Studi Empiris Ekonomi Gula

Sementara itu penelitian Beghin et al., 2003 di Korea menunjukkan bahwa pengurangan tarif impor dapat mendistorsi konsumsi dan mengurangi tingkat swasembada. Penetapan target produksi dengan mempertimbangkan ketidakpastian pasar dunia dan membolehkan impor untuk memenuhi kekurangan suplai memberikan hasil yang lebih efisien dari pada pendekatan target swasembada dengan menghambat impor. Jika pada kondisi aktual dead weight loss yang terjadi adalah 6152 10 6 Won, maka dengan pendekatan target swasembada dead weight loss adalah 2540 10 6 Won dan dengan pendekatan target produksi besarnya kehilangan adalah 2371 10 6 Won.

2.4.3. Studi Empiris Ekonomi Gula

Seperti halnya komoditi pangan lainnya, industri gula Indonesia secara historis dilingkupi oleh banyak regulasi yang protektif, namun demikian pada tahun 1998, menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, industri dan perdagangan gula mengalami deregulasi dan liberalisasi demi memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pinjaman Dana Moneter International IMF. Namun seiring dengan berkembangnya demokratisasi, industri dan perdagangan gula kembali mengalami regulasi re-regulated. Pemberlakuan kuota impor musiman seasonal import quota, pengaturan linsensi impor, pembatasan perdagangan antar pulau, pemberlakuan tarif spesifik, dan kenaikan harga minimum pembelian tebu telah mengakibatkan harga gula yang dibayar konsumen dan berbagai industri hilir yang menggunakan gula tebu semakin mahal. Harga gula di dalam negeri mencapai dua kali lipat harga gula dunia atau sama dengan harga pada rezim Soeharto dimana Bulog memiliki hak monopoli terhadap impor, pengadaan domestik dan tata niaga gula dalam negeri Stapleton, 2006. Ketika peran IMF pada perekonomian Indonesia semakin berkurang dan kemudian dihapuskan setelah periode krisis maka terdapat banyak kebijakan perdagangan gula dihasilkan untuk memproteksi pabrik gula dalam negeri yang sebagian besar milik negara dari kompetisi dengan gula impor. Lebih jauh lagi regulasi yang cukup banyak tersebut kemudian diketahui tumpang tindih, kontradiktif, dan sangat protektif Stapleton, 2006. Menurut Fane and Warr 2007 tingginya tingkat proteksi gula seperti halnya beras adalah untuk menstabilkan harga domestik pada tingkat yang “dapat diterima” dan melindungi pabrik gula milik negara tersebut. Sejak tahun 1970an proteksi yang diberikan mencapai 100 persen yang membuat harga gula domestik adalah dua kali lipat dari harga gula dunia. Namun demikian ditengah banyaknya regulasi yang sangat protektif tersebut produksi gula dalam negeri hanya meningkat relatif kecil dibanding dengan tingginya harga yang dibayar konsumen. Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula mengindikasikan besarnya potensi memburu rente rent seeking, karena petani tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya rendah, dan masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan pabrik gula. Selama periode 1987-2006, pabrik gula di Jawa memperoleh rendemen yang berkisar antara 5.88-8.66 dengan rata-rata 7.10, sementara di luar Jawa antara 5.97-9.77 dengan rata-rata 8.66. Dalam waktu yang bersamaan, pabrik di Jawa memberikan produktivitas gula hablur yang berkisar antara 3.48-7.35 tonha dengan rata-rata 5.66 tonha, sedangkan di Luar Jawa antara 2.56-8.18 tonha dengan rata-rata 6.39 tonha P3GI, 2007 dan 2008. Rendahnya rendemen dan produktivitas gula hablur ini mempengaruhi penerimaan petani yang melakukan kerja sama bagi hasil dengan pabrik gula dengan perbandingan 66 : 34 lihat tabel 3. Tabel 3. Jumlah Pabrik, Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2006 Uraian Jawa Luar Jawa Indonesia Jumlah PG 47 12 59 Luas Areal ha 248 398 148 884 397 282 Total Tebu ton 19 918 300 10 325 660 30 242 960 Rendemen 7.31 8.25 7.78 Produksi Gula ton 1 455 800 852 169 2 307 969 Sumber: P3GI 2007 Faktor kedua adalah ketersediaan bahan baku yang terbatas sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas maksimum. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku berkurang sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimal. Dalam 10 tahun terakhir, dari 59 PG di Jawa, 17 PG memiliki total hari giling di bawah standar nasional yaitu 150 hari gilingtahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2.000 ton tebuhari, 28 pabrik tidak memenuhi standar tersebut Susila dan Sinaga, 2005a. Menurut Arifin 2008 pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen, yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau kurang. Kenaikan rendemen 1 persen saja akan memberikan potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton, yang tentu saja dapat berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia. Kapasitas sumberdaya pabrik dan sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar. Strategi tersebut dapat ditempuh dengan “metode konvensional” dalam bidang budidaya berupa perbaikan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, dan sebagainya. Dalam aspek panen dan pasca panen, untuk meningkatkan produktivitas beberapa hal bisa dilakukan, misalnya penentuan awal giling yang tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang yang lebih dapat diandalkan, sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok. Apabila kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih.

2.4.4. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian