Tinjauan Studi Terdahulu Mengenai Usahatani dan Tataniaga

12 tertentu mampu menghasilkan padi lebih tinggi atau menyamai padi UNGNAS.

2.1.2 Gambaran Umum Varietas Bondoyudo

Berdasarkan Balai Penelitian Tanaman Padi, dapat diketahui bahwa varietas Bondoyudo adalah varietas unggulan nasional yang diperkenalkan pada tahun 2000. Varietas Bondoyudo merupakan padi yang agak tahan terhadap wereng coklat biotipe tiga serta tahan terhadap tungro. Wilayah Bogor adalah daerah endemik tungro, sehingga pemerintah Bogor sangat menganjurkan untuk menggunakan varietas Bondoyudo dalam usahatani karena padi Bondoyudo sesuai untuk lahan endemik tungro wereng coklat. Bondoyudo merupakan padi dengan asal persilangan IR72IR48525-100-1-2. Varietas padi ini juga baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 meter di atas permukaan laut. Padi Bondoyudo memiliki produktivitas padi Bondoyudo adalah 8,40 ton per hektar untuk gabah kering giling, bobot 1000 butir adalah 21,3 gram dengan umur tanam selama 115 hari serta tinggi tanaman antara 97,3 centimeter hingga 116 centimeter. Bentuk tanaman padi Bondoyudo adalah tegak, warna kaki hijau, warna batang putih, warna daun telinga hijau, warna gabah kuning bersih dan bentuk gabah ramping. Pemasaran beras Bondoyudo diharapkan tidak menjadi kendala bagi petani padi Bondoyudo karena nasi Bondoyudo memiliki tekstur yang pulen dan kadar amilosa sedang.

2.2 Tinjauan Studi Terdahulu Mengenai Usahatani dan Tataniaga

Damayanti 2007 menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi padi sawah per hektar adalah sebesar 6.492,12 kilogram dalam bentuk gabah kering panen GKP dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 1.300,00 per kilogram. Maka total penerimaan petani per musim tanam adalah sebesar Rp 8.439.756,00 per hektar. Total biaya usahatani padi sawah yang dikeluarkan petani adalah sebesar Rp 4.843.447,00 per hektar yang terdiri dari total biaya tunai sebesar Rp 2.914.072,00 atau 60,17 persen dari total biaya usahatani. Sedangkan total biaya 13 tidak tunai diperhitungkan sebesar Rp 1.929.375,00 atau 39,83 persen dari total biaya usahatani. Pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 5.525.684,00 per hektar, pendapatan atas biaya total sebesar Rp 3.596.309,00 per hektar dan pendapata biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 2.876.596,00 per hektar. Nilai RC rasio atas biaya tunai adalah sebesar 2,89 yaitu setiap satu satuan biaya tunai akan memberikan 2,89 satuan penerimaan dan nilai RC rasio atas biaya total sebesar 1,74 adalah setiap pengeluaran satu satuan biaya total akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,74 satuan penerimaan. Dari uji F terhadap data yang dikumpulkan diperoleh nilai F-hitung sebesar 15,52 dimana nilai tersebut nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama faktor-faktor produksi yang digunakan berkorelasi terhadap produksi padi sawah. Sedangkan pupuk SP-36, KCL, ZA, serta pestisida tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah. Nilai koefisien determinasi untuk pendugaan R 2 – adjusted didapat sebesar 73,9 persen yang berarti 73,9 persen dari variabel produksi dapat dijelaskan oleh variasi variabel yang menerangkan yaitu luas lahan, pupuk urea, SP-36, KCL, ZA, pestisida dan tenaga kerja. Sedangkan 26,1 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor-faktor lain di luar model diduga berpengaruh terhadap padi sawah adalah tingkat kesuburan tanah, pengaruh iklim, serta intensitas serangan hama dan penyakit. Nilai kombinasi optimal dan penggunaan faktor produksi luas lahan sebesar 1,38 hektar, pupuk urea sebesar 345 kilogram, pupuk SP-36 sebesar 207 kilogram, pupuk ZA sebesar 138 kilogram, pestisida sebesar 2.175,97 milliliter dan tenaga kerja sebanyak 169,16 HOK. Ridwan 2008 yang menganalisis usahatani padi ramah lingkungan dan padi anorganik menunjukkan bahwa sistem usahatani padi ramah lingkungan yang dilakukan di kelurahan Situgede memiliki produktivitas lebih rendah daripada produktivitas padi anorganik. Usahatani padi ramah lingkungan dan padi anorganik sama-sama menguntungkan. Berdasarkan analisis RC rasio untuk usahatani padi ramah lingkungan diperoleh bahwa biaya tunai sebesar 2,392 untuk petani pemilik. Sedangkan untuk petani pemilik usahatani padi anorganik hanya sebesar 2,275. Artinya dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan petani pemilik usahatani padi ramah lingkungan dapat menghasilkan keuntungan lebih besar 14 dibandingkan dengan petani pemilik usahatani padi anorganik. Untuk petani penggarap nilai RC rasio atas biaya tunai dan nilai RC rasio atas biaya total usahatani padi ramah lingkungan lebih besar dibanding usahatani padi anorganik. Artinya usahatani padi ramah lingkungan lebih layak daripada usahatani anorganik. Untuk petani pemilik, nilai BC rasio sebesar 1,132 artinya perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik memberikan tambahan manfaat yang lebih besar daripada tambahan biaya. Untuk petani penggarap nilai BC rasio sebesar 0,801 artinya perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani penggarap memberikan tambahan manfaat yang lebih kecil dari pada tambahan biaya sehingga perubahan usahatani yang dilakukan oleh petani penggarap akan memberikan kerugian apabila dilakukan. Irawati 2006 yang menganalisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani padi program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu PTT dan non program PTT. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diperoleh bahwa pendapatan petani atas biaya tunai dan total pada non program PTT lebih tinggi dibandingkan dengan petani program PTT. Rata-rata pendapatan atas biaya tunai dan total pada petani program PTT masing-masing sebesar Rp 6.849.493,58 dan Rp 4.606.644,07. Sedangkan rata-rata pendapatan atas biaya tunai dan total pada petani non program PTT masing-masing sebesar Rp 7.683.263,14 dan Rp 4.743.219,76. Nilai RC rasio atas biaya tunai dan total untuk petani program PTT masing-masing sebesar 2,66 dan 1,72. Sedangkan untuk petani non program PTT nilai RC rasio atas biaya tunai dan total masing-masing sebesar 2,97 dan 1,69. Artinya bahwa biaya tunai petani program PTT lebih kecil daripada biaya petani non program PTT. Sedangkan biaya total petani program PTT lebih tinggi daripada petani non program PTT. Petani program PTT pada kondisi optimal pendapatan total yang diterima lebih besar dibandingkan petani non program, masing-masing sebesar Rp 35.807.791,02 dan Rp 32.709.864,52. Dilihat dari nilai RC rasio pada saat kondisi optimal, petani program juga lebih menguntungkan dari petani non program PTT dengan nilai masing-masing 2,49 dan 2,01. 15 Kombinasi kondisi optimal pada usahatani padi petani program PTT dapat tercapai apabila penggunaan lahan ditambah dari 1,15 hektar menjadi 1,21 hektar, benih ditingkatkan menjadi 716,36 kilogram dari 22,16 kilogram, penggunaan pupuk urea ditingkatkan dari 206,76 kilogram menjadi 1.671,43 kilogram. Pupuk SP-36 ditingkatkan dari 120,27 kilogram menjadi 303,59 kilogram. Pupuk NPK ditingkatkan penggunaannya dari 31,89 kilogram menjadi 56,91 kilogram. Obat padat dikurangi penggunaannya menjadi 0,002 kilogram dari 1,09 kilogram. Obat cair dan tenaga kerja penggunaannya ditingkatkan masing-masing menjadi 11,03 liter dan 490,39 jam kerja. Kombinasi optimal pada usahatani padi non program PTT dapat tercapai apabila penggunaan lahan ditingkatkan menjadi 1,17 hektar menjadi 2,43 hektar. Penggunaan benih ditingkatkan menjadi 696,95 kilogram dari 19,87 kilogram, penggunaan pupuk urea ditingkatkan dari 24,19 kilogram menjadi 617,60 kilogram. Pupuk SP-36 dianggap sudah efisien sebesar 13,35 kilogram. Pupuk NPK ditingkatkan penggunaannya dari 277,16 kilogram menjadi 1.279,29 kilogram. Obat padat dikurangi penggunaannya menjadi 2,86 kilogram. Obat cair dan tenaga kerja penggunaannya ditingkatkan masing-masing menjadi 7,65 liter dan 1.051,58 jam kerja. Gandhi 2008 menganalisis usahatani dan tataniaga padi varietas unggul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya rasio RC atas biaya tunai maupun biaya total petani pemilik 2,42 dan 1,19 dari petani penggarap 1,07 dan 1,08. Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio RC atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan karena rasio RC lebih besar dari satu. Hasil analisis tataniaga yang dilakukan adalah 1 saluran tataniaga yang terbentuk dialokasi penelitian adalah saluran tataniaga beras pandan wangi murni dan beras pandan wangi campuran. Jumlah saluran tataniaga beras pandan wangi campuran 10 saluran lebih banyak dibanding dengan yang murni 6 saluran. Analisis margin tataniaga, biaya dan keuntungan tidak dilakukan pada saluran- saluran yang menjual beras pandan wangi campuran. 16 Lembaga-lembaga yang terkait dalam penyaluran beras dari tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Sebaran nilai margin tataniaga beras pandan wangi murni jenis super dan kepala adalah 46,48 hingga 58,04 persen. Besar biaya dan keuntungan untuk beras jenis super adalah 13,12 dan 43,41 persen. Riyanto 2005 menganalisis pendapatan usahatani dan pemasaran padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani kelompok I luas lahan 0,34 hektar, II luas lahan 0,34 hektar, III luas lahan 0,34 hektar bernilai positip dan lebih besar dari pendapatan biaya atas biaya totalnya. Nilai RC rasio pada petani kelompok I adalah 1,81 atas biaya tunai artinya dan 1,34 atas biaya total dan nilai tersebut lebih rendah dari nilai RC rasio petani II dan petani III. Usahatani pada kelompok I lebih menguntungkan dibandingkan dengan kelompok II dan III. Pola pemasaran yang terbentuk terdapat dua pola yaitu pola pemasaran I dan pola pemasaran II. Nilai margin pada pola pemasaran I adalah nilai terbesar yaitu 582,50. Begitu juga dengan rasio antara biaya dan keuntungan. Hal ini membuktikan bahwa saluran pemasaran I lebih efisien daripada pola pemasaran II. Pada salah satu kecamatan yaitu kecamatan Salem, pola pemasaran yang paling banyak digunakan adalah pola pemasaran II yaitu sebesar 63,33 persen dari total petani. Namun margin dan efisiensi pemasaran pola I memiliki nilai yang lebih besar. Hal ini berarti bahwa pola pemasaran I paling efisien bila dibandingkan dengan pola pemasaran II. Marhaeni 2007 menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani pisang Musa paradisiaca. Berdasarkan hasil regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan usahatani pisang Y adalah pendidikan petani responden X1, pengalaman usahatani petani X2, luas lahan total yang dikuasai oleh petani X3, luas lahan yang ditanami pisang X4, tenaga kerja yang dominan X6. Dengan menggunakan metode Ordinary Least Square OLS didapatkan hasil regresi secara keseluruhan, yaitu Y = -119088 + 195977 X1 – 2881 X2 – 19,5 X3 + 1949 X4 + 2,23 X5 + 0,0470 X6. Berdasarkan pendugaan model linier berganda 17 diperoleh koefisien determinasi R-Sq sebesar 70,6 persen variabel. Hal ini menunjukkan bahwa 70,6 persen variabel bebas dapat menjelaskan variabel tak bebas dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Fator-faktor seperti luas lahan pisang, tenaga kerja pisang dan pendapatan non pisang dominan berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani pisang pada tingkat kepercayaan 90 persen. Adapun factor pendidikan, pengalaman dalam usahatani dan luas lahan total yang dikuasai oleh petani tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani pisang berdasarkan hasil analisis pendapatan, usahatani pisang ini menguntungkan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah kesamaan komoditas dan alat analisis. Sedangkan perbedaannya adalah lokasi dan varietas yang diteliti. Berdasarkan penelitian terdahulu di atas, dapat dilihat bahwa usahatani padi relatif menguntungkan yang ditunjukkan dengan nilai RC rasio satu sampai dua serta analisis tataniaga pada penelitian terdahulu lebih efisien pada saluran yang pendek. Maka melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah usahatani padi pada Gapoktan Tani Bersatu lebih menguntungkan daripada usahatani padi pada penelitian terdahulu. Selain itu, untuk mengetahui apakah analisis tataniaga pada Gapoktan Tani Bersatu memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan pada analisis tataniaga pada penelitian terdahulu. 18 Secara ringkas studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian Nama Penulis Tahun Judul Metode Analisis Riyanto 2005 Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Padi Kasus: Tujuh Desa, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. RC rasio, margin tataniaga Ira Novita Irawati 2006 Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non Program PTT Kasus: Penerapan Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya TerpaduPTT di Kabupaten Karawang Analisi Pendapatan, RC rasio, analisis fungsi produksi, Prima Gandhi 2007 Analisis Usahatani dan Tataniaga padi Varietas Unggul Studi Kasus Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabu, Cianjur. RC rasio, margin tataniaga, farmer’s share Hesti Ratih Marhaeni 2007 Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani pisang Musa paradisiaca kasus Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor, Jawa Barat Analisis efisiensi usahatani dan regresi linier Fitria Silvi Damayanti 2008 Analisis Pendapatan Dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Sawah Kasus: Di Desa Purwoadi, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung RC rasio dan Uji F Ridwan 2008 Analisis Usahatani Padi Ramah Lingkungan Dan Padi Anorganik Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat. Kota Bogor RC rasio

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis