Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada

mengandung makna kemandirian, kebanggaan dan nasionalisme memberikan kepuasan non instrumental bagi masyarakat meskipun harus dibayar mahal dengan tingginya harga gula. Ketiga aktor yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan produsen gula kemudian membentuk bangunan segitiga penghasil rente. Tullock 1993 menggunakan istilah iron triangle dimana masing-masing pihak yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan kelompok kepentingan swasta mengejar kepentingan pribadi atas biaya masyarakat konsumen yang abai ignorance terhadap proses pembuatan dan implementasi kebijakan.

7.2. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada

Setelah menemukan penjelasan terhadap existing policy pergulaan nasional, langkah berikutnya adalah membuka kotak hitam politik kebijakan gula dengan mengevaluasi hubungan antar variabel ekonomi politik. Untuk mengetahui hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan analisis regresi antara variabel bobot politik produsen, sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik produsen, dengan variabel tingkat swasembada setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data. Tabel 23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik Notasi Definisi I0 Lag I1 P-value Lag WP Bobot politik produsen -3.345 1 -4.806 0.0034 1 WG Bobot politik pemerintah -3.346 1 -4.799 0.0035 1 SSR Tingkat swasembada gula -1.254 5 -3.717 0.0407 4 RENT Rente ekonomi miliar rp -0.983 -14.843 0.0000 GDPC GDP per kapita rp -2.751 1 -4.076 0.0039 AREA Luas areal kebun tebu ha -2.140 -4.189 0.0136 Hasil pengujian menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller ADF menunjukkan bahwa data ekonomi politik bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I1, sebagaimana tersaji pada tabel 23. Oleh karena data time series sudah stasioner pada beda pertama dan analisis ditujukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka pendek maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama sebagaimana disajikan pada persamaan berikut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu tingkat swasembada menurunkan pendapatan nasional seperti ditunjukkan oleh tanda parameter a Y 0 dan perluasan areal mempengaruhi peningkatan swasembada a A 0. Penjelasannya adalah perluasan areal tebu menyebabkan produksi gula naik sehingga meningkatkan derajat swasembada. Namun demikian semakin banyak lahan dan sumberdaya lain yang digunakan untuk memproduksi gula telah menimbulkan biaya efisiensi seperti ditunjukkan oleh gambar 11. Hasil estimasi lengkap disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.018689 0.024309 -0.768787 0.4495 ∆WP -0.902073 0.668878 -1.348635 0.1900 ∆WG -1.017010 0.697521 -1.458035 0.1578 ∆AREA 1.53E-06 8.51E-07 1.792135 0.0857 ∆GDPC -8.64E-09 7.15E-08 -0.120883 0.9048 R-squared 0.223568 Adjusted R-squared 0.094163 Sementara itu aktivitas lobi justru berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada sebagaimana terlihat dari nilai parameter a P 0. Hal ini sesuai perkiraan karena aktivitas lobi dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pribadi produsen, terutama produsen yang mendapat fasilitas IT. Gambar berikut menunjukkan bahwa pencapaian swasembada sangat ditentukan oleh perilaku permintaan terhadap gula impor bukan oleh perilaku produksi, terutama pada periode pengaturan impor setelah keluarnya SK Menperindag 5272004. Keluarnya regulasi tersebut mampu mendorong peningkatan produksi gula namun pada saat bersamaan impor gula yang dilakukan pemegang IP dan IT juga meningkat sehingga tingkat swasembada relatif tetap. Hasil yang diluar perkiraan adalah hubungan antara bobot politik pemerintah dengan pencapaian swasembada juga bertanda negatif a G 0 . Dari penelusuran literatur tidak ditemukan interpretasi ekonomi politik yang memuaskan mengenai hal ini namun ia menunjukkan bahwa pemerintah merupakan kelompok yang menerima manfaat dari kebijakan pembatasan impor terutama berupa pajak impor dan rente yang diterima oleh pabrik gula serta IP dan IT gula BUMN. Namun demikian hasil estimasi yang diperoleh kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif kecil R 2 = 22.3 dan sebagian besar parameter yang dihasilkan hanya signifikan pada = 20 . Gambar 32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula Tahun 1980-2009 Sebagai perbandingan, estimasi parameter hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan dengan menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.284765 1.933354 -0.664527 0.5124 WP 0.820094 0.735472 1.115058 0.2754 WG 0.810258 0.754078 1.074502 0.2929 AREA 2.36E-06 4.78E-07 4.939638 0.0000 GDPC -1.44E-07 1.77E-08 -8.121928 0.0000 R-squared 0.739003 Adjusted R-squared 0.697243 Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu a Y 0 dan a A 0. Akan tetapi aktivitas lobi kelompok produsen berhubungan positif dengan pencapaian swasembada, hal yang tidak sesuai dengan tujuan lobi mengejar kepentingan pribadi mendapatkan rente ekonomi. Namun demikian hasil yang diperoleh ini memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif besar R 2 = 73.9 dan sebagian parameter signifikan pada = 5 . 7.3. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Untuk mengkonfirmasi tujuan aktivitas lobi kelompok produsen maka dilakukan regresi antara variabel bobot politik dengan besarnya rente ekonomi berdasarkan persamaan berikut. Hasil regresi dengan metode OLS disajikan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa aktivitas lobi berhubungan positif dengan rente ekonomi dan signifikan pada = 5 . Tabel 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 262.1849 643.8655 0.407204 0.6875 ∆WP 37324.62 17716.13 2.106816 0.0458 ∆WG 40382.60 18474.77 2.185825 0.0388 ∆AREA -0.001080 0.022550 -0.047915 0.9622 ∆GDPC 0.000379 0.001893 0.200181 0.8430 R-squared 0.180037 Adjusted R-squared 0.043377 Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. . Hasil regresi ditampilkan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -140800.1 38745.08 -3.634013 0.0013 WP 51068.35 14739.12 3.464816 0.0019 WG 54343.58 15111.99 3.596057 0.0014 AREA -0.006385 0.009578 -0.666588 0.5111 GDPC 0.001694 0.000355 4.766401 0.0001 R-squared 0.704818 Adjusted R-squared 0.657589 Tabel tersebut menunjukkan bahwa aktivitas lobi produsen telah meningkatkan rente ekonomi baik menggunakan data beda pertama ataupun data level b P dan signifikan secara statistik, serta parameter b Y 0. Hal ini sejalan dengan temuan Lopez dan Pagoulatos 1994 bahwa aktivitas lobi yang dilakukan melalui kontribusi dana kampanye di Amerika Political Action Commettees, PAC berhubungan positif dengan hilangnya surplus konsumen yang merupakan transfer bagi kelompok produsen producers’ economic rent. Sementara itu luas areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, b A 0. Hal ini mengindikasikan bahwa rente ekonomi selain dipengaruhi oleh aktivitas produksi, ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka produksi gula domestik naik, namun permintaan impor independen terhadap peningkatan produksi. Model persamaan tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas areal dengan rente ekonomi.

7.4. Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada