RUMUSAN MASALAH HIPOTESIS TUJUAN PENELITIAN .1 Tujuan umum STRESS RESPONSE

b Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea dapat menyebabkan teraktivasinya simpatoadrenal akibat stimulasi pada orofaringeal dan laringotrakheal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan TIO c Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, belum ada yang membandingkan efek antara klonidin dosis 0,2 µgkgBB intravena dengan lidokain 2 dosis 1,5mgkgBB intravena dalam upaya pencegahan kenaikan TIO saat laringoskopi dan intubasi trakhea.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan efek klonidin 2 µgkg intravena dan lidokain 2 1.5 mgkg intravena untuk mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.3 HIPOTESIS

Ada perbedaan efek klonidin 2 µgkg intravena dan lidokain 2 1.5 mgkg intravena untuk mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal. 1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan umum Untuk memperoleh obat alternatif dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui efek klonidin 2µgkg intravena dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal Universitas Sumatera Utara b. Untuk mengetahui efek lidokain 2 1.5 mgkg intravena dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal c. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui obat mana yang lebih efektif dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal 1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Manfaat akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha pencegahan kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.5.2 Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam pemberian adjuvan sebagai usaha pencegahan kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal pada keadaan berikut: a. Pasien-pasien dengan tekanan intra okuler tinggi yang akan menjalani tindakan pembedahan non-ophthalmik b. Pasien-pasien dengan cedera bola mata terbuka yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan c. Pasien-pasien yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan bola mata, baik elektif maupun emergensi, yang memerlukan pengendalian tekanan intra okuler. d. Pasien-pasien dengan tekanan darah tinggi yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. JALAN NAFAS

2.1.1. Anatomi

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring pars nasalis, dan mulut yang menuju orofaring pars oralis. Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring gambar 2.1.1-1. Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas 6 Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring pars laryngeal. Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring atau hipofaring. Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Universitas Sumatera Utara Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago gambar 2.1-2 : tiroid, krikoid, epiglotis, dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring 6 Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial gambar 2.1- 3. Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic V 1 saraf trigeminal saraf ethmoidalis anterior dan di bagian posterior oleh divisi maxila V 2 saraf sphenopalatina. Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus V untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual cabang dari saraf divisi mandibula [V 3 Cabang dari saraf fasialis VII dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus saraf kranial ke 10 untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan ] saraf trigeminal dan saraf glosofaringeal saraf kranial yang ke 9 untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Universitas Sumatera Utara saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea 6 Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas 6

2.1.2. Pipa endotrakhea ETT

Endotracheal tube ETT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar ETT American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79. ETT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari ETT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang mata Murphy untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3. Pemilihan pipa selalu hasil Universitas Sumatera Utara kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil. 6 Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup, balon petunjuk pilot balloon, pipa pengembangkan balon, dan balon cuff. Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup. 6 Tabel 2.1-1 Patokan ukuran ETT Usia Diameter internal mm Panjang cm Bayi cukup bulan 3,5 12 Anak anak 4 + usia4 14 + usia2 Dewasa Wanita 7.0-7,5 24 Laki-laki 7,5-9,0 24

2.1.3. Laringoskop rigid

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam. 6 Universitas Sumatera Utara 2.1.4. Teknik laringoskopi dan intubasi 2.1.4.1. Indikasi Intubasi Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain. 6

2.1.4.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. 6 Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade, handle, ETT 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah. 6 Universitas Sumatera Utara Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang sekitar 5-10 cm diatas meja operasi dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal. 6 Gambar 2.1-4 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki 6 Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa 4 dari total kapasitas paru paru kali nafas dalam dengan 100 oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1-5 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos 6

2.1.4.3. Intubasi Orotrakheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka abduksi. Balon ETT harus berada dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat. 6 Universitas Sumatera Utara Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. 6 Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan blade yang melengkung. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU. 6

2.1.4.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau Universitas Sumatera Utara malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi. 6 Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi Selama laringoskopi dan intubasi Malposisi Intubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusak Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa Dislokasi mandibula Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme 2.2. Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal King et al 27 , merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal yang melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakheal LETI. Mereka mengusulkan bahwa disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena pengikatan curah jantung CO daripada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik SVR. Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari pada meningkatkan laju jantung HR. Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung. Universitas Sumatera Utara Bedford 42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem saraf pusat CNS dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas laring, trakhea, dan karina memiliki refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain, seperti level anestesi yang ringan light level of anesthesia. Refleks penutupan glottis laringospasme adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light anesthesia. Nervus glossopharyngeal berada di superior permukaan anterior epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi. Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak- anak kecil, akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi. 42 Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire et al 43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal Universitas Sumatera Utara dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk peningkatan letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi pada LETI. 42,45 Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al 46 , telah melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi selama insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini hampir sama dengan penelitian Shribman et al 28 , yang meneliti tentang respon kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al 47 , membandingkan laringoskopi langsung dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum meningkat pada saat intubasi endotrakheal. Universitas Sumatera Utara

2.3. STRESS RESPONSE

Tubuh kita akan beraksi terhadap stimulus eksternal, mulai dari cedera ringan sampai yang bersifat massif, baik lokal maupun umum general. Respon yang bersifat umum dapat berupa aktivasi sistem endokrin, reaksi metabolik serta reaksi biokimia di seluruh tubuh. Besarnya respon sangat bergantung pada keparahan, intensitas dan durasi stimulus. Pemicu terjadinya refleks respon tersebut, serta pemicu bekerjanya beberapa substansi yang saling mempengaruhi yaitu antara aksis pituitari-hipothalamus, sistem hormon neuro-endokrin klasik dan sistem saraf otonomik disebut dengan stress response atau alarm reaction. 48,49 Respon lokal meruapakan hal yang penting untuk proses penyembuhan dan pertahanan melawan infeksi. Respon ini melibatkan mediator-mediator, produk sel endothelial pembuluh darah dan bahkan produk intraseluler dari sel tunggal. 49 Stress response menyebabkan sekresi dari beberapa hormon anabolik dan katabolik yang menghasilkan suatu hipermetabolisme disertai akselerasi pada hampir seluruh reaksi biokimiawi. Efek dari Stress response The neuro- endocrinal outflow dapat berupa: • Perubahan pada sistem kardiovaskuler: peningkatan curah jantung, laju jantung, tekanan darah, peningkatan kontraktilitas miokardium dan meningkatnya kebutuhan oksigen • Distribusi volume darah: vasokonstriksi perifer dan splanchnic, vasodilatasi pembuluh darah koroner dan serebral • Perubahan pada respiratori: peningkatan laju nafas • Perubahan pada cairan dan elektrolit: retensi garam dan air • Koagulasi: terjadi hiperkoagubiliti dan fibrinolisis • Immunosuppression: infeksi luka • Perubahan pada metabolik: mobilisasi substrat, hiperglikemia • Perubahan pada perkemihan: pengurangan jumlah urin 49 Universitas Sumatera Utara Stimuli utama untuk terjadinya refleks neuroendokrin di dalam tubuh adalah: 1 Hipotensi: berkurangnya volume darah yang bersirkulasi efektif yang disebabkan oleh suatu alasan apapun seperti trauma, perdarahan, luka bakar, infark miokard, tamponade jantung, sepsis, kolaps neurogenik, dan lain sebagainya, akan diindera oleh baroreseptor di aorta, karotis dan arteri renalis, sesuai dengan seberapa besar kehilangan volum yang terjadi. Terjadi baik secara langsung, yaitu melalui jalur otonom sentral untuk mengaktivasi pelepasan hormon pituitari seperti ACTH, vasopressin, growth hormone, beta endorphin, maupun secara tidak langsung melalui sistem saraf simpatetik untuk mengaktivasi pelepasan katekolamin, glucagon, mencegah pelepasan insulin dan pada akhirnya menyebabkan retensi natrium dan air serta peningkatan laju jantung, tekanan darah dan gula darah. 48,50 2 Oksigen, karbondioksida dan ion hydrogen Perubahan pada konsentrasi oksigen, CO 2 3 Ansietas dan emosional dan ion hydrogen dalam darah akan mencetuskan respon kardiovaskuler, pulmonal dan neuroendokrin melalui aktivasi kemoreseptor di perifer, aorta dan carotid bodies. 49 Ketakutan, ansietas, emosional, serta ketegangan secara signifikan dapat menurunkan toleransi terhadap nyeri. Stimulus ini melalui sistem limbik terutama pada region amigdala hipokampus dan nukleus batang otak bagian bawah yang kemudian sinyal akan ditransmisi hipothalamus posterior, selanjutnya akan diteruskan ke pituitari. 49 4 Temperatur 5 Anestesia Universitas Sumatera Utara a. Obat anestesi: siklopropan, eter dapat menyebabkan pelepasan katekolamin b. Laringoskopi dan intubasi Stimulasi mekanis pada saluran pernafsan atas melalui hidung, epifaring, laringofaring, dengan jalur afferen dibawah oleh nervus glossopharyngeus dan yang berasal dari pohon trakheobronkhial melalui nervus vagus. c. Light anaesthesia d. Nyeri 6 Sensitisasi perifer 7 Sensitisasi sentral 8 Pembedahan, dan 9 Luka 49

2.4. STRESS HORMONE

Dokumen yang terkait

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

PERBEDAAN RESPON KARDIOVASKULER ANTARA FENTANIL 2g kg DAN KLONIDIN 3g kg PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEK DILTIAZEM DAN LIDOKAIN INTRAVENA TERHADAP RESPON KARDIOVASKULER PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 46

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 17

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 2

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 10

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 23

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 5

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 12