PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK)

(1)

commit to user

PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA

(KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK)

TESIS

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Mencapai Jenjang S2 Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh: SUTRI S 840809032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user

iii


(4)

commit to user PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Sutri

NIM : S840809032

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul DIMENSI PENDIDIKAN

KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA

HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK) adalah betul-betul karya

saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi

dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Juli 2011 Yang Membuat Pernyataan,

Sutri


(5)

commit to user MOTTO

™ Satu titik dalam relativitas waktu masa depan itu adalah saat ini.

(Andrea Hirata)

™ Semangat adalah cikal bakal keberhasilan. Banyak orang kuat gagal karena ragu-

ragu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Sebagian besar orang gagal karena mengabaikan kekuatannya sendiri.

(C. Rajagopalachari)

™ Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia,

tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.

(Mahatma Gandhi)

™ Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian karena

kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan. (Sayyid Ahmad Hasyimi)


(6)

commit to user PERSEMBAHAN

Dengan segenap kerendahan hati, karya kecil ini penulis persembahkan kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tidak pernah berhenti

menyayangi, mendoakan, dan mendukung, semoga berkah Allah senantiasa menaungi dalam setiap langkah kehidupan.

2. Adik-adikku (Lis dan Ian) yang selalu memberi motivasi untuk

menjadi model bagi kalian.

3. Drs. Adyana Sunanda, terimakasih sudah berbagi ilmu dan buku

referensi serta meluangkan waktu untuk berdiskusi.

4. Taufik Agung Laksono, terimakasih untuk doa dan dukungannya.

Semoga langkah ke depan berjalan mudah dan indah.

5. Sahabat-sahabatku Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2009.


(7)

commit to user KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat

dan rabmat-Nya tesis yang berjudul “Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam

Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (Kajian Strukturalisme Genetik)

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, dukungan, maupun doa dan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu hingga terselesainya tesis ini. Penulis ucapkan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur PPs UNS yang telah

memberikan izin penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Bahasa Indonesia yang memberikan izin dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah membimbing

penulis dalam penyusunan tesis mi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Di tengah kesibukannya telah memberikan bimbingan, masukan, dan gagasan demi sempurnanya tesis ini.


(8)

commit to user

5. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan yang berharga kepada penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

6. Bapak dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat dan membekali penulis tentang teori-teori pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia sehingga wawasan penulis semakin luas.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana khususnya Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan semangat dan bertukar pikir sehingga tesis ini dapat diwujudkan.

8. Rekan-rekan dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta terima kasih atas

suguhan wacananya selama ini dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

hingga diwujudkannya tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dan kesempurnaan. Maka dan itu, berbagai saran, masukan, dan kritik yang membangun demi sempurnanya tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga berkat dan rahmat Allah selalu menyertai setiap langkah kita. Amin.

Surakarta, Juli 2011 Penulis


(9)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PERSETUJUAN... .. ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENYATAAN... . iv

MOTTO... . v

PERSEMBAHAN... . vi

KATA PENGANTAR... . vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

ABSTRAK... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KERANGKA TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR... 15

A. Kerangka Teori ... 15

1. Hakikat Pendekatan Strukturalisme Genetik... 15 ix


(10)

commit to user

a. Pengertian Pendekatan Strukturalisme Genetik ... 15

b. Struktur Karya Sastra ... 21

1) Tema ... 24

2) Alur ... 25

3) Tokoh ... 25

4) Latar ... 25

c. Fakta Kemanusiaan ... 26

d. Subjek kolektif/ Subjek Transindividual ... 27

e. Pandangan Dunia ... 29

f. Konsep Pemahaman-Penjelasan dan Keseluruhan- Sebagian... 32

2. Novel ... 36

3. Hakikat Pendidikan Kaum Marginal ... 41

a. Pengertian Pendidikan ... 41

b. Pengertian Kaum Marginal... 47

c. Pengertian Pendidikan Kaum Marginal... 47

B. Penelitian yang Relevan ... 55

C. Kerangka Berpikir ... 60

BAB III METODE PENELITIAN... 61

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 61

B. Bentuk/Strategi Penelitian ... 61

C. Data dan Sumber Data ... 62

D. Teknik Pengumpulan Data... 63


(11)

commit to user

E. Validitas Data... 63

F. Teknik Analisis Data... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Struktur Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata yang Mencerminkan Problematika Tokoh Akibat Hubungan Antartokoh Maupun Lingkungannya ... 68

B. Kehidupan Sosial Andrea Hirata yang Berhubungan dengan Novel Laskar Pelangi... 108

C. Latar Belakang Sejarah atau Peristiwa Sosial Budaya Masyarakat Indosesia yang melahirkan Laskar Pelangi... 112

1. Latar Belakang Penciptaan... 120

2. Karya-karya Andrea Hirata ... 126

3. Ciri khas Karya Andrea Hirata... 128

D. Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata ... 136

1. Kesadaran Magis (Magical Consciousness) ... 142

2. Kesadaran Naif (NaivalConsciousness)... 143

3. Kesadaran Kritis (CriticalConsciousness ... 143

4. Kesadarannya Kesadaran (the Consice of the Consciousness)... 144

E. Pandangan Dunia (Vision du Monde) Andrea Hirata... 144

F. PEMBAHASAN ... 156


(12)

commit to user

BAB V PENUTUP... 161

A. Simpulan... 161

B. Implikasi... 166

C. Saran... 167

DAFTAR PUSTAKA... 169 LAMPIRAN


(13)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Skema 1: Makna dan Hakikat Praxis ... 47

Skema 2: Pendidikan Humanisasi... 49

Skema 3: Kerangka Berpikir... 60

Skema 4: Komponen Analisis Data Model Interaktif ... 66


(14)

commit to user DAFTAR TABEL  

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 61


(15)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jurnal ... 174

Lampiran 2 Biografi ... 178

Lampiran 3 Artikel ... 182

Lampiran 4 Sinopsis ... 211


(16)

commit to user ABSTRAK

Sutri, S 840809032. PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK). Pembimbing I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd, Pembimbing II: Dr. Nugraheni E.W., M. Hum., Surakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mendeskripsikan dan menjelaskan

struktur yang membangun novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang

mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh dan lingkungannya. 2) Mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan sosial pengarang (dimensi

pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel Laskar

Pelangi; 3) Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial masyarakat

(dimensi pendidikan kaum marginal) yang mengkondisikan lahirnya novel Laskar

Pelangi. 4) Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi.

Bentuk Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatan penelitian adalah pendekatan stukturalisme genetik yang menekankan teks sebagai objek kajian. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, klausa, kalimat, wacana

yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi. Sumber data penelitian ini adalah novel

Laskar Pelangi yang diterbitkan oleh penerbit Bentang, Yogyakarta 2008. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah model dialektik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann dan model interaktif.

Hasil Penelitian ini adalah: (1) Struktur yang terjalin dalam novel Laskar

Pelangi memiliki aspek-aspek yang saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. Aspek-aspek struktural tersebut secara padu membangun peristiwa-peristiwa dan makna cerita novel. (2) Kehidupan sosial Andrea Hirata yang berhubungan dengan

novel Laskar Pelangi mencakup latar belakang sejarah atau peristiwa sosial budaya

masyarakat Indonesia yang melahirkan Laskar Pelangi; dimensi pendidikan kaum

marginal ada dua ciri orang termarginalkan (tertindas). Pertama, alienasi dari diri dan lingkungannya. Kedua, self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa.

(3) Pendidikan kaum marginal dalam Laskar Pelangi terdapat pemetaan tipologi

kesadaran manusia dalam empat kategori; kesadaran magis (magic conscousness),

kesadaran naif (naival consciousness); kesadaran kritis (critical consciousness) dan

kesadarannya kesadaran (transformation consciousness). (4) Pandangan dunia (vision

du monde) Andrea Hirata sebagai pengarang terhadap novel Laskar Pelangi mencakup problematika ketidakberpihakan sistem pendidikan pada kaum marginal;

problematika kemiskinan (sosial ekonomi) dalam novel Laskar Pelangi; dan

kesenjangan sosial antara kaum elite dan kaum marginal

Kata kunci : Dimensi pendidikan, kaum marginal, strukturalisme genetik


(17)

commit to user ABSTRACT

Sutri. S 840809032. MARGINAL EDUCATION IN THE LASKAR PELANGI

NOVEL BY ANDREA HIRATA (STUDY OF GENETIC STRUCTURALISM). Advisor I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd, Advisor II: Dr. Nugraheni E.W., M.

Hum., Surakarta: Indonesian Language Education Study Program, Post Graduate

Program of Sebelas Maret University of Surakarta, 2011.

The aims of this study was to 1) Describe and explain the structure of that

building Laskar Pelangi novel by Andrea Hirata which reflects the character

problematic due to the relationship between character and environment. 2) Describe and explain the social life of the author (marginal educational dimension) Andrea

Hirata, related to Laskar Pelangi novel; 3) Describe and explain the social

background of society (marginal education dimensional) that conditioned the birth of the Laskar Pelangi novel. 4) Describe and explain the Andrea Hirata’s views in the Laskar Pelangi novel.

Form of research is qualitative descriptive, while the research approach is an approach the genetic structuralism that emphasizes text as an object of study. The data in this study in form of words, phrases, clauses, sentences, discourse contained in the Laskar Pelangi novel. Data source of this study is Laskar Pelangi novel that published by Bentang, Yogyakarta 2008. Data collection methods used the technique literature, see, and record. Analysis technique used is a dialectical model proposed by Lucien Goldmann and interactive model.

The results of this study are: (1) The structure that exists in the Laskar

Pelangi novel has aspects that are interrelated and reinforce each other. Structural aspects of a coherent building events and novel meanings. (2) Andrea Hirata’s social

life associated with Laskar Pelangi novel includes historical background or events of

socio-cultural Indonesia community that gave birth to Laskar Pelangi; marginal

education dimensional there are two features of marginalized people (the oppressed). First, alienation from self and environment. Second, self-depreciation, feeling stupid,

not knowing anything. (3) Marginal Education in the Laskar Pelangi in the typology

mapping the human consciousness into four categories: magic conscousness, naive consciousness; critical consciousness and consciousness transformation. (4) Andrea

Hirata’s world view (vision du monde), as the author of Laskar Pelangi novel include

impartiality problematic educational system in the marginal society; poverty problem

(social economy) in the Laskar Pelangi novel, and social gap between the elite and

marginal.

Key words: education dimensions, marginal, genetic structuralism


(18)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan bentuk kegiatan imajinatif, kreatif, dan produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realias sosial kemasyarakatan. Faktor lingkungan membentuk karya sastra karena ditulis pengarang sebagai anggota masyarakat yang bersumber dari masyarakat.

Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 1990: 57).

Karya sastra memiliki objek, tidak berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam kata yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas sosial, dan pengalaman pengarang. Hal ini sejalan dengan pemikiran Rahmat Djoko Pradopo (2002: 59) yang mengemukakan bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh dalam proses penciptaan karya sastra.


(19)

commit to user

Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahmat Djoko Pradopo (2001: 61) yang mengemukakan bahwa karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya. Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial tempat dilahirkannya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sebuah karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik, serta menggunakan media bahasa berupa teks yang disusun melalui refleksi pengalaman dan pengetahuan secara potensial memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Ditinjau dari segi pembacanya karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan.

Media karya sastra adalah bahasa. Fungsi bahasa sebagai bahasa karya sastra membawa ciri-ciri tersendiri. Artinya, bahasa sastra adalah bahasa sehari-hari itu sendiri, kata-katanya dengan sendirinya terkandung dalam kamus, perkembangannya pun mengikuti perkembangan masyarakat pada umumnya. Tidak ada bahasa sastra


(20)

commit to user

secara khusus, yang ada adalah bahasa yang disusun secara khusus sehingga menampilkan makna-makna tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 334-335).

Karya sastra bukan hanya untuk dinikmati tapi juga dimengerti, untuk itulah diperlukan kajian atau penelitian dan analisis mendalam mengenai karya sastra. Chamamah (dalam Jabrohim, 2003: 9) mengemukakan bahwa Penelitian sastra merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menghidupkan, mengembangkan, dan mempertajam suatu ilmu. Kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu memerlukan metode yang memadai adalah metode ilmiah. Keilmiahan karya sastra ditentukan oleh karakteristik kesastraannya.

Widati (dalam Jabrohim, 2003: 31) menjelaskan bahwa penelitian adalah proses pencarian sesuatu hal secara sistematik dalam waktu yang lama (tidak hanya selintas) dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku agar penelitiannya maksimal dan dapat dipahami oleh masyarakat luas.

Dibutuhkannya pemahaman masyarakat terhadap karya sastra yang dihasilkan pengarang maka penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Teori strukturalisme genetik menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan sosialnya. Manusia berhadapan dengan norma dan nilai dalam lingkungan masyarakat, karya sastra juga mencerminkan norma serta nilai yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra mencerminkan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Oleh karena itu kemungkinan karya sastra dapat menjadi ukuran sosiologis paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial. Strukturalisme genetik


(21)

commit to user

merupakan pendekatan yang tidak meninggalkan faktor genetik atau asal-usul penciptaan sebuah karya berupa unsur sosial.

Pada prinsipnya teori strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak hanya struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya tetapi merupakan hasil strukturasi pemikiran subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek dengan situasi sosial tertentu (Goldmann, 1970: 584). Struktur karya dalam pandangan Goldmann merupakan struktur dinamis yang lahir dari dinamika pemikiran manusia.

Hubungan manusia dengan lingkungannya menurut Goldmann termanifestasi dalam tiga ciri utama perilaku manusia: pertama adanya tendensi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya agar hubungan lebih bermakna. Kedua, adanya tendensi ke arah konsistensi menyeluruh dan penciptaan bentuk-bentuk struktural. Ketiga, adanya tendensi mengubah dan mengembangkan struktur tersebut sebagai bukti sifat-sifat dinamik (Goldmann, 1970: 118-119).

Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik mempunyai kelebihan karena teks sastra diperlakukan sebagai sasaran utama penelitian dan dianggap sebagai suatu totalitas yang tidak sekadar terdiri dari unsur-unsur yang lepas-lepas (Sapardi Djoko Damono, 1979: 46). Teks sastra sebagai hasil proses sejarah manusia akan bermakna jika dipahami secara menyeluruh dalam hubungan antarbagian teks dan sejarah masyarakat pengarang.

Keunggulan strukturalisme genetik tidak hanya berorientasi pada teks, tetapi juga pada pengarang dan latar belakang sejarah yang mengkondisikan kelahiran karya sastra.


(22)

commit to user

Prinsip dasar strukturalisme genetik adalah mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Peneliti dalam menganalisis karya sastra yang diteliti dapat dikaitkan dengan menghubungkannya dengan hal-hal di luar teks. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra lahir karena kegelisahan pengarang melihat realitas. Karya sastra kemudian dapat diteliti dari hubungannya dengan sejarah zaman yang melahirkannya.

Salah satu genre karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu

ragam prosa selain puisi dan drama, di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya secara sistematis serta terstruktur. Hal ini sejalan dengan pemikiran Panuti Sudjiman (1990: 55) yang menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh, dan menampilkan serangkaian peristiwa dan

latar belakang secara terstruktur. Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi,

prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan

dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.

Novel Laskar Pelangi karya novelis Andrea Hirata buah karya yang

mencengangkan. Sebagai karya pertama yang ditulis seseorang yang tidak berasal

dari lingkungan sastra, dan tidak tunduk pada selera pasar. Kelebihan novel Laskar

Pelangi (LP) adalah ceritanya diangkat dari kehidupan nyata. Novel-novel sekarang


(23)

commit to user

pada novel Laskar Pelangi (LP). Novel ini mengisahkan sepuluh anak kampung di

Pulau Belitong, Sumatera Selatan. Mereka bersekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Belitong yang bangunannya hampir rubuh dan di malam hari menjadi kandang ternak. Sekolah itu hampir ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong tersebut. Sebelum sekolah tersebut ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis melanjutkan pendidikan untuk anak-anak Belitong. Kelebihan yang dimiliki pengarang (Andrea Hirata) dalam karya-karyanya dari segi stilistik yang menarik, mengungkapkan setiap kejadian secara sistematis, terarah dan kronologis, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji masalah-masalah yang terdapat di dalam novel tersebut.

Dimensi pendidikan kaum marginal menjadi tema dalam novel Laskar

Pelangi, termarginalkan secara ekonomi dan termarginalkan secara politik. Sebagai kaum marginal mereka tetap berjuang memperoleh pendidikan untuk mengubah kehidupan mereka. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah bocor jika hujan, dan papan tulis berlubang sehingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama. Mereka mengesampingkan anggapan bahwa orang miskin dilarang sekolah.

Munculnya stigma masyarakat marginal bahwa orang miskin dilarang sekolah karena tidak adanya keberpihakan sekolah pada mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan penentu kebijakan yang tidak memihak kaum marginal dan kemiskinan


(24)

commit to user

menjadikan sekolah sebagai barang mewah. Sebagaimana diungkapkan Eko Prasetyo (2009: 26) bahwa bukan hanya kebijakan pendidikan yang payah, kebijakan pemerintah yang lain juga menyebabkan rakyat semakin sulit untuk mendapatkan pendidikan, kebijakan peperintah itu secara tidak langsung adalah pelarangan orang miskin dilarang sekolah.

Eko Prasetyo (2009: 21; 25) menyatakan bahwa jika biaya pendidikan mahal maka pendidikan bisa manjadi biang utama proses pemiskinan. Pemiskinan menjadi proses yang terus berjalan seperti mesin penggiling, orang tua berhadapan dengan situasi darurat tanpa mampu mengambil pertimbangan. Biaya pendidikan sama besarnya dengan biaya kesehatan. Keduanya ditempatkan sebagai kebutuhan Primer. Orang tua tidak segan-segan meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah. Kebutuhan untuk sekolah sama seperti keperluan untuk makan dan minum.

Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi tampak menyajikan konsep

sekolah yang berpihak pada kaum marginal, pemenuhan kebutuhan publik dalam pendidikan dan wujud protes pendidikan bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang dengan kelas sosial tertentu. Konsep pembelajaran variatif yang ditekankan pada budi pekerti dominan ditampilkan Andrea Hirata dalam karyanya.

Novel Laskar pelangi menyajikan konsep pembelajaran variatif yang

diterapkan oleh guru-gurunya. Pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Siswa mengalami secara langsung dan menerapkan dalam

hidup bermasyarakat. Dirunut lebih jauh tampak bahwa pendidik dalam novel Laskar


(25)

commit to user

sekitar, terbatasnya sarana prasarana tidak menghalangi mereka untuk memenuhi hak anak dalam memperoleh pendidikan.

Penerapan pembelajaran demikian tampak bahwa pendidik di perguruan Muhammadiyah tidak menggunakan konsep pendidikan ‘gaya bank’ seperti yang diungkapkan Paulo Freire. Pendidikan ‘gaya bank’ menurut Freire (1985: 50) anak didik tidak dilihat sebagai subjek dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan atau dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya dan semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Anak didik hanya menghafal semua yang disampaikan oleh gurunya tanpa mengerti. Anak didik adalah objek bukan subjek sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada anak didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.

Anak didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya anak didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia (Freire, 1985: 50-51).

Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak berpendidikan. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu dan menghadirkan perbedaan mencolok


(26)

commit to user

menjadi penindas masyarakat bawah melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas. Kehidupan masyarakat yang sangat kontras melahirlah suatu kebudayaan

yang disebut Freire dengan kebudayaan bisu (Marthen Manggeng, 2005: 41).

Kaum marginal sama halnya dengan kaum tertindas. Adanya kaum tertindas berarti ada pula kaum penindas. Kaum penindas menggunakan konsep pendidikan gaya bank bekerjasama dengan aparat-aparat masyarakat paternalistik, di mana kaum tertindas kemudian memperoleh sebutan yang diperhalus sebagai “kaum penerima

santunan” (Freire, 1985: 53). Hal ini tampak dalam novel Laskar Pelangi, ada

pengelompokkan pendidikan berdasarkan status ekonomi. Tertindas dari sisi politik dan ekonomi yang berdampak pada pendidikan sangat kental dalam novel ini.

Suksesnya Laskar Pelangi yang mengangkat kehidupan kaum pinggiran

miskin dan terlupakan di Pulau Belitong (sekarang Provinsi Bangka Belitung) menjadikan tokoh Ikal, Lintang, Mahar dkk. sebagai pahlawan-pahlawan baru

menggantikan tokoh `Cowok Idaman’ dalam kebanyakan karya teenlit atau tokoh

‘Nayla’ si Trauma Seks’ dalam kebanyakan sastra kelamin saat ini. Maka tidak heran,

bila sejumlah kritikus sastra memandang Laskar Pelangi sebagai fenomena baru, baik

di ranah kesusastraan maupun perfilman nasional. Hampir semua komentar pembaca memberikan pujian, mulai dari cerpenis Linda Christanty, sineas Garin Nugroho dan Riri Riza, kritikus sastra Nicola Horner, pecinta sastra Diphie Kuron, novelis Ahmad Tohari, sastrawan Korrie Layun Rampan, Kak Seto, pemikir dan mantan Ketua


(27)

commit to user

Umum Muhamadiyah, Syafii Ma’arif, sampai penyair-kritikus sastra Sapardi Djoko Damono.

Novel Andrea Hirata menarik karena beberapa hal. Pertama, ia menceritakan

kehidupan suatu daerah yang hampir tidaak pernah masuk dalam pengetahuan sastra Indonesia, yakni Pulau Belitong. Pulau timah ini hanya dikenal dalam pembicaraan ekonomi dari pertambangannya oleh pemerintah, tetapi tidak dikenal perikehidupan penduduk pribuminya. Karya Andrea ini memberikan informasi tangan pertama

tentang kehidupan masyarakat Belitong yang termarginalkan tersebut. Kedua, Andrea

mengangkat suatu tema yang menarik tentang pendidikan kaum marginal, baik secara ekonomi maupun secara politik, bagaimana seorang anak yang dilahirkan dan hidup dalam kemiskinan serta perekonomian keluarga yang tak menentu dan termarginalkan

akhirnya mencapai status terpandang dengan melanjutkan studinya ke Eropa. Ketiga,

Andrea menghadirkan kritik pada pelaku pendidikan terkait dengan sistem pendidikan dan sistem pengajaran yang tidak memihak kaum marginal, Andrea mencoba mematahkan stigma masyarakat marginal mengenai orang miskin dilarang sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci alasan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Novel Laskar Pelangi menampilkan tokoh anak-anak sekolah yang

termarginalkan secara ekonomi dan politik tetapi memiliki sumber inspirasi kuat terjelma pada guru-gurunya. Inspirasi ini menjadi motivasi membentuk pribadi yang mandiri dan menjadi sarana mencapai cita-citanya. Mereka sadar sebagai


(28)

commit to user

kaum marginal yang dapat merubah nasib mereka adalah mereka sendiri melalui pendidikan.

2. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata belum dianalisis secara khusus

dengan pendekatan strukturalisme genetik terutama berhubungan dengan dimensi pendidikan kaum marginal.

3. Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dengan pendekatan

strukturalisme genetik Lucien Goldman diperlukan untuk mengetahui dimensi pendidikan kaum marginal.

Berdasarkan paparan di atas, maka novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

dianalisis dengan pendekatan strukturalisme genetik untuk mendeskripsikan dimensi pendidikan kaum marginal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Laskar Pelangi karya Andrea

Hirata yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh dan lingkungannya?

2. Bagaimanakah kehidupan sosial dan latar belakang sosial pengarang (dimensi

pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel Laskar Pelangi?


(29)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur yang membangun novel Laskar

Pelangi karya Andrea Hirata yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh dan lingkungannya?

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan sosial pengarang (dimensi

pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel Laskar Pelangi?

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial masyarakat (dimensi

pendidikan kaum marginal) yang mengkondisikan lahirnya novel Laskar Pelangi?

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan Andrea Hirata dalam novel Laskar

Pelangi?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan berhasil dengan baik dan dapat mencapai tujuan penelitian secara optimal, mampu menghasilkan laporan yang sistematis dan bermanfaat secara umum.

1. Manfaat teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi

analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian novel Indonesia yang memanfatkan teori strukturalisme genetik.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam

mengaplikasikan teori sastra dan teori strukturalisme genetik dalam


(30)

commit to user

c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konsep

pendidikan yang memanusiakan dalam pandangan Paulo Freire serta aplikasinya.

d. Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan mengenai keberagaman

sekolah alternatif dalam dunia pendidikan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada peneliti dan ilmuwan, kalangan pendidikan, pembaca, dan penikmat karya sastra

untuk memahami dan mengapresiasi novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.  

a. Bagi Penelitian dan Ilmuwan

Penelaahan dan kajian tentang spesifikasi, kreativitas dan tema yang

membangun novel Laskar Pelangi dapat dijadikan bahan kajian lebih

mendalam oleh para peneliti yang selanjutnya dapat digunakan dalam pengembangan kajian sastra khususnya novel.

b. Kalangan Pendidikan

Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi dapat

dijadikan acuan-acuan refleksi dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang cerdas, ulet, konsisten, serta tidak cepat putus asa dalam mewujudkan cita-cita hidupnya.

c. Bagi Pemimpin Pendidikan

Kritikan yang disampaikan secara halus dan kreatif yang terkandung di dalam

novel Laskar Pelangi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam


(31)

commit to user

d. Bagi Pembaca

Dapat memperoleh gambaran secara lebih jelas, rinci, dan sistematis baik secara kritis maupun akademis tentang dimensi pendidikan marginal yang


(32)

commit to user BAB II

KERANGKA TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kerangka Teori

1. Hakikat Pendekatan Strukturalisme Genetik

a. Pengertian Pendekatan Strukturalisme Genetik

Dewasa ini telah banyak dikenal berbagai macam pendekatan dalam penelitian sastra salah satunya yaitu pendekatan strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik adalah cabang penelitian dalam karya sastra yang tidak meninggalkan faktor genetik atau asal-usul diciptakannya sebuah karya yaitu unsur sosial.

Strukturalisme genetik merupakan penelitian sosiologi sastra. Yoseph Yopi Taum (1997: 47) menyatakan bahwa sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat. Karya sastra memiliki keterkaitan dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam suatu masyarakat.

Berkaitan dengan hal di atas dalam menelaah hubungan antara sastra dengan masyarakat Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 2000: 12-13) mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang dapat diteliti. Ketiga hal tersebut

meliputi, pertama, sosiologi pengarang memfokuskan perhatiannya pada latar


(33)

commit to user

belakang sosial pengarang, sumber ekonomi pengarang, ideologi pengarang dan

integrasi sosial pengarang, sosiologi karya serta sosiologi pembaca. Kedua,

sosiologi karya sastra menitikberatkan perhatiannya terhadap isi teks karya sastra,

tujuan karya sastra dan masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra. Ketiga,

sosiologi pembaca memfokuskan perhatiannya pada latar sosial pembaca, dampak sosial karya sastra terhadap pembaca dan perkembangan sosial pembaca.

Kajian sosiologi sastra merupakan upaya melihat fenomena sosial secara empiris dengan menggunakan teks sastra sebagai cermin fakta sosial. Meski demikian, sastra bukanlah fakta sosial itu sendiri. Mengenai hal ini Max Weber (dalam Wellek dan Austin Warren, 1993: 124) mengungkapkan bahwa gejala-gejala sosial dalam sastra bukanlah fakta objektif dan pola perilaku, tetapi merupakan sikap yang kompleks. Jadi, teks karya sastra yang ditulis pengarang bukanlah suatu peristiwa yang langsung terjadi di tengah masyarakat, tetapi pengarang memproses ide yang diperolehnya dengan imajinasinya sehingga isi karya sastra menarik untuk dipahami.

Hippolyte Taine (dalam Yoseph Yapi Taum, 1997: 49) mengemukakan

bahwa karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (moment)

dan lingkungan (milieu). Ketiga hal tersebut mengantarkan pemahaman terhadap

iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Ras adalah sesuatu yang diwaris dalam jiwa dan

raga seseorang. Saat (moment) adalah situasi sosial politik pada suatu periode

tertentu. Lingkungan (milieu) meliputi keadaan alam, iklim dan sosial.

Konsep-konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih sistematis dan ilmiah oleh Goldmann dengan pendekatan strukturalisme genetik (Sapardi Djoko


(34)

commit to user

Damono, 1979: 41). Strukturalisme genetik sebagai salah satu teori penelitian sosiologi sastra bertumpu pada sosiologi teks dan sosiologi pengarang. Penelitian dengan strukturalisme genetik hendak mengungkap masalah sosial dalam teks dan integrasi sosial pengarang dalam masyarakatnya yang tercermin dalam teks. Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik selalu mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil karya, dan masyarakat pengarang yang dianggap mampu mengondisikan pengarang untuk menulis novel. Karya sastra bersumber dari kehidupan masyarakat dalam konfigurasi status dan peranan yang terbentuk struktur sosial serta dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.

Adanya perangkat peralatan sastra dan kapasitas regulasi diri dalam struktur intrinsiknya, karya sastra secara independen mampu membebaskan diri. Ia menjadi otonom, dalam pengertian bahwa ia bukan lagi merupakan objek yang tidak terpisahkan dengan struktur sosial yang menghasilkannya dan dengan sendirinya memiliki kebebasan penuh dalam menunjukkan material-material sosial. Keterpisahan karya seni dengan struktur sosialnya dianggap sebagai keterpisahan secara konseptual. Apabila benar-benar terpisah dengan masyarakat, justru karya seni akan menjadi artifisial (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 33).

Secara definisi, Goldmann (dalam Faruk, 1999: 13) menjelaskan bahwa strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra semata-mata merupakan suatu struktur statis dan lahir dengan sendirinya. Karya sastra oleh struktur katalogis pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan


(35)

commit to user

ekonomi tertentu. Pemahaman struktur karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melahirkannya dan sekaligus memberikan kepaduan struktur karya sastra.

Hubungan manusia dalam lingkungannya menurut Goldmann termanifestasi dalam tiga ciri utama perilaku manusia: pertama, adanya tendensi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya agar lebih bermakna. Kedua, adanya tendensi ka arah konsistensi menyeluruh dan penciptaan bentuk-bentuk struktural. Ketiga, adanya tendensi mengubah dan mengembangkan struktur tersebut sebagai bukti sifat-sifat dinamik (Goldmann, 1970: 118-119).

Pendekatan strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa pendekatan strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis secara intrinsik dan ekstrinsik (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 121-123).

Pendekatan strukturalisme genetik adalah bagian dari kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra berdasarkan struktur luar karya sastra. Hadirnya teori Lucien Goldmann berupa pendekatan strukturalisme genetik untuk mengkaji unsur dalam dan unsur di luar karya sastra. Sastra merupakan representasi dari kehidupan masyarakat berupa kritik sosial dalam masyarakat. Hal ini sejalan


(36)

commit to user

make sense of our lives, sosiology is an attempt to make sense of the ways in which we live our lives. For the present writers, sosiology has itself always represented a critical discipline.

Suwardi Endraswara (2003: 55-56) mengemukakan bahwa pendekatan strukturalisme genetik adalah cabang penelitian sastra struktural yang tidak murni. Strukturalisme genetik merupakan penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus mereprentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra.

Teori strukturalisme genetik diutarakan oleh Molina (1991: 140) sebagai berikut:

Goldmann’s interpretation of tragedy shows that there is a structural homology between dialectical Marxism and the schema of the tragic vision. Goldmann elaborated the letter in terms of three elements: god, man, and world. For him, God is translated into historical terms and made to signify human community, which, in turn, is indentified with realization of socialism in the Marxist sense.

Sapardi Djoko Damono (1979: 46) berpendapat bahwa “metode yang dipergunakan Goldmann untuk mencari hubungan karya dengan lingkungan sosialnya adalah strukturalisme historis, yang diistilahkannya sebagai “strukturalisme genetik yang digeneralisir”, Goldmann sebelumnya meneliti struktur-struktur tertentu dalam teks kemudian menghubungkan struktur-struktur tersebut dengan kondisi sosial dan historis yang konkret dengan kelompok sosial


(37)

commit to user

dan kelas sosial yang mengikat si pengarang dan dengan pandangan dunia kelas yang bersangkutan.

Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik studi diawali dari kajian unsur intinsik. Kesatuan dan koherensinya sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya, karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek siosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara 2003: 56).

Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2006: 122) mengungkapkan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi stuktur bermakna, setiap gejala memiliki ahli apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitas”.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap unsur dalam karya sastra, baik itu unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya, masing-masing tidak dapat bekerja sendiri untuk menciptakan sebuah karya yang bernilai tinggi. Semua unsurnya harus melebur menjadi satu untuk mencapai totalitas makna. Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain untuk menopang teori tersebut sehingga membentuk apa yang disebutnya sebagai strukturalisme genetik. Kategori-kategori itu adalah (a) struktur karya sastra (b) fakta kemanusiaan, (c) subjek kolektif, (d) pandangan


(38)

commit to user

b. Struktur Karya Sastra

Karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif atau masyarakat. Karya sastra mempunyai struktur yang koheren. Konsep struktur karya sastra dalam strukturalisme genetik berbeda dengan konsep karya sastra

otonom. Goldmann menyatakan dua pendapat mengenai karya sastra. Pertama,

karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, dalam

usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu. Pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Karena itu, dibedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999: 17).

Struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann adalah konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatian adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar tokoh. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian tersebut dilakukan oleh seorang atau tokoh hero yang problematik (Faruk, 1994: 18).

Konsep struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann yang bersifat tematik artinya pusat perhatian antara relasi dengan tokoh, tokoh dengan tokoh dan antara tokoh dengan objek sekitar novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia dilakukan. Pencarian dilakukan oleh tokoh hero yang problematik. Nilai otentik adalah totalitas yang secara


(39)

commit to user

tersirat muncul dalam cerita, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas.

Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dibuat kerangka (pola-pola) kreativitas dan imaji. Seluruh kejadian dalam karya sastra bahkan juga karya-karya yang tergolong ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kreativitas dan imajinasinya sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 35).

Karya sastra sebagai karya estetis dalam pandangan strukturalisme genetik mempunyai dua estetika: estetika sosiologis dan estetika sastra. Berkaitan estetika sastra sosiologis. Pendekatan strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan pengarang dalam karyanya. Berkaitan dengan estetika sastra, strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk menuliskannya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 43).

Membaca novel, secara tidak langsung salah satu sisi kehidupan suatu masyarakat dapat dipahami. Hukum kehidupan suatu masyarakat dalam novel juga mungkin berlaku pada masyarakat umumnya. Struktur masyarakat dapat dipahami melalui struktur karya sastra.


(40)

commit to user

Struktur karya satra merupakan representasi masyarakat, struktur karya sastra mempunyai hubungan secara tidak langsung dengan struktur masyarakat. Dalam hubungan tersebut, peran pengarang sangat menentukan. Struktur karya sastra yang dihasilkan pengarang menyuarakan aspirasi kelompok sosial tertentu melalui gambaran problematik hubungan tokoh-tokoh yang dilukiskan.

Karya sastra sebagai kreativitas maupun respon kehidupan sosial, mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan kehidupan manusia pada umumnya. Dimensi-dimensi yang dilukiskan pengarang bukan hanya entitas tokoh secara fisik, tetapi sikap, perilaku, dan kejadian-kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Sebagai dua dunia yang saling bergantung, keduanya hadir dalam situasi dialogis. Masyarakat mempersiapkan entitas karya sastra sesuai dengan formasi struktur sosial; sebaliknya karya sastra memanfaatkan unsur-unsur sosial ke dalam sistem sastra dengan cara-cara yang ditentukan oleh konvensi dan tradisi (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 34).

Struktur karya sastra dengan demikian harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Pemahaman itu dapat dilakukan dengan melihat hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut terlihat problematika sang tokoh dalam memeperjuangkan nilai kehidupan yang dianggap sesuai dengan kelompok sosialnya dalam menghadapi kelompok sosial lain.

Konsep struktur karya sastra digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya maupun


(41)

commit to user

Berdasarkan hubungan tersebut terlihat bahwa masyarakat mengalami problematika. Berdasarkan problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh akan terlihat aspirasi imajiner pengarang dalam struktur novel.

Struktur novel yang mencerminkan pandangan pengarang terlihat pada problem yang dihadapi tokoh. Problematika tokoh utama disebabkan oleh tokoh lainnya. Tokoh hero mengalami problematika karena senantiasa berusaha memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam menghadapi tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial yang lain.

Perjuangan tokoh utama adalah manifestasi perjuangan subjek kolektif atau kelompok sosialnya. Tokoh lain dalam hal ini merupakan subjek kolektif di luar kelompok sosial tokoh hero. Pikiran-pikiran tokoh hero merupakan aspirasi gagasan pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosial pengarang.

1) Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengingkaran manusia terhadap dirinya sendiri, atau bahkan usia lanjut. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih fokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Adapun cara yang paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya (Stanton, 2007).


(42)

commit to user

2) Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Klimaks adalah saat

ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi.

Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007).

3) Tokoh

Mengenai tokoh, Atar Semi (1988: 39) mengemukakan bahwa pada

umumnya fiksi mempunyai tokoh utama (a central character) yaitu orang

yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan sebagai pembaca terhadap diri tokoh tersebut.

4) Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah (Stanton, 2007: 35).


(43)

commit to user

c. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan mempunyai peranan dalam sejarah berupa fakta individual dan fakta sosial atau historis. Hal ini sejalan dengan Faruk (1994: 12) yang menyatakan bahwa fakta kemanusiaan adalah seluruh hasil perilaku manusia, baik verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta tersebut dapat berupa aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung dan sastra. Fakta kemanusiaan pada hakikatnya ada dua, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua memiliki peranan dan sejarah, sedangkan pertama tidak,

sebab hanya merupakan hasil perilaku libidal seperti mimpi, tingkah laku orang

gila, dan sebagainya.

Goldmann (dalam Faruk, 1994: 13) menjelaskan bahwa “semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti” artinya fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dari arti tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur dan artinya.

Karya sastra sebagai fakta kemanusiaan merupakan struktur. Struktur karya sastra bukanlah struktur yang statis tetapi dinamis. Karya sastra merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat adalah karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999: 12).

Goldmann (1977: 159) beranggapan adanya homologi antara struktur sastra dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau masyarakat.


(44)

commit to user

Homologi menurut Nyoman Kutha Ratna (2006: 122) diturunkan melalui organisme primitif yang sama dan disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat struktural. Homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Nilai-nilai otentik yang terdapat dalam strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra sebagai homolagi antara struktur karya sastra dengan struktur lain yang berkaitan dengan sikap suatu kelas tertentu atau struktur mental dan pandangan dunia yang dimiliki oleh pengarang dan penyesuaiannya dengan struktur sosial.

Bagi Goldmann (1977: 158-159) karya sastra dipandang: (1) bukan hanya refleksi kenyataan dan kesadaran kelompok tertentu; (2) karya sastra berhubungan dengan ideologi kolektif, filosofis dan teologis; (3) karya sastra berhubungan dengan struktur mental kelompok sosial tertentu yang dapat diperluas melalui hubungan individu dengan kelompok; dan (4) kesadaran kolektif bukanlah realitas utama, akan tetapi struktur mental yang merupakan pandangan dunia.

Berpijak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fakta kemanusiaan adalah seluruh hasil perilaku manusia yang mempunyai struktur dan arti tertentu berdasarkan pada fakta-fakta yang ada.

d. Subjek Kolektif/ Subjek Transindividual

Goldmann (dalam Faruk, 1994: 14) mengemukakan bahwa fakta kemanusiaan, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan itu sesuai dengan perpedaan jenis fakta kemanusiaan. Subjek


(45)

commit to user

individual merupakan subjek fakta individual (libinal), sedangkan subjek kolektif

merupakan subjek fakta sosial (historis). Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan

karya-karya kultural yang besar merupakan kenyataan sosial yang tidak akan mampu menciptakannya. Penciptanya adalah subjek transindividual. Subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, di dalam individu hanya merupakan bagian. Subjek transindividual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.

Goldmann (dalam Faruk, 1994: 15) kosep subjek kolektif atau transindividual masih sangat kabur karena subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok kerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Untuk memperjelasnya, Goldmann mengelompokkannya sebagai kelas sosial. Kelas sosial tersebut menurut Goldmann merupakan bukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembang sejarah umat manusia.

Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup tertentu dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang untuk mempengaruhi bentuk, fungsi, makna dan gaya suatu karya sastra. Hubungan ini sesuai dengan pandangan marxis, karya disebut sebagai wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Goldmann menspesifikasikan kelas sosial dalam pengertian marxis sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai keompok yang telah


(46)

commit to user

menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.

Kajian strukturalisme genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia. Dikaitkan dengan pengarang, latar belakang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar belakang karena afiliasi dan karena kelahiran.

Meskipun istilah transindividual diadopsi oleh Goldmann dari khazanah intelektual Marxis, khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah kesadaran kolektif dengan pertimbangan istilah ini seolah-olah menonjolkan pikiran-pikiran kelompok. Sebaliknya, konsep transindividual menurut Goldmann, menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok.

Pendapat di atas dapat diartikan bahwa struktur karya sastra dapat diselidiki asal-usulnya atau genetiknya. Asal-usul karya sastra tidak lain adalah pengarang, selain itu pengarang menghasilkan karya sastra karena terdapat faktor-faktor yang mengkondisikannya. Fakta sosial yang dianggap tidak sejalan dengan aspirasi subjek kolektif pengarang itulah yang menyebabkan pengarang menulis karya sastra.

e. Pandangan Dunia

Menurut Goldmann dalam Faruk (1994: 15-16) pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan


(47)

commit to user

kelompk sosial yang lainnya. Masih menurut Goldmann pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra. Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya.

Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, ia merupakan transformasi mentalitas yang lama secara berlahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Proses panjang tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia merupakan kesadaran yang mungkin tidak semua orang memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta (Goldmann, 1981: 97).

Kesadaran demikian jarang disadari pemiliknya kecuali dalam momen-momen krisis dan sebagai ekspresi karya sastra besar yang menurut Goldmann berbicara tentang alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan yang tumbuh darinya (Faruk, 1994: 15).

Visi duniawi merupakan kesadaran kolektif terhadap totalitas pikiran yang ekspresinya dapat berupa aspirasi atau perasaan yang sama sekali bukan sekedar kenyataan empiris, itulah sebabnya, menurut Goldmann visi duniawi selalu muncul seiring dengan krisis sosial. Oleh karena itu sebagai pelopor strukturalisme genetik Goldmann beranggapan bahwa visi duniawi adalah


(48)

commit to user

ekspresi teoritik dari suatu kelas sosial pada saat bersejarah tertentu. Vision du

monde selalu mencerminkan pandangan kelas sosial karena tumbuh dan berkembang dari situasi sosial-ekonomi tertentu yang dihadapi suatu komunitas (Wahyu Wibowo, 2003: 30-31).

Visi duniawi tidak lepas dari tragedi dalam karya sastra yang dituangkan pengarang dalam karyanya. Lucien Goldmann (1991: 18) berpendapat mengenai hal ini sebagai berikut:

The universe of tragedy is a universe where God is absent; not merely non-existent as He is for the empiricists or rationalists, but absent; that is to say, that everything that happens situates itself in reletion to Him, and to the fact that He never intervenes. Lukacs defined tragedy as a play in which God is the only spectator, but a passive spectator who doesn’t intervene in tehe action or in the destiny of the heroes.

Menurut Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) karya sastra sebagai struktur memiliki makna merupakan wakil pandangan dunia penulis tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikanya. Karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat dapat mengakibatkan penelitian menjadi pincang.

Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang dan dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya dalam rangka strukturalisme genetik, pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas


(49)

commit to user

tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia adalah keseluruhan gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain yang diwakili oleh pengarang sebagai bagian dari masyarakat.

f. Konsep Pemahaman-Penjelasan dan Keseluruhan-Bagian

Konsep ini terkait dengan metode yang digunakan oleh teori strukturalisme genetik. Karya sastra harus dipahami sebagai struktur yang

menyeluruh. Pemahaman karya sastra sebagai struktur menyeluruh akan

mengarah pada penjelasan hubungan sastra sosial budaya sehingga mempunyai

makna.

Karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Karena itu pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan

konsep keseluruhan-bagian. Teks karya sastra itu sendiri merupakan bagian dari

struktur keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur berarti.

Konsep tersebut melahirkan metode dialektika. Prinsip dasar metode ini adalah

bahwa karya sastra dengan realita masyarakat mempunyai hubungan dialektika, hubungan yang secara tidak langsung. Karya sastra mempunyai dunia yang berlainan, karya sastra dan realita dapat dilihat melalui proses interpretasi. Perhatian pertama tertuju pada teks karya sastra dan perhatian yang kedua terhadap latar belakang sosial budaya masyarakat (Umar Junus, 1986: 194).


(50)

commit to user

Konsep pemahaman-penjelasan dalam metode dialektika. Pemahaman

adalah usaha pendeskripsian struktur objek karya sastra yang dikaji, sedangkan penjelasan adalah usaha menghubungkan pemahaman ke dalam struktur yang lebih besar.

Konsep keseluruhan-bagian mengemukakan dialektika antara keseluruhan

dan bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari bagian-bagiannya dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami jika ditempatkan dalam satu keseluruhan. Pemahaman dilihat sebagai suatu proses yang melingkar terus-menerus; dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian kekeseluruhan (Ekarini Saraswati, 2003: 81).

Teori strukturalisme genetik pada prinsipnya memadukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Karya sastra harus dipahami secara keseluruhan terhadap hal yang bermakna. Teks sastra memiliki kepaduan total. Unsur-unsur yang memebentuk teks mengandung arti sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap dan padu terhadap makna secara keseluruhan dalam karya tersebut.

Goldmann memandang karya sastra sebagai produk strukturasi pandangan dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dilakukan dengan konsep keseluruhan bagian. dalam batas teks karya sastra yang dimaksud dengan keseluruhan dan bagian adalah keseluruhan dan bagian teks sastra. Berikut pendapat Goldmann (1970: 593, 595).


(51)

commit to user

“in this respect, the process of investigation is the same throught out the whole field of the sciences of man. The research worker must secure apattern, a model composed of a limited number af elements and relationships, starting from which he must be able to account for the great majority of the empirical data of which the object studied is thought to be composed….

Once the recearch worker has advenced as far as possible in the internal coherence of the work and its structural modes h must direct himself toward explanation”.

Eksplanasi pada kutipan terakhir dinyatakan Goldmann dengan maksud penggabungan struktur internal yang diterangkan dalam struktur yang lebi besar, di dalam struktur internal hanya berupa elemen saja. Keterangan ini mengimplikasikan pengertian bahwa bagi Goldmann struktur internal bukan tujuan akhir pemahaman karya sastra. Berarti atau tidaknya suatu karya sastra hanya dapat diuketahui dengan memasukkannya dalam struktur yang lebih besar.

Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari (Goldmann, 1970: 589), sedangkan penjelasan adalah usaha manemukan makna struktur dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann, 1970: 590), dengan kata lain pemahaman adalah usaha untuk mengerti makna bagian dengan menempatkan ke dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 1988: 106).

Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik Sapardi Djoko Damono (1979) memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode sebagai berikut.

1) Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya

bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagian-bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian-bagian-bagian itu yang menyatukannya menjadi totalitas.


(52)

commit to user

2) Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi

struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya, tetapi hanya bukti adanya struktur.

3) Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang

sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan struktural yang ada.

4) Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum

strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat; mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.

Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Alan Swingewood (1972) yang disetujui oleh Goldmann adalah sebagai berikut.

a) Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula diteliti strukturnya

untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.

b) Penghubung dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang

dihubungkan dengan sosial budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang dihubungkan dengan dunia pengarang.


(53)

commit to user

c) Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu

metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.

2. Hakikat Novel

Novel merupakan bagian dari sebuah karya sastra berupa potret kehidupan manusia dan dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsurnya. Unsur-unsur tersebut oleh pengarang dikreasikan dibuat semirip mungkin dan diimajinasikan dengan dunia nyata lengkap dengan peritiwa-peristiwa dan lakonnya.

Lucien Goldman (1977: 1) menyatakan gagasannya mengenai novel tampak pada kutipan berikut.

The novel is the story of a degraged search, a search for authentic values in a world itself degraded, but at an otherwise advance level according to a different mode. By authentic values, not the values that the critic or the reader regards as authentic, but those which, without being manifestly present in the novel, organize in accordance with an implicit mode its world as a whole.

Burhan Nurgiyantoro (2007: 4) berpendapat bahwa novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia imajiner yang dibangun melalui unsur intrinsiknya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditemukan novel imajinatif yang terkadang berada di luar nalar manusia dan dunia, berusaha dibangun tidak pernah lepas dari alam pikiran pengarang dari hasil mediasi antara subjek nyata dan imajiner yang ada.

Novel merupakan representasi dari kehidupan sosial. Langland (1984: ix)

mengungkapkan hal yang sama society in the novel is thus seen as replicating an


(54)

commit to user

simply replicates a world outside, and the relationship between fictional society and real world is not primarily a mimetic one but an evaluative one.

Novel merupakan penggambaran sejarah dalam kehidupan dan mempunyai kekuatan di dalamnya, hal ini dikemukakan oleh Lukacs (1962: 415-416) berikut.

This historical spirit is the great new principle which Balzac learnt from Walter Scott and passed on to all the really great representatives of the medern social novel. The modern social novel is as much a child of the classical historical novel as the latter is of the great social novels of the eighteenth century. The decisive question of the development of the historical novel in our day is how to restore this connexion in keeping with our age.

The classical type of historical novel can only be aesthetically renewed if writers concretely face the question: how was the Hitler regime in germany possible? Then an historical novel many be achieved which will be fully realized artistically.

Atar Semi (1988: 32) menyatakan bahwa novel adalah karya yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa novel selain sebagai seni, juga dapat berperan sebagai penyampai misi-misi kemanusiaan yang tidak berkesan menggurui, sebab sangat halus dan mendalam.

Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan karakter dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan cerpen. Hal menarik lain dari novel adalah kemampuannya menciptakan suatu semesta yang lengkap sekaligus rumit.

Novel sebagai karya sastra yang kompleks memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut, sebagaimana yang diungkapkan Herman J.Waluyo (2002: 37) bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa


(55)

commit to user

episode dalam kehidupan tokoh utamanya dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Novel dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Herman J.Waluyo (2002: 38-39) yang membedakan novel berdasarkan dua jenis, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi) sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Sesuai dengan teori Lukass, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi, sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai otentik.

Di pihak lain Lucien Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126) yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial pelaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127).


(56)

commit to user

Memahami sebuah novel harus dilakukan pembedaan struktur yang dimiliki, Kenney (1966: 6-7) berpendapat,

”To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the nation of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analyze is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah bagian dari karya sastra berupa kisah hasil representasi kehidupan sosial mengenai penggambaran sejarah dan permasalahan kehidupan yang kompleks, mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan dan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak menggurui sebab sangat halus dan mendalam. Peristiwa yang terjalin sangat kompleks karena tidak hanya menciptakan hidup seorang tokoh saja tetapi seluruh tokoh yang terlibat dalam cerita. Karya sastra berupa novel yang dianalisis harus diidentifikasi dan ditentukan hubungannya dalam kajian strukturali agar karya sastra dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang menyatu dan kompleks.

Pendekatan struktural dapat pula disebut dengan pendekatan intrinsik, yakni pendekatan yang berorientasi kepada karya sebagai jagad yang mandiri terlepas dari dunia eksternal di luar teks. Analisis ditujukan kepada teks itu sendiri sebagai kesatuan yang tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalin dan analisis dilakukan berdasarkan pada parameter intrinsik sesuai keberadaan unsur-unsur internal (Siswantoro, 2005: 19).

Tujuan analisis struktural adalah membongkar, memaparkan, secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan dari berbagai aspek yang secara bersama-sama membentuk makna (A.Teeuw, 1984: 135-136).


(57)

commit to user

Menurut Siswantoro (2005: 20) pendekatan struktural membedah novel,

misalnya dapat dilihat dari sudut plot, karakter, setting, point of view, tone, dan theme

sebagaimana unsur-unsur itu saling berinteraksi.

Pembahasan struktur novel Laskar Pelangi hanya terbatas pada masalah tema,

alur, tokoh, dan latar. Alasannya adalah keempat unsure tersebut sesuai dengan tujuan penelitian dan objek yang dikaji yaitu mengenai dimensi sosial kesenjangan perekonomian dan kemiskinan. Tema menentukan inti cerita dari novel tersebut, alur untuk mengetahui bagaimana jalan cerita, penokohan digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik setiap tokoh sebagai landasan untuk menggali data kesenjangan perekonomian dan kemiskinan.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007: 37) langkah-langkah dalam menerapkan teori strukturalisme adalah sebagai berikut:

a. mengidentifikasikan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara

lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar, dan alur;

b. menggali unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana

tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra;

c. mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh,

latar, dan alur dari sebuah karya sastra, dan

d. menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan

alur dalam sebuah karya sastra.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini novel, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji,


(58)

commit to user

mendeskripsikan fungsi dan kemudian menghubungkan antara unsur intrinsik yang bersangkutan.

3. Hakikat Pendidikan Kaum Marginal

a. Pengertian Pendidikan

Pendidikan merupakan upaya pengenalan realitas secara objektif dan subjektif. Paulo Freire (1985: xvi) menyatakan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yang berlaku dan menghasilkan kesesuaian terhadapnya. Fungsi utama pendidikan disetiap tingkat adalah untuk menyediakan pelatihan cara-cara berpikir mendasar yang terwakili dalam sejarah, ilmu pengetahuan alam, metematika, kesusastraan, bahasa, dan kesenian yang selama ini berkembang dalam pencarian pengetahuan yang dapat digunakan oleh manusia, perjalanan menggapai pemahaman budaya, dan upaya berkelanjutan untuk meraih kekuatan intelektual (Arthur Bestor, 1999: 200).

Tolstoy (dalam Archambaulth, 1999: 490) menyatakan bahwa setiap

situasi pendidikan memuat empat unsur pokok: 1) guru, agen utama yang

bertujuan mengarahkan, memikul tanggungjawab atas proses pendidikan; murid

yang menjadi objek upaya pendidikan, dalam arti perilakunya akan diubah,

sikap-sikapnya akan dipupuk dan dimodifikasi; 3) bahan pengajaran, atau bidang

studi, atau pengetahuan yang akan ditanamkan pada murid; 4) tujuan, sasaran,

cita-cita, hasil akhir yang diharapkan dari proses pendidikan yang menjadi

sumber penentu arah pendidikan. Pencirian Tolstoy tentang keempat elemen di atas dan pendapatnya tentang bagaimana seharusnya keempatnya berfungsi,


(59)

commit to user

langsung menunjukkan jantung konsepsinya mengenai pendidikan dan dari hal tersebut dapat dilihat gagasannya mengenai hakikat manusia.

Pendidikan tidak lepas dari nilai dan budaya. Pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan formal menjadi bagian sangat politis karena pendidikan bukan hanya melibatkan semua lapisan pemerintah, tetapi berpengaruh dalam pembentukan warga sebuah negara. Sistem pendidikan merupakan pilihan ideologis masyarakat, bangsa, dan negara, karena itulah disebut persoalan masyarakat (Fiske, 1998: xxii).

Tokoh pendidikan pembebasan fenomenal yaitu Paulo Freire, tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Baginya, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.

Menurut Paulo Freire (1985: 33) pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas


(1)

commit to user

c. Dimensi pendidikan kaum marginal tampak pada perjuangan tokoh-tokoh dalam novel Laskar Pelangi untuk mewujudkan mimpi masa depan di tengah kondisi kemiskinan yang melilit mereka.

d. Laskar Pelangi memuat masalah-masalah sosial yang kompleks, salah satunya adalan pendidikan kaum marginal.

4. Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya

Andrea Hirata.

Pendidikan kaum marginal adalah pendidikan sekelompok masyarakat yang dimiskinkan oleh pembangunan yang terdiri dari buruh kasar dengan upah subsisten dari sebuah industri, kalangan petani yang tercekik struktur sosial ekonomi yang didominasi kaum kapitalis.

Ada dua ciri orang termarginalkan (tertindas). Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Hal ini tampak pada novel Laskar Pelangi, di mana masyarakat Melayu Belitong mayoritas hanya bekerja sebagai kuli.

Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Tampak dalam Novel Laskar Pelangi bahwa sepuluh anak yang dimasukkan oleh orangtuanya di Perguruan Muhammadiyah awalnya kosong, tidak paham bagaimana membaca dan menulis serta berhitung karena keluarga mereka buta huruf.


(2)

commit to user

Lasar Pelangi menunjukkan bahwa peran guru sejalan dengan pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi juga memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Bu Muslimah dan pak Harfan sadar, pendidikan mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Dalam Laskar Pelangi terdapat pemetaan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival

Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling

puncak adalah Transformation Consciousness.

5. Pandangan Dunia Andrea Hirata tentang Masyarakat Indonesia dalam

Novel Laskar Pelangi.

Pada hakikatnya pandangan dunia pengarang Andrea Hirata yang tercermin dalam novel Laskar Pelangi berupa persoalan budaya, perekonomian, kemiskinan, dan pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan. Latar belakang sosial Andrea Hirata merupakan seorang yang tumbuh di daerah kaya penghasil timah terbesar di Indonesia tetapi masyarakatnya miskin, hal ini membawa dampak kesenjangan dalam berbagai hal di antaranya kesenjangan perekonomian dan kemiskinan yang berdampak pada pendidikan masyarakatnya.

Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi mengungkapkan pandangannya mencakup tiga hal yaitu mengenai problematika, kemiskinan yang menjerat masyarakat, kesenjangan, dan memperjuangkan pendidikan.


(3)

commit to user

B. Implikasi

Novel Laskar Pelangi mempunyai implikasi dalam dunia pendidikan. Laskar

Pelangi merupakan gambaran realita pendidikan di Indonesia. Kekuatan cerita ada

pada penggambaran realita dan inspirasi yang dijabarkan secara cerdas. Kondisi pendidikani kaum marginal dengan latar belakang Pulau Belitong banyak ditemui di daerah lain.

Di tengah kondisi termarginalkan secara ekonomi dan politik berakibat sikap apatisme dan ketiadaan motivasi untuk meningkatkan kualitas diri dalam lingkungan masyarakatnya. Keberanian dan semangat anak-anak Laskar Pelangi untuk memperoleh pendidikan di tengah kondisi yang termarginalkan merupakan bentuk inspirasi yang berpengaruh secara luas dan mereka dapat mencapai cita-cita yang diimpikan.

Ide dasar cerita Laskar Pelangi adalah untuk keluar dari lingkaran masyarakat yang termarginalkan secara ekonomi maupun politik. Anak-anak anggota Laskar Pelangi sadar bahwa untuk keluar dari lingkaran tersebut dengan pendidikan. Solusi tepat bagi kaum marginal coba ditawarkan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi berupa kekuatan moral, semangat dan keberanian untuk keluar dari keadaan terpinggirkan.

Kekuatan moral yang dihasilkan dari pendobrakan atas kepasrahan kondisi menjadi kunci setiap individu untuk beranjak dari ketidakmampuan. Moralitas yang konsisten dalam pendidikan adalah investasi utama yang berharga. Hal tersebut dibuktikan anggota Laskar Pelangi.


(4)

commit to user

bagaimana memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, pribadi teguh, cerdas, akhlak mulia dan keterampilan. Sangat dibutuhkan dalam menggapai impian di tengah kondisi yang termarginalkan.

Sajian pendidikan humanis sebagaimana yang dikemukakan Paulo Freire sangat kental. Pendidikan yang humanis adalah sebuah pendidikan yang menghargai perbedaan individual mengajarkan anak didik untuk menjadi manusia yang berakal dan berbudi. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya keunikan antar manusia.

Implikasi dimensi pendidikan kaum marginal mempunyai pengaruh positif, mempengaruhi guru sebagai pendidik. Siswa sebagai peserta didik dan sekolah sebagai institusi pendidikan yang menyelenggarakan proses mendidik anak bangsa. Harapannya implikasi tersebut berimbas/terjadi pula pada pengambil kebijakan pendidikan yakni pemerintah.

Pengaruh bagi pendidik secara umum adalah mewujudkan pendidik yang mendidik dengan hati, mengedepankan pendidikan humanis, dan meninggalkan konsep pendidikan dehumanisasi. Siswa tidak lagi diperankan sebagai objek tetapi subjek dalam pendidikan. Hadirnya Laskar Pelangi memberikan contoh bagaimana menyelenggarakan pendidikan dengan menanggalkan pendidikan gaya bank, siswa hanya menyimpan pengetahuannya tanpa ditindaklanjuti dan didasari praktik.

C. Saran

Pada penelitian ini disampaikan saran sebagai berikut.

1. Pada aspek pendidikan, pendidikan bahasa dan sastra sebaiknya melakukan pengajaran dengan sistematika yang runtut dan detail agar mudah memahami dan


(5)

commit to user

menginterpretasi makna novel yang mendalam. Pencapaian hasil maksimal terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan dengan baik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak terpaku pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam.

2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens karena hal ini terkait dengan pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada akademis, tetapi juga perubahan (behavior).

3. Penelitian terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian sastra dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada dan dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki kerumitan kompleks.

4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta yang dapat menjadi pengaruh luas terhadap perwujudan efek-efek potensial di masyarakat.


(6)

commit to user  

169