diverifikasi dalam diskusi kelompok terfokus focus group discussion atau FGD, yang melibatkan pejabatinstansidinas terkait, pakar kebijakan
dan pakar substansi atau permasalahan yang akan diatur. Informasi yang dihasilkan dari FGD ini merupakan materi untuk menyempurnakan
kebijakan menjadi draft-2 yang bersifat final. 6.
Tahap penetapan kebijakan, yakni draft final disahkan oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila diperlukan, kebijakan tersebut dimintakan
persetujuan dari lembaga legislatif, sesuai dengan kedudukan kebijakan tersebut dalam tata urut peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam PermenPAN di atas, seluruh formulasi kebijakan ini ditentukan selesai dalam waktu enam bulan. Dengan demikian tenggat waktu tersebut dapat
dijadikan sebagai acuan untuk menilai suatu produk kebijakan. Oleh karena itu, sudah seharusnya jajaran pengambil kebijakan privatisasi BUMN mematuhi
ketentuan mekanisme proses rasional perumusan kebijakan tersebut, termasuk tenggang waktu yang telah ditetapkan.
IV.5. Permasalahan dalam Perumusan Kebijakan Privatisasi BUMN
Kebijakan privatisasi BUMN pada dasarnya menyangkut kehidupan orang banyak dan keberlangsungan hidup masyarakat. Sehubungan dengan itu sangat
wajar apabila kebijakan privatisasi BUMN menjadi perhatian bagi berbagai kalangan, lebih-lebih bagi sasaran kebijakan privatisasi BUMN yang
bersangkutan. Untuk itu suatu kebijakan privatisasi perlu dirumuskan secara tepat agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan atau kontroversi. Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
lain, kebijakan privatisasi yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang baru, bahkan sering kali menimbulkan kontroversi dikalangan
masyarakat, terutama yang terkena imbas dari kebijakan privatisasi tersebut. Sehubungan dengan reaksi publik terhadap suatu kebijakan, Nugroho
mengemukakan bahwa
76
Selain manajemen resiko, Nugroho juga menguraikan masalah pokok dalam perumusan kebijakan di Indonesia yang mencakup antara lain
: “..., kebijakan pulbik sangat erat terkait dengan manajemen resiko
sehingga setiap pembuatan kebijakan publik harus memasukkan proses analisis dengan tujuan menilai resiko yang terjadi jika kebijakan tersebut ditetapkan
kemudian dilaksanakan. Namun demikian pemahaman tentang unsur manajemen resiko masih belum menjadi agenda penting dalam pembuatan kebijakan di
Indonesia. Akibatnya banyak kebijakan yang kemudian menuai kegagalan, bahkan kemarahan publik, mulai dari kebijakan impor beras hingga kebijakan
insentif komunikasi bagi DPRD”.
77
76
Nugroho, R. op. cit., h. 412.
77
Nugroho, R. Ibid., h. 424-427.
: masalah pertama , masih semua domain kebijakan publik 70-90 masih dikuasi oleh
sektor negara, utamanya pemerintah, sebagai pembuat kebijakan publik. Masalah kedua, adalah prosedur pengagendaan kebijakan dilakukan secara terpisah, yakni
RUU melalui Sekretariat Negara Setneg dan RPP melalui Sekretariat Kabinet Setkab, sehingga berpontensi menyebabkan kasus, misalnya suatu RUU kurang
align sejalan dengan RPP, atau suatu RPP mengulang RUU. Masalah ketiga adalah transparansi dalam rangka akuntabilitas. Transparansi dalam penyusunan
UU dan PP akan membangun keyakinan dan kepercayaan publik kepada negara; dan merupakan bagian penting dalam implementasi tatakelolah pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
yang baik, derajat korupsi dapat ditekan, guna membangun pemerintah dan negara yang profesional, bersih dan berwibawa.
Selanjutnya Barclay dan Birkland mengemukakan bahwa “sebuah hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat maka akan
menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu
sendiri”
78
Selain permasalahan diatas, Naihasy mengemukakan keterbatasan- keterbatasan dalam rangka memformulasikan kebijakan publik di Indonesia, yang
mencakup 5 lima keterbatasan, yaitu . Pendapat ini mengindikasikan bahwa agar tidak terjadi pelanggaran
danatau gugatan di kemudian hari, suatu kebijakan privatisasi harus dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitan itu,
semakin tinggi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hokum maka kebijakan privatisasi yang ditetapkan dapat memiliki legalitas yang semakin kuat,
sehingga kemungkinan terjadi gugatan atau penolakan dapat diminimalkan.
79
1 Keterbatasan Sumberdaya Waktu, yakni terkait dengan periodisasi waktu
kepemimpinan selama lima tahun; :
2 Keterbatasan Sumberdaya Manusia, yaitu terkait dengan kemampuan staf
dalam menterjemahkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan; 3
Keterbatasan Kelembagaan, yaitu kualitas praktek manajemen professional di lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan maupun menjamin sustainabilitas suatu kebijakan; 4
Keterbatasan Dana atau Anggaran, dengan alas an klasik, kondisi ekonomi, seringkali membengkak dan sebagainya;
78
Naihasy, S. 2006. Kebijakan Publik Public Policy: Menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: MIDA PUSTAKA. h. 95.
79
Naihasy, S. 2006. Ibid,. h. 95.
Universitas Sumatera Utara
5 Keterbatasan yang Bersifat Teknis, yakni yang berkenaan dengan
kemampuan teknis dalam menyusun kebijakan itu sendiri. Untuk dapat memformulasikan kebijakan harus memahami hal-hal yang terkait seperti
pengetahuan yang cukup dalam bidang hukum kenegaraan, hukum administrasi Negara, dan ilmu pemerintahan.
Pendapat tersebut memandang periode waktu lima tahunan sebagai jangka waktu yang relative terbatas untuk merumuskan dan mengimplementasikan suatu
kebijakan. Dengan kata lain, pemikiran ini menganut asumsi “ganti pemimpin, ganti kebijakan”, dan tidak melihat bahwa suatu kebijakan dimungkinkan tetap
dipertahankan danatau dilanjutkan oleh kepemimpinan periode berikutnya. Berdasarkan paparan pemikiran dan uraian diatas dapat diperkirakan
beberapa penyebab permasalahan danatau pemicu kontroversi yang terkait dengan perumusan kebijakan privatisasi BUMN, antara lain:
a Keterbatasan sumberdaya, yang merupakan bahan perdebatan utama
dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan. Hal ini menyangkut tujuan dan sasaran yang harus dicapai yang tidak selalu seimbang dengan
kemampuan keuangan atau anggaran pemerintah dalam membiayai berbagai kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan untuk
mensejahterahkan rakyat. Selain dana atau anggaran, keterbatasan sumberdaya ini, juga mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
fasilitas pendukung untuk melaksanakan suatu kebijakan. b
Perhitungan resiko, mencakup antisipasi kemungkinan ketercapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan, perkiraan konsekuensi kebijakan baik yang
diharapkan maupun dampak sampingan yang tidak dikehendaki, baik
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu segera, maupun dalam jangka panjang. Perhitungan resiko ini tidak hanya mencakup aspek finansial semata, tetapi juga
mengikuti aspek-aspek material, kulturalmoral, dan administratif manejerial.
c Ketidak-konsistenan in-consistency, dalam bentuk antara lain
ketidaksesuaian antar kebijakan yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, ketentuan-ketentuan dalam suatu
kebijakan yang satu sama lain kurang sejalan atau saling bertentangan, atau terdapat aturan-aturan yang dapat menimbulkan multi-tafsir.
d Keterbatasan kemampuan personil, yakni menyangkut kemampuan untuk
merumuskan kebijakan privatisasi yang efektif dan efisien sekaligus akseptabel bagi sasaran kebijakan, kemampuan menjabarkan atau
menterjemahkan menjadi kebijakan operasional, penguasaan terhdap peraturan perundang-undangan, hukum tata Negara atau pemerintahan,
dan kemampuan mengimplementasikan kebijakan e
Legalitas kebijakan, mencakup dasar hukum dan bentuk kebijakan privatisasi itu sendiri. Suatu kebijakan privatisasi dapar memiliki legalitas
yang kuat apabila dirumuskan bedasarkan produk hukum dan dalam bentuk hukum yang tinggi pada level tataurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perumusan kebijakan privatisasi tersebut juga harus mencerminkan tertib hukum, baik secara prosedural maupun
struktural. Tertib hukum secara prosedural dimaksudkan bahwa perumusan kebijakan privatisasi mengikuti tahap-tahap dan tenggat waktu
Universitas Sumatera Utara
yang telah ditetapkan. Adapun tertib hukum secara struktural berarti sesuai dengan tata-urut tingkatan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN
V.1. Prosedur Pelaksanaan Kebijakan Privatisasi BUMN