Catatan kritis HASI L DAN PEMBAHASAN

51 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 bersama-sama. Beberapa hal riil yang dapat dilakukan antara lain adalah: 1 melakukan riset kecil-kecilan dan kemudian membuat tulisan reportase dan dipresentasikan di kelas; 2 membuat cerita pendek, puisi, lagu, skenario drama, dan lainnya; dan 3 menyusun proyek sosial untuk ikut menyelesaikan masalah sosial yang riil terjadi di masyarakat; menulis surat, kritik, saran, rekomendasi, atau bahkan policy paper untuk pihak-pihak tertentu; dan lainnya. Kata kunci dari tahap akhir ini adalah “tindakan” atau “aksi” riil. Dalam aktivitas ini anak didik tidak hanya diajak untuk lebih membangun ikatan emosional dengan realitas sosial di masyarakat hingga paham betul “rasa” berkehidupan yang tidak segampang teori dan konsep, melainkan juga diajak untuk berani mengambil sikap tegas dan melaksanakannya secara konsekuen.

5. Catatan kritis

Dalam konteks I ndonesia tentu saja upaya melaksanakan praksis pembelajaran sastra menggunakan pendekatan literasi kritis tidak semudah yang saya tuliskan di atas. Problem utamanya karena paradigma pendidikan kita tidak banyak menempatkan sastra sebagai suatu hal yang penting, selain itu desain kurikulum dan jadwal pelajaran di sekolah-sekolah juga “dibatasi” oleh orientasi pembelajaran yang sekadar mengejar ketuntasan materi mastery learning dan sudah ditentukan secara rigid. Oleh karena itu, hampir mustahil praksis pembelajaran sastra menggunakan literasi kritis dilakukan secara optimal ketika acuan pembelajarannya justru dikuatkan pada penguasaan hal-hal teoretis dan teknis berbahasa saja dan sekadar dapat menjawab soal-soal yang diberikan di Buku Sekolah Elektronik BSE, Lembar Kerja Siswa LKS dan sejenisnya. Praksis pembelajaran literasi kritis membutuhkan ruang yang luas untuk pendalaman sebuah karya sastra melalui diskusi intensif sampai pada aksi riil di masyarakat. Kita dapat merujuk pada pendapat Freire dan Macedo 1987: 108 yang menyatakan perlunya perombakan total paradigma dan praksis pendidikan dalam membangun masyarakat yang demokratis, beradab, adil, aman, dan sejahtera yang salah satu hal penting sebagai cara untuk mencapainya melalui dunia pendidikan adalah dengan menggunakan pendekatan dan program-program literasi kritis. I n mantaining a certain coherence with the revolutionary plan to reconstruct new and more democratic societies, educators and political leaders need to create a new school grounded in a new educational praxis, expressing different concepts of education consonant with the plan for the society as a whole. I n order for this to happen, the first step is to identify the objectives of the inherited dominant education. Next, it is necessary to analyze how the methods used by the dominant schools function, legitimize the dominant values and meanings, and at the same time negate history, culture, and languange practices of the majority of subordinate students. The new school, so it is argued, must also informend by a radical pedagogy, which would make concrete such values as solidarity, social responsibility, creativity, discipline in the service of the common good, vigilance, and critical spirit. An important feature of a new educational plan is the development of literacy programs rooted in an emancipatory ideology, where readers become “subjects” rather than mere “objects”. Konteks bicara Freire dan Macedo adalah program literasi kritis yang dilaksanakan di Afrika, yaitu di Cape Verde, Sao Tome, dan Guinea-Bissau, sebagai bekas daerah jajahan Portugis . Pada waktu Freire dan Macedo menulis buku yang kutipan langsungnya saya tuliskan di atas, kondisi negara yang menjadi tempat pelaksanaan program literasi kritis mereka adalah negara yang baru lepas dari penjajahan dan sedang dalam masa transisi 52 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 untuk membangun diri menjadi masyarakat yang lebih demokratis, adil, aman, sejahtera, emansipatoris, dan partisipatoris. Oleh karena itu, satu hal yang mereka lawan adalah cara pandang dominan warisan kolonialisme, termasuk dan terutama dalam sistem dan praksis pendidikan formal di negara tersebut. Analisis kritis dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai dan budaya apa yang beroperasi dan diwariskan dan nilai-nilai dan budaya masyarakat pribumi mana yang dihilangkan dalam melalui praksis pendidikan. Bagi saya upaya tersebut sangat penting dilakukan—tidak hanya tepat bagi negara-negara yang baru saja merdeka dari kolonialisme dan imperialisme—sebagai bahan dasar dan utama untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam memperbaiki praksis pendidikan, karena di manapun tempatnya pendidikan akan tersesat dan kehilangan arah jika tidak mengetahui kondisi riil di masyarakat, apa yang sebenarnya terjadi, masalah apa yang terjadi, tatanan sosial masyarakat dan negara apa yang ingin dicapai, dan seterusnya. Dengan demikian, jelas perubahan dalam praksis pendidikan melibatkan perlu hadirnya kebijakan-kebijakan pendidikan education policies yang tepat, kurikulum yang dapat menjawab problem diri anak didik dan masyarakat, media, metode dan sistem evaluasi yang membangun kesadaran kritis, keberanian, prakarsa, sikap, dan tindakan riil untuk perubahan sosial. Literasi kritis posisinya adalah sebagai sebuah paradigma cara pandang terhadap dunia kehidupan ini dan pendekatan metodologis praksis pembelajaran yang untuk pelaksanaannya butuh perubahan paradigma pendidikan menjadi berparadigma pedagogi kritis hingga berimplikasi pada perlunya perubahan kurikulum, kebijakan pendidikan, dan lainnya. Sebagai catatan lain, pendekatan pembelajaran literasi kritis ini dapat digunakan untuk hampir semua matapelajaran dalam sistem pendidikan formal persekolahan schooling, terutama matapelajaran dalam rumpun ilmu sosio-humaniora. Walaupun begitu bukan tidak mungkin matapelajaran matematika, fisika, biologi dan lainnya dapat menggunakan pendekatan literasi kritis, hanya saja bisa jadi “teks” yang dibaca bukanlah karya sastra, melainkan berita di media massa, film dokumenter, film berjenis science fiction, dan lainnya. Hal yang tidak kalah penting dalam literasi kritis pembelajaran sastra untuk anak didik di sekolah dan kampus adalah pemilihan karya sastra yang akan didalami bersama. Sebenarnya semua karya sastra dapat digunakan sebagai bahan bacaan, namun tentu saja kalau tujuan pembelajaran ingin mengasah kemampuan afektif dan daya kritis tertentu, misalnya kesadaran mengenai pentingnya merawat dan melestarikan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan dan sejenisnya, hendaknya dapat dipilih beberapa cerita pendek, novel, puisi yang substansi makna, nilai-nilai, dan pandangan dunianya dapat mengasah kepekaan rasa dan daya kritis anak didik untuk cinta lingkungan. Berikut di bawah ini saya berikan beberapa karya sastra yang sekiranya tepat untuk praksis pembelajaran rasa, estetika, etika, dan daya kritis. 53 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Tabel 2. Beberapa contoh karya sastra yang tepat untuk pembelajaran nilai-nilai, budaya, etika, estetika, dan daya kritis, beberapa di antaranya diambil dari modul literasi kritis untuk pendidikan Pancasila Wisudo et al., 2012.

6. Kesimpulan