Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi

commit to user 136 Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Andrea Hirata memiliki ciri khas yang membedakan dengan sastrawan lain. Ciri khas tersebut antarara lain sebagai berikut. 1. Dibanyak referensi ditemukan keterangan bahwa Andrea memiliki minat terhadap sains dan dunia pendidikan. Novel Laskar Pelangi terdapat banyak kalimat dengan ‘bumbu-bumbu’ ilmiah yang dipadukannya dengan kisah sederhana dan memikat. 2. Tema yang diangkat dalam tetralogi Laskar Pelangi adalah perjuangan kaum marginal memperoleh pendidikan, kekuatan cinta, serta kepercayaan kepada Tuhan yang diungkapkan melalui lirik lagu dan kompilasi puisi. 3. Penceritaan berkisar pada masyarakat marginal di Belitong dan menggambarkan perjuangan kaum marginal mencapai cita-cita.

D. Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi

Karya Andrea Hirata Pendidikan kaum marginal adalah pendidikan sekelompok masyarakat yang dimiskinkan oleh pembangunan yang terdiri dari buruh kasar dengan upah subsisten dari sebuah industri, kalangan petani yang tercekik struktur sosial ekonomi yang didominasi kaum kapitalis. Serta pekerja sektor informal di perkotaan yang keberadaannya selalu mengundang stigmatisasi, apriori dan segenap prasangka dari aparat keamanan. Kaum marginal tertindas bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender dan ras. commit to user 137 Ada dua ciri orang termarginalkan tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Hal ini tampak pada novel Laskar Pelangi, yang mana masyarakat Melayu Belitong mayoritas hanya bekerja sebagai kuli. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. “…aku taku beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami. “Kasihan ayahku…” Maka tak sampai hati aku memandang wajahnya. “Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku menjadi kuli…” “….setiap wajah orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke karamba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga.” Laskar Pelangi, 2008: 2-3. Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa masyarakat Melayu Belitong tidak yakin bahwa dengan pendidikan akan berdampak positif bagi mereka. Bahkan mereka mengantar anak-anaknya mendaftar ke sekolah untuk menghindari celaan aparat desa karena tidak menyekolahkan anaknya dalam upaya memerdekakan anak dari buta huruf. commit to user 138 Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Tampak dalam Novel Laskar Pelangi bahwa sepuluh anak yang dimasukkan oleh orangtuanya di Perguruan Muhammadiyah awalnya kosong, tidak paham bagaimana membaca dan menulis serta berhitung karena keluarga mereka buta huruf. Lambat laun mereka, kesepuluh anak anggota Laskar Pelangi dapat berhitung, membaca dan menulis bahkan diberikan bekal budi pekerti, norma dan demokrasi berkat adanya interaksi dengan pendidik mereka yaitu ibu Muslimah dan pak Harfan. Sebagaimana yang diungkapkan Freire bahwa mengemansipasi mereka yang tertindas berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subjek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis ontological vocation manusia. Dalam konteks Laskar Pelangi di tengah kondisi yang termarginalkan tertindas sepuluh anak Belitong yang mengenyam pendidikan di Perguruan Muhammadiyah berupaya melepaskan diri dari kungkungan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya mereka saat memahami pengetahuan yang disampaikan oleh bu Muslimah maupun pak Harfan sebagai bekal meraih impian mereka. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. “Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentranfer sebuah pelajaran, tetapi juga yang secara pribadi menjadi commit to user 139 sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya….” Laskar Pelangi, 2008: 23. “…Pak Harfan member kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita- cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bias demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama….” Laskar Pelangi, 2008: 24. Kutipan di atas sejalan dengan teori filsafat pendidikan Paulo Freire yang bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Oleh karena itu, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subjek. Di samping itu, Paulo Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Paulo Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” narrative: seorang subjek yang bercerita guru dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan murid-murid. Konteks Laskar Pelangi dalam hal ini tidak berlaku karena konsep dan cara mengajar pendidiknya menekankan pada sisi moralitas, kepemimpinan, demokrasi yang melibatkan siswa sebagai subjeknya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran budi pekerti dan mengajarkan pada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan dan hak-hak asasi__jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadran pribadi. Materi pelajaran budi pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal commit to user 140 yang ada dalam konteks legalitas intitusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.” Laskar Pelangi, 2008: 30-31. Tampak bahwa tugas guru dalam Laskar Pelangi tidak hanya menjalankan proses pendidikan dengan menceritakan realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Guru tidak hanya“mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, tidak terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pola pendidikan tidak hanya bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya dengan demikian pendidikan tidak menjadi kegiatan “menabung”. Konsep pendidikan bercerita dan mengarahkan murid-murid hanya untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya seperti kegiatan “menabung”. Hal tersebut disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas terlihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Mencapai tujuan tersebut diperlukan proses gerakan ganda sebagimana yang telah dilakukan oleh bu Muslimah dan pak Harfan: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan commit to user 141 penindasan itu berlangsung hilang berangsur-angsur. Hal ini muncul karena kesadaran manusia berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan yang berpotensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi juga dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau melalui tempat berkembangnya. Konsep pembelajaran ideal yang ditarapkan oleh bu Muslimah dan pak Harfan dicapai dengan proses pembelajaran memnegun relasi antara pendidik dan peserta didik yang bersifat subjek-subjek, bukan subjek- objek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat bersama- sama peserta didik dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan. Dalam Lasar Pelangi menunjukkan bahwa peran guru sejalan dengan pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi juga memerankan dirinya sebagai pekerja kultural cultural workers. Bu Muslimah dan pak Harfan sadar, pendidikan mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo. Pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, “reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality.” commit to user 142 Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas. Pendapat Freire tersebut tertuang dalam kutipan novel Laskar Pelangi berikut. “Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaikuntuk mendidikmu sendiri ,” kata Bu Mus dengan bujak pada Mahar yang cuek saja “Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apapun kita harus memiliki disiplin. Laskar Pelangi, 2008: 190. Paulo Freire 1985 memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness. 1. Kesadaran Magis Magic Conscousness merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan takdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu “suratan takdir” yang tidak dapat diganggu gugat. Hal ini banyak terungkap dalam novel Laskar Pelangi terkait dengan budaya Melayu Belitong berikut. Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja….” Laskar Pelangi, 2008: 5. Tampak pada kutipan di atas sikap pasrah para orangtua karena keterbatasan ekonomi orangtua mengesampingkan hak anak utuk memperoleh pendidikan, bahkan para orangtua mempunyai kecenderungan memintaa anak bekerja dengan commit to user 143 menyerahkannya pada tauke dan mengesampingkan pendidikan. Mereka beranggapan jadi kuli PN Timah adalah hal terbaik. 2. Kesadaran Naif Naival Consciousness adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan- persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekadar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial. Hal ini tampak jelas dalam Laskar Pelangi bahwa masyarakat merasa bodoh, tebelakang, miskin, dan hanya patut bekerja sebagai buruh tambang, pasar, maupun nelayan. Tidak ada kesadaran dalam masyarakat untuk mengangkat ketertinggalan mereka melalui pendidikan. Bahkan sepuluh anggota Laskar Pelangi diantar orangtuanya ke sekolah karena enggan mendengar ceramah dari petugas kecamatan. 3. Kesadaran Kritis Critical Consciousness adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Di samping itu, ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial. Laskar Pelangi menggambarkan hal demikian yang melontarkan sikap kritis terhadap pendidikan formal yang tidah hanya mengedepankan sertifikat daripada kemampuan nyata dalam bekarya dan meningkatkan kualitas hidup. commit to user 144 Kepala sekolah yang bernama K A Harfan Efendy Noor dan ibu guru N A Muslimah Hafsari yang mempunyai cara pandang jauh kedepan dengan gigih dan terus-terusan mempertahankan sekolah SD Muhamadiyah-Gantong tetap berdiri walau hanya mempunyai 10 orang murid. Dengan alasan bahwa sekolah mereka ini merupakan satu-satunya sekolah yang mengkedepankan budi pekerti walau silabusnya disusun sendiri oleh mereka berdua. 4. Kesadaran Transformatif Transformation Consciousness adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya kesadaran” the conscie of the consciousness. Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformatif akan menjadikan manusia dalam derajat sebagai manusia yang sempurna. Dalam Laskar Pelangi hal tersebut diajarkan sejak dini tentang pandangan dasar moral, demokrasi, hukum keadilan dan hak azazi diterapkan. Dasar moral itulah yang menuntun dan membuat konstruksi imajiner nilai intregritas pribadi dalam konteks islam pada murid-muridnya. Dari sekolah bocor, lapuk dan menyatu dengan kandang hewan itulah budi pekerti diajarkan alami. Tidak seperti kode-kode yang kaku atau formal, semua dipelajari dengan bantuan alam, melalui hutan, laut, bebatuan, semak, buaya, pasir putih bahkan pelangi.

E. Pandangan Dunia Vision du Monde Andrea Hirata