IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih dan Desa Payaraman, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten
Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja purposive dengan pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut merupakan sentra
produksi nenas di Provinsi Sumatera Selatan. Pelaksanaan pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai
Januari 2007.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner
yang diajukan kepada responden petani nenas. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Dinas Pertanian Kabupaten Ogan Ilir, Dinas Pertanian Kota
Prabumulih, Badan Pusat Statistika Provinsi Sumatera Selatan, Badan Pusat Statistika Pusat, Departemen Pertanian, serta instansi lainnya yang dapat
membantu untuk ketersediaan data.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada petani. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive yaitu metode
pengambilan sampel secara sengaja. Sedangkan jumlah responden yang digunakan sebanyak 20 petani nenas.
4.4. Analisis Data
Langkah- langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas beberapa tahap. Pertama adalah penentuan input usahatani buah nenas. Tahap
kedua adalah pengalokasian input ke dalam komponen tradable pupuk Urea, TSP dan KCl yaitu input yang diperdagangkan di pasar internasional baik diekspor
maupun diimpor, dan input domestik atau non tradable bibit nenas, pupuk kandang, tenaga kerja, peralatan, pajak dan sewa lahan yaitu input yang
dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Tahap berikutnya adalah penentuan harga bayangan input dan output, setelah
harga bayangan diperoleh selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan Policy Analysis Matrix
PAM. Langkah terakhir adalah analisis sensitivitas. Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
4.4.1. Metode Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing
Terdapat dua pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen asing tradable dan domestik non tradable yaitu pendekatan langsung dan
pendekatan total Monke dan Pearson, 1989. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdaga ngan baik impor
maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi
dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang
sumbernya dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap
dihitung sebagai komponen biaya asing. Sedangkan pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable
dibagi kedalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable
dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Penelitian ini menggunakan
pendekatan total dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya input tradable
dan non tradable.
4.4.2. Alokasi Biaya Tataniaga
Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang, yakni kegunaan tempat, bentuk dan waktu termasuk
di dalamnya pena nganan dan pengangkutan. Biaya tataniaga yang ada dalam penelitian yaitu biaya pengangkutan.
Penentuan biaya tataniaga dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut barang dari petani sampai pelabuhan atau
mengangkut barang dari produsen ke konsumen. Besarnya biaya tataniaga di Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih adalah Rp 1.116,03
per kilogram nenas. Sedangkan besarnya biaya tataniaga di Desa Payaraman, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir sebesar Rp 1.227,03 per kilogram
nenas.
4.4.3. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output
Harga bayangan adalah harga yang sebenarnya akan terjadi dalam suatu perekonomian jika pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan dalam kondisi
keseimbangan Gittinger, 1986. Alasan digunakannya harga bayangan dalam analisis ekonomi adalah:
1. Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut
2. Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seand ainya sejumlah sumberdaya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain
yang masih memungkinkan di masyarakat. Input dalam hal ini dibedakan menjadi dua yaitu input tradable dan non
tradable. Input tradable dinilai berdasarkan harga perbatasan border price.
Border price didefinisikan sebagai tingkat harga internasional yang berlaku di
perbatasan negara yang bersangkutan terhadap luar negari Kadariah et al, 1988. Untuk input yang diimpor menggunakan harga cif sedangkan untuk input yang
diekspor menggunakan harga fob. Harga bayangan output juga ditentukan dengan harga perbatasan yaitu harga fob bila output yang dihasilkan merupakan barang
potensial untuk diekspor dan harga cif untuk output yang diimpor.
4.4.3.1. Harga Bayangan Output
Penentuan harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga border price free on board fob atau harga perbatasan untuk output
yang diekspor kemudian dikonversikan dengan nilai tukar Rupiah bayangan Shadow exchange rate SER dan selanjutnya dikurangi dengan biaya tataniaga.
Dalam pengusahaan buah nenas, output yang dihasilkan merupakan komoditi ekspor, sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga
fob sebesar US. 0,341 per kg. Harga tersebut dikalikan dengan konversi nilai
tukar Rupiah bayangan SER, yang pada penelitian ini menggunakan SER tahun 2006 sebesar Rp 9.120,32 dan dikurangi biaya tataniaga pada
Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih adalah Rp 1.116,03 per kilogram nenas
, sehingga hasil harga bayangan untuk buah nenas di Desa Sungai Medang sebesar Rp
1.993,99 per kilogram nenas. Sedangkan harga bayangan untuk buah nenas di Desa Payaraman sebesar Rp 1.882,99 per kilogram nenas
4.4.3.2. Harga Bayangan Input
a. Harga Bayangan Bibit Nenas Tanaman nenas kebanyakan diperbanyak dengan anakan. Bibit nenas
termasuk dalam komponen input non tradable, sehingga harga bayangannya sama dengan harga finansialnya.
b. Harga Bayangan Pupuk dan Obat-Obatan Harga bayangan pupuk berbeda antara pupuk Urea, TSP dan KCl. Pupuk
Urea telah diproduksi dalam negeri sehingga pendekatan biaya yang digunakan adalah berdasarkan harga fob. free on board. Perhitungan harga bayangan untuk
pupuk Urea yaitu fob US. 0,243 per kg dikalikan dengan SER tahun 2006 sebesar Rp 9.1.20,32 dan dikurangi biaya tataniaga masing- masing lokasi
penelitian. Rumus Harga Bayangan Output = fob. x SER – Biaya Tataniaga
Pupuk TSP dan KCL masih diimpor dari luar negeri, sehingga untuk mendekati harga bayangan berdasarkan pada harga cif cost insurance freight
yang kemud ian dikalikan dengan SER dan ditambah biaya tataniaga. Perhitungan harga bayangan untuk pupuk TSP yaitu cif US. 0,353 per kg dikalikan dengan
SER tahun 2006 sebesar Rp 9.120,32 dan ditambah biaya tataniaga masing- masing lokasi penelitian. Sedangkan Perhitungan harga bayangan untuk pupuk
KCL yaitu cif US. 0,215 per kg dikalikan dengan SER tahun 2006 sebesar Rp 9.120,32 dan ditambah biaya tataniaga masing- masing lokasi penelitian.
c. Harga Bayangan Tenaga Kerja Dalam menentukan harga bayangan tenaga kerja perlu dibedakan atara
tenaga kerja terdidik dengan tenaga kerja tidak terdidik. Pada pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya
Menurut Gittinger, 1986. Untuk tenaga terdidik, upah tenaga kerja baya ngan sama dengan harga upah pasar finansial, sedangkan tenaga kerja tidak terdidik
dengan anggapan belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya, maka harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah finansialnya. Tenaga
kerja yang digunakan petani dalam membantu kegiatan usahatani adalah tenaga kerja tidak terdidik dan umumnya tenaga kerja tidak tetap. Harga bayangan untuk
Rumus Harga Bayangan Pupuk Urea = fob. x SER – Biaya Tataniaga
Rumus Harga Bayangan Pupuk TSP, KCL = cif. x SER +Biaya Tataniaga
tenaga kerja tidak terdidik sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di masing- masing lokasi penelitian Rusastra dan Yusdja 1982 dan Suryana 1980
dalam Emilya, 2001.
d. Harga Bayangan Lahan Lahan merupakan faktor produksi utama dan termasuk input non tradable
dalam usahatani. Harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan tiap musim tanam yang berlaku di masing- masing tempat
usahatani Gittinger, 1986. Sehingga penentuan harga bayangan lahan berdasarkan nilai sewa lahan yang berlaku di masing- masing lokasi penelitian.
e. Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar
dollar, untuk menentukan harga bayangan nilai tukar digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger 1986 yaitu :
2006 2006
2006
SCF OER
SER =
Dimana : SER
2006
: Shadow exchange rate nilai tukar bayangan Tahun 2006 OER
2006
: Official exchange rate nilai tukar resmi Tahun 2006 SCF
2006
: Standart conversion factor faktor konversi standar Tahun 2006 Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan
ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
2006 2006
2006 2006
2006 2006
2006
TX X
TM M
X M
SCF −
+ +
+ =
Dimana : M : Nilai impor Tahun 2006 Rp
X : Nilai ekspor Tahun 2006 Rp T
m :
Penerimaan pemerintah melalui pajak impor Tahun 2006 Rp T
X
: Penerimaan pemerintah melalui pajak ekspor Tahun 2006 Rp Berdasarkan laporan realisasi APBN Pada tahun 2006 nilai tukar dollar
terhadap rupiah sebesar Rp 9.020,00, sedangkan penerimaan pemerintah dari komponen pajak ekspor diperoleh sebesar Rp 377,7 milyar serta penerimaan
pemerintah dari komponen pajak impor sebesar Rp 12.141,7 milyar. Sementara nilai ekspor Indonesia sebesar Rp 539.400 milyar dan nilai impor sebesar Rp
559.300 milyar. Dari hasil perhitungan, maka diperoleh nilai faktor konversi standar tahun 2006 SCF sebesar 0,989, sehingga nilai SER yang digunakan
adalah Rp 9.120,32 f. Harga Bayangan Bunga Modal Kerja
Harga bayangan bunga modal adalah tingkat-tingkat bunga tertentu atau tingkat pengembalian riil atas proyek-proyek pemerintah Suryana, 1981 dalam
Gustiani, 2005. Tingkat pengembalian riil yang merupakan harga bayangan modal dapat ditentukan setelah menyesuaikan tingkat bunga riil dengan kebijakan
pajak atau subsidi modal yang dilakukan pemerintah. Karena dalam analisis ekonomi, pajak atau subsidi modal diperoleh dari tingkat bunga riil.
Bunga untuk analisis finansial ditaksir dengan menghitung tingkat bunga yang berlaku umum pada bank pemerintah. Saat ini bunga yang berlaku di bank
pemerintahan sebesar 11,5. Pada penelitian ini, sumber dana yang digunakan
petani di kedua lokasi penelitian berasal dari petani itu sendiri, sehingga harga bayangan bunga modal kerja tidak diperhitungkan dalam analisis ekonomi.
4.5. Analisis PAM Policy Analysis Matrix
Alat analisis yang digunakan untuk menganalisi dayasaing nenas adalah Matrik Analisis Kebijakan Policy Analysis Matrix PAM. PAM digunakan
untuk menganalisis intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. PAM terdiri dari matrik yang disusun dengan memasukan komponen penerimaan,
biaya dan keuntungan. Hasil analisis PAM menginformasikan keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem
komoditas tertentu. Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom Tabel 5. Baris
pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai- nilai yang dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekono mi dan dayasaing komparatif, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan
harga sosial shadow price atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih
antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi. Kolom pertama matriks PAM merupakan kolom penerimaan, kolom kedua
merupakan kolom biaya input asing tradable, kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik non tradable dan kolom keempat merupakan kolom
keuntungan selisih antara penerimaan dengan biaya.
Tabel 5. Matrik Analisis Kebijakan
Penerimaan Biaya
Keuntungan Tradable
Non Tradable
Harga privat A
B C
D Harga sosial
E F
G H
Dampak kebijakan I
J K
L Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan : A : Penerimaan Privat
G : Biaya Faktor Domestik Sosial B : Biaya Input Tradable Privat
H : Keuntungan Sosial C : Biaya Faktor Domestik Privat
I : Transfer Output D : Keuntungan Privat
J : Transfer Input Tradable E : Penerimaan Sosial
K : Transfer Faktor Domestik F : Biaya Input Tradable Sosial
L : Transfer Bersih
4.5.1. Analisis Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif dari suatu kegiatan dapat dilihat dari nilai Keuntungan Privat KP dan nilai Rasio Biaya Privat Privat Cost Ratio atau
PCR. Keuntungan privat KP merupakan selisih antara penerimaan dengan total biaya yang sesungguhnya diterima dan dibayarkan petani. Apabila nilai KP lebih
dari nol KP 0 berarti secara finansial, yaitu kondisi adanya kebijakan pemerintah atau komoditi menguntungkan untuk diusahakan. Jika nilai KP
kurang dari satu atau sama dengan nol maka yang terjadi sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervesi pemerintah
terhadap input dan output. KP dirumuskan oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut :
KP D = A – B – C = Penerimaan Privat – Biaya Input Tradable Privat – Biaya Input Non
Tradable Privat
Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat Privat Cost Ratio
atau PCR yaitu rasio antara biaya input domestik privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR kurang dari satu PCR 1, berarti bahwa untuk
meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat ada kebijakan pemerintah. Jika nilai PCR lebih atau sama
dengan satu maka yang terjadi sebaliknya. Semakin kecil nilai PCR maka komoditas tersebut semakin memiliki keunggulan kompetitf. PCR dirumuskan
oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut : PCR =
B A
C −
=
ivat Tradable
Input Biaya
ivat Penerimaan
ivat Tradable
Non Input
Biaya Pr
Pr Pr
−
4.5.2. Analisis Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif dari suatu kegiatan dapat dilihat dari nilai Keuntungan sosial KS dan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Domestik
resource cost atau DRC.
Keuntungan sosial KS merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dihitung dengan harga sosial. Jika nilai KS lebih dari nol KS 0
maka secara ekonomi, yaitu pada kondisi pasar persaingan sempurna kegiatan usaha dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditi tersebut memiliki
keunggulan komparatif. Namun, jika nilai KS kurang dari atau sama dengan nol
maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan. KS dirumuskan oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut :
KS H = E – F – G = Penerimaan Sosial – Biaya Input Tradable Sosial – Biaya Input Non
Tradable Sosial
Keunggulan komparatif suatu komoditi juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Domestik resource cost atau DRC. Jika nilai DRC
kurang dari satu DRC 1, maka pengusahaan komoditi efisien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dan mampu hidup tanpa
bantua n atau intervensi pemerintah, sehingga lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan dengan impor atau komoditi tersebut memiliki
peluang ekspor yang tinggi. Sebaliknya jika nilai DRC lebih dari satu DRC 1, maka komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif sehingga lebih
baik mengimpor komoditi tersebut dibandingkan dengan memproduksi sendiri. DRC dirumuskan oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut :
DRC =
F E
G −
=
Sosial Tradable
Input Biaya
Sosial Penerimaan
Sosial Tradable
Non Input
Biaya −
4.5.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Dampak kebijakan pemerintah yang diidentifikasi dari analisis PAM meliputi dampak kebijakan pemerintah terhadap output, input dan dampak
kebijakan terhadap input-output.
Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh nilai Transfer
output Output Transfer atau TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal Effective Protection Coefficient on Output atau NPCO.
Transfer output TO adalah selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat denga n penerimaan berdasarkan harga sosial dari aktivitas produksi. Jika
TO bernilai positif maka terdapat kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi
dari harga sosialnya. Nilai TO tersebut memperlihatkan transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat harus membeli output dengan harga yang lebih
tinggi dari seharusnya. Jika TO bernilai negatif, berarti terdapat kebijakan subsidi negatif pada output yang membuat harga privat lebih rendah dari harga sosialnya.
Untuk output ekspor, angka negatif menunjukkan bahwa kebijakan menyebabkan harga output yang diterima produsen yang di dalam negeri lebih kecil dari harga
di pasar dunia. Berdasarkan matriks PAM, nilai TO dirumuskan ole h Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut :
TO I = A – E = Penerimaan Privat – Penerimaan Sosial
Koefisien Proteksi Output Nominal Effective Protection Coefficient on Output
atau NPCO menunjukkan dampak insentif pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Jika
nilai NPCO kurang dari satu NPCO 1 berarti terjadi pengurangan penerimaan petani akibat adanya kebijakan output seperti pajak. Sementara apabila nilai
NPCO lebih dari satu NPCO 1, maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu
produsen menerima subsidi atas output dari pemerintah. NPCO dapat dirumuskan sebagai berikut :
NPCO =
E A
=
Sosial Penerimaan
ivat Penerimaan
Pr
Dampak Kebijakan Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan dengan
nilai Transfer Input Input Transfer atau TI dan Koefisien Proteksi Input Nominal Nominal Protection Coefficients on Input atau NPCI. Sedangkan
untuk input non tradable dijelaskan oleh Transfer Faktor TF. Transfer Input TI menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan
pada input tradable yang mengakibatkan terjadinya perbedaan input tradable privat dan sosial. Nilai TI positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input
tradable menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar
dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Namun jika nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial
lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Berdasarkan matriks PAM, nilai TI dirumuskan oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut :
TI J = B – F = Biaya Input Tradable Privat – Biaya Input Tradable Sosial
Koefisien Proteksi Input Nominal Nominal Protection Coefficients on Input
atau NPCI adalah rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga bayangan. Perbedaan antara
kedua biaya tersebut menunjukkan adanya kebijakan yang mengakibatkan harga finansial input tradable berbeda dengan harga bayangan input tradable. Apabila
nilai NPCI lebih dari satu NPCI 1 menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor yang menggunakan input tersebut akan
dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sedangkan, nilai NPCI kurang dari satu NPCI 1 menunjukkan adanya hambatan ekspor input sehingga produksi
menggunakan input lokal. NPCI dapat dirumuskan sebagai berikut : NPCI =
F B
=
Sosial Tradable
Input Biaya
ivat Tradable
Input Biaya
Pr
Transfer Faktor TF menunjukkan pegaruh kebijakan pemerintah terhadap input domestik. Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non
tradablel . Jika nilai TF bernilai positif berarti terdapat subsidi negatif pada input
non tradable , sedangkan nilai TF negatif terdapat subsidi positif pada input non
tradable . Berdasarkan matriks PAM, nilai TF dirumuskan oleh Monke dan
Pearson 1989 sebagai berikut : TF K = C – G
= Biaya Input Non Tradable Privat – Biaya Input Non Tradable Sosial
Dampak Kebijakan Input-Output Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis
Koefisien Proteksi Efektif Effective Protection Coefficients atau EPC, Transfer Bersih Net Transfer atauTB, Koefisien Keuntungan Profitability Coefficients
atau PC dan Rasio Subsidi bagi Produsen Subsidi Ratio to Producers atau SRP. Koefisien Proteksi Efektif Effective Protection Coefficients atau EPC
merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem komoditas dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana
kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.
Jika EPC lebih dari satu EPC 1, menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri,
artinya terdapat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi produsen domestik berjalan dengan efektif. Sebaliknya, jika nilai EPC kurang dari satu
EPC 1, menunjukkan kebijakan pemerintah untuk melindungi produsen domestik tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan matriks PAM, nilai EPC
dirumuskan oleh Monke dan Pearson 1989 sebagai berikut : EPC =
F E
B A
− −
=
Sosial Tradable
Input Biaya
Sosial Penerimaan
ivat Tradable
Input Biaya
ivat Penerimaan
− −
Pr Pr
Transfer Bersih Net Transfer atau TB adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial.
Nilai TB juga menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input. Nilai TB mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseuruhan
terhadap penerimaan petani, apakah merugikan petani atau sebaliknya. Jika nilai TB lebih dari nol TB 0, menunjukkan terdapat tambahan surplus produsen
yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. TB dapat dirumuskan sebagai berikut :
TB L = D – H = Keuntungan Privat – Keuntungan Sosial
Koefisien Keuntungan Profitability Coefficients atau PC adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial.
Nilai PC kurang dari satu PC 1, menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa ada
kebijakan. Namun jika nilai PC lebih dari satu PC 1 maka yang terjadi sebaliknya. Koefisien Keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut :
PC =
H D
=
Sosial Penerimaan
ivat Penerimaan
Pr
Rasio Subsidi bagi Produsen Subsidi Ratio to Producers atau SRP menunjukkan insentif bersih atas penerimaan yang dihitung dengan harga sosial.
Nilai SPR negatif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan produsen mengeluakan biaya produksi lebih besar dari pada biaya
sesungguhnya untuk berproduksi. Jika nilai SRP positif maka yang terjadi adalah sebaliknya. Rasio Subsidi bagi Produsen dapat dirumuskan sebagai berikut :
SRP =
E L
=
Sosial Penerimaan
Bersih Transfer
4.6. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila ada suatu perubahan
terhadap input ataupun output. Perubahan yang dimasukan dalam penelitian ini yaitu perubahan harga jual output dan input serta perubahan nilai tukar rupiah.
Adapun analisis sensitivitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Analisis sensitivitas jika terjadi penurunan harga output dengan asumsi faktor lainnya tetap.
2. Analisis sensitivitas jika terjadi peningkatan harga input pupuk dengan asumsi faktor lainnya tetap.
3. Analisis sensitivitas jika terjadi perubahan nilai tukar Rupiah Terhadap dollar Amerika menjadi dengan asumsi faktor lainnya tetap.
4. Analisis sensitivitas gabungan, yaitu jika terjadi penurunan harga output diikuti terjadi peningkatan harga input pupuk dan diiringi perubahan nilai
tukar Rupiah Terhadap dollar Amerika, dengan asumsi faktor lainnya tetap.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih 5.1.1. Letak Geografis
Secara administratif Desa Sungai Medang terletak di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan. Posisi geografis Kota Prabumulih
terletak antara 3 sampai 4
LS dan 104 sampai 105
BT. Berikut perbatasan wilayah Kota Prabumulih :
Sebelah Utara : Kecamatan Lembak dan Kecamatan Tanah Abang Kabupaten Muara Enim
Sebelah Timur : Kecamatan Lembak dan Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim
Sebelah Selatan : Kecamatan Rambang Lubai Kabupaten Muara Enim Sebelah Barat : Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim
Kota Prabumulih merupakan kota baru, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2001. Sampai tahun 2005 Kota terdiri dari
empat kecamatan yaitu : 1. Kecamatan Rambang Kapak Tengah, terdiri dari 10 desa
2. Kecamatan Prabumulih Timur, terdiri dari 7 desakelurahan 3. Kecamatan Prabumulih Barat, terdiri dari 7 desakelurahan
4. Kecamatan Cambai, terdiri dari 7 desa Desa Sungai Medang secara administratif merupakan salah satu dari 7
desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Cambai dengan luas wilayah 1.500 ha.