbriata berdasarkan www.fishbase.org, 2012 adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii

Subkelas : Neopterygii Infrakelas : Teleostei

Superordo : Clupeomorpha Ordo : Clupeiformes

Subordo : Clupeoidei Famili : Clupeidae

Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriatta (www.fishbase.org,2012)

Nama lokal : Tembang, tamban, tamban sisik, tanyang, jewi (Saanin,1984) Sinonim : herengula fimbriatta (Saanin, 1984).


(30)

Sumber : www. fishbase.org (2012) Gambar 4 Ikan tembang atau Sardinella fimbriatta

Menurut Saanin (1984) ikan tembang atau Sardinella fimbriatta mempunyai ciri- ciri bentuk tubuh bagian atas sangat pipih, tajam dan bergerigi (abdominal scute). Mulut lebar dan ukuran rahang sama panjang. Sirip perut terletak di belakang sirip dada. Sirip punggung terletak di tengah-tengah antara sirip ekor dan hidung. Sirip dada keadaannya sempurna. Sisik linea lateralis lebih dari 40 buah . Mempunyai tulang tapis insang lebih dari 50 buah.

Ikan tembang sebagai bahan baku umpan memiliki komposisi kimia seperti dicantumkan pada Tabel 1.

Tabel1 Komposisi kimia ikan tembang (Sardinella fimbriata) per 100 gr.

Komposisi Jumlah

Energi Air Protein Lemak Kalsium (Ca) Fosfor (P) Besi (Fe)

204 Kal 56 gr 16 gr 15 gr 20 mg 200 mg 2 mg

Sumber : Hardiansyah dan Briawan (1990).

Kanikil atau Chiton sp. (Gambar 3) adalah moluska laut yang termasuk kedalam kelas Polyplacophora yang tidak mengalami perubahan atau evolusi selama lebih dari 300 juta tahun. Di dunia hewan molusca laut jenis ini terdapat kurang lebih 930 genus dan spesies berdasarkan catatan fosil dan perbandingan langsung dengan kehidupan genus dan spesies yang masih ada (Schwabe 2010).


(31)

2.3.2 Deskripsi Kanikil (Chiton sp)

Klasifikasi kanikil atau Chiton sp menurut Schwabe (2007) adalah sebagai berikut:

Filum : Mollusca

Class : Polyplacophora Ordo : Neoloricata

Family : Leptochitnidae Ischnochitonidae Callistoplacidae Cryptoplacidae Acanthocthitonidae Genus : Parachiton

Ishnochiton Callistochiton Cryptolax Achanthicitona

Spesies : Lepidoplearus acuminatus Ishnochiton baliensis Callistochiton palmulatus Cryptoplax oculata

Menurut Schwabe (2010) beberapa ilustrasi spesimen Chiton sp yang terdapat dalam koleksi dari Bavarian State Collection of Zoology (ZSM) dapat dijelaskan berdasarkan bagian yang tersusun secara lengkap dari sebagian besar morfologi tubuh hingga kharakteristik taksonomi yang relevan seperti girdle (gelang).

Mofologi tubuh kanikil atau Chiton sp yang diilustrasikan seperti Gambar 5 dan 6 berikut ini :


(32)

Sumber : Schwabe (2010)

Gambar 5 Ilustrasi morfologi kanikil atau Chiton sp

Menurut (Schwabe 2010), kanikil memiliki cangkang punggung yang terdiri dari delapan kepingan kapur berbentuk pipih dan tersusun seperti genting dan dikelilingi oleh girdle (gelang) yang tebal. Kepingan atau katup tersebut dihitung dari anterior yang biasanya dicatat dengan menggunakan angka romawi(i-viii); katup pertama (i) disebut sebagai katup atau kepingan kepala, katup terakhir atau posterior(viii) sedangkan katup kedua sampai ke tujuh (ii-vii) disebut katup menengah.

Sumber : Schwabe (2010)

Gambar 6 Ilustrasi morfologi kanikil atau Chiton sp

Tubuh kanikil berbentuk oval tetapi ada beberapa spesies yang berbentuk lebih luas atau memanjang seperti ulat (Gambar 5). Bentuk tubuh lonjong dan pipih dorsoventral, panjang tubuh antara 3 mm sampai 40 cm dan berwarna gelap. Pada bagian dorsal terdapat 8 keping cangkang pipih yang tersusun seperti genting dan dikelilingi mantel tebal (girale). Kepala tersembunyi dibawah anterior girale, tidak mempunyai mata maupun tentrakel, mempunyai radula yang besar dengan deretan gigi banyak sekali, kaki lebar dan datar serta susunan cangkang


(33)

seperti genting. Diantara kaki dan tepi mantel pada kedua sisi tubuh kanikil terdapat rongga mantel. Di dalam rongga mantel terdapat insang 6 sampai 88 pasang (Suwarni 2008).

Menurut Kaas and van Belle (1990) kanikil memiliki habitat yang berbeda di setiap genusnya. Genus Parachiton dengan contoh spesies Lepidoplearus acuminatus hidup di daerah karang atau pantai di perairan yang kedalamannya 30-50 m. Jenis ini tersebar di perairan tropis dan subtropis serta perairan dingin atau banyak ditemukan di perairan Sicilia, Portopalo, dan Yugoslovia.

Genus Ishnochiton dengan contoh Callochiton herberti hidup di daerah karang atau pantai di perairan yang kedalamannya 9-20 m. Jenis ini tersebar di perairan tropis dan subtropis atau ditemukan di perairan selatan Australia.

Genus Callistochiton dengan contoh spesies Calistochiton carpentrianus hidup di daerah karang atau pantai di perairan yang kedalamnya 9-45 m. Jenis ini tersebar di perairan tropis dan subtropis atau ditemukan di perairan Indonesia dan Banda. Genus Cryptolax dengan contoh Chiton oculatus hidup di daerah karang atau pantai di perairan yang kedalamnya 2-3 m. Jenis ini tersebar tropis dan subtropis dikawasan Indo-Pasifik atau ditemukan di perairan Indonesia, Irian Jaya. Terakhir, genus Achanthicitona dengan contoh Chiton fascicularis hidup di daerah karang atau pantai di perairan yang kedalamnya 2-150 m. Jenis ini berdistribusi tropis dan subtropics di kawasan seluruh dunia kecuali di perairan Antartika.

Pada umumnya kanikil bersifat dioecius, pembuahan di luar atau di dalam tubuh. Sperma meninggalkan individu jantan bersama aliran air keluar. Pembuahan terjadi di dalam telur dan disimpan dalam rongga mantel, dimana terjadi pembuahan dengan sperma yang masuk bersama aliran masuk. Telur menetas menjadi larva trocophore yang berenang bebas (Suwarni 2008).

Kanikil disebut hewan moluska laut karang atau pantai batu-batuan karena hewan ini hidup di permukaan keras, seperti di bawah batu, atau tersembunyi di celah-celah batu.

Kanikil memiliki struktur yang sesuai dengan kebiasaan merayap perlahan dan melekat pada batu karang dan menunujukkan perilaku homing, kembali ke


(34)

tempat yang sama pada siang hari dan berkeliaran di malam hari untuk mencari makan (Suwarni 2008).

2.4 RAL (Rancangan Acak Lengkap)

2.4.1 Uji non parameterik

Uji non parametrik yang digunakan adalah Kruskal-Wallis test. Menurut Mattjik dan Sumertajaya, 2006 rancangan percobaan dengan uji ini biasanya digunakan untuk percobaan yang menggunakan RAL. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis

Ho : Nilai tengah perlakuan sama

H1 : minimal ada satu nilai tengah perlakuan yang tidak sama dengan yang lainnya.

Statistik Uji :

H = 1 �2 [∑

ᴿ2

� –

� �+1 2 4 ]

dengan :

r = banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i N= jumlah pengamatan

Ri= jumlah peringkat (ranx) dari perlakuan ke-i

dan

�2 = 1

�−1 [ ᴿ

2� �+1 2 4 ]

Rij adalah peringkat dari pengamatan pada perlakuan ke-I ulangan ke-J. Kaidah keputusan uji ini : Jika H> X2 ,� −1 maka tolak Ho, selainnya terima Ho.

Contoh perhitungan dengan Minitab 14 dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.


(35)

Gambar 8 Langkah perhitungan dengan minitab 14 Keterangan

1. Masukkan data dari kedua faktor yang akan di hitung 2. Klik Start, Non Parametrik, Kemudian Kruskal Wallis

3. Masukkan data dari faktor yang akan dihitung, kemudian klik ok

2.4.2Uji parameterik

Menurut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006) Percobaan faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari dua faktor atau lebih. Model linier aditif dari rancangan ini secara umum (misal komposisi perlakuan disusun oleh taraf-taraf faktor A dan faktor B) adalah sebagai berikut :

Y = µ =αi + βj + (αβ)ij+ εijk

dimana: Y nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke k, (µ,αi, βj) merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B, (αβij) merupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B sedangkan εijk merupakan pengaruh acak yang menyebar normal (0,�2).

Selain asumsi kenormalan dari komponen acak dan model aditif masih terdapat asumsi-asumsi lain yang juga harus diperhatikan yaitu :

(i) Untuk model tetap : =1 i = 0; =1 j = 0; =1 ij =

=1 ij = 0


(36)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan sejak tanggal 16 Agustus 2011 hingga 31 September 2011 di Desa Kertajaya, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 9).

Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 1 unit perahu nelayan bercadik, 1 unit bubu lipat sebanyak 18 buah, timbangan (mengukur berat (gram) per ekor hasil tangkapan), penggaris, alat tulis, tabel lapang, thermometer, refraktometer, 2 buah ember dan dokumentasi berupa camera digital. Bahan yang digunakan adalah umpan yang terbuat dari ikan tembang dan kanikil. Peralatan dan bahan serta spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.


(37)

Tabel 2 Alat dan bahan penelitian utama

Tabel 3 Spesifikasi alat tangkap bubu penelitian

3.2.1 Deskripsi bubu lipat penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan tiga macam konstruksi bubu lipat yang memiliki fungsi sebagai perolehan data dalam kegiatan operasi penangkapan.

Bubu lipat rajungan (bubu standar) adalah bubu yang dijadikan acuan untuk dimodifikasi, dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat rajungan yang biasa dioperasikan di Indonesia (Gambar 10). Ukuran bubu lipat standar yang digunakan nelayan untuk penangkapan rajungan adalah 50 cm x 30 cm x 20 cm (p x l x t).

Bubu lipat dan kegunaannya masing-masing dijelaskan pada Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13

No Bagian alat tangkap Spesifikasi

1 Pelampung tanda (floating buoy) Plastik, diameter 30 cm

2 Tali pelampung (floating line) PE dimeter 10 mm; panjang 25 m 3 Pemberat (sinker) (2 buah dan 4 buah) Batu ± 30 kg dan Batu ±0,125 kg 4 Tali pemberat (sinker line) (2 buah) PE dia 10 mm; panjang 5 mm 5 Tali utama (main line) (1 set) PE dia 10 mm; panjang 130 mm 6 Tali cabang (branch line) (18 buah) PE dia 6 mm; panjang 5 mm

Bubu lipat modifikasi pintu samping (6 buah)

Bubu lipat modifikasi pintu atas (6 buah)

9 Bubu lipat standar (6 buah) Frame besi galvanis dia 6 mm cover net PE ms 1,5 inci 210 D/18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt)

7 Frame besi galvanis dia 6 mm cover net PE ms

1,5 inci 210 D/18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt)

8 Frame besi galvanis dia 6 mm cover net PE ms

1,5 inci 210 D/18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt)

No Alat dan Bahan Spesifikasi Kegunaan

9 m x 1,2 m x 0,8 m (pxlxt)

Alat tangkap bubu lipat penelitian ;

Ukuran bubu lipat 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt).

(1) 6 buah bubu lipat

modifikasi pintu samping

Frame bubu besi galvanis dia. 6 mm. Jaring bubu (cover net) PE ms 1,5 inci 210 d/18.

(2) 6 buah bubu lipat

modifikasi pintu atas (3) 6 buah bubu

standar Umpan ;

(1) Ikan tembang

(2) Kanikil

4 Timbangan Kapasitas 2 kg Mengukur berat

2 Perolehan data respon

hasil experimental fishing

3 Ikan tembang dengan berat 1 kg = 15-17 ekor dan Kanikil dengan jumlah 36 ekor

Umpan pada bubu lipat

1 Perahu Operasional kegiatan


(38)

Sumber: Zulkarnain, 2012.

Gambar 10 Konstruksi bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar.

Gambar 11 Bubu lipat rajungan (bubu standar)

Bubu lipat rajungan (bubu standar) merupakan bubu lipat yang berbentuk kotak dan biasanya digunakan untuk menangkap rajungan dan kepiting. Bubu lipat standar yang digunakan dalam penelitian ini berukuran lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat standar yang biasa digunakan nelayan. Spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam operasi penangkapan pada proses perolehan data, bubu lipat ini digunakan sebagai bubu standar atau kontrol untuk dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi atau bubu yang menjadi perlakuan dalam proses perolehan data hasil tangkapan.


(39)

Gambar 12 Bubu lipat pintu samping

Bubu lipat pintu samping merupakan bubu lipat modifikasi atau bubu lipat pintu samping berbentuk kotak dengan pemicu pintu masuk berbentuk kisi-kisi. Bubu lipat ini merupakan modifikasi dari bubu lipat standar yang ditambahkan funnel (kisi-kisi) atau Pemicu pintu masuk yang ditempatkan pada ujung mulut bubu adalah kisi-kisi ke arah bagian dalam bubu dan terbuat dari plastik dengan ketebalan 1,5 mm. Dalam operasi penangkapan pada proses perolehan data, bubu lipat ini digunakan sebagai bubu yang menjadi perlakuan untuk dibandingkan dengan bubu rajungan (bubu standar) dalam proses perolehan data hasil tangkapan.


(40)

Gambar 13 Bubu lipat pintu atas

Bubu lipat pintu atas merupakan bubu lipat modifikasi atau bubu lipat pintu atas berbentuk trapesium dengan pemicu pintu masuk berbentuk kisi-kisi. Pemicu pintu masuk ditempatkan pada ujung mulut bubu adalah kisi-kisi ke arah bagian dalam bubu dan terbuat dari plastik dengan ketebalan 1,5 mm. Dalam operasi penangkapan pada proses perolehan data, bubu lipat ini digunakan sebagai bubu yang menjadi perlakuan untuk dibandingkan dengan bubu rajungan (bubu standar) dalam proses perolehan data hasil tangkapan.

Tabel 4 Kegunaan bagian alat tangkap bubu penelitian

No Bagian alat tangkap Spesifikasi

1 Pelampung tanda (floating buoy) Plastik, diameter 30 cm

2 Tali pelampung (floating line) PE dimeter 10 mm; panjang 25 m 3 Pemberat (sinker) (2 buah dan 4 buah) Batu ± 30 kg dan Batu ±0,125 kg 4 Tali pemberat (sinker line) (2 buah) PE dia 10 mm; panjang 5 mm 5 Tali utama (main line) (1 set) PE dia 10 mm; panjang 130 mm

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan tembang (Sardinella fimbriatta) dan kanikil (Chiton sp). Ikan tembang dapat diperoleh di lokasi penelitian dengan mudah dan merupakan jenis umpan yang


(41)

biasa digunakan untuk menangkap lobster. Kanikil banyak terdapat di pantai lokasi penelitian dan hidup di celah-celah batuan karang namun belum ada penggunaan kanikil untuk umpan oleh nelayan di lokasi penelitian (Gambar 14).

Gambar 14 Kanikil atau Chiton sp di lokasi penelitian

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji coba penangkapan (experimental fishing). Dalam penelitian ini menggunakan tiga macam konstruksi bubu lipat dengan jenis pintu masuk yang berbeda dan pemberian dua jenis umpan yang berbeda pada masing-masing jenis konstruksi bubu lipat tersebut sebanyak 24 kali trip (ulangan). Rancangan percobaan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Jumlah hasil tangkapan dari ketiga konstruksi bubu lipat tersebut dibandingkan untuk mengetahui efektivitas (kemampuan konstruksi bubu lipat) dan jenis umpan dalam memberikan hasil tangkapan lobster.

Bubu dioperasikan dengan metode longline yaitu dengan panjang tali utama 154 m, rangkaian bubu dipasang dengan jarak masing-masing 8 m, dengan panjang tali cabang 3 m. Jarak antara bubu pertama dengan ujung-ujung tali utama adalah 5 m, pada kedua ujung tali utama diikatkan jangkar atau pemberat dari batu dan tali pelampung tanda yang disesuaikan dengan kedalaman daerah operasi, dalam hal ini dipersiapkan tali pelampung dengan panjang 20 m dan 50 m (Gambar 15).


(42)

Tabel 5. Rancangan percobaan yang diterapkan dalam penelitian bubu di desa Kertajaya, Palabuanratu 16 Agustus – 31 September 2011.

Jenis bubu Bubu standar Bubu pintu

samping

Bubu pintu

atas

Jenis umpan

Ikan tembang

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

Kanikil

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

Tabel 6. Rancangan percobaan per trip (ulangan) untuk setiap jenis bubu dan umpan dalam mengetahui hasil tangkapan.

Dari rancangan di atas diketahui bahwa dalam setiap masing-masing bubu (Bubu standar, bubu pintu samping dan bubu pintu atas) diberikan 2 Jenis umpan (Ikan tembang dan Kanikil) yaitu S (Ikan), S (Kanikil), PS (Ikan), PS (Kanikil), PA (Ikan), dan PA (Kanikil) yang dilakukan percobaan atau operasi sebanyak 24 kali trip (ulangan).

Penempatan umpan pada jenis bubu ditentukan dengan urutan ganjil dan genap nomor jenis bubu, pada jenis bubu dengan kode bubu ganjil maka digunakan jenis umpan ikan, sedangkan jenis bubu dengan kode angka genap digunakan jenis umpan kanikil.

Pemasangan umpan pada bubu dilakukan dengan cara, yaitu pada jenis umpan ikan, badan ikan ditusukkan pada besi yang khusus untuk pemasangan umpan yang berada di tengah-tengah bagian dalam bubu, digunakan sebanyak tiga

Ekor Gram Ekor Gram Ekor Gram

1 2 … 24 1 2 …. 24 Kanikil

Jenis umpan Trip

Ikan Tembang

Jenis bubu


(43)

sampai lima ekor tergantung dengan ukuran ikan dan untuk umpan kanikil relatif sama digunakan sebanyak tiga sampai lima ekor. Urutan penempatan bubu yang dirangkaikan pada tali utama, ditempatkan pada posisinya dengan cara random, (pengundian ) hal ini dilakukan untuk memberikan peluang yang sama pada alat tangkap dalam memberikan hasil tangkapan karena secara umum yang berkaitan dengan posisi penempatan sebuah alat tangkap mempunyai unsur ketidakpastian dalam memperoleh sebuah data . Menurut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006) informasi parsial yang diperoleh dari sebuah data mengandung unsur ketidakpastian, untuk mengimbangi ketidakpastian tersebut diperlukan pemahaman pengacakan atau random dalam menjelaskan respon dari perlakuan yang dibangkitkan oleh percobaanya. Kemudian hasil dari pengundian diambil satu persatu dan ditempatkan sesuai urutan angka nomor urut mulai dari nomor 1 hingga 18. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Urutan dan penempatan bubu pada tali utama

No. Urut Kode Bubu Jenis Umpan 1 PS6 Kanikil

2 PS5 Ikan

3 PS1 Ikan

4 PA2 Kanikil

5 S2 Kanikil

6 S4 Kanikil

7 PS3 Ikan

8 S6 Kanikil

9 PA6 Kanikil

10 S3 Ikan

11 PS2 Kanikil

12 PS4 Kanikil

13 PA5 Ikan

14 PA4 Kanikil

15 S1 Ikan

16 PA3 Ikan

17 S5 Ikan

18 PA1 Ikan

Keterangan: S = Jenis bubu standar;

PS = Jenis bubu modifikasi pintu samping; PA = jenis bubu modifikasi pintu atas.


(44)

Gambar 15 Rangkaian bubu saat operasi

3.3.1 Metode pengumpulan data dan pengoperasian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data utama dan data tambahan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan observasi langsung dalam pengoperasian bubu lipat standar dan modifikasi. Data sekunder diperoleh dari nelayan, pengumpul lobster, serta pustaka lainnya.

Pengoperasian alat tangkap bubu lipat dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu :

1) Persiapan yang meliputi pemeriksaan perahu penangkapan, kondisi mesin, bahan bakar, alat tangkap, dokumentasi dan alat-alat yang digunakan untuk mengukur dan menyimpan hasil tangkapan. Persiapan mulai dilakukan pada pukul 15.30.

2) Perjalanan ke daerah penangkapan yang dilakukan di perairan pesisir pada kedalaman perairan antara 5-12 meter. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

3) Pengoperasian alat tangkap yang terdiri atas pemasangan umpan pada masing bubu dan penurunan bubu lipat yang dipasang secara longline dilakukan pada sore hari kurang lebih pukul 17.00-18.00 dimulai dari pelampung tanda pertama, tali pemberat, pemberat dan satu-persatu bubu


(45)

lipat diturunkan dan bagian terakhir pelampung tanda kedua (setting), perendaman bubu lipat selama ± 12 jam, yaitu mulai sore hari hingga keesokan pagi (soaking), pengangkatan alat tangkap bubu lipat penelitian dilakukan pada pagi hari kurang lebih antara pukul 06.00-07.30 dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda pertama, alat tangkap satu-persatu hingga pelampung tanda kedua.

4) Penanganan hasi tangkapan dimulai dengan mengeluarkan hasil tangkapan dari alat tangkap bubu lipat, pengukuran hasil tangkapan, yaitu jumlah (ekor) lobster per bubu, berat (gram) lobster per ekor, panjang karapas lobster, dan dilakukan pengukuran yang sama terhadap hasil tangkapan lain (Gambar 14).

Gambar 16 Pengukuran (a) panjang karapas, (b) panjang total, (c) panjang mantel, dan (d) lebar karapas hasil tangkapan

3.4 Analisis data

Sesuai dengan rancangan percobaan yang diterapkan, metode analisis data dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor. Sebagai faktor adalah desain bubu dan jenis umpan. Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diolah adalah jumlah (ekor). Data berat

(a) (b)


(46)

(gram) dan panjang karapas (mm) dikelompokkan dalam selang kelas panjang karapas (mm) dan selang berat (gram).

Menurut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006) percobaan faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari dua faktor atau lebih. Model linier aditif dari rancangan ini secara umum (misal komposisi perlakuan disusun oleh taraf-taraf faktor A dan faktor B) adalah sebagai berikut :

Y = µ +αi + βj + (αβ)ij+ εijk

dimana: Y nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan

ulangan ke k, (µ,αi, βj) merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama

faktor A dan pengaruh utama faktor B, (αβij) merupakan komponen interaksi dari

faktor A dan faktor B sedangkan εijk merupakan pengaruh acak yang menyebar

normal (0,�2).

Tabel 8 Struktur data dibuat sebagai berikut

Keterangan

Y1 = pengamatan pada perlakuan ke- 1 ulangan ke-j Yi = pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-1 Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke- j; dan Y.. = total pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke- j

Ulangan U1 U2 Total (Yi)

B1 1 Y111 Y121 Y1

2 Y112 Y122

… …. …

24 Y1124 Y1224

total (Yij) Y11. Y12.

B2 1 Y211 Y221 Y2

2 Y212 Y222

… … …

24 Y2124 Y2224

total (Yij) Y21. Y22.

B3 1 Y311 Y321 Y3

2 Y312 Y322

… .. …

24 Y3124 Y3224

total (Yij) Y31. Y32.


(47)

Data hasil tangkapan diuji dengan menggunakan dua metode, yaitu statistik parametrik dan nonparametrik. Metode Parametrik yaitu Uji F pada analisis ragam. Uji F atau ANOVA akan berlaku jika data tersebut menyebar normal atau homogenitasnya (Steel dan Torrie, 1989). Metode nonparametrik yaitu metode selain uji F pada analisis ragam yang dilakukan apabila data tidak menyebar normal (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Uji normalitasnya diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov menggunakan aplikasi statistik MINITAB dan untuk melihat perbedaan hasil dari perlakuan digunakan aplikasi statistik SAS 9.1 dan MINITAB14. Asumsi pokok dalam analisis ragam tidak terpenuhi maka dapat diatasi melalui transformasi data (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Dalam penelitian ini data hasil tangkapan lobster dalam jumlah (ekor) dari uji normalitas tidak menyebar normal disebabkan banyak data bernilai nol dan telah dilakukan transformasi data namun tetap tidak menyebar normal sehingga tidak dapat dilakukan penarikan asumsi. Oleh karena itu harus menggunakan metode non parametrik, yaitu Uji Kruskal-Wallis. Uji Kruskal-Wallis digunakan karena dalam penelitian ini menggunakan RAL.

Dalam uji Kruskal –Wallis, menurut Daniel (1990) penghitungannya diperoleh melalui rumus :

H = 1

�2 [∑

ᴿ2

� �+1 2 4 ]

dengan :

ri = banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i N= jumlah pengamatan

ᴿ = jumlah peringkat (rank) dari perlakuan ke-i dan

�2 = 1

�−1 [

2� �+1 2 4 ]

Rij adalah peringkat dari pengamatan pada perlakuan ke-I ulangan ke-J.

Jika ada ties, statistik uji perlu dikoreksi sehingga Kruskal-Wallis terkoreksi menjadi Hc = �/1− /(�2 − �)


(48)

Dari perhitungan melalui rumus-rumus di atas, kemudian dilakukan kajian hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut:

Pengaruh utama faktor a (desain Bubu) ;

H0 ; 1 = ……=αa = 0 ( perlakuan desain bubu tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster Pengaruh utama faktor b (umpan) ;

H0 ; 1 = ……=βa = 0 ( perlakuan jenis umpan tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster

Pengaruh sederhana (interaksi) faktor a (desain bubu) dengan faktor b (umpan) H0 : 11 = 12 =⋯= ( )ab = 0 (Interaksi perlakuan desain bubu

dengan umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster. Kaidah keputusan: Jika H >χ2 ,� −1 maka tolak Ho, selainnya terima Ho, nilai χ2 pada table Chi-Square dengan taraf nyata atau nilai α,

disini digunakan nilai α = 0,05.

Untuk jumlah hasil tangkapan spiny lobster faktor A (desain bubu), Jika H> X2 ,� −1 maka tolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa perlakuan desain

bubu memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster. Akan tetapi Jika H< X2 ,� −1 maka terima Ho, sehingga disimpulkan bahwa bahwa perlakuan desain bubu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster.

Untuk jumlah hasil tangkapan spiny lobster faktor b (umpan), Jika H> X2 ,� −1 maka tolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa perlakuan jenis umpan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster. Akan tetapi Jika H< X2 ,� −1 maka terima Ho, sehingga disimpulkan bahwa bahwa perlakuan jenis umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster.

Untuk jumlah hasil tangkapan spiny lobster dari interaksi faktor a (bubu lipat) dan faktor b (umpan), Jika H> X2 ,� −1 maka tolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa Interaksi perlakuan desain bubu dengan umpan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster.


(49)

Akan tetapi Jika H< X2 ,� −1 maka terima Ho, sehingga disimpulkan bahwa bahwa Interaksi perlakuan desain bubu dengan umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan spiny lobster.

Data hasil tangkapan total (dalam satuan ekor), yaitu data hasil tangkapan lobster dengan hasil tangkapan samping (by-catch) banyak bernilai nol. Oleh karena itu dari uji normalitas data tidak menyebar normal sehingga dilakukan transformasi data akar kuadrat (Y + ½)1/2, dengan Y adalah nilai yang ditransformasi data. Pada hasil transformasi data dilakukan uji normalitas kembali dan data menyebar normal sehingga dapat dilakukan penarikan asumsi.

Dalam analisis data apabila data menyebar normal maka dilakukan analisis ragam atau anova. Sidik ragam yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9

Tabel 9 Sidik ragam terhadap data yang menyebar normal

Keterangan

A = perlakuan 1 dan B = perlakuan 2 r = ulangan, SK = sumber keragaman

db = derajat bebas, JKT = Jumlah kuadrat total JKS = Jumlah kuadrat sisa

JKA = Jumlah kuadrat perlakuan faktor A; JKB = Jumlah kuadrat tengah perlakuan faktor B; KTA = Jumlah kuadrat tengah perlakuan faktor A; KTB = Jumlah kuadrat tengah perlakuan faktor B.

Langkah- Langkah Perhitungannya

FK = Faktor koreksi adalah FK = � 2

JKT = Jumlah kuadrat total adalah JKT = ∑∑∑ Yijk 2

- FK

JKA =Jumlah kuadrat faktor A adalah JKA = ∑ Yi..2

/br – FK JKB = Jumlah kuadrat faktor B adalah JKB = ∑ Yj..2/ar – FK

Sumber Keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat (JK) (KT) F hitung

Faktor A (Desain bubu) a-1 JKA KTA KTA/KTS

Faktor B (Jenis umpan) b-1 JKB KTB KTB/KTS

Interaksi AxB (a-1) (b-1) JKAB KTAB

Sisa ab(r-1) JKS KTS


(50)

JKAB = Jumlah kuadrat interaksi faktor A dan B adalah JKAB = JKP- JKA- JKB

Dimana : JKP = ∑∑ Yij. 2

/ r – FK

JKG = Jumlah kuadrat galat adalah JKG = JKT – JKP

Dari perhitungan melalui rumus-rumus diatas, kemudian dilakukan kajian hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut :

Pengaruh utama faktor a (desain bubu) ;

H0 ; 1 = …= αa = 0 ( perlakuan desain bubu tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap jumlah hasil tangkapan total Pengaruh utama faktor b (umpan) ;

H0 ; 1 = ……=βa = 0 ( perlakuan jenis umpan tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap jumlah hasil tangkapan total

Pengaruh sederhana (interaksi) faktor a (desain bubu) dengan faktor b (umpan) H0

: 11 = 12 =⋯= ( )ab = 0 (Interaksi perlakuan desain bubu dengan

umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan total.


(51)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi

Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak di antara 6o 57’ - 7o 25’ Lintang Selatan dan 106o 49’

- 107o 00’ Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.161 km2 atau 11,21 % dari luas Jawa Barat atau 3,01 % dari luas pulau Jawa, dengan batas-batas wilayah:

฀ Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bogor; ฀ Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia;

฀ Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudra Indonesia;

฀ Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Wilayah Kabupaten Sukabumi yang terletak sekitar 160 km dari arah Jakarta meliputi areal seluas 420.000 ha yang terbentang mulai dari ketinggian 0 - 2.958 mdpl. Pegunungan dan dataran tinggi mendominasi hampir seluruh kabupaten ini. Dataran rendah ada di pesisir selatan, mulai dari Teluk Ciletuh sampai muara sungai Cikaso dan Cimandiri. Wilayah Kabupaten Sukabumi sampai akhir tahun 2009 meliputi 47 kecamatan, 363 desa, 3.010 RW dan 12.565 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.341.409 jiwa. Saat ini ibukota Kabupaten Sukabumi berada di Kecamatan Pelabuhanratu (BPS Sukabumi, 2010).

Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi tahun 2004 hingga tahun 2008 terus mengalami peningkatan. Rasio jenis kelamin sebesar 101 yang berarti bahwa dalam 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk di Kabupaten sukabumi mencapai 590,45 orang per m2 (Tabel 10).

Tabel 10 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 – 2008

Tahun Jumlah penduduk (orang) Rasio jenis kelamin

Kepadatan penduduk (orang per km2) Laki-laki Perempuan Jumlah

2004 1.135.889 1.120.755 2.256.644 101,35 546,67 2005 1.156.871 1.143.773 2.300.644 101,15 557,33 2006 1.178.005 1.167.454 2.345.459 100,90 568,18 2007 1.199.698 1.192.038 2.391.736 100,64 579,39 2008 1.221. 177 1.216.218 2.437.395 100,41 590,45 Sumber: BPS Kab. Sukabumi 2009.


(52)

4.1.1 Nelayan

Nelayan yang ada di Kabupaten Sukabumi terdiri dari dua tipe nelayan, yaitu tipe nelayan pemilik dan nelayan buruh. Apabila dilihat sejak tahun 2006 hingga 2009, jumlah nelayan yang ada berfluktuatif, namun tidak terlalu jauh berubah. Data perubahan jumlah nelayan tersebut tersaji dalam Tabel 11 berikut.

Tabel 11 Jumlah nelayan perikanan tangkap tahun 2006 - 2009 di Kabupaten Sukabumi

Tahun Nelayan (orang) Jumlah (orang)

Nelayan buruh Nelayan Pemilik

2006 10.951 1.350 12.301

2007 10.745 1.603 12.348

2008 10.761 1.639 12.400

2009 10.568 1.743 12.311

Sumber: Statistik Bidang Perikanan Tangkap Kab. Sukabumi 2009.

4.1.2 Armada penangkapan

Armada penangkapan ikan di wilayah Perairan Kabupaten Sukabumi dapat dikelompokkan menjadi perahu tanpa motor, perahu motor tempel, dan kapal motor. Sejalan dengan modernisasi armada penangkapan, sejak tahun 2006 perahu tanpa motor mengalami penurunan jumlah armada, sedangkan perahu motor tempel maupun kapal motor mengalami peningkatan, seperti tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah armada penangkapan ikan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 - 2009

Tahun Armada (unit) Jumlah

(unit) Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor

2006 332 785 233 1.350

2007 278 960 365 1.603

2008 290 975 374 1.639

2009 224 975 376 1.575

Sumber: Statistik Bidang Perikanan Tangkap Kab. Sukabumi 2010.

4.1.3 Alat tangkap

Secara umum alat tangkap yang ada di Kabupaten Sukabumi meliputi kelompok pukat kantong, pukat tarik, jaring angkat, pancing dan lain-lain. Berdasarkan data statistik Kabupaten Sukabumi tahun 2009, alat tangkap yang


(53)

beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Sukabumi sebanyak 1.951 unit. Secara rinci komposisi alat tangkap di Kabupaten Sukabumi bisa dilihat pada Table 13.

Tabel 13 Alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Sukabumi tahun 2009

No Kelompok Alat Tangkap Jenis Alat Tangkap Jumlah (unit)

1 Pukat Kantong Payang 150

Dogol 24

2 Jaring Insang Jaring Insang Hanyut 905

Jaring Insang Lingkar 9

Jaring Insang Tetap 106

3 Jaring Angkat Bagan Perahu/Rakit 154

Bagan Tancap 54

4 Pancing Rawai Tuna 350

Pancing Tonda 100

Pancing Ulur 84

5 Lainnya Gau, Tombak, Lain-lain 15

Jumlah 1.951

Sumber: DKP Kab. Sukabumi 2009.

4.1.4 Produksi perikanan

Produksi perikanan tangkap yang di Kabupaten Sukabumi berfluktuatif, mengalami penurunan dan peningkatan tapi nilai produksi penangkapannya terus meningkat semenjak tahun 2007 – 2009, walaupun pada tahun 2006 ke tahun 2007 sempat mengalami penurunan. Perkembangan volume dan nilai produuksi tersebut bisa dilihat pada tabel 14.

Tabel 14 Perkembangan volume dan nilai produksi ikan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 - 2009

Tahun Volume penangkapan ikan (Ton) Nilai Penangkapan (.1.000)

2006 10.035,90 52.494.782,00

2007 8.655,82 46.442.802,00

2008 7.379,20 47.460.706,00

2009 7.878,20 56.155.022,00

Sumber: Statistik Bidang Perikanan Tangkap Kab. Sukabumi 2009.

4.2 Keadaan Umum PPN Pelabuhanratu

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN) Pelabuhanratu terletak di Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Secara geografis PPN Pelabuhanratu terletak pada 06º59'47,156" Lintang Selatan dan


(54)

106º32’61,884" Bujur Timur. Daerah ini merupakan daerah teluk pesisir selatan Kabupaten Sukabumi yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Kecamatan Palabuhanratu merupakan ibukota Kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 10.287,91 ha, dengan batas wilayah sebagai berikut (BPS Kabupaten Sukabumi, 2009):

฀ Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cikidang;

฀ Sebelah Selatan berbatasan denganKecamatan Samudra Hindia; ฀ Sebelah Timurberbatasan denganKecamatan Bantargadung; ฀ Sebelah Barat berbatasan denganKecamatan Cikakak.

4.2.1 Nelayan

Sebagian besar nelayan yang ada di PPN Pelabuhanratu merupakan penduduk asli daerah tersebut. Sisanya adalah nelayan pendatang yang berasal dari luar daerah seperti Cirebon, Cilacap, Indramayu dan lain-lain. Berasal dari luar pulau Jawa seperti dari Sumatera dan Sulawesi. Dari lima tahun terakhir 2006 - 2010 jumlah nelayan yang yang ada di PPN Pelabuhanratu terus meningkat, dengan jumlah 3,498 pada tahun 2006 dan 4,474 pada tahun 2010, seperti tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah nelayan PPN Pelabuhanratu tahun 2006 - 2010

Tahun Jumlah Nelayan (orang)

2006 3.498

2007 3.936

2008 4.363

2009 4.453

2010 4.474

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2011.

Berikut adalah jumlah rumah tangga nelayan dan buruh yang aktif menangkap ikan di teluk Pelabuhan ratu. Nelayan ini berasal dari rumah tangga nelayan yang berada di kecamatan sepanjang teluk Pelabuhanratu. Nelayan lokal yang berada pada PPN Pelabuhanratu berasal dari rumah tangga nelayan dari kcamatan yang berada di sekitar teluk Pelabuhanratu (Tabel 16). Daerah-daerah tersebut juga aktif sebagai darah-daerah pantai perikanan tangkap (Tabel 17).


(55)

Tabel 16 Jumlah rumah tangga perikanan (nelayan dan buruh)

No Kecamatan Jumlah RTP/Nelayan/ Buruh (Org)

Perahu Tanpa Motor (Org)

Motor Tempel (Org)

1 Palabuhanratu 4.064 50 458

2 Cisolok 2.216 35 242

3 Cikakak - - -

4 Simpenan 1.49 105 96

5 Ciemas 1.854 100 186

6 Ciracap 2.39 - 312

7 Surade 386 - 55

8 Cibitung 87 87 -

9 Tegalbuleud 108 108 -

Jumlah 12.595 485 1349

Sumber: Laporan Kegiatan Perikanan Tangkap di PPN Pelabuhanratu, 2010.

Tabel 17 Desa-desa pantai kegiatan penangkapan ikan pada kawasan perikanan tangkap

No Kecamatan Desa-desa pantai pusat kegiatan Perikanan Tangkap

1 Palabuhanratu Palabuhanratu

2 Cisolok Cikahuripan dan Pasirbaru

3 Cikakak tidak ada

4 Simpenan Loji, Kertajaya

5 Ciemas Ciwaru, Mandrajaya

6 Ciracap Gunungbatu, Pangumbahan

7 Surade Pasir Ipis

8 Cibitung Cibitung

9 Tegalbuleud Buni Asih, Tegal Buleud Sumber: Laporan Kegiatan Perikanan Tangkap di PPN Pelabuhanratu, 2010

4.2.2 Armada penangkapan

Armada penangkapan ikan di wilayah perairan Kabupaten Sukabumi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu perahu tanpa motor, kapal motor, dan motor temple. Sejalan dengan modernisasi armada penangkapan, sejak tahun 2006 perahu tanpa motor mengalami penurunan jumlah armada dan bahkan ditinggalkan, sedangkan perahu motor tempel maupun kapal motor mengalami peningkatan, seperti tersaji pada Tabel 18.


(56)

Tabel 18 Jumlah armada penangkapan ikan PPN Pelabuhanratu tahun 2005 - 2009

Tahun Armada (unit) Jumlah

(unit) Motor Tempel Kapal Motor

2005 428 248 676

2006 511 287 798

2007 531 321 852

2008 416 230 646

2009 364 394 758

Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010.

4.2.3 Alat tangkap

Alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu cukup beragam. Alat tangkap yang paling dominan digunakan yaitu payang, pancing ulur dan bagan. Hampir semua alat tangkap yang beroperasi mengalami fluktuasi jumlah, namun hal tersebut tidak terjadi pada alat tangkap pancing tonda. Alat tangkap pancing tonda memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan tiap tahunnya. Perkembangan alat tangkap tersebut tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19 Perkembangan alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2006 - 2010

Tahun Alat Tangkap (unit)

PYG PU PL PT JR TN GN BGN RW PS LL

2006 166 255 25 20 46 31 94 263 7 2 34 2007 159 414 - 29 101 33 135 267 27 9 155 2008 45 254 - 40 35 30 50 200 7 3 110 2009 121 170 - 65 110 25 38 23 - 8 33 2010 54 129 - 112 34 22 22 65 2 4 47 Sumber: Sari, 2011.

Keterangan: PYG = Payang, PU = Pancing Ulur, PL = Pancing Layur, PT = Pancing Tonda, JR = Jaring Rampus, TN = Trammelnet, GN = Gillnet, BGN = Bagan, RW = Rawai, PS = Purse seine, LL = Long Line.

4.2.4 Produksi perikanan

NilaiProduksi hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu mengalami penurunan secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 nilai produksi 10.720.734.920,00. Jumlah ini menurun 27,19% menjadi 7.805.769.900,00 pada tahun 2010. Secara rinci data tersebut diperlihatkan pada Tabel 20 berikut.


(57)

Tabel 20 Nilai produksi hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu tahun 2006 - 2010

Tahun Jumlah Produksi () 2006 10.720.734.920

2007 11.654.357.704 2008 6.320.706.025 2009 6.963.664.250 2010 7.805.769.900

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2011.

Jenis komoditas perikanan tangkap yang didaratkan di PPN Pelabuhan ratu sangat lah dominant, mulai dari komuditas dari perairan demersal, pelagis, hingga perairan karang. Komoditas hasil tangkapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21 berikut.

Tabel 212 Produksi perikanan tangkap khusus di laut per jenis ikan pada tahun, 2008

No. Nama Jenis Ikan Produksi (Ton) Harga/ Kg Nilai Produksi (000)

1 2 3 4 5

1 Manyung 2,23 5.500.00 12.265.00 2 Cendro 0,67 5.500.00 3.685.00 3 Ikan sebelah 5,75 10.000.00 57.500.00 4 Pisang-pisang 3 10.000.00 30.000.00 5 Selar 38,65 2.000.00 77.300.00 6 Kuwe 239,79 15.000.00 3.596.850.00 7 Layang 175,89 6.500.00 1.143.285.00 8 Sunglir 3,83 7.000.00 26.810.00 9 Tetengek 6,92 7.500.00 51.900.00 10 Bawal Hitam 38,65 16.000.00 618.400.00 11 Jangilus 239,79 21.000.00 5.035.590.00 12 Kakap putih 0 20.000.00 - 13 Golok-golok 0,97 5.500.00 5.335.00 14 Selanget 0,68 6.000.00 4.080.00 15 Lemuru 0,78 1.500.00 1.170.00 16 Japuh 0 1.500.00 - 17 Tembang 1.284,87 1.000.00 1.284.870.00 18 Lamadang 4,09 6.000.00 24.540.00 19 Teri 158,52 20.000.00 3.170.400.00 20 Gerot-gerot 2,25 4.500.00 10.125.00 21 Layaran 23,41 11.000.00 257.510.00 22 Setuhuk hitam 40,8 15.000.00 612.000.00 23 Setuhuk loreng 12,99 15.000.00 194.850.00 24 Ikan pedang 42,11 11.000.00 463.210.00 25 Kapas-kapas 0,24 7.500.00 1.800.00 26 Pepetek 650,5 1.000.00 650.500.00 27 Bambangan 60,38 15.000.00 905.700.00 28 Sawangi/ Mata besat 50,69 8.000.00 405.520.00


(1)

Lampiran 5 (Lanjutan)

Kruskal-Wallis Test: lobsterekor versus interaksi

Kruskal-Wallis Test on lobsterekor

interaksi N Median Ave Rank Z ikanpa 24 0.000000000 64.0 -1.10 ikanps 24 0.000000000 67.3 -0.68 ikans 24 0.000000000 84.6 1.56 kanikilpa 24 0.000000000 66.7 -0.75 kanikilps 24 0.000000000 70.0 -0.33 kanikils 24 0.000000000 82.5 1.29 Overall 144 72.5

H = 5.34 DF = 5 P = 0.375

H = 10.93 DF = 5 P = 0.053 (adjusted for ties)

H = 10,93 < 11,0705 =

χ

α2

dan P-

Value = 0,053 > α = 0,05, berarti tolak

H

0

= bubu dan umpan tidak memiliki interaksi yang berpengaruh nyata dalam

hasil tangkapan lobster. Rangking rata-rata dari yang terbesar hingga paling kecil

S Ikan = 84,6, S Kanikil = 82,5,

PS Kanikil =70,0 PS Ikan = 67,3, PA kanikil = 66,7, dan PA Ikan = 64,0,

Lampiran 5 ( Lanjutan)


(2)

Lampiran 6 Rangkaian bubu saat operasi

Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Pemasangan Umpan Ikan Tembang Pemasangan Umpan Kanikil

Sumber : Dokumentasi penelitian Sumber : Dokumentasi penelitian

Persiapan Operasi Penelitian (Perahu sebagai sarana angkut dan transportasi)

Sumber : Dokumentasi penelitian


(3)

Lampiran 7 (Lanjutan)

Menuju Lokasi Penangkapan

Pemasangan alat tangkap (setting)

(Fishing ground)

Sumber : Dokumentasi penelitian

Sumber : Dokumentasi penelitian

Pengangkatan alat tangkap (hauling)

Penanganan Hasil Tangkapan

Sumber : Dokumentasi penelitian Sumber : Dokumentasi penelitian


(4)

Lampiran 8 Foto Hasil tangkapan Spiny lobster dan Hasil tangkapan sampingan

Nama lokal : Udang Barong Nama lokal : Udang Barong Nama Indonesia : Lobster Hijau Pasir Nama Indonesia : Lobster Mutiara Nama Inggris : Scalloped Spiny Lobster Nama Inggris : Ornate Rock Lobster

Nama Latin : Panulirus homarus Nama Latin : Panulirus ornatus Sumber Foto : Dokumentasi penelitian Sumber Foto : Dokumentasi Penelitian

Nama lokal : Udang Barong Nama lokal : Rajungan Macan Nama Indonesia : Lobster Hijau Pasir Nama Indonesia : Rajungan Nama Inggris : Painted Rock Lobster Nama Inggris : Crucifix Crab Nama Latin : Panulirus versicolor Nama Latin : Charybdis feriatus Sumber Foto : Dokumentasi penelitian Sumber Foto : Dokumentasi Penelitian


(5)

Lampiran 8 (Lanjutan)

Nama lokal : Rajungan kacan g Nama lokal : Kerapu balong Nama Indonesia : Lobster Hijau Pasir Nama Indonesia: Kerapu lumpur Nama Inggris : box Creb Nama Inggris : Orange-spotted grou NamaLatin : Charybdis Lucifera Nama Latin : Epinephelus coioides Sumber Foto : Dokumentasi penelitian Sumber Foto : Dokumentasi Penelitian

Nama lokal : Rajungan Batu Nama Lokal : Rajungan belang titik tiga Nama Indonesia : Rajungan Nama Indonesia : Rajungan

Nama Inggris : Ridged Swimming Crab Nama Inggris : Blood-spotted swimming crab Nama Latin : Charybis natator Nama Latin : Charybdis feriatus

Sumber Foto : Dokumentasi penelitian Sumber Foto : Dokumentasi Penelitian

Nama lokal : Kepiting kepal Nama Lokal : Cumi Batok Nama Indonesia : Rajungan Nama Indonesia : Sotong

Nama Inggris : Spotted box Crab Nama Inggris : Cuttle fish Nama Latin : Calappa philargius Nama Latin : Sepia Sp


(6)

81

TRIP 23

Set : 16.50 – 17.20/27 September 2011

Haul : 09.50 – 10.08/28 September 2011 Lobster 2 bubu

No Jenis

Bubu Umpan Lobster By-cath Total S Kanikil 1 bubu

Jenis ekor gram Jenis ekor gram ekor gram

1 S Kanikil Panulirus homarus 1 80 1 80 Total 1 bibi

Panulirus versicolor 1 80 1 80 S Kanikil 1 bubu

Total 2 160 1 160

TRIP 24 Set : 16.55 – 17.25/28 September 2011 Haul : 6.55 – 7.14/29 September 2011 Lobster 2 bubu

No Jenis

Bubu Umpan Lobster By-cath Total PA Ikan 1 bubu

Jenis ekor gram Jenis ekor gram ekor gram S Ikan 1 bubu

1 PA Ikan Panulirus homarus 2 140 2 140 Total 2

S Ikan Panulirus homarus 1 60 Sepia sp. 2 150 2 210 PA Ikan 1 bubu