Relevansi Kekuatan Dongeng dan Pendidikan Karakter

148 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012

2.2 Relevansi Kekuatan Dongeng dan Pendidikan Karakter

Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar, memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Oleh karena itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif mendidik. Menurut Murti Burnanta Kompas, 13 Agustus 1997 bahwa pelajaran bercerita amat bermanfaat bagi perkembangan jiwa dan membangun imajinasi anak, memperluas cakrawala siswa serta mendorong penumbuhan kreativitas dalam diri siswa, penanaman budi pekerti dan sikap saling menyayangi serta saling menghargai antar sesama. Sayang tradisi bercerita dan mendongeng di kalangan guru dan orang tua kepada anaknya kini hampir hilang. I ni disebabkan antara lain guru tidak lagi menguasai cerita lama atau tradisional yang banyak mengandung nilai moral, kebenaran, perjuangan, dan lain-lain. Dunia modern yang dipengaruhi kemajuan kesejagatan atau globalisasi telah menghancurkan nilai tradisi kita seakan-akan kehilangan jati diri. Karena itu sepantasnyalah pelajaran bercerita dimasukkan dalam kurikulum lagi, setidak-tidaknya sebagai pelajaran ekstra kurikuler. Apa yang dikatakan Murti ini tentu menyangkut penyiapan guru untuk mampu bercerita dan penyiapan orang tua untuk dapat mendongeng dalam keluarga, bahkan pembantu rumah tangga pun didorong pula untuk pandai bercerita seperti pembantu rumah tangga keluarga Hasan lihat Atheis oleh Achdiat Kartamiharja yang mendongengi Hasan tentang cerita kepatuhan kepada aturan agama, jika rimah atau nasi yang berserakan di lantai akan membalas di hari akhir kepada yang menyerakkannya. Tetapi yang tidak kurang pentingnya pula ialah perlu diingat dalam bercerita dan mendongeng ini penggunaan bahasa sebagai media cerita hendaklah sesuai dengan usia si anak. Meskipun demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya dapat memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk siswa tetapi juga guru yang mendongeng untuk siswanya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa. Menurut pakar Tjokrowinoto Haryadi, 1994 menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini. Pertama, mengasah daya pikir dan imajinasi. Siswa dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi apabila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Dia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut sehingga anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini. Kedua, menanamkan berbagai nilai dan etika. Cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak. Ketiga, menumbuhkan minat baca. Dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku 149 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku lain seperti buku pengetahuan, agama, dan sebagainya. Bercerita atau mendongeng dalam bahasa I nggris disebut storytelling, memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut di antaranya adalah mampu mengembangkan daya pikir dan imajinasi anak, mengembangkan kemampuan berbicara anak, mengembangkan daya sosialisasi anak, dan yang terutama adalah sarana komunikasi anak dengan orang tuanya. Kalangan ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa. Media I ndonesia, 2006. Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tidak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch atau sentuhan manusiawi dan sportivitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas. Anak juga dapat memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar di samping memudahkan mereka menilai dan memosisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi dapat berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Misalnya wayang kancil adalah sebuah jenis seni wayang yang menampilkan cerita binatang fabel. Cerita WayangKancil diangkat dari dongeng masa lalu, yang mengandung nilai tertentu, seperti sosial, kemanusiaan, dan ketuhanan. Tokoh Kancil diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri 1476-1688 di Gresik. Misi Wayang Kancil sendiri adalah membantu menanamkan budi pekerti yang digabungkan dengan pendidikan tentang lingkungan hidup untuk anak sejak dini. Biasanya wayang kancil menyajikan cerita rakyat dalam setiap pertunjukannya. Pendidikan yang diajarkan melalui media tersebut sangat membantu dalam proses perkembangan anak. Kritik juga dapat disampaikan dengan nuansa lebih halus. Cerita rakyat yang telah mengakar di kehidupan masyarakat I ndonesia pada umumnya adalah cerita yang sarat pesan moral dan memiliki manfaat dalam kehidupan. Koran Tempo, 2004 Dalam pembelajaran di kelasn guru dapat mengemas cerita yang mengandung unsur budi pekerti, pengenalan terhadap lingkungan hidup, dan menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh siswa. Kancil adalah sosok seekor binatang cerdik dalam dunia dongeng anak I ndonesia yang dapat bercakap-cakap dan berfikiran seperti manusia. Dalam salah satu penyajian cerita, yaitu Kancil dan Pak Tani, dikisahkan tentang Kancil yang selalu mencuri mentimun di ladang Pak Tani akhirnya tertangkap dan dikurung di dalam kurungan sementara Pak Tani menyiapkan peralatan untuk menyembelih Kancil. Tanpa sepengetahuan Pak Tani, seekor anjing menghampiri Kancil dan bertanya mengapa Kancil ada di dalam kurungan. Kancil yang cerdik menjawab bahwa dia akan dinikahkan dengan puteri Pak Tani yang cantik, makanya Pak Tani menjaga agar Kancil tidak kabur dengan memasukkannya ke dalam kurungan. Lalu Kancil menawarkan pada Anjing untuk bertukar tempat. Percaya oleh tipuan Kancil, Anjing mau 150 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 saja membebaskan Kancil lalu masuk ke dalam kurungan untuk menggantikan Kancil. Sekali lagi, dengan akalnya Kancil berhasil lari dari maut. Pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini bukanlah tentang kelicikan Kancil yang menipu Anjing untuk kepentingannya sendiri, melainkan alasan mengapa Kancil mencuri mentimun di ladang Pak Tani. Menurut Ki Ledjar Soebroto, Kancil mencuri mentimun di ladang Pak Tani bukanlah karena dia suka mencuri, melainkan karena hutan lindung tempat hewan-hewan hidup telah dirusak oleh manusia serakah sehingga tidak ada lagi yang bisa dimakan Kancil, lalu ia mencari makan di ladang Pak Tani. Cerita ini jika ditinjau lebih jauh menyampaikan pesan moral tentang lingkungan. Mengingatkan kita bahwa dunia ini bukan milik manusia saja, tapi ada hewan-hewan yang juga perlu tempat untuk tinggal dan mencari makan. Karena itu kita sebagai manusia harus menjaga dan melestarikan hutan-hutan tempat para hewan tinggal. Semua dongeng tersebut hendak menunjukkan bahwa kecerdikan dapat mengatasi situasi yang berbahaya. Namun, kecerdikan dan kecerdasan saja tidak cukup. Dua hal itu harus diimbangi dengan pemapilan yang wajar dan pikiran yang tenang. Dalam episode Kancil dan Buaya, misalnya. Dalam episode ini diceritakan tentang keterdesakan Kancil pada saat dikejar Harimau yang marah akibat menjadi korban kecerdikannya. Saat melarikan diri, Kancil terpojok di pinggir sungai yang dipenuhi dengan buaya. Saat itu Kancil berikrar bahwa dirinya bersedia dimangsa para buaya tapi para buaya harus bersedia berbaris rata memanjang di sungai agar Kancil dapat menghitung jumlah para buaya sehingga mereka dapat membagi daging Kancil sama rata dan tidak berebut. Sembari menghitung, Kancil meloncati tubuh buaya satu-persatu. Namun setelah sampai di ujung sungai, Kancil melompat ke tepian dan melarikan diri. Pada akhirnya, para buaya terpedaya dan hanya menjadi jembatan bagi Kancil. Kancil masih dapat merenung memikirkan tipuan apa yang akan dia gunakan saat itu. Dia masih sempat berpikir dengan tenang untuk menebak segala kemungkinan yang akan terjadi. Dalam menyampaikan tipu dayanya, Kancil tampil dengan wajar dan berani, sehingga dia mendapatkan kepercayaan penuh dari buaya-buaya yang hendak memangsanya. Menurut Ki Ledjar Soebroto, I nti dari semua itu adalah setiap masalah harus dihadapi dengan akal bukan dengan kekerasan.

2.3. Fungsi Sastra sebagai Pembentuk Karakter Sisw a