Biaya Sosial Perburuan Rente

Tabel 32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun 2003-2009 Tahun Total Rent milyar rupiah Distribusi rente ekonomi DWL Milyar Rupiah Negara 1 Petani 2 PG Swasta Importir 3 2003 5 075 31.96 27.27 13.73 27.03 124.54 2004 3 501 37.02 32.62 20.28 10.08 60.53 2005 7 024 32.13 28.40 14.86 24.60 137.03 2006 4 357 37.48 33.17 16.96 12.39 54.98 2007 13 145 25.29 27.23 12.31 35.16 303.93 2008 5 107 32.23 37.18 17.82 12.79 65.30 2009 10 681 16.96 29.13 16.81 37.12 157.31 Rata-rata 6 984 30.44 30.71 16.11 22.74 129.09 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1 Penjumlahan rente PG BUMN dan penerimaan pajak impor 2 Setengahnya hilang dalam bentuk biaya transaksi 3 Termasuk impor yang dilakukan BUMN IT gula sekitar 10 dari volume Tabel tersebut menunjukkan bahwa negarapemerintahlah yang paling berkepentingan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif tersebut karena ia merupakan penerima rente terbesar 30.44 + 2.27 = 32.7, sementara petani tebu yang harus dilindungi ternyata merupakan kelompok yang menerima rente ekonomi gula paling sedikit 15.4 karena tingginya biaya transaksi. Selain mengakibatkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke importir dan pemerintah, kebijakan tarif dan kuota impor menyebabkan terjadinya kemakmuran yang hilang welfare loss. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kehilangan kemakmuran pasca keluarnya SK Menperindag 6432002 nilainya rata-rata mencapai 129 milyar rupiah per tahun.

8.4. Biaya Sosial Perburuan Rente

Penggunaan segitiga Harberger banyak dikritik karena menghasilkan biaya sosial perburuan rente relatif kecil namun menggunakan metodologi Tullock menghasilkan biaya yang relatif tinggi. Pada penelitian ini segitiga Harberger digunakan sebagai batas bawah dan kehilangan surplus konsumen seperti digunakan Tullock sebagai batas atas biaya sosial perburuan rente seperti dilakukan Lopez dan Pagoulatos 1994. Hasil perhitungan disajikan pada tabel berikut. Tabel 33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun Nilai Konsumsi Gula 1 Biaya sosial rent seeking thp nilai konsumsi ribu rupiah Batas atas 2 Batas bawah 3 2003 11 263 341 863 47.27 1.11 2004 11 027 741 829 32.85 0.55 2005 19 608 116 088 37.22 0.70 2006 18 799 350 463 23.76 0.29 2007 29 030 771 384 45.94 1.05 2008 21 737 282 305 24.09 0.30 2009 34 733 190 885 29.75 0.45 Rata-rata 20 885 684 974 34.41 0.64 Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1 Luas segi empat P m xQ 2 0; 2 Rasio trapisium P m xzP w terhadap segi empat P m xQ 2 0; 3 Rasio segitiga xbz terhadap segi empat P m xQ 2 0. Tabel tersebut memperlihatkan biaya sosial perburuan rente di industri gula Indonesia jika menggunakan Harberger deadweight loss segitiga xbz pada gambar 1 adalah relatif kecil Rp. 129 miliar per tahun, jika dibandingkan dengan nilai konsumsi gula nilainya sekitar 0.64 persen. Sementara itu jika menggunakan metodologi Tullock maka biaya sosial rent seeking tersebut mencapai 34.41 persen dari rata-rata nilai konsumsi gula yang mencapai Rp. 20.9 triliun per tahun. Sebagai perbandingan, penelitian Lopez and Pagoulatos 1994 menemukan besarnya biaya sosial perburuan rente di industri gula Amerika sugar confectionary antara 3.4 persen hingga 20 persen dari nilai konsumsi sementara untuk gula rafinasi angkanya lebih besar lagi yaitu antara 11.32 persen Harberger hingga 56.68 persen TullockPosner. Informasi mengenai aktivitas perburuan rente di industri gula tidak tersedia karena sebagian dari kegiatan tersebut adalah ilegal. Namun dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa aktivitas perburuan rente di industri gula Indonesia dapat berupa penyuapan, 3 kontribusi dana kampanye, 4 korupsi, 5 penyelundupan, 6 pasar gelap, 7 mempekerjakan keluarga pejabat regulator atau bahkan pejabat tersebut jika pensiun, layanan liburan dan trasportasinya, keanggotaan pada kelompok hobi golf atau asosiasi pengusaha, makan malamsiang mewah dan berbagai aktivitas perburuan rente bersifat in-kind dan indirect yang sulit dikuantifikasi. Biaya sosial dari perilaku mencari rente tersebut lebih besar dari manfaat transfer yang diterima produsen, importir dan pemerintah karena adanya kemakmuran yang hilang. Tullock 1993 menyatakan perilaku mencari rente menimbulkan negatif sum game pada situasi pasar politik yang tidak sempurna. Tingginya rente ekonomi berkorelasi negatif dengan pencapaian tingkat swasembada dan ini konsisten dengan hubungan negatif aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada. Implikasinya adalah program swasembada telah menyebabkan tingginya biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Ketika kotak hitam perburuan rente telah dibuka, kesulitan tetap menghadang setiap upaya perbaikan. Alasannya adalah para pemburu rente akan mengerahkan segenap daya dengan melakukan tekanan politik dan lobi untuk mengamankan rente ekonomi yang telah dinikmati rent protection. Pengeluaran untuk mempertahankan rente ini analog dengan kegiatan mendapatkan rente itu 3 Stapleton, T. 2006. 4 Kompas.com, 1252009. Kasus PT RNI: Megawati Disebut Terima Rp. 500 Juta. 5 Kabarbisnis.com, 622010. AMATI Laporkan Direksi 4 Perusahaan Perkebunan Negara ke Kejati Jatim. --------, 522010. APTRI: Kasus Dana Talangan Untuk Belokkan Kasus Bongkar Ratun. --------, 922010. PTPN XI Siap Diaudit Terkait Isu Korupsi Dana Talangan. Kontan Online, 2652009. Kasus Korupsi Penjualan Gula Putih: Ranendra akui talangi duit RNI. 6 Tempointeraktif .com. 25042005. TNI AL Membongkar Penyelundupan 15 Ribu Ton Gula. Kompas.com, 24022009. Polisi Sita 90 Ton Gula Ilegal. 7 Suara Merdeka, 24052010. Industri Disinyalir Edarkan Gula Rafinasi. sendiri karena mereka one-for-one dalam arti biaya sosial yang ditimbulkan Tollison, 1997. Tekanan politik tersebut bukan sekedar untuk menghambat reformasi pergulaan itu sendiri tetapi sekaligus mengalahkan rasionalitas pandangan utilitarian yang mendasari deregulasi industri gula. Para pemburu rente secara intensif melakukan tekanan politik untuk menunjukkan bahwa deregulasi industri gula secara sosial bukan saja tidak bermanfaat, bahkan dapat memperburuk keadaan. Hal ini terlihat dari banyaknya aksi demontrasi dan lobi untuk menolak revisi terhadap SK Menperindag No. 5272004. 8 8.5. Prospek dan Implikasi Swasembada Berdasarkan data historis produksi dan perdagangan gula tahun 1960-2009, swasembada gula Indonesia mencapai tingkat tertinggi 118 persen pada tahun 1963. Namun pasca terjadinya pergolakan politik tahun 1965 produksi dan swasembada gula kemudian menurun. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan Inpres No. 91975 tentang Tebu Rakyat Intesifikasi TRI yang menyebabkan produksi gula meningkat dengan laju 7 persen per tahun sementara impor neto hanya naik dengan laju 2 persen per tahun antara tahun 1965-1984. Hasilnya Indonesia kembali mencapai swasembada gula 100 persen pada tahun 1984-1985. Setelah itu tingkat swasembada terus menurun dan pada tahun 2009 tingkat swasembada hanya mencapai 49.2 persen karena produksi gula 2.5 juta ton sementara impor neto mencapai 2.6 juta ton. 8 Tempo Interaktif, 2442008. Asosiasi Gula Minta Pasar Gula Rafinasi dan Tebu Dibedakan. --------, 13122009. Revisi Tata Niaga Gula Diminta Ditinjau Ulang --------, 21122010. Tolak Gula Rafinasi, APTR Protes Gubernur Jatim Melihat kecenderungan tersebut Presiden Yudhoyono dalam periode 5 tahun kedua pemerintahannya bertekad mewujudkan kembali swasembada gula tahun 2014 sebagaimana tercantum dalam Road Map Swasembada Gula Nasional tahun 2010-2014. Bagi pemerintah, swasembada merupakan syarat perlu bagi terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan Azahari, 2008. Kementrian Pertanian kemudian menargetkan produksi gula tahun 2014 sebanyak 5.7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumahtangga sebesar 3 juta ton dan 2.7 juta ton untuk kebutuhan industri. Hal ini berarti produksi gula harus dinaikkan rata-rata 23 persen per tahun yang berasal dari penambahan luas areal tebu 16 persen dan peningkatan produktivitas on-farm serta perbaikan efisiensi pabrik gula masing-masing 2 persen per tahun. Demi mencapai target tersebut pemerintah melaksanakan Program Revitalisasi Industri Gula yang meliputi revitalisasi sektor on-farm melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas melalui Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu, serta revitalisasi Sumber: FAO diolah Gambar 38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia Tahun 1960-2009 sektor off-farm meliputi rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Tabel berikut menyajikan sasaran produksi gula menuju swasembada tahun 2014. Tabel 34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia Tahun 2014 Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 Areal ha 464 640 572 122 631 846 691 952 766 613 Produksi tebu ton 37 450 000 47 743 581 53 612 133 58 746 725 67 061 705 Produktivitas tonha 80.60 83.45 84.85 84.90 87.48 Rendemen 8.00 8,10 8.20 8.40 8.50 Produksi hablur ton 2 996 000 3 867 230 4 396 195 4 934 725 5 700 000 Produktivitas hablur tonha 6.45 6.76 6.96 7,13 7.44 Sumber: Kementrian Pertanian 2010 Untuk menggiling tebu dari perluasan areal maka pemerintah menggunakan tiga skenario pembangunan pabrik gula yaitu: 1 10 unit pabrik gula baru masing- masing berkapasitas 15 ribu TCD; 2 15 unit dengan kapasitas masing-masing 10 ribu TCD; atau 3 25 unit dengan kapasitas masing-masing 6 ribu TCD. Perluasan dan pembangunan pabrik gula baru tersebut dilakukan di luar Pulau Jawa. Dari sisi ekonomi-teknis, upaya peningkatan produksi gula dengan laju rata- rata 23 persen per tahun merupakan pekerjaan besar dan penuh tantangan, sementara dari sisi ekonomi politik ia merupakan sebuah target yang sangat tidak realistis bukan saja karena tingginya aktivitas perburuan rente yang mengakibatkan swasembada menjadi mahal tapi juga implikasi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, target kembar industri gula yang ingin dicapai pemerintah twin target yaitu swasembada gula pada satu sisi dan menyediakannya dengan harga murah bagi masyarakat pada sisi lain merupakan sasaran yang tidak realistis. Pertama, aktivitas lobi dan tekanan politik terjadi di Pulau Jawa khususnya di Jawa Timur dimana lebih dari 60 persen gula diproduksi. Perluasan areal dan pembangunan pabrik gula baru yang efisien di Luar Jawa tanpa diikuti peningkatan efisiensi produksi di Jawa menyebabkan swasembada berbiaya tinggi. Hal ini dikarenakan penentuan Biaya Pokok Produksi BPP sebagai dasar penetapan HPP gula dilakukan dengan mengacu pada efisiensi usahatani tebu milik petani dan pabrik gula PTPNRNI di Jawa yang umumnya tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka pemerintah menetapkan HPP antara 10 sampai 15 persen lebih tinggi dari BPP tersebut. Akibat selanjutnya harga gula di tingkat produsen dan konsumen pun semakin tinggi. Jika harga gula di tingkat produsen Rp.6974kg dan harga paritas impor Rp. 4963kg diasumsikan tetap selama rentang 5 tahun menuju swasembada tahun 2014 maka biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat untuk mencapai swasembada gula 5.7 juta ton mencapai 44 triliun atau rata-rata 8.8 triliun rupiah per tahun. Kedua, manajemen PTPNPT. RNI, seperti juga produsen kebijakan pada umumnya, lebih mengutamakan perspektif berpikir jangka pendek. Akibatnya revitalisasi pabrik gula di Jawa berjalan sangat lambat terutama pabrik gula dibawah manajemen PTPNRNI pemegang IT. Hal ini dikarenakan pabrik gula pemegang IT tidak memiliki insentif melakukan revitalisasi yang berorientasi jangka panjang karena rente ekonomi terbesar diperoleh dari fasilitas impor yang sifatnya jangka pendek. Upaya restrukturisasi, rekayasa ulang dan revitalisasi untuk meningkatkan efisiensi ini telah disepakati sejak tahun 1998 yang berarti lebih dari 20 tahun, namun perkembangannya sangat lambat. 9 Sementara itu upaya 9 Kompas.com. 2082010. Pergulaan: Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula. perbaikan melalui Kerja Sama Operasi KSO, amalgamasi, penutupan pabrik gula yang tidak efisien mendapat penolakan dari petani, APTRI, buruh pabrik, manajemen internal pabrik gula, bahkan pemerintah daerah. Lebih dari itu rekomendasi Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional yang dibentuk oleh Menteri Pertanian berdasarkan Surat Tugas 134Kp.440AVI2003 untuk menyehatkan dan menyelamatkan industri gula nasional tidak mendapat dukungan dari pemangku kepentingan lain di industri gula termasuk dari kementrian lain Sawit, et al., 2004. Hal ini menunjukkan para pemburu rente terus menghalangi setiap upaya perbaikan dan peningkatan efisiensi di industri gula nasional terutama di PG milik negara. Oleh karena itu hal yang sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum mencanangkan swasembada adalah membuat keputusan politik mengenai penanganan inefisiensi produksi gula di Pulau Jawa yang tidak hanya memiliki dimensi ekonomi politik tinggi tetapi juga memiliki dimensi sosial dan budaya. Ketiga, inefisiensi produksi gula di Jawa menyebabkan ketidakadilan antar wilayah terutama bagi daerah yang tidak memiliki kebun tebu dan pabrik gula karena masyarakatnya harus membeli gula dengan harga mahal dibanding dengan impor langsung dari pasar dunia. Lebih jauh lagi, Sawit 2010 mengatakan persoalan gula sebenarnya adalah persoalan Pulau Jawa karena mayoritas rumahtangga petani tebu 91.4 dan PG BUMN 85.7 yang tidak efisien tersebut berada di Pulau Jawa. Dengan demikian swasembada memiliki implikasi pemberian subsidi dari konsumen di daerah bukan penghasil gula, yang tidak lebih makmur, kepada produsen gula di Pulau Jawa yang tidak efisien dan pabrik gula swasta yang justru relatif efisien. Keempat, persoalan untuk mencapai swasembada gula yang efisien tersebut semakin rumit dengan kehadiran PG rafinasi, industri makanan dan minuman besar serta farmasi yang juga dominan berada di Pulau Jawa. Tingginya desakan pemerintah untuk mendorong industri gula rafinasi menggunakan bahan baku yang berasal dari tebu di dalam negeri dalam rangka mewujudkan swasembada gula, menyebabkan semakin besar tuntutan terhadap lahan yang ketersediaannya semakin terbatas di Pulau Jawa. Sementara itu sebagian besar PG rafinasi dibangun dekat dengan pelabuhan, seperti Banten, Serang, dan Cilacap. Hal tersebut dikarenakan sejak awal strategi pembangunan industri gula refinasi tidak direncanakan untuk terkait dengan sektor pertanian terutama perkebunan tebu dalam negeri tapi justru untuk memudahkan pasokan bahan baku gula mentah yang berasal dari impor Sawit, 2010. Oleh karena itu adalah tidak realistis untuk mewujudkan swasembada ketika industri gula dalam negeri tidak saling terkait. Di satu sisi PG berbasis tebu umumnya menghasilkan GKP melalui proses sulfitasi dengan ICUMSA 137-370 IU sementara PG rafinasi menggunakan bahan baku gula mentah impor dengan ICUMSA 1000-7000 IU. Dari segi biaya produksi, semakin kecil ICUMSA maka biaya untuk menghasilkan gula tersebut semakin mahal. Jika dalam rangka mewujudkan swasembada, PG rafinasi harus menggunakan KGP sebagai bahan baku industrinya maka biaya produksi GKR semakin mahal, namun mengolah langsung tebu menjadi GKR agar diperoleh gula dengan harga lebih murah dihadapkan pada ketersediaan lahan yang tidak memadai karena PG rafinasi umumnya berada di Jawa dimana ketersediaan lahannya sangat terbatas. Dengan demikian program swasembada gula dari aspek ekonomi adalah tidak efisien jika masih bertumpu pada produksi di Pulau Jawa.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan