Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada

berhubungan positif dengan hilangnya surplus konsumen yang merupakan transfer bagi kelompok produsen producers’ economic rent. Sementara itu luas areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, b A 0. Hal ini mengindikasikan bahwa rente ekonomi selain dipengaruhi oleh aktivitas produksi, ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka produksi gula domestik naik, namun permintaan impor independen terhadap peningkatan produksi. Model persamaan tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas areal dengan rente ekonomi.

7.4. Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada

Untuk menguji konsistensi teori lobi dan tekanan politik seperti diuraikan sebelumnya maka dilakukan regresi antara variabel tingkat swasembada dengan rente ekonomi seperti dinyatakan oleh persamaan berikut. Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.013590 0.018048 -0.752969 0.4585 ∆RENT -2.52E-05 5.23E-06 -4.807013 0.0001 ∆AREA 1.56E-06 6.30E-07 2.481817 0.0201 ∆GDPC 4.38E-09 5.20E-08 0.084276 0.9335 R-squared 0.547421 Adjusted R-squared 0.493112 Tabel 29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.827256 0.107599 7.688298 0.0000 RENT 1.08E-06 8.05E-06 0.133668 0.8947 AREA 2.18E-06 4.70E-07 4.646343 0.0001 GDPC -1.40E-07 2.36E-08 -5.942620 0.0000 R-squared 0.725289 Adjusted R-squared 0.693592 Estimasi menggunakan data beda memberikan implikasi yang konsisten dengan teori lobi yaitu terdapat hubungan negatif antara swasembada dengan besarnya rente ekonomi c P 0. Sementara jika menggunakan data level hasil yang diperoleh menunjukkan arah hubungan yang sebaliknya yaitu terdapat hubungan positif antara besarnya rente dengan tingkat swasembada. Oleh karena itu penggunaan data level pada analisis ini memberikan hasil yang keliru karena tidak sesuai dengan teori lobi dan perburuan rente. Berdasarkan hasil regresi tersebut dibangun hubungan segitiga antara aktivitas lobi, rente ekonomi dan tingkat swasembada seperti disajikan pada Gambar 33. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pressure group model atau lobbying model merupakan alternatif yang memberikan penjelasan konsisten mengenai kebijakan pergulaan nasional. Aktivitas lobi oleh kelompok produsen yang menghasilkan kebijakan protektif berupa tarif dan kuota telah meningkatkan produksi melalui pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai akibat pembatasan kuota impor karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Akibatnya terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi dengan pencapaian tingkat swasembada. Konsekuaensinya adalah terdapat hubungan negatif antara tingkat swasembada dengan besarnya rente ekonomi gula.

7.5. Ikhtisar