Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. 6 Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan blade yang melengkung. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU. 6

2.1.4.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau Universitas Sumatera Utara malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi. 6 Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi Selama laringoskopi dan intubasi Malposisi Intubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusak Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa Dislokasi mandibula Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme 2.2. Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal King et al 27 , merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal yang melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakheal LETI. Mereka mengusulkan bahwa disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena pengikatan curah jantung CO daripada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik SVR. Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari pada meningkatkan laju jantung HR. Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung. Universitas Sumatera Utara Bedford 42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem saraf pusat CNS dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas laring, trakhea, dan karina memiliki refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain, seperti level anestesi yang ringan light level of anesthesia. Refleks penutupan glottis laringospasme adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light anesthesia. Nervus glossopharyngeal berada di superior permukaan anterior epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi. Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak- anak kecil, akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi. 42 Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire et al 43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal Universitas Sumatera Utara dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk peningkatan letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi pada LETI. 42,45 Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al 46 , telah melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi selama insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini hampir sama dengan penelitian Shribman et al 28 , yang meneliti tentang respon kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al 47 , membandingkan laringoskopi langsung dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum meningkat pada saat intubasi endotrakheal. Universitas Sumatera Utara

2.3. STRESS RESPONSE

Dokumen yang terkait

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

PERBEDAAN RESPON KARDIOVASKULER ANTARA FENTANIL 2g kg DAN KLONIDIN 3g kg PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEK DILTIAZEM DAN LIDOKAIN INTRAVENA TERHADAP RESPON KARDIOVASKULER PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 46

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 17

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 2

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 10

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 23

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 5

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 12