karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat
yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit Kliegman, 2006.
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit yaitu setiap kehilangan berat badan yang melampaui satu persen dalam sehari yang
merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15 persen Soegijanto, 2002.
2.1.4 Cara Penularan dan Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Diare
Cara penularan diare yang paling umum adalah melalui fekal-oral yaitu melalui makanan ataupun minuman yang tercemar oleh enteropatogen, melalui
kontak langsung dengan tangan maupun barang-barang yang tercemar dengan tinja penderita, ataupun secara tidak langsung melalui perantaraan lalat Suparto, 2003.
Menurut Sunoto, Sutoto, Soeparto, Soenarto, dan Ismail, 1990, faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya diare adalah tidak memberikan ASI eksklusif
pada bayi, penyediaan air bersih yang tidak memadai, air yang tercemar oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan mandi cuci kakus MCK, kebersihan lingkungan
sanitasi dan pribadi higiene yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan
Universitas Sumatera Utara
yang tidak bersih, dan cara penyapihan yang tidak baik. Disamping itu keadaan penderita seperti gizi buruk, imunodefisiensi kurangnya kekebalan tubuh terhadap
penyakit, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, dan menderita campak dalam empat minggu terakhir dapat meningkatkan kecendrungan
untuk dijangkiti diare. Menurut Kuswoyo 2007 faktor risiko diare terbagi menjadi dua faktor, yaitu
faktor lingkungan eksternal dan faktor pejamu internal. Dari faktor lingkungan utamanya bisa berupa sarana air bersih yang tidak memadaitercemar, sarana sanitasi
yang kurang baik, kebersihan peroranganpersonal higienis dan pemukimantempat tinggal yang kurang baik, tingkat pendidikan orang tua, penyiapan dan penyimpanan
makanan yang kurang baik serta cara penyapihan yang kurang baik, sedangkan faktor pejamu adalah faktor yang ada pada diri manusia anak yaitu terdiri dari
malnutrisigizi salah khusunya kurang gizi, kurangnya kekebalan tubuh terhadap penyakit akibat tidak melakukan imunisasi tambahan semasa bayi, usia balita,
penurunan asam lambung, penurunan kerja usus dan faktor genetik atau faktor keturunan.
Berdasarkan hasil penelitian Emiliana 1994 menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare adalah sosial ekonomi
lingkungan, tingkat pendidikan orang tua, status ekonomi yang rendah, dan sumber air minum yang tercemar sedangkan faktor anak yang paling berpengaruh adalah usia
balita dan status gizi kurang.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Wijaya 2012, faktor risiko terjadinya diare pada balita adalah tingkat pengetahuan ibu, riwayat pemberian ASI, kebiasaan ibu mencuci
tangan, jenis jamban, dan kepadatan lalat.
Berdasarkan hasil penelitian Sinthamurniwaty 2006 faktor-faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita umur 0 – 24 bulan adalah status gizi yang rendah, tingkat pendidikan pengasuh yang rendah, dan tidak memanfaatkan sumber air bersih.
2.1.5 Komplikasi Diare