Problematika Kemiskinan Sosial Ekonomi dalam Novel Laskar Pelangi

commit to user 152 Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness. Dapat disimpulkan bahwa keberpihakan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi berupa komitmen pendidikan terhadap kaum marginal. Kepada siapa sesungguhnya pendidikan berpihak. Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi “anak-anak telantar dipelihara oleh negara” dan kesenjangan dalam pendidikan. Di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marginal.

2. Problematika Kemiskinan Sosial Ekonomi dalam Novel Laskar Pelangi

Problematika kemiskinan dituangkan pengarang dalam novel Laskar Pelangi terwakili oleh tokoh-tokoh novel tersebut, diantaranya bernama Lintang. Lintang adalah anak tertua dari keluarga nelayan miskin yang tak punya perahu. Setiap anak memiliki cita-cita, begitu pula anggota Laskar Pelangi. Salah satu anggota Laskar Pelangi, Lintang bercita-cita ingin bersekolah ke luar negeri, seperti yang sering didorong oleh guru mereka. Tetapi cita-cita Lintang kandas. Bahkan Lintang tidak tamat SMP karena orangtuanya yang nelayan meninggal tepat ketika usia sekolah Lintang tinggal empat bulan lagi. Sungguh ironi, seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hal ini tampak pada sepucuk surat dari Lintang untuk Bu Muslimah berikut. commit to user 153 Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan sekolah. Salamku, Lintang Laskar Pelangi, 2008: 430. Ini kisah klasik tentang anak pintar dari kelurga melarat. Hari ini aku kehilangan teman sebangkuku selama sembilan tahun. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekedar menyambung hidup Laskar Pelangi, 2008: 432-433. Data di atas menceritakan tentang kemiskinan keluarga Lintang yang berdampak pada putusnya sekolah Lintang. Sosial ekonomi ternyata tidak berdampak pada kualitas hidup dan kreativitas dari anggota Laskar Pelangi, hal ini terbukti ketika perguruan Muhammadiyah memenangkan karnaval 17 Agustus saat mereka menampilkan koreografi massal suku Masai dari Afrika dan Mahar sebagai koreografernya. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan sesutu daripada standar baru yang makin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide kreatif, tampil all out, dan Mereka berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil dengan penuh penghayatan, dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi dari pada penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selain daripada menganugerahkan penghargaan daripada penampil seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah” Laskar Pelangi, 2008: 246-247.

3. Kesenjangan Sosial antara Kaum Elite dan Kaum Marginal