5 Bidang Infrastruktur, yang meliputi kegiatan pembangunan kandang
sapi komunal, pembangunan MCK, dan pembangunan gapura masuk desa.
2.4. Kajian Penuntasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penuntasan berasal dari kata dasar tuntas, yang artinya selesai secara menyeluruh; sempurna sama
sekali. Penuntasan adalah suatu proses, cara, perbuatan menuntaskan, menyelesaikan semua.
Dari pengertian diatas maka dapat diartikan bahwa penuntasan merupakan suatu proses atau cara dalam rangka menghentikan,
menyelesaikan atau mengentaskan suatu hal secara berkesinambungan dan menyeluruh. Dalam penelitian ini penuntasan yang dimaksud adalah
terkait dengan program CSR Pertamina dalam rangka mensukseskan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di desa Ledok.
2.5. Kajian Wajib Belajar 2.5.1
Tujuan Wajib Belajar
Program wajib belajar 9 tahun didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” universal basic education, yang pada hakekatnya berarti
penyediaan akses terhadap pendidikan yang sama untuk semua anak Kedeputian evaluasi kinerja pembangunan 2009: 4-5. Melalui program
wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki oleh semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di
masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah.
Berikut adalah tujuan pelaksanaan wajib belajar yang hendak dicapai dalam gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar 9
tahun : 1
Meningkatkan APK SMPMTs setara hingga mencapai minimal 95
pada akhir tahun 2008.
2
Menurunkan angka putus sekolah SMP dari 2,83 menjadi 2.
3 Meningkatkan kualitas lulusan dengan indikator 70 peserta Ujian
Nasional mencapai nilai diatas 6,00.
4 Melengkapi sarana pendidikan sehingga 75 SMP memenuhi Standar
Nasional Pendidikan antara lain minimal 80 SMP mempunyai perpustakaan, 50 SMP memiliki laboratorium IPA, 50 SMP
memiliki laboratorium bahasa, dan 80 SMP mempunyai ruang
keterampilan.
5 Menyelenggarakan minimal satu rintisan SMP bertaraf internasional di
setiap kabupatenkota.
6 Terbentuknya dan berfungsinya jaringan system informasi pendidikan
di setiap propinsi di seluruh wilayah Indonesia dengan baik.
7 Meningkatkan mutu pengelolaan SMP dengan 70 SMP menjalankan
Manajemen Berbasis Sekolah MBS dengan baik.
8 Meningkatkan kesadaran akan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan Tim Redaksi NPM 2010: 141-142. 2.5.2 Pelaksanaan Wajib Belajar
Wajib belajar 9 tahun merupakan program nasional perwujudan konstitusi serta tekad pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Amandemen Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Wajib belajar diartikan sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usia
sekolah untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut. Dalam rangka membangun sumber daya manusia yang berkualitas, Pemerintah Indonesia
mewajibkan semua warga negara usia pendidikan dasar 7-15 tahun tanpa memandang agama, status sosial, etnis, dan jenis kelamin untuk
menempuh minimal pendidikan dasar. Dalam laporan Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan 2009:
5 menjelaskan bahwa pelaksanaan program Wajib Belajar 9 tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu; 1 dilakukan tidak melalui
paksaan tetapi bersifat himbauan, 2 tidak memiliki sanksi hukum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan
anaknya, 3 tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4 keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan
partisipasi bersekolah anak usia 6 - 15 tahun.
Pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di
SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD Kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren,
SDLT, dan kelompok belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB
dan kelompok belajar Paket B. Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada
tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan
pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000. Dengan kebijakan otonomi daerah ini membuka kesempatan bagi para ahli,
praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk wajib belajar 9 tahun. Otonomi
pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing
yang merupakan tolok ukur kualitas sumber daya manusia.
2.5.3 Sasaran Pelaksanaan Wajib Belajar
Sasaran yang hendak dicapai dalam gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun sesuai yang terkandung dalam
Inpres Nomor 5 Tahun 2006 adalah 1 Anak usia 7-12 tahun yang belum mengikuti pendidikan atau putus sekolah SDMIpendidikan yang setara;
2 Anak yang telah lulus SDMIpendidikan yang setara yang belum bersekolah atau DO Drop Out di SMPMTspendidikan yang setara.
Penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang
sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut
terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SDMI dan SMPMTs serta satuan
pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung.
2.5.4 Angka Partisipasi Kasar
Angka Partisipasi Kasar APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu
terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu Data Statistik Indonesia.
Angka Partisipasi Kasar menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. Angka Partisipasi Kasar
merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.
Angka Partisipasi Kasar didapat dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah atau jumlah siswa, tanpa
memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah
penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut.
2.5.5 Angka Partisipasi Murni
Angka Partisipasi Murni APM adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk
di usia yang sama Data Statistik Indonesia. Angka Partisipasi Murni menunjukkan partisipasi sekolah
penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap
jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi
penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.
Angka Partisipasi Murni di suatu jenjang pendidikan didapat dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia sekolah yang sedang
bersekolah dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang sekolah tersebut.
2.5.6 Angka Putus Sekolah
Angka Putus Sekolah APUSAPts didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid putus sekolah pada jenjang pendidikan
tertentu SD, SLTP, SLTA dan sebagainya dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu dan dinyatakan dalam persentase.
Hasil perhitungan Angka Putus Sekolah ini digunakan untuk mengetahui banyaknya siswa putus sekolah di suatu jenjang pendidikan
tertentu pada wilayah tertentu. Semakin tinggi Angka Putus Sekolah berarti semakin banyak siswa yang putus sekolah di suatu jenjang
pendidikan pada suatu wilayah.
2.5.7 Angka Melanjutkan
Angka Melanjutkan Anjut adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di
usia yang sama yang melanjutkan pendidikan dari jenjang pendidikan SDMI ke SMP.
Besarnya Angka Melanjutkan didapat dengan membagi jumlah siswa SMP pada tingkat pertama dengan jumlah siswa SD ditambah siswa
MI pada tahun tertentu.
2.6 Kajian Evaluasi
2.6.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi berasal dari kata evaluation bahasa Inggris yang berarti menilai suatu produk sehingga dapat melukiskan pengembangan suatu
proses dan berperan penting dalam menilai. Beberapa pendapat tetang evaluasi dikemukakan oleh para ahli
diantaranya : 1
Stark and Thomas 1994: 12 menyatakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan
penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya.
2 Suchman 1961 memandang evaluasi sebagai sebuah proses
menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.
3 Suharsimi Arikunto 2009: 2 berpendapat evaluasi adalah kegiatan
untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
2.6.2 Pengertian Evaluasi Program
Secara umum program diartikan sebagai “rencana”. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin 2008: 3-4 program didefinisikan
sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Farida Yusuf Tayibnasis 2000: 9 memandang program sebagai segala sesuatu yang dicoba lakukan seseorang dengan harapan akan
mendatangkan hasil atau pengaruh. Dalam pengertian tersebut ada empat unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai program, yaitu :
1 Kegiatan yang direncanakan atau dirancang dengan saksama.
2 Kegiatan tersebut berlangsung secara berkelanjutan dari satu
kegiatan ke kegiatan yang lain.
3 Kegiatan tersebut berlangsung dalam sebuah organisasi, baik
organisasi formal maupun organisasi non formal bukan kegiatan individu.
4 Kegiatan tersebut dalam implementasi atau pelaksanaannya
melibatkan banyak orang. Dari pengertian diatas maka evaluasi program adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program
dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah
berlalu sehingga dapat mengambil keputusan melalui kegiatan pengukuran, penilaian.
Dalam penelitian ini evaluasi program yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Program CSR
Pertamina dalam rangka penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di desa Ledok Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.
2.6.3 Syarat-Syarat Evaluasi Program
Dalam melaksanakan evaluasi program terdapat syarat-syarat evaluasi yang harus dipenuhi, yaitu :
1 Valid, dikatakan valid apabila mengukur yang sebenarnya diukur,
kesahihan evaluasi biasanya diukur dengan presentase atau derajat tertentu.
2 Terandalkan reliable, evaluasi dikatakan terandalkan jika alat
evaluasi yang sama dilakukan pada kelompok siswa yang sama beberapa kali dalam waktu yang berbeda maka akan memberikan hasil
yang sama. 3
Objektif, evaluasi dikatakan objektif jika tidak mendapatkan pengaruh subjektif dari pihak penilai.
4 Seimbang, keseimbangan evaluasi meliputi keseimbangan bahan,
keimbangan kesukaran, dan keseimbangan tujuan. 5
Membedakan, suatu evaluasi harus dapat membedakan antara kegiatan yang berhasil, cukup berhasil, tidak berhasil dan gagal.
6 Norma, evaluasi yang baik hasilnya harus mudah ditafsirkan, hal ini
menyangkut tentang adanya ukuran atau norma tertentu untuk menafsirkan hasil evaluasi dari tiap komponen program.
7 Fair, evaluasi yang fair harus mengemukakan persoalan-persoalan
dengan wajar, tidak bersifat jebakan. 8
Praktis, baik ditinjau dari segi pembiayaan maupun segi pelaksanaannya. Evaluasi harus efisian dan mudah dilaksanakan.
2.6.4 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi program bermanfaat bagi pengambil keputusan karena dengan masukaninformasi yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi
program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil
evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari elevator untuk pengambil keputusan.
Arikunto 2009: 22 menyatakan ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan
sebuah program keputusan, yaitu : 1
Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana
diharapkan. 2
Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit.
3 Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan
bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4 Menyebarluaskan program melaksanakan program di tempta-temat
lain atau mengulangi lagi program di lain waktu, karena program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi
di tempat dan waktu yang lain.
2.6.5 Komponen Evaluasi Program
Evaluasi program memegang peranan penting untuk mengetahui pelaksanaan program kegiatan secara efektif dan efisien. Evaluasi program
dilakukan agar dapat melakukan perbaikan-perbaikan yang mendukung pelaksanaan program dan memutuskan tindak lanjut pelaksanaan program.
Komponen evaluasi program antara lain :
1 Tujuan program
Tujuan program merupakan sesuatu yang pokok dan harus dijadikan pusat perhatian evaluator. Tujuan menunjukkan apa yang
akan diraih, akibat, atau akhir dari pengembangan program untuk dicapai. Beberapa program tujuannya dinyatakan dalam bentuk yang
sangat rinci tetapi sebagian tidak secara jelas dinyatakan. Tujuan program dapat dirumuskan dalam berbagai cara dan berbagai tingkat
kecermatan. 2
Sumber dan prosedur Sumber-sumber dan prosedur merupakan sarana penunjang yang
digunakan oleh pengembang dalam melaksanakan program sehingga mencapai tujuan yang ditetapkan.
3 Manajemen program
Manajemen program dilakukan untuk monitoring pelaksanaan kegiatan yang berkaitan antara penggunaan sumber dan prosedur
sehingga dapat mencapai tujuan program yang ditetapkan. 4
Model-model evaluasi program Model evaluasi program digunakan untuk mengetahui seberapa
jauh keberhasilan program yang dilakukan sehingga diperoleh langkah-langkah untuk melakukan perbaikan atau pengembangan.
Model evaluasi adalah model desain yang dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi. Model evaluasi mencakup konsep evaluasi yang
mencakup waktu pelaksanaan, kapan evaluasi dilaksanakan, tujuan evaluasi dan acuan serta peham yang dianut oleh evaluator.
Model-model evaluasi program antara lain : 1
Model TYLER Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari
program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus, mencek
seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.
2 Model STAKE
Menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok yaitu deskripsi dan pertimbangan. Deskripsi menyangkut dua hal yang
menunjukkan posisi sesuatu yang menjadi sasaran evaluasi, yaitu apa maksudtujuan yang diharapkan oleh program, dan pengamatanakibat,
atau apa yang sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul terjadi. Sedangkan pertimbangan menunjukkan langkah pertimbangan, yang
dalam langkah tersebut mengacu pada standar; serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu persiapan
antecedents, proses atau transaksi transactionprocess dan keluaran output.
3 Model CIPP, terdiri dari :
a Context, evaluasi program dalam dimensi pengertian sebagai ide,
yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki evaluan sehingga dapat memberikan arah perbaikan. Penilaian context meliputi analisis masalah yang berhubungan
dengan lingkungan pendidikan atau dengan kata lain, penilaian context adalah penilaian terhadap kebutuhan tujuan pemenuhan
kebutuhan dan karakteristik individu yang menangani. b
Input, penilaian input meliputi pertimbangan tentang sumber dan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan umum dan khusus.
Informasi yang terkumpul selama tahap penilaian hendaknya digunakan untuk menentukan sumber dan strategi didalam
keterbatasan dan hambatan yang ada. c
Process, penilaian proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktek. Suatu program yang baik
tentu sudah dirancang mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program.
d Product, penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan diadakan penilaian hasil maka dapat diambil keputusan mengenai tindak
lanjut program. 4
Model kesenjangan Model ini menekankan bahwa penilaian kesenjangan dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan actual dari program
tersebut. Standar adalah kriteria yang telah dikembangkan dan
ditetapkan dalam program berdasarkan atas sumber, prosedur dan manajemen dengan hasil yang efektif. Penampilan adalah sumber,
prosedur, manajemen dan hasil yang tampak ketika program dilaksanakan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam model kesenjangan adalah:
1 Tahap penyusunan desain, tahap ini dilakukan kegiatan seperti
merumuskan tujuan program, menyiapkan obyek dan subyek sasaran program, dan merumuskan standar dalam bentuk rumusan
sesuatu yang dapat diukur. 2
Tahap pemasangan instalasi, yaitu tahap melihat apakah kelengkapan yang tersedia sudah sesuai dengan yang diperlukan
meliputi kegiatan meninjau kembali penetapan standar, meninjau ulang program yang sedang berjalan dan meneliti kesenjangan
antara yang direncanakan dengan yang sudah dicapai. 3
Tahap proses, kegiatan yang dilakukan adalah mengadakan penilaian tujuan-tujuan yang sudah dicapai.
4 Tahap pengukuruan tujuan, mengadakan analisis data dan
menetapkan tingkat output yang diperoleh. 5
Tahap perbandingan, membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan kemungkinan keputusan
yang diambil adalah menghentikan program, merevisi, meneruskan dan memodifikasi tujuan.
2.7 Kerangka Berfikir
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan, desa Ledok merupakan salah satu desa binaan Pertamina yang dilaksanakan melalui
program CSR Corporate Social Responsibility. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah pemberian dana bantuan bidang
pendidikan. Dalam rangka mensukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, program pemberian dana bantuan CSR Pertamina bidang pendidikan diharapkan
dapat memotivasi siswa serta meningkatkan kualitas pendidikan dalam hal mengurangi Angka Putus Sekolah, meningkatkan Angka Partisipasi Kasar,
meningkatkan Angka Partisipasi Murni serta meningkatkan Angka Melanjutkan Sekolah di SD Negeri 1, 2, dan 3 desa Ledok.
Hal tersebut digambarkan dalam kerangka berfikir berikut ini :
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan model CIPP
Bagan 2.3. Kerangka Berfikir
CSR Pertamina bidang pendidikan
Peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah
Peningkatan Angka Partisipasi Kasar
Pengurangan Angka Putus Sekolah
Peningkatan Angka Partisipasi Murni
Berdasarkan kerangka berfikir diatas maka akan dilakukan penelitian evaluasi yang merupakan salah satu bidang garapan teknologi
pendidikan. Evaluasi yang dilakukan akan menggunakan model CIPP dari Stufllebeam. Dalam penelitian ini yang akan dievaluasi adalah program
bantuan CSR Pertamina bidang pendidikan di SD Negeri desa Ledok, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keefektifan program dalam
rangka mensukseskan program wajib belajar 9 tahun di desa tersebut.
2.8 Hipotesis