BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah Kabupaten Gayo Lues
Secara umum dalam uraian deskripsi daerah dan lokasi penelitian, sejauh mungkin penulis menggambarkan beberapa hal atau aspek yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diamati. Adapun tujuan pemaparan obyek penelitian, agar pembaca mengetahui secara sekilas tentang aspek-aspek yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Mengingat lokasi penelitian ini bertempat di Kabupaten Gayo Lues, alangkah baiknya penulis memaparkan bagaimana sejarah Gayo Lues.
Untuk mengetahui asal nama suku Gayo perlu penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam lagi karena setiap pemberian identitas, pengenal atau nama
dari sesuatu selalu dihubungkan dengan kronologi peristiwa yang berlatar belakang sejarah. Demikian pula halnya dengan nama yang disandang suku Gayo.
Rentang sejarah yang amat panjang jika dikaji dengan seksama dan mendasar, terkadang dijumpai silang pendapat atau perbedaan pendapat dalam menemukan
sisi kebenarannya. Hal ini disadari karena rentang waktu sejarah yang amat panjang, referensi yang terbatas ditambah keragaman keterangan oleh para nara
sumber yang sifatnya turun-temurun. Mengenai pendapat tentang asal nama Gayo terdapat keragaman, dengan
demikian belum ada data pasti dan penelitian khusus untuk mendapatkan keterangannya, ada beberapa pendapat Abidin, 1969 sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Pertama, kata Gayo ,berarti kepiting dalam bahasa batak Karo. Pada zaman dahulu terdapat serombongan pendatang suku batak Karo ke Blangkejeren,
mereka melintasi sebuah desa bernama Porang, tidak jauh dari perkampungan tersebut dijumpai telaga yang dihuni seekor kepiting besar, lantas para pendatang
ini melihat binatang tersebut dan berteriak “gayo...gayo...” konon dari sinilah kemudian daerah tersebut dinamai dengan Gayo. Kedua, dalam buku The Travel
of Marcopolo karya Marcopolo seorang pengembara bangsa Italia. Dalam buku ini dijumpai kata Drang-Gayu yang artinya orang Gayu Gayo. Ketiga, kata Kayo
dalam bahasa Aceh, Ka berarti sudah dan Yo berarti lari takut, Kayo berarti sudah takut lari. Keempat, kata Gayo berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu: Gayo berarti
gunung. Maksudnya orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kelima, dalam buku Busatanussalatin yang dikarang oleh Nuruddin Ar-Raniry, pada tahun 1637
Masehi yang tertulis dengan huruf Arab. Nama Gayo di atas ada juga disebutkan kata Gayor. Hal ini terjadi karena orang-orang tertentu tidak mengerti, bahwa
yang sebenarnya adalah kata Gayo. Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang
mendiami dataran tinggi Gayo
. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di Kabupaten
Aceh Tengah 25,
Bener Meriah 25,
Gayo Lues 25. Menurut
seorang Ahli Geologi asal Bali yang melakukan penelitian di Aceh Tengah suku Gayo merupakan suku primitif. Suku Gayo beragama
Islam dan mereka dikenal
taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa
Gayo . Namun dalam pembahasan ini hanya suku Gayo yang berdomisili di
Kabupaten Gayo Lues saja yang akan dibahas. Gayo Lues pada zaman Kerajaan Aceh pada masa Pemerintahan Sultan
Iskandar Muda daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukkan ke dalam
Universitas Sumatera Utara
Kerajaan Aceh. Gayo dan Alas dibagi atas beberapa daerah yang disebut Kejurun. Kepada Kejurun diberikan sebuah Bawar, pedang semacam tongkat komando
sebagai pengganti surat keputusan. Daerah Gayo dan Alas dibagi atas delapan Kejurun. Enam Kejurun di Gayo dan dua Kejurun di tanah Alas. Di Gayo yaitu :
Kejurun Bukit, Linge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesen dan Abuk di tanah Alas Batu Mbulan dan Bambel. Kejurun Patiambang berkedudukan di Penampaan
dengan luas daerah seluruh Gayo Lues dengan 55 kampung. Kepala pemerintahan dipegang kejurun dengan dibantu 4 orang Reje Cik yaitu : Porang, Kutelintang,
Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan, Gegarang dan Padang. Tugas utama Reje dan Reje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing dan memungut
pajak dari rakyat serta memilih kejurun. Kejurun setiap tahun menyetor upeti kepada Sultan Aceh.
Gayo Lues pada zaman kemerdekaan gema Proklamasi memakan waktu lama sehingga sampai ke Gayo Lues. Kepastiannya didapatkan pada akhir bulan
September 1945. Pada tanggal 04 Oktober 1945 teks Proklamasi dibacakan di Blangkejeren oleh Kolonel. Muhammad Din. Pada tahun 1946 Pemerintah Aceh
menetapkan daerah pedalaman menjadi satu Kabupaten Keluhakan yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Luhak Bupati dan ibu kota Kabupaten
dimusyawarahkan antara pemimpin dari Takengon, Blangkejeren dan Kutacane. Setelah diadakan musyawarah terpilih Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh
Tengah sedangkan Takengon dipilih menjadi ibu kota. A.R Hajat menjadi Patih, Mude Sedang menjadi Wedana Takengon, M. Saleh Aman Sari menjadi Wedana
Gayo Lues dan Khabar Ginting menjadi Wedana Tanah Alas. Setelah susunan pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah terasa kesulitan
Universitas Sumatera Utara
menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan Takengon-Blangkejeren- Kutacane sangat jauh. Kesulitan diatas menjadi asal mula perjuangan, maka sejak
tahun 1957 mulailah Gayo Lues dan Alas berjuang untuk membentuk Kabupaten sendiri. Setelah melalui perjuangan penuh liku-liku akhirnya pada tahun 1974
Gayo Lues dan Alas terbentuk menjadi Kabupaten yang dinamakan Aceh Tenggara dengan dasar hukumnya yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974
tertanggal 26 Juni 1974 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3034; Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang
Pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3034; maka status
Kewedanaan diganti dengan sebutan Pembantu Bupati. Namun sejak tahun 1975 s.d 1981 status Gayo Lues masih dalam transisi karena Gayo Lues dijadikan
Daerah Koordinator Pemerintahan untuk 4 Kecamatan. Baru pada tahun 1982 Kewedanaan Gayo Lues dijadikan Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues yang
dipimpin oleh Pembantu Bupati. Berhubung karena keterbatasan wewenang ditambah lagi luasnya daerah yang yang harus dikoordinir dan lagi pula minimnya
Pendapatan Asli Daerah Aceh Tenggara dan kesan kemajuan pembangunan Gayo Lues dinonaktifkan. Pada pertengahan Tahun 90-an transportasi Gayo Lues agak
mendekati titik terang dengan berfungsinya sarana jalan, sehingga menjadikan kota Blangkejeren sebagai simpang empat, yaitu: Blangkejeren-Takengon,
Blangkejeren-Aceh Selatan, Blangkejeren-Kutacane, Blangkejeren-Aceh Timur. Hal ini memicu percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah Gayo Lues yang
Universitas Sumatera Utara
mendukung PMDN dan PMDA untuk menanamkan modal. Faktor intern diatas ditambah lagi dengan faktor ekstern dengan diresmikannya Pembantu Bupati
Simeulu menjadi Kabupaten Administratif, menyusul Pembantu Bupati Biureun dan Pembantu Bupati Singkil menjadi Kabupaten Administratif. Keadaan inilah
yang merangsang masyarakat Gayo Lues untuk mengikuti jejak daerah tersebut. Pertimbangan tersebut diatas menjadi asal mula perjuangan, maka pada
akhir Tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blangkejeren untuk memperjuangkan Gayo Lues menjadi Kabupaten Administratif, untuk itu
dibentuk sebuah panitia persiapan peningkatan status wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues dinamakan panitia persiapan peningkatan status wilayah Pembantu
Bupati Gayo Lues di Blangkejeren, Kabupaten Aceh Tenggara dengan susunan panitia sebagai berikut:
Ketua : Drs. Maat Husin
Wakil Ketua : H. Husin Sabil
Wakil Ketua : H. Abdullah Wirasalihin
Wakil Ketua : AK. Wijaya
Wakil Ketua : H. Syahuddin Thamrin
Sekretaris : H. M. Saleh Adami
Wakil Sekretaris : Drs. Buniyamin
Bendahara : H.M. Yakob Mas
Dilengkapi dengan Biro-Biro : Biro Keuangan
: Drs. H. Saniman Biro Pendapatan
: Drs. Ramli. S, MM Biro Humas
: Syahril A.W
Universitas Sumatera Utara
Biro Seni Budaya : H. Ibrahim Sabri
Biro Hukum Dokumentasi : Drs. H. M Salim Wahab Biro Umum
: Rajab Abdullah Maksud dan tujuan panitia ini disampaikan kepada Bupati Aceh Tenggara.
Bertepuk tidak sebelah tangan, Bupati sangat setuju dan mendukung gagasan yang baik ini. Panitia meminta Bupati agar menyurati Gubernur dan Ketua DPRD I
Aceh. Permintaan ini disanggupi oleh Bupati dan Ketua DPRD II Aceh Tenggara dengan mengirim surat kepada Gubernur dan Ketua DPRD Aceh. Petinggi Aceh
lalu menyurati Menteri yang terkait di Jakarta termasuk pimpinan DPR-RI, pimpinan parpol dan lain-lain yang dirasa patut. Proses di Jakarta sedikit agak
terhambat mengingat situasi negarapun belum begitu stabil. Karena itu panitia, Pemerintah Daerah Aceh Tenggara dan masyarakat Gayo Lues yang berdomisili
di Jakarta berjuang terus tanpa mengenal lelah, tanpa biaya yang melimpah, bekerja tanpa pamrih demi terwujudnya sebuah Kabupaten. Selanjutnya Tahun
2000 Delegasi dikirim ke Jakarta dari Aceh Tenggara untuk penjajakan dan menemui Menteri Dalam Negeri, Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Parpol untuk
mohon bantuan. Setelah selesai proses yang agak panjang akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2001 DPOD menetapkan 4 calon Kabupaten dari Aceh dinyatakan
lulus menjadi Kabupaten, sedangkan Gayo Lues dikaji ulang. Masyarakat Gayo Lues, Pemerintah Daerah Aceh Tenggara, Pemerintah Daerah Aceh merasa tidak
puas dan kecewa, lalu mengirim Delegasi lagi ke Jakarta menemui petinggi di Jakarta termasuk Wakil Presiden RI, kepada mereka dimohon dengan hormat agar
Gayo Lues dapat diluluskan menjadi Kabupaten. Akhirnya DPOD menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten dalam sidangnya pada tanggal 18 Oktober 2001,
Universitas Sumatera Utara
tidak lama kemudian Pemerintah mengusulkan RUU Pembentukan Kabupaten Gayo Lues ke DPR-RI. Dalam sidang paripurna DPR-RI tanggal 11 Maret 2002
seluruh fraksi menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten beserta 21 Kabupaten Kota lainnya. Setelah itu masyarakat Gayo Lues mengusulkan kepada Bupati
Aceh Tenggara daftar 5 calon Pelaksana Tugas Bupati, yaitu: 1. Drs. Ramli. S, MM
2. Drs. Syamsul Bahri 3. Drs. Harun Al-Rasyid
4. Ir. Muhammad Alikasim, MM 5. Drs. Abdul Gafar
Pada tanggal 2 Juli 2001 Gayo Lues beserta 21 Kabupaten Kota lainnya diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno sebagai sebuah Kabupaten
serta dilanjutkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya,
Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421. Selanjutnya pada tanggal 6 Agustus 2002
Gubernur NAD Ir. Abdullah Puteh melantik Ir. Muhammad Alikasim, MM menjadi Pjs. Bupati Gayo Lues di GOR Kutacane, dengan demikian selesai
sebuah perjuangan yang suci untuk mewujudkan sebuah Kabupaten yang dicita- citakan.
4.1.2. Letak dan Kondisi Geografis