Politik Pendidikan di Indonesia Pada Masa Sekarang

c. Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai – nilai dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat kemerdekaan ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek perkembangan dunia pendidikan pada masa periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. d. Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai – nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh – tokoh nasionalis. e. Periode kelima adalah periode Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena focus utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi. f. Periode keenam adalah periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga penataan system pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri prinsip – prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan terkait.

2. Politik Pendidikan di Indonesia Pada Masa Sekarang

Kekuasaan sebagai inti dalam berpolitik untuk mengurus urusan rakyat, sedangkan penyadaran sebagai inti proses pendidikan untuk pembebasan. Kedua kata antara politik dan Pendidikan adalah suatu kesatuan yang tidak 45 bisa terpisahkan dalam kehidupan nyata. Karena memang politik itu adalah pendidikan, dan pendidikan adalah politik itu sendiri John Dewey. Jika demikian halnya, maka kekuasan dalam artian kata politik untuk mengurus kepentingan rakyat harus membuat sistem pendidikan yang membebaskan. Membebaskan karena Pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia Ki Hajar Dewantoro. Dengan demikian segala bentuk pendidikan yang berdasarkan pada penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. UUD 1945. Pendidikan di Indonesia masih dehumanistik tidak membebaskan karena manajemen pendidikan nasional dalam pusaran kekuasaan H.A.R. Tilaar. Kebebasan dalam bernalar dihapuskan yang ada hanya penghafalan materi yang sangat teoritis, sehingga kita tak mampu membayangkan bagaimana wujud nyatanya ilmu itu. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menghargai proses dalam mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik. Bahwa segala bentuk pemaksaan dan hukuman pasti akan berakhir dengan kegagalan Evaluasi dan Remedial. Kegagalan pada peserta didik akan berdampak pada terciptanya manusia yang mudah stress, frustasi, dan penghayal. Bahayanya keadaan demikian akan memicu kerusakan moral, tindakan yang buruk, dan pengangguran. Arti pendidikan yang sebenarnya yaitu proses memanusiakan manusia untuk bisa menjadi manusia yang bisa menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan cara yang baik sesuai dengan hati nurani kata hati yang terdalam. Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia humanisasi merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya the man’s ontological vocation. 46 Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan. Namun dalam kenyataannya tidak menunjukkan suatu relevansi yang nyata. Bahkan riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10 dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan dan sebagainya. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan. Sekolah-sekolah international diperlukan sebagai respon terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda. Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi. Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Pendidikan Nasional semakin menyimpan banyak persoalan dan sampai sekarang belum terselesaikan. Banyak kasus pendidikan yang sempat menjadi keprihatinan kita bersama, seperti kasus contek massal, kasus penggusuran sekolah-sekolah yang secara tidak langsung menjadi indikasi bagi 47 keberlangsungan Pendidikan Nasional yang masih terseok-seok. Proses penyelenggaraan Pendidikan Nasional masih sering terbentur dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan, sistem sosial dan kesadaran kita sendiri. Dengan kata lain terdapat problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan dan problem visi Pendidikan Nasional yang masih belum bisa berpihak pada rakyat jelata. 48 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan