Fungsi Sastra sebagai Pembentuk Karakter Sisw a

150 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 saja membebaskan Kancil lalu masuk ke dalam kurungan untuk menggantikan Kancil. Sekali lagi, dengan akalnya Kancil berhasil lari dari maut. Pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini bukanlah tentang kelicikan Kancil yang menipu Anjing untuk kepentingannya sendiri, melainkan alasan mengapa Kancil mencuri mentimun di ladang Pak Tani. Menurut Ki Ledjar Soebroto, Kancil mencuri mentimun di ladang Pak Tani bukanlah karena dia suka mencuri, melainkan karena hutan lindung tempat hewan-hewan hidup telah dirusak oleh manusia serakah sehingga tidak ada lagi yang bisa dimakan Kancil, lalu ia mencari makan di ladang Pak Tani. Cerita ini jika ditinjau lebih jauh menyampaikan pesan moral tentang lingkungan. Mengingatkan kita bahwa dunia ini bukan milik manusia saja, tapi ada hewan-hewan yang juga perlu tempat untuk tinggal dan mencari makan. Karena itu kita sebagai manusia harus menjaga dan melestarikan hutan-hutan tempat para hewan tinggal. Semua dongeng tersebut hendak menunjukkan bahwa kecerdikan dapat mengatasi situasi yang berbahaya. Namun, kecerdikan dan kecerdasan saja tidak cukup. Dua hal itu harus diimbangi dengan pemapilan yang wajar dan pikiran yang tenang. Dalam episode Kancil dan Buaya, misalnya. Dalam episode ini diceritakan tentang keterdesakan Kancil pada saat dikejar Harimau yang marah akibat menjadi korban kecerdikannya. Saat melarikan diri, Kancil terpojok di pinggir sungai yang dipenuhi dengan buaya. Saat itu Kancil berikrar bahwa dirinya bersedia dimangsa para buaya tapi para buaya harus bersedia berbaris rata memanjang di sungai agar Kancil dapat menghitung jumlah para buaya sehingga mereka dapat membagi daging Kancil sama rata dan tidak berebut. Sembari menghitung, Kancil meloncati tubuh buaya satu-persatu. Namun setelah sampai di ujung sungai, Kancil melompat ke tepian dan melarikan diri. Pada akhirnya, para buaya terpedaya dan hanya menjadi jembatan bagi Kancil. Kancil masih dapat merenung memikirkan tipuan apa yang akan dia gunakan saat itu. Dia masih sempat berpikir dengan tenang untuk menebak segala kemungkinan yang akan terjadi. Dalam menyampaikan tipu dayanya, Kancil tampil dengan wajar dan berani, sehingga dia mendapatkan kepercayaan penuh dari buaya-buaya yang hendak memangsanya. Menurut Ki Ledjar Soebroto, I nti dari semua itu adalah setiap masalah harus dihadapi dengan akal bukan dengan kekerasan.

2.3. Fungsi Sastra sebagai Pembentuk Karakter Sisw a

Menurut Riris K. Sarumpaet 2009: 21, ilmuan sastra dan pengajar Kajian Sastra Anak Universitas I ndonesia, secara teoretis sastra anak adalah sastra yang dibaca anak- anak, dengan bimbingan, pengarahan orang dewasa, dan dibuat oleh orang dewasa. Sastra anak sengaja dirancang berdasarkan umur tertentu dan konsep yang sesuai dengan kebutuhan pembacanya. Jadi, sebuah buku dapat dipandang sebagai sastra anak jika citraan dan metafora kehidupan yang dikisahkan baik dalam isi emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral maupun bentuk kebahasaan dan cara pengekspresian dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya. Sastra anak dinilai dapat membentuk karakter dengan efektif karena nilai moral yang terdapat dalam karya sastra tidak disampaikan secara langsung, tetapi melalui cerita sehingga proses pendidikan berlangsung menyenangkan dan tidak menggurui. Misalnya, membelajarkan siswa tentang kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, mau mengakui 151 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 kesalahan, religius, dan lain-lain. Dalam pembelajaran sastra lebih efektif jika disampaikan melalui cerita dengan tokoh yang berkarakter daripada disampaikan secara langsung. Melalui cara tersebut akan terbentuk pengertian dan pemahaman dalam diri siswa. Siswa ingin bersikap dan berperilaku sebagaimana halnya tokoh cerita yang menjadi pahlawannya. Pada siswa usia dini keinginan untuk selalu menirukan segala sesuatu yang dikagumi masih amat besar, sastra anak sangat cocok dimanfaatkan untuk pembelajaran karakter. Menurut Horace Darma, 2004:20 fungsi utama sastra adalah dulce et utile, artinya menghibur indah dan mendidik bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk yang menarik sehingga membuat siswa senang membaca, mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai pendidikan moral yang berguna untuk menanamkan pendidikan karakter. Akan tetapi, fungsi mendidik dan menghibur tidak dapat dipisahkan. Demikian pula dengan fungsi sastra anak. Jika hanya memiliki fungsi menghibur, mungkin fungsi ini mirip dengan fungsi lawakan yang hanya menghibur. Namun, jika hanya fungsi mendidik yang ditonjolkan, artinya sastra anak fungsinya sama dengan buku teks pelajaran yang hanya menonjolkan fungsi mendidik. Dengan demikian, sastra anak menjadi sangat membosankan. Oleh karena itu, kedua fungsi tersebut satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus merupakan kesatuan. Penekanan pada salah satu fungsinya, hanya akan membuat sastra anak itu hadir tidak alamiah. Kedua fungsi itu membuat anak merasa bahagia dan senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan dan dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan krestivitas, serta memberikan pengetahuan dan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan bahagia mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya. Misalnya, betapa mengasyikkannya ketika siswa mendengarkan atau membaca cerita Wayang Kancil, cerita tersebut di dalamnya memiliki fungsi menghibur dan mendidik secara baik. Cerita tersebut selalu memukau siswa. Disadari atau tidak kedua fungsi itu benar-benar menyatu pada cerita tersebut. Dalam dunia pendidikan, cerita adalah sebuah kekuatan atau daya yang paling ampuh. Kita percaya bahwa sebuah pesan cerita dalam bentuk persepsi, nilai, dan sikap dapat ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, cerita yang dianggap baik, seperti Wayang Kancil masih ‘dihidupkan’ sampai sekarang yang umumnya berasal dari foklor atau cerita rakyat. Terkadang pesan tersebut dimafhumi dari satu generasi ke generasi lain sebagai sebuah kebenaran untuk perkembangan sosial. Guru juga dapat menjalankan perannya sehingga dapat membentuk perkembangan sosial anak. Apabila guru sering memberikan dan membacakan karya sastra tanpa disadari, mereka telah turut membentuk kepribadian siswa. Oleh karena itu, siswa yang 152 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 menyukai sastra, lebih dapat bersosialisasi, peka terhadap lingkungan, mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap teman, percaya diri, dan menyintai persahabatan Dengan demikian fungsi sastra anak tentu saja untuk memberikan pendidikan kepada anak melalui media sastra. Dengan media sastra, siswa akan lebih mudah untuk menyerap ajaran tentang moral, etika, sosial, dan lain-lain. Hal yang tidak boleh dilewatkan terkadang anak suka cerita yang bersifat heroik. Jadi, sastra memiliki peranan yang penting dalam perkembangan moral, sosial, dan psikologi anak-anak. Beberapa di antaranya adalah menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap norma-norma manusia.

2.4 Pembinaan Karakter Siswa Sejak Usia Dini melalui Sastra