Ritual Perkawinan Adat Aceh Merupakan Salah Satu Wisata Budaya di Serambi Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam.

(1)

RITUAL PERKAWINAN ADAT ACEH SEBAGAI SALAH SATU WISATA BUDAYA DI SERAMBI MEKKAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

SYARAH AZIZ NIM. 052204100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON GELAR DALAM PROGRAM STUDI PARIWISATA

BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA MEDAN


(2)

RITUAL PERKAWINAN ADAT ACEH SEBAGAI SALAH SATU WISATA BUDAYA DI SERAMBI MEKKAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM

KERTAS KARYA Disusun :

O L E H

SYARAH AZIZ NIM. 052204100 Pembimbing

( Mukhtar S. Sos S. Par. M.A )

Kertas Karya Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Diploma III Dalam Program Studi Pariwisata.

FAKLUTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN NON GELAR DALAM PROGRAM STUDI PARIWISATA BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA MEDAN


(3)

Disetujui Oleh :

PROGRAM DIPLOMA SASTRA DAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, Juni 2010

PROGRAM STUDI PARIWISATA KETUA

Drs. Ridwan Azhar.M.Hum. NIP. 195509231982 03 1 001


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

PANITIA UJIAN PROGRAM PENDIDIKAN NON GELAR SASTRA DAN BUDAYA

FAKULTAS SASTRA USU MEDAN

UNTUK MELENGKAPI SALAH SATU SYARAT UJIAN DIPLOMA III DALAM BIDANG STUDI PARIWISATA

Pada :

Tanggal :

Hari :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

DEKAN

NIP. 196509091994 03 1 004 Prof. Syaifuddin. M.A, Ph.D

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Ridwan Azhar. M.Hum. ( )

2. Mukhtar. S.Sos, S.Par, MA ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis mulai dari memasuki perkuliahan hingga dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Adapun judul kertas karya adalah “ Ritual Perkawinan Adat Aceh Merupakan Salah Satu Wisata Budaya di Serambi Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam “. Kertas karya ini disusun sebagai salah satu syarat akademis dalam menempuh ujian Diploma III, Jurusan Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini masih jauh dari sempurna baik dari segi bahasa dan penulisannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan masukan bagi penulis.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan kertas karya ini, terutama pada :

1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, PhD, Selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Ridwan Azhar, M. Hum, Selaku Ketua Program Studi D III Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Bapak Solahuddin Nasution, SE. MSP. Selaku dosen Koordinator Praktek Jurusan Pariwisata Program Studi Usaha Wisata Falkutas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Mukhtar S.Sos S.Par. MA Selaku dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing penulis, di dalam penyusunan kertas karya ini.

5. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis MSP, Selaku dosen pembaca.

6. Seluruh dosen dane Staff Administrasi Program Studi Pariwisata D III yang telah membimbing dan mendidik penulis selama perkuliahan.

7. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Jafar Aziz yang selama ini telah banyak membantu penulis memberikan dukungan dan arahan juga bantuan moril dan material, buat Ibunda tercinta Alm – Iriani, walaupun udah 2 tahun gak jumpa tapi penulis masih ingat nasehat-nasehat yang Ibu berikan, Miss You Mom, aku cinta dan selalu menyayangi kalian sampai akhir hayat, dan kalian selalu ada dihatiku. 8. Buat adik-adik penulis Syafir Omar Aziz, Syah Akbar Aziz, dan Syavira

Aziz, belajarlah dengan giat ya, jangan kecewakan orang tua kita, dan semoga keluarga kita dilindungi Allah SWT. Amin.

9. Buat teman-teman penulis yaitu UW ‘05 Dola, Tika, Lidya, Agus, Sinta, Fadlan, Kak Manda, Maya, Ali, Trias, Nina, I Miss You All Fren, Penulis akan selalu ingat akan kenangan-kenangan kita.


(7)

10. Buat teman-teman seperjuangan penulis UW ’07 Ririn, Serra, Kiky, Bulan, Katmy, Permana, semoga kita menjadi orang yang sukses dikemudian hari.

11. Buat teman-teman yaitu UW ’08 Fachriza Risti, Siska Pertiwi, Putri Nurisa Faradila, dan Risha Suciana, makasih atas dukungannya ya woi, kakak pasti bakalan kangen ama kelen.

12. Buat teman dekat penulis Kay Guevara, makasih banyak atas dukungan dan semangatnya ya , penulis tidak akan lupa atas kebaikannya. I LOVE YOU.

Penulis sadar masih banyak kekurangan yang terdapat dalam kertas karya ini, baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh sebab itu penulis sangat mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan kertas karya ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian dan semoga kertas karya ini dapat memberikan masukan bagi mahasiswa Pariwisata USU khususnya program Studi Usaha Wisata dan masyarakat pada umumnya.

Medan, Juni 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Metode Penelitian ... 3

1.5 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II URAIAN TEORITIS ... 5

2.1 Pengertian Ritual ... 5

2.2 Pengertian Pariwisata Budaya ... 5

2.3 Pengertian Kebudayaan ... 6

2.4 Pengertian Perkawinan Adat... 8

2.5 Upacara Adat Perkawinan Sebagai Salah Satu Objek dan Daya Tarik Wisata ... 9

BAB III GAMBARAN UMUM NANGGROE ACEH DARUSSALAM ... 11

3.1 Letak Geografis ... 11

3.2 Jumlah Penduduk ... 12

3.3 Latar Belakang Kebudayaan Aceh ... 12

3.3.1 Latar Belakang Sejarah ... 12


(9)

3.3.3 Bahasa dan Kesenian ... 15

BAB IV RITUAL PERKAWINAN ADAT ACEH YANG MERUPAKAN SALAH SATU DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI SERAMBI MEKKAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM ... 19

4.1 Adat Sebelum Perkawinan... 19

4.2 Tujuan Perkawinan Menurut Adat ... 19

4.3 Bentuk-Bentuk Perkawinan ... 21

4.3.1 Bentuk Kawin Biasa ... 21

4.3.2 Bentuk Perkawinan Dengan Cara Kawin Lari ... 22

4.3.3 Bentuk Kawin Ganti Tikar ... 23

4.4 Syarat-Syarat Perkawinan ... 24

4.5 Upacara Sebelum Perkawinan ... 27

4.5.1 Duduk Bermufakat ... 27

4.5.2 Mengantarkan Tanda ... 28

4.5.3 Ketentuan-Ketentuan Lain ... 29

4.6 Upacara Peresmian Perkawinan Pada Masyarakat Aceh ... 30

4.6.1 Malam Berinai ... 31

4.6.2 Mengisi Batil ... 32

4.6.3 Upacara Mandi Berlimau ... 32

4.6.4 Upacara Mengantar Mempelai ... 33

4.6.5 Upacara Menerima Mempelai ... 33


(10)

4.6.7 Upacara Bersanding ... 34

4.6.8 Santap Adap-Adapan ... 35

4.6.9 Upacara Mandi Bardimbar ... 35

4.7 Upacara Sesudah Perkawinan ... 36

4.7.1 Upacara Jemput Pengantin ... 36

4.7.2 Upacara Perkenalan dan Beramah Tamah ... 37

4.7.3 Upacara Perpisahan ... 38

BAB V PENUTUP ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(11)

ABSTRAK

Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang mempunyai potensi alam, seni dan budaya yang cukup besar yang dapat dijadikan sebagai modal untuk mengembangkan industri pariwisata pula kehidupan dan tradisi yang dimiliki pariwisata pola kehidupan dan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk adat-istiadat, pakaian, kepercayaan dari suku bangsa bahkan upacara adat perkawinan suku bangsa tertentu merupakan komponen kebudayaan yang penting sebagai objek dan daya tarik wisata budaya yang dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pengunjung selain keuntungan ekonomi bagi daerah tersebut serta dapat dijadikan sumber divisa bagi Negara untuk pembangunan bangsa.

Indonesia memliki beragam adat istiadat pelaksanaan upacara pernikahan, maka apabila dikelola secara professional, ternyata banyak sisi menarik dari adat istiadat pernikahan di Nusantara salah satunya adat upacara pernikahan pada suku Aceh yang bisa dijadikan salah satu daya tarik wisata budaya. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh, pertunangan sampai pada upacara peresmian perkawinan. Adat perkawinan pada masyarakat Aceh memainkan peranan yang penting dalam memelihara ikata kelompok dan solidaritas yang sangat menarik untuk dipelajari sebagai wisata dalam mengembangkan kepariwisataan khususnya wisata budaya serta meningkatkan apresiasi wisatawan terhadap seni dan budaya.


(12)

ABSTRAK

Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang mempunyai potensi alam, seni dan budaya yang cukup besar yang dapat dijadikan sebagai modal untuk mengembangkan industri pariwisata pula kehidupan dan tradisi yang dimiliki pariwisata pola kehidupan dan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk adat-istiadat, pakaian, kepercayaan dari suku bangsa bahkan upacara adat perkawinan suku bangsa tertentu merupakan komponen kebudayaan yang penting sebagai objek dan daya tarik wisata budaya yang dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pengunjung selain keuntungan ekonomi bagi daerah tersebut serta dapat dijadikan sumber divisa bagi Negara untuk pembangunan bangsa.

Indonesia memliki beragam adat istiadat pelaksanaan upacara pernikahan, maka apabila dikelola secara professional, ternyata banyak sisi menarik dari adat istiadat pernikahan di Nusantara salah satunya adat upacara pernikahan pada suku Aceh yang bisa dijadikan salah satu daya tarik wisata budaya. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh, pertunangan sampai pada upacara peresmian perkawinan. Adat perkawinan pada masyarakat Aceh memainkan peranan yang penting dalam memelihara ikata kelompok dan solidaritas yang sangat menarik untuk dipelajari sebagai wisata dalam mengembangkan kepariwisataan khususnya wisata budaya serta meningkatkan apresiasi wisatawan terhadap seni dan budaya.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Perkembangan kepariwisataan di Indonesia tidak terlepas dari pembangunan pariwisata nasional yang menitikberatkan kepada usaha dalam negeri dengan tujuan mempromosikan dan memperkenalkan kebudayaan yang beraneka ragam, keindahan serta peninggalan-peninggalan sejarah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah RI mencanangkan dan mengeluarkan berbagai kebijaksanaan peraturan serta keputusan tentang kepariwisataan nasional agar perkembangan kepariwisataan nasional dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam GBHN.

Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masyarakatnya bersifat multi etnis Arab, China, Hindia,. Di daerah ini terdapat 8 sub etnis yaitu Aceh Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis tersebut mempunyai sejarah budaya yang berbeda-beda, termasuk juga pada upacara adat perkawinannya. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan sesuatu yang sangat sakral, sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa peresmian perkawinan yang dapat dijadikan daya tarik wisata budaya.


(14)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis memilih mengetengahkan kertas karya dengan judul “Ritual Perkawinan Adat Aceh Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Budaya di Serambi Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam“ dengan alasan sebagai berikut :

1. Rasa ingin tahu penulis tentang bagaimana jalannya upacara perkawinan pada masyarakat Aceh.

2. Upacara perkawinan merupakan unsur budaya yang perlu dihayati karena upacara perkawinan mengatur dan mengkukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat eratantar manusia yang berlainan jenis.

3. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan daya tarik wisata budaya.

4. Untuk membina kesatuan bangsa dan Upacara Perkawinan Adat Aceh memegang peranan penting yakni terjadinya perkawinan campuran baik antara suka bangsa maupun daerah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan ritual Adat Aceh di Naggroe Aceh Darussalam ? 2. Bagaimana upaya ritual perkawinan adat Aceh menjadi daya tarik di

Nanggroe Aceh Darussalam ?

3. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam upacara perkawinan adat pada masyarakat Aceh ?


(15)

4. Bagaimana susunan acara jalannya upacara adat pada masyarakat Aceh tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar ahli madya Pariwisata pada program studi Pariwisata Bidang Keahlian Usaha Wisata di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ingin mendalami perkawinan adat Aceh.

3. Untuk memperkenalkan perkawinan pada masyarakat Aceh kepada masyarakat luas agar dihayati dan dilestarikan serta sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan tentang kebudayaan bagi wisatawan.

4. Ingin mendalami perkawinan adat Aceh agar dapat menjadi daya tarik Pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam.

1.4 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode untuk mengumpulkan informasi, untuk memperoleh data-data di lapangan, digunakan beberapa metode deskriptif dan kualitatif. Tehnik pengumpulan data tersebut mempergunakan observasi dan wawancara Tanya jawab. Selain itu penulis juga menggunakan metode kepustakaan untuk mengumpulkan informasi. Penggunaan metode ini dilakukan sebelum penulis turun ke lapangan. Pengumpulan bahan kepustakaan bersifat selektif, artinya penulis mengumpulkan bahan-bahan bacaan sesuai dengan kebutuhan,


(16)

terutama yang berkisar tentang teori adat dan upacara perkawinan dan keadaan wilayah Aceh.

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan meliputi tentang alasan pemilihan judul, rumusan masalah, Metodologi penulisan, tujuan penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Uraian teoritis kepariwisataan meliputi tentang pengertian Kebudayaan,

Pengertian objek dan daya tarik wisata, dan pengertian Pariwisata budaya. BAB III : Gambaran umum tentang Nanggroe Aceh Darussalam meliputi letak

Geografis dan latang belakang kebudayaan Aceh.

BAB IV : Upacara perkawinan adat Aceh sebagai berikut salah satu daya tarik wisata budaya meliputi serangkaian upacara sebelum perkawinan. Upacara peresmian perkawinan dengan upacara sesudah perkawinan.


(17)

BAB II

URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN

2.1 Pengertian Ritual

Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual bersifat pribadi atau kelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, dll. Ritual itu dasarnya sering bersifat sosial kemudian menjadi ekonomis lalu berkembang menjadi tata cara suci agama.

Dalam masyarakat tradisional praktek-praktek ritual sering dilakukan. Dalam prakteknya ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada bersifat psikologi. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan prilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok kebersamaan. Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis.

2.2 Pengertian Pariwisata Budaya

Pariwisata Budaya dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang membuat orang dapat menjelajahi atau merasakan cara hidup yang berbeda dari orang lain yang


(18)

menggambarkan sosial kebudayaan, tradisi keagamaan, dan ide-ide intelektual dari sebuah warisan budaya yang mungkin saja masih asing baginya.

Selanjutnya (Boniface, 1995:5) menyatakan bahwa pariwisata budaya adalah salah satu jenis pariwisata yang berhubungan dengan kehidupan manusia dengan cara hidup serta hasil karya yang dihasilkan para leluhur dan di wariskan secara turun temurun sebagai daya tarik.

Berdasarkan definisi di atas dapat dijelaskan bahwa pariwisata budaya adalah kegiatan wisata yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana kebudayaan itu berada dalam suatu masyarakat. Kegiatan itu bisa dilakukan wisatawan ke suatu wilayah yang belum pernah didatangi atau diketahui. Walaupun hanya sekedar dengan melihat, mengamati, atau berdiskusi tentang suatu komunitas pemilik kebudayaan itu. 2.3 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah yang merupakan jamak dari Budhi (Budi atau Akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Banyak ahli yang memberikan definisi tentang kebudayaan. Semua dapat membantu kita mengetahui apa sebenarnya kebudayaan. E.B Taylor dalam bukunya “PRIMITIVE CULTURE“ menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, huku m, adat-isitiadat dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.


(19)

Kebudayaan juga merupakan jumlah dari seleruh sikap dan juga merupakan pola-pola yang dihasilkan oleh interaksi sosial.

Menurut Mitchell kebudayaan adalah sebagaian dari perulangan keselurahan tindakan atau aktivitas manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan diahlikan secara genetikal, kebudayaan ini juga untuk menggambarkan adat-isitiadat, kepercayaan, bentuk-bentuk sosial.

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar yang semuanya tersusun dalam masyarakat, kebudayaan juga bisa ditransmisikan melalui bahasa, objek material, ritual, institusi dan kesenian dari suatu generasi ke generasi lain.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu adalah hasil karya manusia yang berupa benda maupun kesenian baik seni suara, seni musik dan seni-seni lainnya yang didapatkannya dengan cara belajar.

Selanjutnya menurut Koentjaraningrat kebudayaan memiliki tujuh unsur yang ada dalam masyarakat. Adapun unsur-unsur tersebut adalah :

1. Relegi dan Upacara Keagamaan

2. Organisasi dan Sistem Kemasyarakatan 3. Sistem Pengetahuan

4. Sistem Bahasa 5. Sistem Kerajinan


(20)

7. Sistem Mata Pencariaan

Tujuh unsur itu dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan yaitu : 1. Ide, gagasan, nilai-nilai dan norma-norma

2. Aktivitas, kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Artefak atau benda-benda hasil karya manusia.

2.4 Pengertian Perkawinan Adat

Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunan. Dalam syariat Islam menetapkan aturan perkawinan yang merupakan tuntutan agama.

Perkawinan adat adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) hampir semua lingkungan masyarakat adat menempatkan masalah perkawinan sebagai urusan keluarga dan masyarakat.

Adat-istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan berisi tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasangan dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga perkawinan ini dapat pengabsahan dari masyarakat. Tata cara rangkaian adat perkawinan itu terangkat dalam suatu rentetan kejadian upacara perkawinan. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku yang dibukukan untuk peristiwa-peristiwa yang di tunjukan kepada kegiatan sehari-hari akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan diluar kekuasaan manusia, oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan kedua mempelai ditampilkan secara istimewa.


(21)

Yang dimaksud dengan adat perkawinan adalah segala adat kebiasaan yang dilazimkan dalam suatu masyarakat untuk mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan. Masalah-masalah itu akan timbul sebelum ataupun sesudah perkawinan dilaksanakan. Masalah yang timbul sebelum perkawinan disebut adat sebelum perkawinan, sedangkan masalah sesudah perkawinan disebut adat sesudah perkawinan.

Sedangkan yang dimaksud dengan upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan agar terjadi suatu perkawinan disebut upacara pelaksanaan perkawinan sedangkan kegiatan-kegiatan untuk menetapkan suatu perkawinan disebut upacara sesudah perkawinan.

2.5. Upacara Adat Perkawinan Sebagai Salah Satu Objek dan Daya Tarik Wisata

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya dari setiap daerah yang didiami oleh etnis yang berbeda pula. Budaya tersebut merupakan salah satu unsur pendukung kegiatan pariwisata yang juga disebut jenis pariwisata budaya.

Salah satu budaya yang ada di Indonesia adalah upacara adat perkawinan yang merupakan warisan nenek moyang dan di dalamnya terdapat aturan-aturan tata pelaksanaan adat yang telah diatur dalam tata krama adat sesuai daerah masing-masing. Upacara perkawinan adalah hal yang paling kuat mengikat hidup kelompok manusia.


(22)

Ditinjau dari sisi lain, perkawinan mempunyai akibat yang sangat luas dan sangat penting, baik bagi suami istri yang bersangkutan maupun bagi keluarga dan masyarakat.

Dengan suatu perkawinan timbul berbagai hubungan hukum yang berisi hak dan kewajiban antara suami dan istri secara timbal balik, antara mereka dan anak-anaknya (keturunannya), begitu pula hubungan hukum dengan yang lain seperti masalah sosial misalnya dengan harta dan kekayaannya. Begitu penting arti ruang lingkungannya dan segala permasalahannya, sehingga memerlukan pengaturan yang seksama yang dilandasi dasar-dasar yang fundamental secara konstitusional maupun idiil yang dapat dipertanggungjawabkan.

Hal inilah yang menjadi suatu kegiatan menarik dan memiliki potensi untuk dijadikan event yang dapat dipertontonkan bagi wisatawan dan merupakan informasi serta menambah pengetahuan tentang daerah-daerah dinegara lain di samping ingin mendapat kepuasan, entertainment dan hasil kebudayaan suku bangsa.


(23)

BAB III

GAMBARAN UMUM

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

3.1 Letak Geografis

Kota Banda Aceh adalah ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu kota ini bernama Kutaraja, kumudian sejak 28 Desember 1962 namanya diganti menjadi Banda Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya, Kota yang telah berumur 796 tahun ini-berdasarkan Perda Aceh No. 5 / 1988, tanggal 22 April 1970 ditetapkan sebagai tanggal keberadaan kota tersebut.

Wilayah kota Banda Aceh sangat strategis berada pada jalur pelayaran Selat Malaka dan Lautan Hindia, berhadapan dengan jarak tidak terlalu jauh dengan Negara tetangga Malaysia dan Vietnam, Kamboja.

Kota Banda Aceh luasnya 61,36 Km2, terletak pada 05.300 – 05.350 LU dan 95.300 – 99.160 BT, dengan posisi membujur dari arah Selatan ke Barat Laut, berbatas sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah Timur Indonesia kabupaten Aceh Besar, terdiri dari 9 kecamatan, 69 desa (Gampong) dan 20 Kelurahan. Permukaan tanah kota Banda Aceh pada umumnya datar, dengan ketinggian rata-rata 0.80 cm diatas permukaan air laut. Ada beberapa sungai yang melintasi kota Banda Aceh, tetapi yang terkenal Gubernur Aceh (bekas istana raja) dan Taman Putroe Phang peninggalan taman permaisuri Sultan Iskandar Muda.


(24)

Kota Banda Aceh selain sebagai sebuah kota Otonomi, kedudukannya juga sebagai Ibu Kota Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan pusat perdagangan dan pusat pengembangan budaya. Kota Banda Aceh memiliki Landmark dan peninggalan sejarah dan budaya yang indah dan mempesona.

3.2 Jumlah Penduduk

Penduduk Kota Banda Aceh mayoritas beragama Islam 146.409 jiwa atau 69%, Katolik 984 jiwa atau 0,46%, Kristen 602 jiwa atau 0,28%, Hindu 11 jiwa atau 0,005%, Budha 268 jiwa atau 0,12,5% dan pemeluk konghucu.

Akibat bencana gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004 yang lalu terjadi perubahan besar pada Kota Banda Aceh, baik geografisnya, struktur penduduk, struktur ekonomi maupun struktur sosial. Kerugian akibat bencana ini bagi Kota Banda Aceh tidak dari empat trilyun rupiah belum terhitung harta benda masayarakat.

Penduduk Kota Banda Aceh sebelum trusnami berjumlah 265.553 jiwa, yang berdiri dari laki-laki berjumlah 141.154 jiwa, perempuan berjumlah 101.839 jiwa.

Tingkat kepadatan sebelum tsunami mencapai 4.328 jiwa / km2, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 4,5%. Akibat korban bencana tsunami penduduk Kota Banda Aceh sekarang setelah tsunami kira-kira 3.483 jiwa / km2.


(25)

3.3 Latar Belakang Kebudayaan Aceh 3.3.1 Latar Belakang Sejarah

Seperti bagian Indonesia lainnya daerah Aceh juga telah lama didiami oleh manusia. Hal ini dapat dipahami apabila diamati letak geografis daerah Aceh yang relative menguntungkan dalam hubungan interaksi antar dua pusat peradaban kuno, yaitu India dan Tiongkok. Tentu saja sedikit banyak unsur peradaban dan kebudayaan kedua kebudayaan itu ikut menyerap ke dalam berbagai segi kehidupan penduduk Aceh pada waktu itu.

Letak yang strategis inilah barangkali makanya agama Islam masuk dan menyebar ke kepulauan Indonesia, dan Aceh merupakan daerah yang mula-mula dimasukinya. Pemberian gelar “ Seuramo Meukah “ ( Serambi Mekkah ), sekurang-kurangnya memberi gambaran betapa arti Aceh dalam hubungan dengan penyebaran agama Islam di kepulauan Indonesia. Kendatipun kapan waktu yang pasti masuknya Islam di Indonesia masih menjadi persoalan, namun toh Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah di Samudra Pasai dan Perlak 9 : 50-51.

Berdirinya kerjaan Islam Pasai dan Perlak sekitar abad ke 13 telah memberi bentuk kepada azas perkembangan adat dan budaya.

3.3.2 Sistem Pengetahuan

Masyarakat adat Aceh demikian juga dengan masyarakat adat Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo dan Alas memiliki sistem pengetahuan yang mencakup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam dan waktu. Sungguhpun semua masyarakat adat tersebut memilik pengetahuan mengenai fauna, flora, bagian tubuh manusia


(26)

gejala alam dan waktu, itu hanya diketahui sekolompok kecil anggota masyarakat. Mereka yang mengetahui dan memiliki pengetahuan tadi terdiri dari “dukun“, “orang tua adapt“ dan “keujruen“.

Dalam hubungan dengan adat dan upcara perkawinan, sistem pengetahuan dipergunakan dalam mencocokan “bintang“ sepasang bakal penganten, memiliki waktu untuk melaksanakan pesta peresmian, dan menjarangkan anak. Pada kasus yang pertama yaitu penyesuaian bintang, seseorang dukun akan menghitung suku kata dari kedua calon pengantin. Suku kata tersebut dilambangkan dengan makhluk dan benda tertentu yang mempunyai nilai harga. Dengan mempergunakan rumusan tertentu pada akhirnya dukun akan dapat menentukan bagaimana tingkah laku, perangai dan pri kehidupan kedua bakal pengantin yang akan membangun rumah tangga.

Pada kasus yang kedua yaitu perjalanan pemilihan waktu pelaksanaan pesta peresmian pesta perkawinan. Agama Islam yang dianut oleh semua masyarakat adat membawa pengaruh terhadap perhitungan waktu. Hal ini terlihat pada setiap masyarakat adat yang mempergunakan sistem kalender kamariah disamping kalender masehi. Untuk melaksanakan upacara peresmian masyarakat adat mempunyai waktu-waktu tertentu yang dianggap “kurang baik“. Waktu-waktu-waktu yang dianggap kurang baik tersebut, selain dari bulan puasa dan hari-hari besar Islam adalah bulan Syafar.

Pada kasus yang ketiga yaitu persoalan menjarangkan anak. Semua masyarakat adat mengenal teknik penjarangan anak tradisional. Teknik yang lazim dipergunakan yaitu dengan “Menguruf “ atau “Mengusuk“ meminum ramua tertentu.


(27)

Pada bentuk yang pertama yaitu mengurut akan dikusuk atau diurut oleh “Bidan“ kampung. Bila perempuan tersebut telah dikusuk maka untuk selanjutnya ia tidak akan hamil lagi.

3.3.3 Bahasa dan Kesenian

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh, Bahasa Indonesia. Meskipun banyak yang menggunakan Bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bangsa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa didaerah lain, Bahas Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bakan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama didaerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya.

Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni Bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Keusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda seru, kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).

Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersekutu dua, seperti “ turun “ menjadi “ tru one “, karena hilangnya suku pertama, seperti “ daun “ menjadi “ beuen “.


(28)

Disamping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia Bagian Timur.

Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan Bahasa Aceh. Selain itu, adapula masyarakat yang memadu kan antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, Bahasa Aceh lebih dominant dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.

Tradisi bahasa tulisan dalam huruf Arab Melayu yang disebut bahasa Jawi, Jawoe, bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

Bahasa lain yang digunakan di Aceh adalah Bahasa Gayo yang diturunkan di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur, Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di Kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.


(29)

Di daerah adat Aneuk Jamee terdapat beberapa bentuk kesenian yang lazim dipertunjukan adalah sebagai berikut : Kra kuda, badampiang, daba, gandang selusin, dan panka gelombang.

Rantak Kudo adalah suatu bentuk pertunjukkan kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang. Dalam bentuk kesenian ini terpadu unsur seni suara dan seni tari. Badampiang juga merupakan suatu bentuk kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang.

Seperti halnya dengan rantak kudo, dalam bentuk kesenian ini terpadu unsur seni dan seni suara. Kaba atau ceritera adalah bentuk kesenian yang sama seperti haba dalam masyarakat adat Aceh, kaba yang sering diceritakan di sana adalah kaba Unggeh Bamban dan Cindua Mato

Di daerah Aceh Tamiang terdapat beberapa bentuk kesenian yang lazim dipertunjukkan, antara lain pencak, pelintau, nasyid. Pencak adalah bentuk seni bela diri yang dimainkan oleh dua orang yang saling bertarung. Pelintau juga merupakan seni bela diri yang dimainkan oleh dua orang yang saling bertarung. Bila pada silat senjata yang dipergunakan terdiri dari pisau atau pedang, maka pada palintau senjata yang dipergunakan adalah kayu.

Nasyid adalah suatu bentuk kesenian yang dimainkan oleh seregu anak perempuan dengan menggunakan rebana. Pada bentuk kesenian ini terpadu unsur seni tari, seni musik dan seni suara.

Di daerah Alas terdapat beberapa bentuk kesenian yang lazim dipertunjukkan, antara lain : canang, cerite atau sukuten, lagam. Canang adalah gendrang yang


(30)

dipukul dengan irama tertentu oleh beberapa orang. Cerite atau ceritera adalah hampir sama dengan haba pada masyarakat adat Aceh dan kaba pada masyarakat adat Aneuk Jamee. Cerite yang lazim diceriterakan adalah suketen dilayar dengan Beghu Dinem dan cerite suketen si Pehe dengan Beghu Dihe. Lagam adalah suatu bentuk kesenian yang dimainkan oleh dua orang. Kedua orang tersebut salaing beralasan pantun sehingga hampir menyerupai nasib dalam kesenian Aceh.

Selain dari bentuk-bentuk kesenian di atas, semua masyarakat mengenal beberapa pertunjukkan kesenian lagi, yang sering dipertunjukkan pada waktu upacara perkawinan. Bentuk-bentuk kesenian tersebut adalah dalam bentuk musik yaitu orkes, band, kesemua daerah adat, bersamaan dengan arus modernisasi.

Dalam hubungan dengan adat dan upacara perkawinan, seni lukis atau seni ukir juga mendapat tempat yang penting, seni ukir dan seni lukis terlihat pada tempat pelaminan, kostum pakaian acara-acara kesenian di atas, kostum pakaian penganten, hiasan tirai, hiasan langit-langit hiasan tempat tidur, tikar dan sebagainya.


(31)

BAB IV

RITUAL PERKAWINAN ADAT ACEH YANG MERUPAKAN SALAH SATU DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI SERAMBI MEKKAH

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

4.1 Adat Sebelum Perkawinan

Yang dimaksud dengan adat sebelum perkawinan ialah segala kelaziman, aturan-aturan, ide-ide dan segala tata cara yang ditempuh sebelum perkawinan berlangsung. Dalam hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

4.2 Tujuan Perkawinan Menurut Adat

Secara biologi perkawinan mempunyai tujuan dalam rangka meneruskan keturunan, demkian pula perkawinan itu mempunyai tujuan pokok untuk memenuhi hasrat seksual manusia. Antara tujuan memperoleh anak dan perbuatan seksual dalam perkawinan terdapat hubungan yang kausal dengan akibat hukum tertentu, terutama bagi kedudukan anak. Kelahiran anak perempuan mempunyai arti tersendiri. Karena menurut adat disana, anak perempuan apabila telah kawin akan tetap tinggal di rumah orang tuanya, mengurus suami, anak-anaknya, juga orang tuanya yang telah uzur. Keadaan yang demikian itu menunjukkan bahwa hubungan kasih sayang orang tua dengan anak perempuan lebih akrab dibanding dengan anak laki-laki.

Sebaiknya kelahiran anak laki mempunyai arti tersendiri pula. Anak laki-laki selalu dipandang sebagai perlambang kepemimpinan dalam keluarga, di samping


(32)

dianggap sebagai penerus keturunan, pembawa nama dan gelar. Demikian pula dalam hal penentuan warisan, biasanya kedudukan anak laki-laki juga lebih penting dari anak perempuan, demikian pula yang menyangkut hak dan kewajiban serta peranan yang lain dalam masyarakat.

Namun demikian kedudukan perempuan tidak pula dapat dianggap rendah, karena pada sistem sosial masyarakat tersebut terdapat ketentuan lain yang memberi keseimbangan. Keseimbangan sosial itu dicapai dengan kewajiban menghormati kelompok keluarga pemberi gadis dalam hubungan perkawinan (konnubioum) disamping adat kebiasaan membayar uang jujur kepada keluarga si gadis, sebagai imbalan yang tidak bisa saja bersifat material tetapi juga bersifat non material (magis).

Tujuan yang bersifat biologis lainnya ialah bahwa perkawinan bertujuan memuaskan nafsu syahwat dan kebutuhan seksual, meskipun hal itu bukan merupakan tujuan utama perkawinan, justru nafsu seksual itu dapat juga dipuaskan di luar lembaga perkawinan. Tujuan perkawinan pada hakekatnya adalah legalisasi tingkah laku seksual antara suami istri yang sah, guna menampung semua akibatnya, terutama keturunan atau kelahiran anak.

Hampir semua kelompok adat di Aceh tujuan-tujuan dan motif seksual ini tidak banyak dibicarakan, karena dianggap sesuatu yang tabu. Namun motif-motif seksual ini ada dan hidup dalam kesadaran masyarakat. Di satu pihak norma-norma adat tidak menyediakan media pergaulan bebas sebagai sarana penyaluran hasrat muda mudi. Kecuali kita jumpai secara terbatas terdapat pada masyarakat Adat Gayo,


(33)

Alas, dan Tamiang. Malah pada masa-masa kematangan seksual di kalangan muda-mudi terjadi semacam pengendalian sosial yang amat keras (terutama bagi anak gadis), misalnya dalam bentuk pingitan. Namun di pihak yang lain norma adat di Aceh secara umum memberi tekanan apabila telah sampai waktunya (kematangan seksual). Dalam bahasa Aceh disebut “ trou umu “.

Yang lebih penting dari fungsi biologis adalah fungsi sosial perkawinan. Pasangan yang baru saja melakukan perkawinan, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui oleh anggota-anggota masyarakat. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamnya dan kadang-kadang dengan anggota kerabat lainnya dalam mengasuh rumah tangga.

Prinsip-prinsip tersebut di atas juga berlaku pada semua kelompok adat di daerah Aceh. Salah satu maksud perkawinan pada masyarakat Aceh adalah untuk memperluas kaum kerabat, sekaligus merapakan hubungan yang sudah ada.

Tujuan lain dari perkawinan adalah dalam tangka peningkatan status sosial. Hampir pada semua kelompok sosial perkawinan untuk pertama kalinya dianggap sebagai lambing kedewasaan.

4.3 Bentuk-Bentuk Perkawinan 4.4.1 Bentuk Kawin Biasa

Yang dimaksud perkawinan biasa dalam masyarakat Aceh, ialah perkawinan yang berlangsung menurut ketentuan norma agama, yang sekaligus berdampingan dengan norma-norma adat-istiadat (hukum adat). Norma agama yang dimaksud ialah


(34)

ketentuan menurut hukum Islam, yang diperlukan secara mutlak, tanpa meninggalkan syarat-syaratnya yang minimal untuk sahnya perkawinan. Yang dimaksud ketentuan adat ialah semua ketentuan adat yang dalam kenyataan diperlukan sesuai dengan keterikatan dalam adat masyarakatnya, atau menurut batas-batas kemampuan dan penghayatan anggota-anggota masyarakat terhadap adatnya. Dengan demikian intensitas berlakunya hukum adapt dalam perkawinan adalah relative sekali.

Dikatakan perkawinan biasa pada semua kelompok adat di Aceh tidak lain karena perkawinan itu terjadi untuk pertama kalinya antara seorang laki-laki (pemuda) dengan seorang wanita (gadis), yang pada umumnya dimaksudkan sebagai perkawinan pasangan tunggal (monogam). Perkawinan itu biasanya dimulai dengan datangnya lamaran dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki dan kemudian diteruskan menjadi hubungan pertunangan yang kadang-kadang berlangsung agak lama satu sampai dua kali panen. Keumeukoh (Aceh) di gotam (Tamiang). Selanjutnya pada perkawinan sejak lamaran diterima sampai pada upacara-upacara sesudah kawin.

4.4.2 Bentuk Perkawinan Dengan Cara Kawin Lari

Bentuk perkawinan lari merupakan bentuk pranata yang hamper tidak dikenal dalam masyarakat adat Aceh, sehingga tidak diketumkan suatu istilah khusus untuk itu di dalam bahasa daerah Aceh. Kawin lari nampaknya suatu perkembangan baru dalam kebiasaan Aceh. Kemungkinan setelah semakin berkembang pergaulan bebas yang menyebabkan semakin sering terjadi hubungan-hubungan azas insiatif dari muda-mudi yang bersangkutan.


(35)

Pada umumnya kawin lari terjadi disebabkan ketiadaan restu dan persetujuan orang tua atau wali si gadis. Padahal di antara dua muda-muda itu telah terjadi hubungan percintaan yang mendalam sekali dan bersepakat untuk kawin dengan cara bagaimanapun. Sebab yang tidak mampu pihak laki-laki menunaikan atau memenuhi mas kawin atau uang jujur serta biaya perkawinan yang sangat tinggi yang ditentukan oleh adat ataupun yang ditentukan oleh orang tua si gadis itu sendiri, sebagai suatu cara penolakan pinangan terhadap anak gadisnya.

4.4.3 Bentuk Kawin Ganti Tikar

Yang dimaksud dengan kawin bentuk ganti tikar, ialah kawin dengan ipar laki-laki ataupun kawin dengan ipar perempuan apabila salah seorang pasangan kawin (suami atau isteri) meninggal dunia. Dalam sistem sosial yang patrinial juga terkenal perkawinan dengan ipar laki-laki (Laviraat) yaitu apabila janda perempuan yang tetap tinggal pada gabungan keluarga suaminya almarhum, kawin lagi dengan saudara atau terdapat pada masyarakat pada masyarakat Gayo dan Alas yang memegang garis kekeluargaan patrilinial. Sedangkan dikalangan penduduk Aceh, Tamiang, dan Aneuk Jamee yang sistem sosialnya menggambarkan sifat bilateral di kenal kedua bentuk sororat atau lavirat, boleh dijalankan.

Masyarakat Aceh menyebut kawin ganti tikar dengan istilah pulang bale, Tamiang juga menyebut kawin ganti tikar seperti juga istilah yang dipakai oleh Aneuk Jamee. Sedangkan masyarakat Alas menyebutnya dengan istilah sambat. Alas dan mengapa kawin ganti tikar menjadi salah satu perkawinan adat yang digemari masyarakat di Aceh, kemungkinan karena perkawinan adat yang telah serasi,


(36)

lebih-lebih untuk kepentingan masa depan anak-anak yang ditinggalkan oleh salah seorang dari ibu atau ayahnya. Pada umumnya perkawinan ini atas prakarsa dan kerabat terdekat dan terpenuhinya maksud perkawinan keluarga ini semata-mata atas pertimbangan kemanusiaan, atau karena memeggang hasrat keluarga.

4.4 Syarat-Syarat Perkawinan

Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan ialah himpunan norma-norma agama dan adat yang mengatur hal-hal yang harus dipenuhi, untuk sahnya ataupun sempurnanya suatu perkawinan. Diantara syarat-syarat tersebut menyangkut segi umur, kesehatan jasmani dan rohani, maskawin dan hadiah perkawinan, sumbangan tenaga untuk perkawinan dan hal-hal yang menyangkut tata cara perkawinan.

Sebagai pemeluk agama Islam, masyarakat Aceh mentaati segala ketentuan Islam mengenai perkawinan, agar semua syarat-syarat yang ditentukan dapat terpenuhi untuk sahnya pendidikan. Syarat agama bertujuan mengesahkan perkawinan, sedangkan syarat-syarat adat lebih cenderung untuk terpenuhinya hasrat sosial dalam menghormati kebiasaan leluhurnya. Syarat pertama perkawinan, adalah kedewasaan. Kedewasaan umur dan kedewasaan kepribadian, yang kedua-duanya sangat dipentingkan oleh setiap kelompok masyarakat adat di Aceh lebih tinggi dari pada umur wanita. Mungkin karena perkawinan memberi beban tanggung jawab lebih berat kepada laki-laki, sehingga untuk itu maka diperlukan waktu lebih lama untuk menjadikan kematangan fisik dan mental.


(37)

Dalam masyarakat di Aceh seorang pemuda dianggap layak kawin untuk pertama kalinya pada usia 18 sampai 20 tahun, karena pada usia itu dianggap sudah dewasa. Sedangkan bagi seorang wanita lazim dikawinkan pada usia sekitar 15 sampai 25 tahun.

Yang lebih penting dari hal tersebut ialah kematangan pribadi yang dalam kebiasaan di Aceh, mempunyai kriteria tersendiri tentang bila saatnya kedewasaan untuk kawin itu. Hal-hal yang dianggap penting ialah bahwa seorang sudah dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar, dapat mengerjakan sembayang lima waktu, demikian pula sembahyang Jum’at dan Hari Raya, mengetahui adat sopan santun dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat dan sebagainya.

Syarat kedua ialah persetujuan antara pihak laki-laki dengan pihak wali dari pihak wanita, tetapi dalam praktek pernikahan sekarang ini juga diminta persetujuan dari wanita itu sendiri. Seterusnya pembayaran mas kawin (mahar) sebelum dilakukan akad nikah atau acara Ijab Kabul dihadapan dua orang saksi yang beragama Islam dan berkelakuan baik. Mengenai syarat kesehatan tidak dinyatakan dengan tegas, meskipun dalam hal perceraian salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan cerai kepada pihak lainnya yang menderita penyakit menular gila atau laki-laki yang lemah syahwatnya. Demikian syarat-syarat pokok perkawinan menurut Islam yang berlaku secara merata di daerah Istimewa Aceh.

Mas kawin disebut “Janamee“ (Aceh) : Jenamu (Anauk Jamee), mahar, atau uang antara (Tamian), dan dafa (Alas). Pengertian mas kawin pada masyarakat yang


(38)

bersistem social bilateral, pada umumnya, merupakan syarat nikah sesuai dengan ketentuan agama dan adat istiadat.

Meskipun mas kawin itu dipandang sangat syarat, namun kebiasaan dari berbagai-bagai daerah di Aceh mempunyai variasi yang berbeda dalam menentukan besarnya maskawin, demikian juga dalam cara mengumpulkan dan menyerahkan masyarakat kawin itu kepada keluarga si gadis.

Pada umumnya mas kawin ditentukan dengan nilai emas, yang berkisar diantara 5 sampai 10 macam emas murni. (satu mayam kira 3.3 gram).

Pada umumnya kewajiban membayar mas kawin (jenamee) dibebankan kepada orang tua pengantin laki-laki, apabila perkawinan itu berlangsung untuk pertama kalinya. Dalah hal orangtua pengantin telah almarhum, maka kewajiban itu beralih pada keluarga, terutama mereka yang termasuk dalam jalur wali si pemuda.

Disamping mas kawin ada lagi uang hangus. Yang dimaksud uang hangus ialah sejumlah uang yang diminta atau ditetapkan untuk serahkan oleh pihak laki-laki bersamaan dengan penyerahan mas kawin (jinamee). Penetapan uang hangus biasanya secara musyawarah, bersamaan pada saat melakukan lamaran. Dalam istilah Aceh disebut ba ranub (bawa sirih).

Kebiasaan uang hangus merupakan unsur haru dalam adat kebiasaan perkawinan di Aceh, yang dulunya tidak dikenal dalam adat yang asli, pada saat mana upacara perkawinan berlangsung secara gotong royong dengan semangat kekeluargaan. Kemungkinan idée uang hangus merupakan salah satu pengaruh perkotaan yang serba ekonomis itu, dan kenyataannya di Aceh pun uang hangus itu


(39)

lebih banyak dipraktekkan di sekitar masyarakat kota untuk maksud membantu biaya penyelenggaraan pesta atau peralatan perkawinan.

Disamping syarat-syarat yang bersifat materi, masih ada lagi syarat-syarat yang bersifat non material. Syarat-syarat yang bersifat non material, termasuk di dalamnya syarat-syarat formal seperti melamar, akad nikah dan sebagainya. Disamping itu syarat lain yang termasuk ke alamnya dan bersifat keupacaraan, yaitu berupa bentuk adat dan upacara. Pengertian yang terkandung di dalamnya sejauh mana kesanggupan dari kedua belah pihak (suami istri) untuk menyelenggarakan upacara adat, berdasarkan kelaziman, resam, dan kanun.

4.5 Upacara Sebelum Perkawinan

Sebelum tiba saatnya pada upacara-upacara sebelum pelaksanaan perkawinan, biasanya keluarga tertentu disibukkan dengan kegiatan mencari atau menentukan jodoh salah seorang putranya. Masa ini kadang-kadang berlangsung dalam waktu yang lama dan ada pula tempo yang pendek. Untuk mencari jodoh seorang pemuda biasanya dipilih seorang tua yang pandai berbicara dan berwibawa dalam soal itu. Dengan perkataan lain dipilih orang yang pandai dan baik interaksi sosialnya dengan masyarakat lingkungannya. Apabila jodoh telah berhasil ditemui, dimulailah kegiatan-kegiatan yang lebih formal seperti upacara sebelum perkawinan.

Adapun upacara sebelum pelaksnaan peresmian perkawinan itu di daerah masyarakat adat Aceh, secara terperinci sebagai berikut :


(40)

4.5.1 Duduk Bermufakat

Duduk bermufakat atau duduk bermusyawarah ini dimaksudkan. Memanggil seluruh ahli waris untuk memberitahukan, bahwa si A telah diperoleh jodohnya dan meminta persetujuan kaum kerabatnya, serta merencanakan persiapan-persiapan selanjutnya. Persiapan-perispan itu merupakan penentuan waktu mengantarkan tanda pertunangan. Lebih jauh dari itu penentuan waktu, kapan peresmian perkawinan dilaksanakan.

Upacara duduk bermufakat bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh ahli waris, bahwa salah seorang dari pada anggota kerabat mereka akan memenuhi jenjang rumah tangga. Lebih jauh duduk bermufakat bertujuan untuk mencapai kebulatan kata dan solidaritas dari seluruh ahli waris (anggota kerabat).

Pada upacara duduk bermufakat diwarnai dengan berbagai-bagai pendapatan, pertimbangan, dan kemudian keputusan-keputusan. Dalam hal ini segenap buah pikiran maupun saran-saran diharapkan oleh seluruh anggota kerabat, sehingga terhindar dari kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi, yang bisa memberi suatu hal yang tidak diinginkan (malu) terhadap anggota kerabat tertentu (anggota kerabat pemuda, maupun anggota kerabat wanita).

4.5.2 Mengantarkan Tanda

Mengantarkan tanda merupakan pekerjaan lanjutan setelah penentuan jodoh seorang calon pengantin laki-laki. Tanda itu berupa bawaan, sesuatu yang datangnya dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin wanita. Bawaan itu berupa bahan-bahan makanan, pakaian dan sebagian dari mahar atau mas kawin.


(41)

Lazimnya sekarang sekarang sebagian mas kawin yang dipersembahkan kepada pihak calon pengantin wanita itu berupa emas dan ada pula dalam bentuk uang.

Sebelum mengantarkan tanda pertunangan didahului pula oleh fase-fase pendekatan pendahuluan antara pihak calon pengantin laki-laki dan pihak calon pengantin wanita yang dilaksanakan oleh teulang ke. Pembicaraan ini di daerah adat Aceh disebut meurinteeh (membuka jalan).

Sebelum acara penyerahan tanda pertunangan (tanda kong narit) terlebih dahulu rombongan pendatang beserta rombongan penanti disuguhkan kenduri (makan dan minum) ala kadarnya. Sebagai santapan makan dan minum, kedua belah pihak beramah tamah unuk beberapa waktu lamanya, yang kemudian baru di mulai acara meminang. Pembukaan kata dimulai oleh salah seorang tua yang dianggap mampu dari pihak rombongan calon pengantin laki-laki. Tema pembicaraan itu didasarkan pada ungkapan kata-kata yang cenderung bernadakan kata-kata puitis yang mengandung maksud melamar, missal ungkapan kata-kata dari daerah adat Aceh adalah sebagai berikut : Deungon izi Allah, trok langkah kamo keuno, hajat kamo jak kalon saboh bungong nyangga di rumoh nya, Teungku-teungku nyang guree di sino, peukeuj bugon nyan hana seunalob jih ? Meunyo goh lom na seunalob jih, jeud keuh kamo salob bungong nya ?

Maksudnya, dengan izin Allah kami dating ke mari, maksud dan tujuan kami untuk menyelubung setangkai bunga yang ada di rumah ini. Teungku-teungku guru kami disini, apakah bunga tersebut sudah ada selubungnya ? kalau belum ada, bolehkan kami menyelubungi bunga itu ?


(42)

Setelah datang pertanyaan dengan ungkapan-ungkapan yang demikian dari wakil rombongan pihak calon pengantin laki-laki, lalu salah seorang tua atau datok yang mewakili ahli waris pihak calon pengantin wanita menjawab dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut : “Syukor Alahamdulliah, meunorot nyang inupeu kamo, bungong nyang teungku meukeusud, goh lom na inalob jih. Meunyo teungku-teungku meuhajat keumenung salob bungon nyan, hajat teungku-teungku ateuh jemala kamo“. Maksudnya Syukur Alahamdulliah, menurut yang kami ketahui, bunga yang teungku-teungku maksud, belum ada seblubungnya. Bila teungku-teungku berhajat menyelubungi tangkai bunga tersebut, kami junjung di atas kepala kami.

4.5.3 Ketentuan-Ketentuan Lain

Ketentuan-ketentuan lain setelah mengantarkan tanda pertunangan adalah beberapa acara-acara tertentu di masing-masing masyarakat adat di daerah Aceh. Untuk daerah adat Aceh lazim disebut watee seumeupreeh (masa menunggu). Dalam masa menunggu ini, sering terjadi pula balasan bawaan kue-kue atau penangan-penangan dari pihak calon pengantin wanita kepada pihak calon pengantin laki-laki, yang ditangani langsung oleh wanita-wanita tua dari pihak calon pengantin wanita. Mereka datang kerumah calon pengantin laki-laki, dan diterima pula oleh wanita-wanita tua dari pihak calon pengantin laki-laki, terutama istri kecuchik, iman meunasah, dan istri-istri orang tua setempat. Upacara membawa balas penangan ini berlangsung di siang hari.


(43)

4.6 Upacara Peresmian Perkawinan Pada Masyarakat Aceh

Upacara peresmian perkawinan, merupakan upacara yang paling puncak dalam rangkaian adat dan upacara perkawinan. Peresmian perkawinan yang sudah lama dinanti-nantikan dan persiapan kini tiba saatnya. Selama tenggang waktu tersebut kedua belah pihak mempersiapkan diri masing-masing secara individu maupu secara kekurangan.

Oleh karena itu persiapan-persiapan tersebut tidak saja menyangkut dengan persiapan yang berhubungan dengan pesta perkawinan, seperti alat-alat pelaminan, alat-alat menghias, alat-alat rumah, dan sejenisnya, terutama di pihak pengantin wanita. Sebab yang menjadi fokus upacara perkawinan adalah keindahan dan tata hias di rumah pengantin wanita.

Sebagaimana dalam upacara peresmian perkawinan, dalam upacara pelaksanaan peresmian perkawinan di tiap-tiap daerah adat Aceh mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khas itu terlihat dalam berbagai aspek, antara lain dalam soal-soal makanan, hiasan pelaminan, menyambut pengantin laki-laki dan sebagainya. Upacara peresmian perkawinan bertujuan untuk memprokalmirkan kepada khayalak ramai, bahwa dua remaja yang bersangkutan menjadi suami istri secara resmi. Namum pernikahan remaja yang bersangkutan sudah menjadi suami istri. Namun pernikahan seperti dalam hukum Islam sudah menjadi syarat mutlak, bila belum dipersidangkan, pernikahan itu dipandang masih belum sempurna. Jadi upacara peresmian perkawinan (duduk bersanding : dua) erat kaitannya dengan adat istiadat masyarakat Aceh.


(44)

Pada upacara peresmian, lebih dititik beratkan (difokuskan) pada mater-materi yang diperlukan yang meliputi peralatan dan keuangan. Dalam hal ini peranan dari kaum kerabat makin menentukan dengan tidak mengambilkan tokoh-tokoh masyarakat setempat seperti Keuchik dan Teungku kampung.

Upacara peresmian perkawinan diadakan kedua belah pihak (suami-istri) sudah menyepakati waktu memulai perantara. Waktu dipilih disesuaikan dengan hari dan bulan tertentu, yang menurut anggapan orang Aceh lebih baik. Pemilihan waktu peresmian perkawinan terbaik, dikaitkan pula dengan ekonomi. Artinya orang Aceh memilih waktu bila panen sudah berakhir dah hasilnya sudah ada di rumah, dengan maksud mengentengkan (meringankan) pembiayaan pihak-pihak yang bersangkutan pada saat-saat peresmian perkawinan. Karena sistem turun ke sawah masih setahun sekali di Aceh maka waktu yang dipikir untuk mengadakan peresmian perkawinan adalah sekitar bulan April dan Mei tahun Masehi atau sekitar bulan Rabi’ulawal dan Rabin’ulakhir tahun Hijriah. Pada saat-saat tersebut hasil panen sudah berada di berandang rumah (kepuk padi). Untuk mengadakan pesta perkawinan dilakukan di dua tempat (calon suami dan calon istri). Sedangkan khusus untuk malam “mempelai“ atau “bersanding dua“ diadakan di rumah mempelai wanita (rumah si gadis).

4.6.1 Malam Berinai

Berinai berarti memperindah diri dengan cara menurut tata cara yang berlaku dala bersolek. Oleh karena itu upacara berinai ini khusus dilakukan di rumah pengantin wanita. Upacara ini dilakukan tiga atau empat hari sebelum perkawinan.


(45)

Kebiasaan berinai dilakukan di depan pelaminan atau di dalam kamar pengantin wanita. Di waktu berinai ini teman-teman sejawat dari pengantin wanita yang sebaya yang bakal mendayung biduk rumah tangga pula datang berkunjung ke rumah pengantin wanita. Tata cara ini biasanya dilakukan oleh seorang perempuan tua, ataupun oleh perempuan yang telah dewasa yang ahli dalam soal tersebut. Teman sejawat pengantin wanita turut membantu dalam menghias tempat pelaminan, baik di serambi rumah, pekarangan rumah maupun di dalam kamar, pengantin.

4.6.2 Mengisi Batil

Mengisi batil adalah upacara memberi sumbangan kepada keluarga pengantin laki-laki maupun pengantin wanita oleh ahli waris masing-masing. Upacara ini tampak menonjol di daerah Aceh Tamiang. Sumbangan ini berupa pemberian tambahan bagi pembiayaan dikeluarkan oleh orang tua pengantin laki-laki maupun pengantin wanita dalam rangka peresmian perkawinan itu.

4.6.3 Upacara Mandi Berlimau

Upacara mandi berlimau merupakan upacara lanjutan dari pada upacara

berinai. Upacara ini dilakukan sehari semalam lagi sebelum pesta peresmian (duduk bersanding). Mandi berlimau merupakan mandi berakhir dari calon pengantin

wanita sebelum memasuki hidup berumah tangga. Sebelum mandi berlimau si pengantin wanita sudah mendahului memotong andam, memperindah bulu kening, menghias kuku tangan dan kuku kaki dengan gaza (warna merah). Daun gaca itu sebesar daun teh yang digiling halus dan dilekatkan pada kuku jari-jari tangan dan pada jari-jari kaki dan dibiarkan selama masa berinai, sampai pada masa mandi yang


(46)

disebut mandi berlimau. Gaza yang dilekatkan tadi terkupas dari kuku-kuku jari-jari tangan dan kaki dengan meninggalkan warna merah. Jadi mandi berlimau artinya mandi pembersihan diri dari sisa-sisa daki dan bahan-bahan lipstick tradisional. Biasanya upacara ini dipimpin oleh seorang perempuan tua yang khusus ditunjuk untuk itu. Sambil memandikan ke tubuh pengantin wanita, perempuan tua tersebut mengucapkan kata-kata berhikmah dan mendoakan supaya masa depan pengantin baru kelak memperoleh hidup bahagia, rukun damai serta memperoleh keturunan yang baik-baik.

4.6.4 Upacara Mengantar Mempelai

Upacara mengantar mempelai (intat linto) merupakan sebutan masyarakat adat Aceh adalah upacara membawa (mengantar) pengantin laki-laki dari rumahnya ke rumah pengantin wanita. Yang mengantarnya terdiri dari laki-laki dan wanita. Upacara mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah pengantin wanita di daerah adat Aceh disebut intat linto.

Upacara ini pada umumnya dilaksanakan secara sangat meriah sekali, sering disertai alat-alat bunyi-bunyian, berzikir, dan membawa berjanji serta selawat kepada Nabi.

4.6.5 Upacara Menerima Mempelai

Yang dimaksud dengan upacara menerima mempelai adalah upacara saat tibanya pengantin laki-lakin beserta rombongan ke rumah pengantin wanita. Pengantin laki-laki disambut oleh pemuka-pemuka masyarakat setempat serta warga kampungnya. Sebelum rombongan pengantin laki-laki tida di halaman rumah, dari


(47)

kejauhan sayup-sayup terdengar regu kesenian meyembunyikan rebana, serunai serta zikir dan selawat Nabi, sehingga kedatangan rombongan dapat diketahui oleh pihak penunggu.

Rombongan pengantin laki-laki berhenti di muka gerbang halaman rumah pengantin wanita sambil mengucapkan salam dan tegur sapa tanda penghormatan. Setelah adanya isyarat-isyarat tertentu, terjadilah suatu pembicaraan dalam bentuk pantun dan syair antara kedua kedua belah pihak.

Selanjutnya pengantin laki-laki setibanya di anak tangga pertama, dia dipayung dengan payung yang berwarna kuning, hijau atau merah serta menabur beras dan padi dan memperbaiki dengan sedikit air sitawar sidingin oleh seorang tua yang sudah biasa, sambil mengucapkan puji sykur Allah Taala.

4.6.6 Upacara Akad Nikah

Upacara akad nikah merupakan syarat mutlak sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebelum akad nikah dilakukan. Teungku Kadhi menanyakan keadaan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan wanita, apakah keduanya sudah bersediaan untuk kawin. Serta pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut soal-soal rumah tangga dan peribadatan.

Selesai pernikahan (ijab-kabul) bagi pengantin laki-laki Teungku Kadhi membaca khotbah doa selamat, yang diamini oleh seluruh padara hadirin. Pengantin laki-laki bangkit bersalaman dengan seluruh para hadirin menandakan ia sudah selamat bernikah sekaligus menunjukkan pula tanda penghormatan kepada majelis.


(48)

4.6.7 Upacara Bersanding

Kesibukan selanjutnya terus berlangsung, dimana pengantin wanita telah didudukan terlebih dahulu di atas pelaminan. Dalam saat-saat yang penuh hiruk pikuk dan sorak dimana ratusan mata tertujuh ke tempat pelaminan. Teungku teulang kee meminta linto baro pada pemimpin rombongan untuk segera dibawa naik bersanding dan didudukkan di sebelah kanan dari baro.

4.6.8 Santap Adap-Adapan

Upacara yang tidak dapat diabaikan begitu saja adalah santap adap-adapan, dan masih berlangsung di dalam masyarakat Aceh terutama dilakukan di daerah adat Aneuk Jamee dan Tamian.

Suatu hal lain yang khas Tamiang ialah bahwa pada waktu hendak masuk ketempat perpaduan, pengantin laki-laki sekali lagi menyerahkan sebentuk cincin kepada istrinya, yaitu cincin tujuh hari, sebagai izin tidur ditempat si gadis. Selama masa tujuh hari pengantin laki-laki tidak dibenarkan pulang ke kampung orang tuanya. Masa ini disebut masa berkunjung ditempat keluarga istrinya sesuai dengan adat-istiadat Tamiang yang berlaku bahwa pengantin laki-laki itu harus tinggal bersama kelaurga istri (matrilokal).

4.6.9 Upacara Mandi Bardimbar

Sebagai upacara terakhir dari rentetan upacara dalam rangkaian upacara dilaksanakan peresmian perkawinan adalah upacara mandi berdimbar. Upacara mandi ini masih tampak dipertahankan dan dilaksanakan di daerah adat Tamiang sebagai upacara mandi adat pengantin baru. Bagi kaum bangsawan mandi berdimbar


(49)

dilakukan dua kali. Pertama sehabis bersanding, ke dua setelah habis halangan, maksudnya setelah selesai masa haid bagi kaum wanita. Upacara itu dilaksanakan di halaman rumah, disuatu tempat yang sudah dipersiapkan dan di hias demikian rupa mandi berhias. Kepercayaan ini diperoleh dari kepercayaan Hinduisme.

Demikianlah mandi berdimbar selain mempunyai arti magis religius, juga sebagai suatu pertama kegembiaraan sebagai pertimbangan kebahagiaan rumah tangga. Setelah mandi berdimbar selesai diteruskan upacara nyembah mertua. Kedua mempelai dibimbing tuha pengapee menghadap kedua orang tua si istri untuk disembah. Pada saat-saat khidmat itu pengantin laki-laki menerima cemetok atau pemberian-pemberian di daerah Aceh disebut ieuman tuan. Upacara ini melambangkan penghormatan dan pengakuan kepada orang tua si istri sebagai orang tuanya sendiri.

4.7 Upacara Sesudah Perkawinan

Bila kita perhatikan upacara-upacara sesudah pelaksanaan perkawinan kelihatan masi ada lagi upacara-upacara yang menurut adat patut dilaksanakan dan masih dekat kaitannya dengan upacara-upacara ini, terdapat perbedaan-perbedaan tiap daerah adat di daerah Aceh, juga persamaan-persamaannya. Adapun urutan-urutan upacara sesudah peresmian perkawinan adalah sebagai berikut :

4.7.1 Upacara Jemput Pengantin

Upacara jemput pengantin merupakan kunjungan balasan pengantin wanita


(50)

“wo tujoh sipoh“ (pulang tujuah sepuluh) dalam saat-saat peresmian perkawinan berlangsung. Sungguhnya istilah diatas berasal dari masyarakat adat Aceh, namun hampir semua masyarakat adat Aceh mengenal upacara tersebut. Tung dara baro (jemput pengantin wanita) ini terlebih dahulu disepakati atau sekurang-kurangnya diberitahukan terlebih dahulu oleh perantara yang biasanya ditunjuk seorang wanita. Biasanya perantara ini terdiri dari orang-orang perempuan tua atau ibu pengasuh serta beberapa orang tua perempuan warga kampung dara baro.

Dalam masyarakat adat Aceh kedatangan dara baro kerumah mertuanya, diiringi beberapa puluh orang, perempuan sekampungnya terutama wanita-wanita ahli warisnya, istri keuchik, istri imun kampung bersangkutan sebagai kepala rombongan. Kehadiran dara baro ke rumah mertuanya disertai pembawaan-pembawaan berupa peunajoh-peunajoh (serba macam penganan) menurut adat resam yang berlaku dan menurut kemampuan keuangan orang tuanya. Dalam talam (idang-idang) itu diisi penganan, misalnya boi (bolu), punajih tho Aceh (kue kering Aceh), dodol, halwa, meusukat, halwa benggala keukarah dan keukarah dan lain-lain sebagainya.

4.7.2 Upacara Perkenalan dan Beramah Tamah

Upacara berkenalan dan beramah tamah ini. Sudah dimulai sejak pengantin laki-laki menginap untuk pertama kali dirumah istrinya. Didaerah adat Aceh tidak dibenarkan menginap malam pertama selesai bersanding. Baru malam berikutnya dibenarkan menginap untuk pertama kalinya. Pada malam itu pengantin laki-laki mengikut sertakan pemuka kenalannya dari kampungnya. Dirumah pengantin wanita


(51)

sudah menunggu pemuka-pemuka masyarakat serta beberapa pemuda terkemuka dari kampung pengantin wanita.

Pada malam ketiga linto menginap di rumah istri, salah seorang yang terpandang dari rombongan linto berpidato singkat dihadapan majelis kecil itu dalam arti bahwa secara resmi dia memperkenalkan salah seorang anggota warga kampungnya menjadi anggota warga masyarakat kampung dara baro, khususnya menjadi ahli bait yang bersangkutan.

Khususnya bagi pengantin laki-laki, sejak malam pertama ia menginap dirumah istri, selesai santap malam dia pergi ke meunasah (surau langgar) untuk berkenal-kenalan dan beramah tamah dengan pemuda-pemuda kampung setempat, sebagai tanda hormat dalam (sirih berhias) dan rukok linto (rokok pengantin) untuk calon-calon kenalan baru di kampung istrinya. Suasana yang demikian kadang-kadang berlangsung sampai jauh malam. Pekerjaan itu dilakukan linto selama ia pulang kerumah istrinya dalam masa tujoh siploh (pulang tiga malam berturut).

Peristiwa berkenal-kenalan serta beramah tamah ini tidak pula ketinggalan dilaksanakan pada saat-saat dara baro menginap di rumah mertuanya, ketika ia masih dalam minjam pengantin. Pada siang hari dara baro didatangin dara-dara manis kampung suaminya untuk bersenda gurau dan semacamnya. Pada malam hari dimana di serambi rumah diadakan kesenian dalil di daerah Aceh kaba uggah bamban dan ranak kudo (adat Aneuk Jam) kesempatan itu digunakan oleh dara baro dan dara-dara manis setempat untuk saling berkenalan.


(52)

4.7.3 Upacara Perpisahan

Yang dimaksudkan dengan upacara perpisahan adalah upacara yang dilaksanakan oleh orang tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin wanita dikampung masing-masing. Upacara ini biasanya dilakukan setelah upacara jemput pengantin dan pemulangan kembali dara baro kerumahnya.

Upacara perpisahan ini mengandung maksud dan tujuan untuk menyampaikan upacara ucapan terima kasih dan mohon maaf pada pemuka-pemuka masyarakat setempat serta sanak family. Disamping itu merupakan rapat pembukaan panitipan peresmian perkawinan, upacara ini dilakukan dirumah masing-masing oleh ampun sik (orang tua suami istri).

Pada malam tersebut diadakan pesta minum-minum ala kadarnya. Setelah pada undangan hadir terlebih dahulu disungguhi minum-minum sekedarnya. Selesai acara minum ampunsinte (orang tua suami / istri) menyampaikan sepatah dua kata ucapan terima kasih dan mohon maaf atas segala kekurangan-kekurangan maupun kejanggalan-kejanggalan yang telah diperbuatnya dihadapan para tetamunya. Kemudian diteruskan pemberitaan banyaknya sumbangan-sumbangan orang yang telah disumbangkan kepadanya pada saat pelaksanaan peresmian perkawinan anaknya berupa uang kontan, hadiah-hadiah, bahan pecah-belah dan sebagainya pada hadirin.

Ucapan berterima kasih dan perpisahan ini, merupakan upacara terakhir yang berkaitan dengan anggota masyarakat dalam rangka upacara perkawinan pada umumnya.


(53)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang menurut hukum adat. Upacara perkawinan adalah suatu yang sangat sacral di dalam budaya masyarakat Aceh. Oleh sebab itu sebagai suatu bagian kebudayaan bangsa Indonesia adalah sangat penting artinya terutama karena upacara perkawinan adat Aceh pada saat ini terlihat seperti kurang dikenal dan kurang dihayati oleh generasi muda.

Ada beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum melakukan perkawinan pada masyarakat Aceh yaitu dimulai dari adat sebelum perkawinan yang terdiri dari mengetahui tujuan dari perkawinan menurut adat, bentuk-bentuk perkawinannya seperti bentuk kawin biasa, bentuk kawin dengan cara kawin lari, dan bentuk kawin ganti tikar. Selain itu ada pula syarat-syarat perkawinan yang harus diketahui yakni hal-hal yang harus diketahui sebelum melaksanakan pernikahan mulai dari kematangan umur sampai kepada penyiapan mahar atau mas kawinnya.

Pada masyarakat Aceh, sebelum dan sesudah melaksanakan upacara perkawinan ada juga hal-hal yang harus di laksanakan mulai dari duduk bermufakat untuk mencarikan jodoh sampai kepada mengantarkan tanda pertunangan apabila telah menemukan jodohnya. Begitu pula pada saat hari bersanding ada serangkaian upacara yang harus dilakukan yaitu malam berinai, mengisi batil, upacara mandi berlimau, upacara mengantar mempelai, upacara menerima mempelai, upacara akad


(54)

nikah, upacara bersanding, sampai kepada upacara mandi berdimbar. Setelah semua upacara dilakukan maka pada hari terakhir yaitu hari sesudah upacara perkawinan ada lagi beberapa upacara yang harus dilakukan yakni upacara penjemputan pengantin yakni kunjungan balasan pengantin kerumah orang tua suaminya yang kemudian dilanjutkan upacara perkawinan perkenalan dan beramah tamah terhadap keluarga pengantin wanita yang dilakukan oleh pengantin laki-laki semenjak ia menginap dirumah istrinya dan yang terakhir adalah upacara perpisahan yang dilakukan orang tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin wanita kekampung masing-masing yang diadakan dirumah kedua pengantin yang dilakukan dengan pesta makan dan minum ala kadarnya. Begitulah serangkaian upacara adat perkawinan pada masyarakat Aceh yang turun temurun masih dilakukan sampai sekarang, karena hal ini merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipertahankan.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Budhi Santoso. dkk 2000. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, Balai Pustaka Jakarta.

Supartono. 1992. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : Ghalia Indonesia. Koentjaraningrat. 1980. Antropologi Budaya, Jakarta : Angkasa. Salim. Kebudayaan Indonesia Pustaka Jaya : Bandung : 1978


(1)

“wo tujoh sipoh“ (pulang tujuah sepuluh) dalam saat-saat peresmian perkawinan berlangsung. Sungguhnya istilah diatas berasal dari masyarakat adat Aceh, namun hampir semua masyarakat adat Aceh mengenal upacara tersebut. Tung dara baro (jemput pengantin wanita) ini terlebih dahulu disepakati atau sekurang-kurangnya diberitahukan terlebih dahulu oleh perantara yang biasanya ditunjuk seorang wanita. Biasanya perantara ini terdiri dari orang-orang perempuan tua atau ibu pengasuh serta beberapa orang tua perempuan warga kampung dara baro.

Dalam masyarakat adat Aceh kedatangan dara baro kerumah mertuanya, diiringi beberapa puluh orang, perempuan sekampungnya terutama wanita-wanita ahli warisnya, istri keuchik, istri imun kampung bersangkutan sebagai kepala rombongan. Kehadiran dara baro ke rumah mertuanya disertai pembawaan-pembawaan berupa peunajoh-peunajoh (serba macam penganan) menurut adat resam yang berlaku dan menurut kemampuan keuangan orang tuanya. Dalam talam (idang-idang) itu diisi penganan, misalnya boi (bolu), punajih tho Aceh (kue kering Aceh), dodol, halwa,

meusukat, halwa benggala keukarah dan keukarah dan lain-lain sebagainya.

4.7.2 Upacara Perkenalan dan Beramah Tamah

Upacara berkenalan dan beramah tamah ini. Sudah dimulai sejak pengantin laki-laki menginap untuk pertama kali dirumah istrinya. Didaerah adat Aceh tidak dibenarkan menginap malam pertama selesai bersanding. Baru malam berikutnya dibenarkan menginap untuk pertama kalinya. Pada malam itu pengantin laki-laki mengikut sertakan pemuka kenalannya dari kampungnya. Dirumah pengantin wanita


(2)

sudah menunggu pemuka-pemuka masyarakat serta beberapa pemuda terkemuka dari kampung pengantin wanita.

Pada malam ketiga linto menginap di rumah istri, salah seorang yang terpandang dari rombongan linto berpidato singkat dihadapan majelis kecil itu dalam arti bahwa secara resmi dia memperkenalkan salah seorang anggota warga kampungnya menjadi anggota warga masyarakat kampung dara baro, khususnya menjadi ahli bait yang bersangkutan.

Khususnya bagi pengantin laki-laki, sejak malam pertama ia menginap dirumah istri, selesai santap malam dia pergi ke meunasah (surau langgar) untuk berkenal-kenalan dan beramah tamah dengan pemuda-pemuda kampung setempat, sebagai tanda hormat dalam (sirih berhias) dan rukok linto (rokok pengantin) untuk calon-calon kenalan baru di kampung istrinya. Suasana yang demikian kadang-kadang berlangsung sampai jauh malam. Pekerjaan itu dilakukan linto selama ia pulang kerumah istrinya dalam masa tujoh siploh (pulang tiga malam berturut).

Peristiwa berkenal-kenalan serta beramah tamah ini tidak pula ketinggalan dilaksanakan pada saat-saat dara baro menginap di rumah mertuanya, ketika ia masih dalam minjam pengantin. Pada siang hari dara baro didatangin dara-dara manis kampung suaminya untuk bersenda gurau dan semacamnya. Pada malam hari dimana di serambi rumah diadakan kesenian dalil di daerah Aceh kaba uggah bamban dan ranak kudo (adat Aneuk Jam) kesempatan itu digunakan oleh dara baro dan dara-dara manis setempat untuk saling berkenalan.


(3)

4.7.3 Upacara Perpisahan

Yang dimaksudkan dengan upacara perpisahan adalah upacara yang dilaksanakan oleh orang tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin wanita dikampung masing-masing. Upacara ini biasanya dilakukan setelah upacara jemput pengantin dan pemulangan kembali dara baro kerumahnya.

Upacara perpisahan ini mengandung maksud dan tujuan untuk menyampaikan upacara ucapan terima kasih dan mohon maaf pada pemuka-pemuka masyarakat setempat serta sanak family. Disamping itu merupakan rapat pembukaan panitipan peresmian perkawinan, upacara ini dilakukan dirumah masing-masing oleh ampun sik (orang tua suami istri).

Pada malam tersebut diadakan pesta minum-minum ala kadarnya. Setelah pada undangan hadir terlebih dahulu disungguhi minum-minum sekedarnya. Selesai acara minum ampunsinte (orang tua suami / istri) menyampaikan sepatah dua kata ucapan terima kasih dan mohon maaf atas segala kekurangan-kekurangan maupun kejanggalan-kejanggalan yang telah diperbuatnya dihadapan para tetamunya. Kemudian diteruskan pemberitaan banyaknya sumbangan-sumbangan orang yang telah disumbangkan kepadanya pada saat pelaksanaan peresmian perkawinan anaknya berupa uang kontan, hadiah-hadiah, bahan pecah-belah dan sebagainya pada hadirin.

Ucapan berterima kasih dan perpisahan ini, merupakan upacara terakhir yang berkaitan dengan anggota masyarakat dalam rangka upacara perkawinan pada umumnya.


(4)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang menurut hukum adat. Upacara perkawinan adalah suatu yang sangat sacral di dalam budaya masyarakat Aceh. Oleh sebab itu sebagai suatu bagian kebudayaan bangsa Indonesia adalah sangat penting artinya terutama karena upacara perkawinan adat Aceh pada saat ini terlihat seperti kurang dikenal dan kurang dihayati oleh generasi muda.

Ada beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum melakukan perkawinan pada masyarakat Aceh yaitu dimulai dari adat sebelum perkawinan yang terdiri dari mengetahui tujuan dari perkawinan menurut adat, bentuk-bentuk perkawinannya seperti bentuk kawin biasa, bentuk kawin dengan cara kawin lari, dan bentuk kawin ganti tikar. Selain itu ada pula syarat-syarat perkawinan yang harus diketahui yakni hal-hal yang harus diketahui sebelum melaksanakan pernikahan mulai dari kematangan umur sampai kepada penyiapan mahar atau mas kawinnya.

Pada masyarakat Aceh, sebelum dan sesudah melaksanakan upacara perkawinan ada juga hal-hal yang harus di laksanakan mulai dari duduk bermufakat untuk mencarikan jodoh sampai kepada mengantarkan tanda pertunangan apabila telah menemukan jodohnya. Begitu pula pada saat hari bersanding ada serangkaian upacara yang harus dilakukan yaitu malam berinai, mengisi batil, upacara mandi berlimau, upacara mengantar mempelai, upacara menerima mempelai, upacara akad


(5)

nikah, upacara bersanding, sampai kepada upacara mandi berdimbar. Setelah semua upacara dilakukan maka pada hari terakhir yaitu hari sesudah upacara perkawinan ada lagi beberapa upacara yang harus dilakukan yakni upacara penjemputan pengantin yakni kunjungan balasan pengantin kerumah orang tua suaminya yang kemudian dilanjutkan upacara perkawinan perkenalan dan beramah tamah terhadap keluarga pengantin wanita yang dilakukan oleh pengantin laki-laki semenjak ia menginap dirumah istrinya dan yang terakhir adalah upacara perpisahan yang dilakukan orang tua pengantin laki-laki dan orang tua pengantin wanita kekampung masing-masing yang diadakan dirumah kedua pengantin yang dilakukan dengan pesta makan dan minum ala kadarnya. Begitulah serangkaian upacara adat perkawinan pada masyarakat Aceh yang turun temurun masih dilakukan sampai sekarang, karena hal ini merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipertahankan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Budhi Santoso. dkk 2000. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, Balai Pustaka Jakarta.

Supartono. 1992. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : Ghalia Indonesia. Koentjaraningrat. 1980. Antropologi Budaya, Jakarta : Angkasa. Salim. Kebudayaan Indonesia Pustaka Jaya : Bandung : 1978