tidak patuh pada kodrat hidup kita, hidup seorang manusia pasti akan dilanda malapetaka atau musibah.
Selain fungsi sosial yang mengajarkan rasa untuk saling menghargai, juga ada fungsi sosial lain yaitu kaitannya dengan ajaran tentang gotong-royong.
Dalam tiga varian cerita memang tidak diceritakan bahwa akhir dari semua cerita adalah panen hasil yang tentunya harus dipanen secara bersama. Dalam proses
panen ini dibutuhkan kerja sama untuk memanen hasil kebun. Tidak hanya saat musim panen saja tapi juga musim tanam dimulai ada nilai gotong-royong sudah
terbentuk.
5.2.5 Fungsi Pengesah Pranata Sosial
Lewat kisah BPTW disimpulkan bahwa ada cerita ini merupakan sebuah alat mengatur kehidupan sosial. Bahwa setiap akan menanam padi di kebun setiap
orang atau masyarakat merupakan sebuah kewajiban bahwa harus melakukan ritual penghormatan dan penghargaan terhadap Tonu Wujo Nogo Gunu Ema
Hingi sebagai orang yang mati demi menjadi makanan untuk keluarga dan keturunannya. Dalam masyarakat sebuah keharusan bahwa sebelum menanam
padi atau jagung, benih yang akan ditanam diletakan di atas sukut era. Selain itu harus mengorbankan binatang ataupun sesajen yang lain untuk upacara minta
restu agar tanaman bisa tumbuh baik dan mempunyai hasil yang baik dan berlimpah untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi hal yang sudah dibakukan dan merupakan kewajiban untuk melakukan ritual sebelum masa tanam tiba. Selain itu, sebuah pengesahan
lain adalah tentang nilai perempuan atau wanita yang punya nilai tinggi dalam
kehidupan sosial. Hal ini ditandai dengan mahar atau belis yang merupakan kewajiban dalam sebuah upacara pernikahan. Pihak laki-laki atau Opu lake harus
membayar mahar atau belis berupa gading gajah dan sejumlah binatang sesuai dengan permintaan blake pihak perempuan. Sebuah keharusan bahwa untuk
menghargai wanita Lamaholot, jika ingin menikah dengan wanita Lamaholot maka wajib menbayar gading gajah sebagai mahar utama. Hal ini dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa wanita juga manusia dan wanita adalah makhluk bernilai dengan segala pengorbanannya.
5.2.6 Fungsi Perangsang Kreatifitas Baru
Mitos tidak dapat dikatakan sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi atau pemikiran baru. Artinya
pengkajian secara mendalam terhadap isi atau pesan maupun pengkajian perbandingan sangat diperlukan guna menimbulkan pemikiran dan pengetahuan
tertentu, dan juga bisa digunakan untuk merangsang perkembangan kreatifitas dalam berpikir. Kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman manusia adalah
bersifat dinamis dan cenderung untuk berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat pendukungnya, karena itu mitos yang mencerminkan kebudayaan juga
cenderung menyampaikan pesan-pesan yang bersifat transformatif. Pesan-pesan transformatif itu bisa terpadu dalam satu mitos, atau bisa juga terwujud dalam
versi baru pada mitos yang sama Sri Iswadayati, 2007 Di sisi lain para cendekiawan di masa sekarang dengan mudah
mengembangkan kreatifitas melalui berbagai macam versi dan interpretasinya untuk membina masyarakat dan mengembangkan kebudayaan. Sebagai contoh
mitos Besi Pare Tonu Wujo berfungsi untuk merangsang pemikiran baru adalah dengan adanya sebuah teks drama berdasarkan cerita Besi Pare Tonu Wujo yang
merupakan cerita yang disampaikan secara lisan. Drama ini pernah dipentaskan. Di samping itu banyaknya versi berlainan juga mengundang pemikiran lebih
lanjut guna menentukan apa yang sesungguhnya menjadi inti pesan mitos itu sendiri.
5.2.7 Fungsi Kepercayaan