Udang barong memiliki dua buah antena. Antena pertama lebih kokoh dan lebih panjang dari antena kedua, serta ditutupi duri. Antena pertama ini berfungsi
sebagai alat perlindungan. Hal ini terlihat ketika spiny lobster memberikan reaksi terhadap ancaman, yaitu dengan menyilangkan kedua antena pertama tersebut.
Antena yang kedua berukuran lebih pendek, tidak berduri, bercabang dan lebih halus. Antena kedua berfungsi sebagai indera perasa yang cukup peka terhadap
rangsangan suara, cahaya dan bau. Apabila spiny lobster merasakan adanya rangsangan, maka antena kedua akan bergerak seperti bergetar Herrnkind 1980
diacu dalam Prasetyanti 2001. Udang barong dapat diketahui dari pola pewarnaan tubuh, ukuran dan
bentuk kepala. Selain itu, pola-pola duri di kepala, dapat juga dijadikan sebagai tanda spesifik dari setiap jenis spiny lobster Adnyanawati 1994. Gambar 2
menyajikan perbandingan morfologi kepala di antar Panulirus homarus dan Panulirus versicolor.
Sumber : Linnaeus
1758
Gambar 2 Bagian Kepala Panulirus homarus a dan Panulirus versicolor b
Pada kepala Panulirus homarus terdapat empat duri yang berukuran sama besar dan terpisah oleh sejumlah spinula kecil yang teratur, sedangkan pada
kepala Panulirus versicolor terdapat empat duri dimana dua duri yang di depan berukuran lebih besar dari dua duri yang ada di belakangnya. Perbedaan lain di
antara kedua lobster ini adalah ukuran tanduk atau frontal horn. Tanduk pada P. homarus berukuran kecil, tidak tumbuh ke depan melewati mata, sedangkan pada
P. versicolor berukuran besar, tumbuh memanjang ke depan melewati mata.
Jenis udang barong yang paling banyak di perairan Indonesia menurut
Subani 1971 diacu dalam Budiharjo 1981 adalah Panulirus versicolor namun
jenis udang barong yang paling banyak di perairan Palabuhanratu adalah P.
homarus atau lobster hijau pasir Pitrianingsih 2002. P. homarus biasanya hidup
bergerombol dan menempati perairan dangkal pada kedalaman belasan meter.
2.1.2 Daur hidup dan habitat spiny lobster
Daur hidup spiny lobster dapat dibagi menjadi 5 fase utama, yaitu fase dewasa, telur, phyllosoma tahap larva, puerulus tahap post- larva dan juvenil
Rimmer dan Phillips 1979 diacu dalam Prasetyanti 2001. Saat mendekati usia dewasa, banyak spiny lobster yang bermigrasi dari daerah perawatan nursery
ground menuju habitat batu karang rock di perairan yang lebih dalam untuk mencari tempat bereproduksi Phillips dan Kittaka 2000. Spiny lobster betina
akan membawa telur yang telah dibuahi selama kira-kira 20 hari. Telur-telur tersebut kemudian menetas; larva spiny lobster disebut phyllosoma. Larva ini
menyukai cahaya dan hidup bergerombol di dekat permukaan air. Setelah itu, larva phyllosoma akan tumbuh dan berubah menjadi puerulus. Lama fase
puerulus diperkirakan 10-14 hari dan mencapai ukuran panjang total 5-7 cm. Kemudian puerulus akan tumbuh menyerupai spiny lobster dewasa, yaitu aktif
berenang dan terkadang terbawa arus laut menuju daerah pembesaran, seperti padang rumput laut weed bed di perairan dangkal.
Udang barong atau spiny lobster memiliki habitat yang berbeda di setiap jenisnya. P. homarus hidup di perairan dangkal hingga kedalaman beberapa
belas meter dan tinggal dalam lubang bebatuan rock. Jenis lobster ini banyak ditemukan di perairan selatan dan barat Jawa BaratBanten, selatan Jawa Tengah
dan Jawa Timur, perairan timur Flores, perairan utara Timor, perairan Sulawesi dan pantai barat Sumatera. P. penicillatus atau lobster batu ditemukan di dalam
dan luar terumbu karang coral reefs, yaitu di lokasi yang mengalami hempasan ombak yang keras. Biasanya lobster jenis ini hidup di daerah batu-batuan rock
di luar perairan karang George 1974 diacu dalam Cobb dan Philips 1980 diacu dalam Adyanawati 1994. P. ornatus atau lobster mutiara hidup di perairan
berarus kuat pada kedalaman 5-20 m Batia 1974 diacu dalam Adyanawati 1994
dan P. versicolor atau lobster hijau hidup diantara karang rock pada kedalaman beberapa meter Adnynawati,1994. Jenis lobster lain, yaitu P. longipes atau
lobster bunga hidup di tempat yang terlindung dan perairannya oseanik, biasanya ditemukan di perairan pada kedalaman 1-16 m hingga lebih dari 130 m.
2.1.3 Tingkah laku dan cara mencari makan
Udang barong bergerak dengan cara merangkak. Udang barong yang sedang merangkak, ketika berhadapan dengan predator, akan segera mundur
dengan cepat mengandalkan kekuatan otot-otot abdomennya. Udang barong dapat dikatakan tidak pandai untuk berenang walaupun memiliki kaki renang
Subani 1978. Indera penglihatan udang barong secara langsung tidak begitu berperan untuk pergerakannya; bagian tubuh yang paling berperan adalah
antenanya Herrnkind 1980. Udang barong termasuk hewan nokturnal, yaitu keluar dari tempat
persembunyiannya untuk aktif mencari makan pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari. Aktivitas hewan nokturnal yang paling tinggi terjadi pada
permulaan atau menjelang malam hari. Aktivitas spiny lobster mulai berhenti ketika matahari terbit Cobb dan Wang 1985. Udang barong dapat memakan
hewan-hewan laut lain, baik yang masih hidup maupun sudah mati. Makanannya adalah udang-udang kecil, bulu babi, dan berbagai hewan lunak atau moluska
lainnya. Udang barong menggunakan kukunya yang lancip untuk mencengkeram mangsanya sebelum dimakan Subani 1978. Menurut Cobb dan Wang 1985,
bau makanan dapat mudah direspon oleh indera perasa spiny lobster dengan karena arus air yang membawa bau makanan sehingga spiny lobster tertarik untuk
bergerak ke arah sumber bau tersebut. Ketika akan memasuki perangkap, tingkah laku lobster diawali dengan
mengelilingi permukaan terluar dari sebuah perangkap. Spiny lobster akan menggunakan antena yang kedua untuk merasakan bau dari umpan. Setelah itu
spiny lobster akan memutari perangkap, kemudian mencari pintu masuk kedalam perangkap Anwar 2001.
2.2 Unit Penangkapan Bubu 2.2.1 Alat tangkap
Menurut Subani dan Barus 1989, bubu termasuk ke dalam kelompok perangkap Traps. Selanjutnya dikatakannya juga bahwa bubu memiliki bentuk
yang bervariasi, hampir setiap daerah perikanan mempunyai model sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti sangkar cages, silinder cylindrical, gendang,
segitiga memanjang kubus atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain- lain. Secara umum konstruksi bubu terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk.
Ada bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat menyimpan umpan. Bentuk bubu tidak ada
keseragaman diantara nelayan di suatu daerah dengan daerah lainnya, termasuk bentuk bubu di suatu negara dengan negara lainnya Martasuganda 2003.
Bubu merupakan alat tangkap yang dirancang untuk menangkap berbagai jenis ikan dan krustasea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan.
Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Bubu dilengkapi dengan tali
pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung Subani dan Barus 1989. Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu
Nedelec and Prado 1990. Menurut Meenakumari and Rajan 1985 diacu dalam Zulkarnain 2011.
Bubu yang terbuat dari bambu memiliki konstruksi yang lemah dan rapuh. Bubu yang terbuat dari bahan kayu cukup berat dan tidak disukai. Bubu yang terbuat
dari bahan logam, yaitu batang baja ringan dan mata jaring dari kawat baja yang dilas serta dilindungi secara utuh oleh lapisan plastik telah memberikan kinerja
yang efisien dan memiliki daya tahan pakai lebih lama. Desain bubu secara fisik berpengaruh terhadap efektivitas dan selektivitas
alat tangkap yang memperhatikan karakteristik target species atau ikan yang akan ditangkap Zulkarnain et al. 2011. Untuk mengembangkan dan meningkatkan
efisiensi usaha penangkapan dengan menggunakan bubu, bubu lipat collapsible fish pots, Gambar 3 von Brandt 1984 diacu dalam Purnama 2006. Bubu lipat
telah umum digunakan secara komersial oleh nelayan Jepang untuk menangkap