STRESS HORMONE TEKANAN INTRAOKULER TIO

a. Obat anestesi: siklopropan, eter dapat menyebabkan pelepasan katekolamin b. Laringoskopi dan intubasi Stimulasi mekanis pada saluran pernafsan atas melalui hidung, epifaring, laringofaring, dengan jalur afferen dibawah oleh nervus glossopharyngeus dan yang berasal dari pohon trakheobronkhial melalui nervus vagus. c. Light anaesthesia d. Nyeri 6 Sensitisasi perifer 7 Sensitisasi sentral 8 Pembedahan, dan 9 Luka 49

2.4. STRESS HORMONE

Respon refleks neuroendokrin terhadap suatu cedera terdiri dari: 1 Autokrin respon otonomik, terdiri dari: a. Katekolamin Katekolamin plasma akan meningkat segera setelah cedera dan mencapai konsentrasi puncak dalam 24 sampai 48 jam tergantung pada keparahannya. Hormon ini akan memicu aktifitas metabolik, hemodinamik dan modulasi hormon. Epineprin akan menyebabkan glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis, lipolisis pada jaringan adipose, ketogenesis meningkatkan resistensi insulin, mencegah ambilan glukosa oleh sel. Sedangkan efek langsung pada sistem kardio- respiratori adalah meningkatnya laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah dan laju nafas. b. Glokagon Universitas Sumatera Utara c. Insulin 49 2 Endokrin, yaitu hormon-hormon yang berada dibawah kendali hipothalamus-pituitari a. Kortisol b. Growth hormone c. Arginin vasopressin d. Aldosteron e. Rennin-angiotensin 3 Parakrin, terdiri dari: jaringan lokal yang teraktivasi, sistem sel endothelial pembuluh darah, dan sel tunggal. Semuanya memicu respon selama terjadinya perdarahan, inflamasi, sepsis dan bentuk lain dari cedera sel. 50 Keadaan ini akan melepaskan sel-sel mediator seperti: sitokin, leukotrin, prostaglandin, histamine, serotonin, TNF, interleukin I, II, VI, plasminogen aktifator, ekisanoid, kallikrein- kinin dan mediator-mediator lainnya. 49 2.5. LIDOKAIN 2.5.1. Struktur, rumus bangun Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amide. Di sintesa pertama sekali dengan nama dagang xylocaine oleh Nils Lofgren tahun 1943. Rekan kerjanya Bengt Lundqvist melakukan ekperimen pertama sekali tahun 1948. Lidokain terdiri dari satu gugus lipofilik biasanya merupakan suatu cincin aromatik yang dihubungkan suatu rantai perantara jenis amida dengan suatu gugus yang mudah mengion amine tersier. Anestesi lokal merupakan basa lemah. Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Di dalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relatif dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa-nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch. 51 Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Famakokinetik

Lidokain efektif bila diberikan secara intra vena. Pada pemberian intra vena mula kerja 45-90 detik. Kadar Puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 menit dan waktu paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme dihepar menjadi monoethylglcinexcylidide melalui oksidatif dealkylation, kemudian diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglcinexcylidide mempunyai aktivitas sekitar 80 dari lidokain sebagai antidisritmia sedangkan xylidide hanya mempunyai aktifitas antidisritmia 10. Xylidide dieksresi dalam urin sekitar 75 dalam bentuk 4-hydroxy-2,6-dimethylaniline. Lidokain dalam plasma 50 terikat oleh albumin.

2.5.3. Mekanisme kerja

Ada dua pendapat kerja lidokain sebagai analgesi, meskipun efek analgesi ini tidak jelas. Mekanisme lidokain sebagai analgesik menghambat suatu enzim yang mensekresi kinin atau memblok C nosiseptor lokal secara langsung. Penghambatan saluran ion natrium dan blokade yang bersifat reversible sepanjang konduksi akson perif eral dari serabut saraf Aδ dan digambarkan oleh Carlton 1997 dengan tujuan target analgesik pada dorsal horn medulla spinalis. 52 Sebagai anestesi lokal, lidokain menstabilisasi membran saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada membran saraf melalui penghambatan masuknya ion CH 3 NHCCH 2 N CH 3 O C 2 H 5 C 2 H 5 Gambar 2.5-1 Rumus bangun lidokain 51 Universitas Sumatera Utara natrium. Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf blokade konduksi dengan menghambat perjalanan ion sodium Na + melalui saluran ion selektif Na + dalam membran saraf butterworth dan stricharrtz 1990. Saluran Na + sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na + oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na + . Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap Na + , memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na + ada dalam keadaan diaktivasi-terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial. Pada membran saraf istirahat, saluran Na + di distribusi dalam keseimbangan diantara keadaan istirahat– tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup. Gambar 2.5-2 Mekanisme kerja anestesi lokal Dengan ikatan yang selektif terhadap saluran Na + dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup, molekul anestesi lokal menstabilisasi saluran dalam konfigurasi ini dan mencegah perubahan mereka menjadi dalam keadaan istirahat- tertutup dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran Na + dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeable terhadap Na + sehingga konduksi impuls saraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak dapat terjadi. Hal ini diartikan bahwa ikatan obat anestesi lokal pada sisi yang spesifik yang terletak pada bagian sebelah dalam saluran Na + sebaik penghambatan saluran Na + dekat Universitas Sumatera Utara pembukaan eksternalnya mempertahankan saluran ini dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup. 52,53 Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun , amplitude potensial berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan hilang. Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestetik lokal dengan saluran ion natrium yang semangkin menigkat. Pada setiap saluran ion, ikatan menghasilkan penghambatan arus Na + . Apabila arus Na + dihambat disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukam untuk menghambat impuls, potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti. 53 2.5.4. Toksisitas Lidokain 2.5.4.1.Efek terhadap Jantung Pada kardiovaskular lidokain menekan dan memperpendek periode refrakter efektif dan lama potensial aksi dari sistem His-Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Lidokain menekan aktifitas listrik jaringan aritmogenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal fibrilasi atrium. Efek toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasma + obat anestesi lokal dapat terjadi karena obat-obatan ini menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Na + ini mungkin memperbesar sifat antidisritmia jantung dari obat-obat anestesi ini. Universitas Sumatera Utara Tetapi jika konsentrasi plasma obat anestesi lokal berlebihan, saluran Na + jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi menjadi di depresi dan merugikan. Memperlambatnya impuls kardiak melalui jantung yang ditunjukan dengan pemanjangan interval P-R dan komplek QRS pada elektrokardia. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung. 51-55 Dosis intra vena 2-4 mgkgbb terhadap kontraktilitas jantung pada manusia minimal. 51

2.5.4.2. Efek terhadap SSP

Gejala awal dari komplikasi pada SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorientasi, euphoria, pandangan kabur, dan mengantuk kemudian bila kadar lidokain menembus sawar darah otak timbul gejala seperti vertigo, tinnitus, twictching otot dan jika konsentrasi plasma melebihi dari 5µgrml, kejang umum dapat terjadi. Kejang biasanya berlangsung singkat dan berespon baik dengan diazepam, dan sangat penting untuk mencegah hypoxemia. Dalam mencegah nyeri Lidokain mempunyai dua mekanisme di peripheral dan sentral nervus system. Di peripheral Lidokain menginhibisi transduksi neural, inhibisi migrasi leukosit, menurunkan pelepasan mediator inflamasi dan menekan albumin extravassasi, sementara di sentral memblok aktivasi neural di dorsal horn, kemudian memodulasi pelepasan neurotransmitter excitatory. Gambar 2.5-3 Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan konsentrasi plasma lidokain 51 Universitas Sumatera Utara Lidokain sebagai analgetik selain inhibisi sodium channel juga blok N- Methyl-D-Aspartat NMDA. 56 2.6. KLONIDIN 2.6.1. Struktur,rumus bangun Klonidin sautu senyawa imidazole 57 agonis α 2 -adrenergik selektif parsial α 2 : α1=220:1 yang bekerja secara sentral gambar 2.6-1 yang mempunyai aksi sebagai obat anti hipertensi karena kemampuannya untuk menurunkan pengeluaran sistem saraf simpatetik dari sistem saraf pusat SSP. Obat ini terbukti sangat efektif untuk pengobatan pasien-pasien dengan hipertensi berat atau renin dependent disease. Dosis lazim untuk orang dewasa adalah 0,2-0,3 mg peroral. Obat ini dapat menimbulkan sedasi, mengurangi kebutuhan obat-obat anestesi dan memperbaiki status hemodinamik perioperatif menurunkan tekanan darah dan laju jantung sebagai respon terhadap stimulus pembedahan serta stabilisasi simpatoadrenal. Gambar 2.6-1 Rumus bangun klonidin 58 Sebagai tambahan, reseptor α 2 yang berada di medulla spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan efek analgesia. Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvant anestesia dan kelengkapan untuk sedasi paska operasi tanpa menimbulkan adanya depresi ventilasi menjadi terbatas oleh karena waktu paruhnya yang relative panjang yaitu 6 – 10 jam. Obat lain yang mempunyai H N N NH Cl Cl Universitas Sumatera Utara waktu paruh yang lebih singkat yaitu 2 – 3 jam dan lebih poten daripada klonidin adalah deksmedetomidin. 58

2.6.2. Farmakokinetik

Klonidin diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 60 sampai 90 menit. Waktu paruh eliminasi klonidin berkisar antara 9 – 12 jam. Kira-kira 50 dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif, sementara sisanya dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak diubah. 57,58 Alpha-methyldopa dimetabolisme menjadi α- methylnorepinephrine yang bersifat sangat agonis terhadap reseptor α 2 dan memiliki selektifitas 10 kali lipat terhadap reseptor α- 2 adrenoreseptor daripada terhadap α- 1 adrenoreseptor. 57 Beberapa ligand memiliki cincing imidazol yang memfasilitasi ikatan pada reseptor imidazole-preferring nonadrenergik, demikian juga halnya terhadap α- 2

2.6.3. Mekanisme kerja

adrenoreseptor. Durasi efek hipotensif setelah dosis tunggal peroral sekitar 8 jam. Sedangkan pemberian transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk mencapai konsentrasi terapetik plasma. 58 Alfa- 2 adrenergik agonis menimbulkan efek klinis dengan berikatan pada reseptor α- 2 yang memiliki 3 subtype, yaitu alfa 2A, alfa 2B , dan alfa 2C , yang terdistribusi dimana-mana, dan uniknya masing-masing reseptor walaupun tidak semua berkaitan dengan lainnya dalam aksi alfa- 2 agonis. Reseptor Alfa 2A memediasi untuk terjadinya efek sedasi, analgesia, dan simpatolisis, sementara reseptor alfa 2B memediasi vasokonstriksi dan mungkin berefek antishivering. Sedangkan reseptor alfa 2C memiliki nilai terapetik pada kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya respon yang “mengejutkan” dan defisit sensorimotor gating seperti pada penyakit schizophrenia, gangguan attention deficit hyperactivity, gangguan stress pasaka trauma, dan gangguan akibat putus obat. Ringkasan r espon yang dapat dimediasi oleh reseptor α- 2 adrenergik dapat Universitas Sumatera Utara dilihat pada gambar 2.6-2 berikut. Lokasi untuk efek sedasi berada pada lokus seruleus yang berada pada batang otak, sementara lokasi utama untuk aksi analgetik mungkin berada pada medulla spinalis, walaupun terdapat bukti yang jelas bahwa lokasi ini juga terdapat di perifer dan supraspinal. Di jantung, aksi yang dominan dari α- 2 Pada pembuluh darah perifer, kerja α- agonis adalah dapat menurunkan takikardia melalui blokade pada saraf kardioakselerator dan menimbulkan bradikardi melalui aksi vagomimetiknya. 2 adrenergik dapat sebagai vasodilator maupun vasokonstriktor. Kerja vasodilator melalui efek simpatolisis, sedangkan efek vasokonstriknya dimediasi melalui reseptor-reseptor yang ada sel smooth muscle pembuluh darah. 59 Gambar 2.6-2 Respon yang dapat dimediasi oleh reseptor –reseptor α 2 -adrenergik 59 Universitas Sumatera Utara 2.6.3.1.Efek pada sistem saraf pusat SSP Efek Sedatif Salah satu reseptor alfa- 2 yang paling tinggi densitasnya berada di lokus seruleus pontin, yang merupakan sumber penting dari sistem saraf simpatis yang menginervasi forebrain dan modulator vital dari sistem kewaspadaan. 58,60 Belakangan diketahui bahwa lokus seruleus ini merupakan daerah utama yang betanggung jawab terjadinya efek sedatif. 61,62 Efek sedatif yang ditimbulkan oleh alfa- 2 agonis sangat mungkin mencerminkan adanya inhibisi pada nukleus ini. 60 Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa- 2 Efek ansiolotik agonis berbeda dengan efek sedasi yang ditimbulkan oleh obat-obat seperti midazolam dan propofol, yang mana obat-obat tersebut bekerja pada reseptor gamma-aminobutyric acid GABA. Obat yang mengaktivasi reseptor GABA akan menyebabkan kesadaran yang berkabut dan dapat menimbulkan agitasi, toleransi dan ketergantungan. 58 Karekteristik lain dari efek alfa- 2 agonis adalah ansiolotik yang sebanding dengan yang dihasilkan oleh senyawa benzodiazepine. 63,64 Klonidin juga dapat mendepresi gangguan panik pada manusia. Akan tetapi, pada pemberian dosis besar justru dapat menimbulkan respon ansiogenik karena bersifat nonselektif yang dapat mengaktivasi reseptor alfa- 1 Efek analgetik . 57 Mekanisme kerja klonidin dalam menghasilkan efek analgesia diduga dengan mengaktivasi alfa- 2 reseptor postsinaptik yang berada pada substansia gelatinosa medulla spinalis. 58 Efek analgesia yang poten ini melibatkan reseptor- reseptor yang berlokasi pada supraspinal maupun spinal. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa klonidin menghasilkan analgesia yang lebih poten dari pada yang dihasilkan oleh morfin. Selanjutnya, efek analgesia dari alfa- 2 agonis akan bertambah secara sinergis ketika diberikan secara bersamaan dengan opioid. Universitas Sumatera Utara Kombinasi klonidin dengan opioid narkotik akan menyebabkan kebutuhan pada masing-masing obat dalam dosis yang lebih rendah sehingga mengurangi insidensi dan keparahan dari efek samping obat. 57 Kemampuan klonidin untuk memodifikasi fungsi saluran potasium di dalam SSP sehingga membrane sel menjadi terhiperpolarisasi mungkin merupakan mekanisme yang sangat penting dalam menurunkan kebutuhan akan obat anestesi. 58

2.6.3.2. Efek pada kardiovaskuler

Klonidin dapat menimbulkan hipotensi dan bradikardi melalui SSP. Mekanisme terjadinya efek tersebut mungkin melibatkan inhibisi outflow simpatetik dan potensiasi terhadap aktifitas saraf parasimpatetik. Akan tetapi, bagaimana tepatnya mekanisme kerja ini terjadi belumlah diketahui secara pasti. Sementara itu, nukleus traktus solitaries yang diketahui berfungsi untuk memodulasi kendali otonomik termasuk aktifitas vagal merupakan lokasi sentral yang penting untuk aksi dari alfa- 2 Klonidin menstimulasi neuron inhibitori alfa- agonis. 65 Nukleus lain yang juga terlibat dalam mekanisme ini antara lain lokus seruleus 66 , dorsal motor nucleus dari nervus vagus 67,68 , dan nukleus retikularis lateralis 69,70 , semuanya mungkin juga memediasi terjadinya hipotensi dan atau bradikardi. 66 2 adrenergik yang berada di pusat vasomotor medulla. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan outflow sistem saraf simpatetik dari SSP ke jaringan perifer. Hal ini akan bermanifestasi terjadinya vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah sistemik, laju jantung, dan curah jantung. Reseptor alfa- 2 terdapat pada pembuluh darah memediasi terjadinya vasokonstriksi, sedangkan yang terdapat pada ujung-ujung saraf pada sistem saraf simpatetik perifer dapat menghambat pelepasan norepineprin. Penurunan tekanan darah yang dihasilkan oleh klonidin lebih menonjol pada penurunan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan tekanan darah diastolik. Kemampuan klonidin untuk menurunkan tekanan darah sistemik tanpa menimbulkan paralisis refleks kompensasi homeostatic merupakan suatu hal yang Universitas Sumatera Utara sangat menguntungkan. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus juga dipertahankan selama pemakaian klonidin. 58

2.6.3.3. Efek pada sistem respirasi

Alfa- 2

2.6.3.4. Efek pada sistem endokrin

agonis memiliki efek depresan yang minimal terhadap ventilasi dan tidak mempotensiasi efek depresan ventilasi yang ditimbulkan oleh opioid. Akan tetapi pemberian klonidin dan fentanil intravena secara simultan, dapat menyebabkan akumulasi dari fentanil, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi ventilasi. 71 Klonidin secara signifikan tidak mepotensiasi depresi ventilasi yang diinduksi oleh pemberian morfin. 72 Alfa- 2

2.6.3.5. Efek pada sistem renal

agonis menurunkan outflow simpatoadrenal dan dapat menekan terjadinya stress response setelah stimulasi pembedahan. 73 Obat ini juga menginhibisi pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas secara langsung, akan tetapi kejadian ini tidak berdampak terjadinya hiperglikemia berat. 57 Alfa- 2 agonis menginduksi dieresis, baik pada hewan coba maupun pada manusia. Mekanismenya dengan cara inhibisi pelepasan antidiuretic hormone ADH, antagonisme kerja ADH pada tubulus renalis, serta meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Belakangan diketahui bahwa alfa- 2

2.6.4. Efek samping

agonis menginduksi pelepasan atrial natriuretic factor yang juga berperan pada mekanisme diuresis obat ini. 57 Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian klonidin adalah sedasi dan serostomia. Pasien-pasien yang diberikan klonidin akan bermanifestasi dengan rendahnya kadar katekolamin plasma dalam merespon stimulus pembedahan dan terkadang membutuhkan pemberian antikolinergik intravena Universitas Sumatera Utara untuk mengatasi terjadinya bradikardia. Efek samping lain adalah rash pada kulit skin rash, terkadang terjadi impotensi, serta hipotensi ortostatik walaupun jarang.

2.6.5. Hipertensi rebound

Penghentian pengobatan dengan klonidin secara tiba-tiba dapat berdampak terjadinya hipertensi rebound yang dapat terjadi segera dalam waktu 8 jam atau paling lambat dalam waktu 36 jam setelah penghentian dosis terakhir. Fenomena ini paling mungkin terjadi pada pasien-pasien yang mendapat 1.2 mg klonidin dalam sehari. Meningkatnya tekanan darah sistemik mungkin berhubungan dengan peningkatan 100 dari konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi dan terjadinya vasokonstriksi perifer yang hebat. Gejala-gejala seperti kegelisahan, diaphoresis, nyeri kepala, nyeri abdomen, dan takikardi sering mendahului pada kenaikan tekanan darah sistemik. Hipertensi rebound seringnya dapat dikendalikan dengan melanjutkan kembali terapi klonidin atau dengan pemberian obat-obat vasodilator seperti hidralazin atau nitroprussid. Penghentian pemberian klonidin sebaiknya dilakukan dengan menurunkan dosis secara bertahap sampai 7 hari atau lebih. Blokade beta-adrenergik dapat memperhebat keparahan hipertensi rebound dengan cara memblok efek vasodilatsi beta- 2 dari katekolamin dan membiarkan efek vasokonstriksi alfanya bekerja. Berbeda dengan obat antidepresan trisiklik, obat ini juga dapat mempehebat keparahan hipertensi rebound dengan mekanisme yang berbeda yaitu berhubungan dengan penghentian klonidin yang tiba-tiba. Tentunya, obat antidepresan trisiklik dapat mempotensiasi efek penekanan terhadap norepineprin. 58 Universitas Sumatera Utara 2.7. FISIOLOGI HUMOUR AKUEUS DAN TEKANAN INTRAOKULER TIO

2.7.1. Humor akueus

Humor akueus dibentuk oleh epitel badan siliari di ruang posterior mata. Kemudian cairan ini akan lewat diantara iris dan lensa, masuk ke ruang anterior mata melalui pupil, selanjutnya keluar dari mata melalui sudut ruang anterior mata melalui meshwork trabekula, kanal schlemm’s dan vena akueus. Selama perjalanannya melewati mata, humor akueus menjalankan sejumlah fungsi penting. Cairan ini merupakan pengganti sistem vaskuler terhadap struktur- struktur avaskuler mata, termasuk kedalamnya adalah kornea, lensa, dan meshwork trabekula. Humor akueus membawa bahan–bahan nutrisi esensial untuk mata, seperti oksigen, glukosa, dan asam amino serta mengelurakan zat-zat metabolit dan bahan-bahan toksik, seperti asam laktat dan CO 2 Po = FC + Pv 74,75 . Humor akueus mengembangkan bola mata dan mempertahankan TIO, yang mana kedua hal tersebut sangat penting untuk struktur dan integritas optikal mata. 74 Laju pembentukan humor akueus F, fasilitas aliran outflow C, dan tekanan vena episkleral Pv, merupakan faktor-faktor penentu utama dari TIO. Hubungan faktor-faktor tersebut dinyatakn dalam suatu formula yang disebut persamaan Goldmann, yaitu: Dimana Po adalah TIO dalam millimeter merkuri mmHg, F adalah laju pembentukan akueus dalam mikroliter permenit µLmenit, C adalah fasilitas outflow dalam mikroliter permenit permilimeter merkuri µLmenitmmHg, dan Pv adalah tekanan vena episkleral dalam millimeter merkuri mmHg. Resistensi R terhadap outflow merupakan kebalikan dari fasilitas C. 75 Dari persamaan tersebut dapat diambil pengertian bahwa TIO akan meningkat apabila laju Universitas Sumatera Utara pembentukan humor akueus meningkat, tekanan vena episklera meningkat, atau penurunan fasilitas outflow. 74 Humor akueus dibentuk kira-kira 2-3 µLmenit. Mekanisme pembentukan humor akueus merupakan suatu proses yang kompleks, meliputi: 1 ultrafiltrasi, 2 transport aktif, dan 3 difusi. 74,75 Laju pembentukan humor akueus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: integritas sawar darah-akueus, aliran darah ke badan siliari, dan regulasi neurohumoral dari jaringan vaskuler dan epitel siliari. Setelah humor akueus masuk ke dalam ruang anterior mata melalui pupil, selanjtnya humor akueus akan keluar dari mata melalui 2 jalur. Pertama, disebut jalur meshwork trabekula. Kebanyakan cairan ini memasuki aliran darah vena melalui jalur meshwork trabekula dan kanan schlemm’s yang disebut juga dengan istilah conventional atau canalicular outflow. Kedua, disebut jalur uveoskleral. Sebagian kecil cairan akan mengalir melewati struktur lain di segmen anterior mata, yaitu otot siliaris anterior dan iris, selanjutnya akan mencapai ruang suprasiliari dan suprakhoroidal. Dari sini, cairan akan mengalir melewati sklera atau melalui jaringan penunjang longgar yang mengelilingi saraf dan pembuluh darah. Pergerakan cairan ini disebut juga dengan istilah unconventional, atau extracanalicular outflow. 74 Nilai rata-rata outflow humor akueus sekitar 0,22 sampai 0,30 µLmenitmmHg, dengan perkiraan 5-15 dari outflow humor akueus total melalui jalur uveoskleral. 75

2.7.2. Tekanan vena episkleral

Humor akueus yang meninggalkan mata melalui trabekulokanalikular outflow dengan segera akan mengalir ke dalam sistem vena. Tekanan dalam pembuluh darah vena yang menerima humor akueus disebut dengan istilah tekanan vena episkleral. Tekanan vena episkleral pada mata manusia normal berkisar antara 8 sampai 11,5 mmHg. Perbedaan tekanan vena episkleral antara pasien glukomatous dengan individu normal kira-kira 2 mmHg. TIO akan Universitas Sumatera Utara mengalami kenaikan 0,8 mmHg untuk setiap kenaikan tekana vena episkleral sebesar 1 mmHg. 74

2.8. TEKANAN INTRAOKULER TIO

Nilai rata-rata TIO pada populasi normal berkisar 15,8 + 2,6 mmHg. 74 TIO akan meningkat jika volume darah di dalam bola mata meningkat. Peningkatan tekanan vena akan meningkatkan TIO karena berkurangnya drainase akueus dan meningkatnya aliran darah koroidal. Perubahan yang besar pada tekanan darah arteri dan ventilasi juga dapat mempengaruhi tekanan intraokuler Tabel 2.8-1. Perlakuan anestesi yang menyertai parameter-parameter tersebut dapat mempengaruhi tekanan intraokuler contoh : laringoskopi, intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg. 6 Tabel 2.8-1Efek kardiopulmunal terhadap TIO 6 Variabel Efek terhadap IOP Tekanan Vena Sentral Meningkat ↑↑↑ Menurun ↓↓↓ Tekanan darah Arteri Meningkat ↑ Menurun ↓ PaCO2 Meningkat hipoventilasi ↑↑ Menurun hiperentilasi ↓↓ PaO2 Meningkat Menurun ↑ ↓ menurun mild, moderate, marked; ↑ meningkat mild, moderate, marked; 0 tidak ada efek Kebanyakan obat anestesi dapat menurunkan atau tidak mempunyai efek terhadap TIO. Obat-obat anestesi inhalasi mengurangi TIO secara proporsional bersamaan dengan dalamnya tingkat anestesi. Pengurangan ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : turunnya tekanan darah akan mengurangi volume Universitas Sumatera Utara koroidal, relaksasi dari otot-otot ekstraokuler mengurangi tekanan dari dinding dan konstriksi pupil yang memfasilitasi keluarnya cairan akueus. Obat-obat anestesi intravena juga menurunkan TIO. Pengecualiannya adalah ketamine, yang biasanya meningkatkan tekanan darah arteri dan tidak merelaksasi otot-otot ekstraokuler. 6 Pemberian obat-obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil midriasis, yang dapat memicu terjadinya glukoma sudut tertutup. Pemberian atropin sistemik dengan dosis premedikasi tidak menyebabkan hipertensi intraokuler, meskipun pada pasien-pasien dengan glaukoma. Struktur amonium NH4 dari glikopirolat dapat menyebabkan peningkatan batas keamanan denga jalan mencegahnya masuk ke susunan saraf pusat. 6

2.9. TONOMETER

Dokumen yang terkait

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

PERBEDAAN RESPON KARDIOVASKULER ANTARA FENTANIL 2g kg DAN KLONIDIN 3g kg PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEK DILTIAZEM DAN LIDOKAIN INTRAVENA TERHADAP RESPON KARDIOVASKULER PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 46

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 17

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 2

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 10

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 23

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 5

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 12