Perbandingan Efek Klonidin 2mg/Kg Intravena dan Lidokain 2% 1.5 mg/Kg Intravena untuk Mencegah Kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO) selama Tindakan Intubasi Endotrakheal

(1)

TESIS

OLEH:

dr. MUHAMMAD JALALUDDIN ASSUYUTHI CHALIL

NIM: 087114013

PERBANDINGAN EFEK KLONIDIN 2

µ

g/Kg INTRAVENA DAN

LIDOKAIN 2% 1.5 mg/Kg INTRAVENA UNTUK MENCEGAH

KENAIKAN TEKANAN INTRA OKULER (TIO) SELAMA

TINDAKAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL

PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/


(2)

Judul : Perbandingan Efek Klonidin 2µg/Kg Intravena dan Lidokain 2% 1.5 mg/Kg Intravena untuk Mencegah Kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO) selama Tindakan Intubasi Endotrakheal

Nama : dr. Muhammad Jalaluddin Assuyuthi Chalil

Program Megister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif

Menyetujui,

Ketua Program Megister

(dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC) NIP: 19510423 197902 1 003

Ketua TKP – PPDS

(dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K)) NIP: 19540620 198011 1 001 Pembimbing III

(Prof.dr. Aslim Sihotang, SpM (K)) NIP: 130 521 828

Pembimbing I

(Dr.dr. Nazaruddin Umar, SpAN, KNA) NIP: 19510712 198103 1 002

Pembimbing II

(dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAN) NIP: 19680914 200801 1 013


(3)

Telah diuji pada Tanggal : 04 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

1. dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC NIP: 19510423 197902 1 003

2. dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN NIP: 19530121 197902 1 001

3. dr. Chairul M Mursin, SpAn NIP: 130 605 510


(4)

TESIS

OLEH

dr. MUHAMMAD JALALUDDIN ASSUYUTHI CHALIL

Pembimbing I : Dr. dr. NAZARUDDIN UMAR, SpAn, KNA Pembimbing II : dr. DADIK WAHYU WIJAYA, SpAn Pembimbing III : Prof. dr. ASLIM SIHOTANG, SpM(K)

PERBANDINGAN EFEK KLONIDIN 2

µ

g/Kg INTRAVENA DAN

LIDOKAIN 2% 1.5 mg/Kg INTRAVENA UNTUK MENCEGAH

KENAIKAN TEKANAN INTRA OKULER (TIO) SELAMA

TINDAKAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL

Tesis Ini Diajukan untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik

di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrah maanir raahiim,

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT karena atas ridho, rahmat dan karunia– Nya kepada saya sehingga dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian dibidang Anestesiologi dan Terapi Intensif . Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-nya Radhiallahu’anhum ajma’in yang telah membawa perubahan dari zaman kejahiliyahan ke zaman berilmu pengetahuan seperti saat ini.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, dr., DTM&H, MSc., SpA(K), Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidkan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif di Universitas Sumatera Utara ini. Bapak Direktur RSUP.H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD. Dr. Pirngadi Medan, serta Direktur RS. Haji Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih kepada Prof.dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC sebagai ketua Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H Adam Malik Medan. Terima kasih juga saya sampaikan kepada dr.Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi


(6)

dan Terapi Intensif. Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn KNA sebagai sekretaris Departemen, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV sebagai sekretaris Program Studi, serta dr.Ade Veronica HY, SpAn, KIC sebagai Kepala Instalasi Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP. H. Adam Malik Medan.

Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai pembimbing I, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn sebagai pembimbing II, Prof. dr. Aslim Sihotang, SpM (K) sebagai pembimbing III, Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes sebagai pembimbing statistik yang banyak membantu dalam penelitian ini khususnya dalam hal metodologi penelitian dan analisa statistik.

Rasa hormat dan terima kasih kepada semua guru-guru kami, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn KIC, dr. Chairul M. Mursin, SpAn, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA, dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV, dr. Yutu Solihat, SpAn KAKV, dr. Nadi Zaini, SpAn, Dr. Soejat Harto, SpAn, KAP, dr. Muhammad AR, SpAn, dr. Syamsul Bahri, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Ade Veronica HY, SpAn KIC, dr Tjahaya Indra Utama, dr. Nugroho K.S, SpAn, SpAn, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn, dr. Qodri FT, SpAn, KAKV, dr. Romy F Nadeak, SpAn.

Terima kasih kepada seluruh teman-teman residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUSU, terutama kepada: dr. Ferdinand AC, dr. Andri Faizal, dr. Raka JP, dr. Mumia, dr. M. Teguh P dan dr. Haryo atas kerja sama dan bantuan serta dorongannya selama ini. Terima kasih kepada teman-teman residen Ilmu Bedah, Ilmu Kebidanan dan Kandungan, THT, Penyakit Mata dan bidang ilmu kedokteran lainnya yang banyak berhubungan dengan bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja perawat dan penata


(7)

Anestesiologi, perawat ICU dan perawat lainnya yang banyak berhubungan dengan kami. Terima kasih juga kepada seluruh pasien dan keluarganya sebagai “guru” kedua kami dalam menempuh pendidikan spesialis ini

Terima kasih yang tak terhingga kepada keempat orang tua saya, ayahanda H. Chaliluddin Usman Batubara – Hj. Rahmah Tanjung, H. M. Yunus Rasiman – Hj. Zuharni atas doa’-doa’ yang telah dipanjatkan kehadirat Allah demi keberhasilan, keselamatan dan kemudahan saya dalam menjalani pendidikan ini, atas kasih sayang yang tidak berkesudahan, pengorbanan yang tidak terkira, jerih payah yang tidak terbalaskan. Semoga Allah memberikan mereka umur yang berkah, kesehatan yang sempurna dan ketenangan di dalam hatinya. Terima kasihku jua teruntuk istriku tercinta, dr. Yunnie Trisnawati, M.Ked (Ped), SpA atas pengorbanan, kesabaran, kesetiaannya kepadaku selama pendidikan ini. Semoga Allah menganugrahkan anak-anak yang sholeh kepada kami. Demikian juga kepada adik-adikku: Ahmad Almunawar Abror, Abdul Hafiz Alkhairi, SPi, M.Sholahuddin Al aiyubi, Am.Komp, Raudhatul Marhamah, Am.Keb, Raudhatul Inayah, Am.Keb, Raudhatul Jannah, Yudhie Dhamanhuri, SE dan Gunawan Pradana, SH yang telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil selama saya mengikuti program pendidikan ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, kita berserah diri dan memohon rahmat dan pengampunan. Mudah-mudahan ilmu yang didapat, bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat, agama,bangsa dan negara.

Wassalamua’laikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 04 Februari 2012


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB 1 ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 8

1.3 HIPOTESIS ... 8

1.4 TUJUAN PENELITIAN ... 8

1.4.1 Tujuan umum ... 8

1.4.2 Tujuan khusus ... 8


(9)

1.5.1 Manfaat akademis ... 9

1.5.2 Manfaat praktis ... 9

BAB 2 ... 10

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. JALAN NAFAS ... 10

2.1.1. Anatomi ... 10

2.1.2. Pipa endotrakhea (ETT) ... 12

2.1.3. Laringoskop rigid ... 13

2.1.4. Teknik laringoskopi dan intubasi ... 14

2.2. Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal ... 18

2.3. STRESS RESPONSE ... 21

2.4. STRESS HORMONE ... 23

2.5. LIDOKAIN ... 24

2.5.1. Struktur, rumus bangun ... 24

2.5.2. Famakokinetik ... 25


(10)

2.5.4. Toksisitas Lidokain ... 27

2.6. KLONIDIN ... 29

2.6.1. Struktur,rumus bangun ... 29

2.6.2. Farmakokinetik ... 30

2.6.3. Mekanisme kerja ... 30

2.6.4. Efek samping ... 34

2.6.5. Hipertensi rebound ... 35

2.7. FISIOLOGI HUMOUR AKUEUS DAN TEKANAN INTRAOKULER (TIO) ... 36

2.7.1. Humor akueus ... 36

2.7.2. Tekanan vena episkleral ... 37

2.8. TEKANAN INTRAOKULER (TIO) ... 38

2.9. TONOMETER ... 39

2.9.1. Jenis ... 39

2.9.2. Klasifikasi ... 40

2.9.3. Tonometer schiotz ... 41

KERANGKA TEORI ... 44


(11)

BAB 3 ... 46

METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. DESAIN PENELITIAN ... 46

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 46

3.2.1. Tempat ... 46

3.2.2. Waktu ... 46

3.3. POPULASI DAN SAMPEL ... 46

3.3.1. Populasi ... 46

3.3.2. Sampel ... 46

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 47

3.4.1. Kriteria Inklusi ... 47

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 47

3.4.3. Kreiteria drop out ... 47

3.5. BESAR SAMPEL ... 47

3.6. ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA ... 48

3.6.1. Alat dan Bahan ... 48


(12)

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 51

3.7.1. Variabel Independent ... 51

3.7.2. Variabel Dependent ... 51

3.8. RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA ... 51

3.9. DEFINISI OPERASIONAL ... 52

3.10. MASALAH ETIKA ... 53

3.11. ALUR PENELITIAN ... 54

BAB 4 ... 55

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1. HASIL ... 55

4.1.1. Karekteristik Pasien ... 55

4.1.2. Perbandingan Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler Pre anesthesia antar Kelompok ... 56

4.1.3. Perbandingan Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 1 Menit sebelum Intubasi (T-0) antar Kelompok ... 57

4.1.4. Perbandingan Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 1 Menit setelah Intubasi (T-1) antar Kelompok ... 57


(13)

4.1.5. Perbandingan Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 2 Menit setelah Intubasi (T-2) antar Kelompok ... 58

4.1.6. Perbandingan Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 3 Menit setelah Intubasi (T-3) antar Kelompok ... 58

4.1.7. Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-0, T-1, T-2, dan T-3 di dalam Kelompok A .. 59

4.1.8. Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-0, T-1, T-2, dan T-3 di dalam Kelompok B .. 60

4.1.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Sitolik antar Kelompok ... 62

4.1.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Diastolik antar Kelompok ... 62

4.1.11. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan MAP antar Kelompok .... 63

4.1.12. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Laju Nadi antar Kelompok 63

4.1.13. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Intra Okuler (TIO) antar Kelompok ... 64


(14)

BAB 5 ... 71

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1. KESIMPULAN ... 71

5.2. SARAN ... 72


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas ... 10

Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring ... 11

Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas ... 12

Gambar 2.1-7 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki ... 15

Gambar 2.1-8 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos ... 16

Gambar 2.1-9 Gambaran glotis selama laringoscopi dengan blade ... 17

Gambar 2.5-1 Rumus bangun lidokain ... 25

Gambar 2.5-2 Mekanisme kerja anestesi lokal ... 26

Gambar 2.5-3 Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan ... 28

Gambar 2.6-1 Rumus bangun klonidin ... 29

Gambar 2.6-2 Respon yang dapat dimediasi oleh reseptor –reseptor ... 31

Gambar 2.9-1 Tonometer Schiotz ... 41

Gambar 2.9-1 Kerangka Teori ... 44


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1-1. Prosedur operasi mata terbuka ... 3

Tabel 2.1-2 Patokan ukuran ETT ... 13

Tabel 2.1-3 Komplikasi dari intubasi ... 18

Tabel 2.8-1 Efek kardiopulmonal terhadap TIO ... 38

Tabel 2.9-1 Konversi tonometer Schiotz ... 43

Tabel 4.1-1 Karekteristik Data Penelitian ... 55

Tabel 4.1-2 Uji Shapiro-Wilk ... 56

Tabel 4.1-3 Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler Pre Anesthesia ... 56

Tabel 4.1-4 Perbandingan Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 1 Menit sebelum Intubasi (T-0) antar Kelompok ... 57

Tabel 4.1-5 Perbandingan Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 1 Menit setelah Intubasi (T-1) antar Kelompok ... 57

Tabel 4.1-6 Perbandingan Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 2 Menit setelah Intubasi (T-2) antar Kelompok ... 58

Tabel 4.1-7 Perbandingan Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler 3 Menit setelah Intubasi (T-3) antar Kelompok ... 58

Tabel 4.1-8 Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-0, dan T-1 di dalam Kelompok A .. 59

Tabel 4.1-9 Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-2, dan T-3 di dalam Kelompok A .. 60

Tabel 4.1-10 Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-2, dan T-3 di dalam Kelompok B .. 60

Tabel 4.1-11 Pebandingan Nilai Rata-Rata Profil Hemodinamik dan Tekanan Intra Okuler (TIO) antara T-pre dengan T-2, dan T-3 di dalam Kelompok B .. 61

Tabel 4.1-12 Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Sitolik antar Kelompok ... 62

Tabel 4.1-13 Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Diastolik antar Kelompok ... 62


(17)

Tabel 4.1-14 Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan MAP antar Kelompok ... 63 Tabel 4.1-15 Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Laju Nadi antar

Kelompok ... 63 Tabel 4.1-16 Perbandingan Rata-Rata Persentase Penurunan Tekanan Intra Okuler


(18)

DAFTAR GRAFIK


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI ... 80

LAMPIRAN 2 : JADWAL TAHAPAN PENELITIAN ... 81

LAMPIRAN 3 : PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN ... 82

LAMPIRAN 4 : LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN . 84 LAMPIRAN 5 : LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN ... 85

LAMPIRAN 6 : RANDOMISASI BLOK SAMPEL DAN DAFTAR SAMPEL ... 86

LAMPIRAN 7 : SURAT PERSETUJUAN KOMISI ETIK ... 87


(20)

ABSTRAK

Latar Belakang. Intubasi endotrakheal merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pasien-pasien yang menjalani operasi intra okuler dengan anestesi umum untuk menjaga patensi jalan nafas, memberikan akses pembedahan yang lebih baik dan memfasilitasi ventilasi paru untuk mengendalikan PaCO2

Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif dalam upaya pencegahan kenaikan TIO selama tindakan intubasi endotrakheal.

. Akan tetapi, tindakan intubasi itu sendiri dapat menimbulkan takikardi, hipertensi, dan peningkatan tekanan intra okuler (TIO). Keadaan ini dapat membahayakan pasien-pasien yang disertai hipertensi dan penyakit kardiovaskular, glaukoma dan penetrating eye injury. Setiap faktor yang dapat meningkatkan TIO akan menyebabkan drainase humor aqueous atau pengeluaran humor vitreous melalui luka dan dapat mengakibatkan komplikasi yang serius berupa kerusakan fungsi penglihatan secara permanen.

Metode. Setelah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU, penelitian dilakukan dengan desain uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 pasien bedah elektif dengan intubasi endotrakheal, berusia antara 18-40 tahun, dengan status fisik ASA 1 atau 2. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok (A dan B), masing-masing 20 orang. Kelompok A diberikan Klonidin 2µg/kgBB intravena 30 menit sebelum intubasi endotrakheal, sedangkan kelompok B diberikan Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena 2 menit sebelum tindakan. Semua pasien dipremedikasi dengan midazolam 0,1 mg/kgBB intravena dan pethidin 1 mg/kgBB intravena 5 menit sebelum intubasi. Induksi dilakukan dengan menggunakan propofol 2 mg/kgBB intravena dan rokuronium 1 mg/kgBB intravena 2 menit sebelum intubasi. Pengukuran profil hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju nadi) dan TIO dilakukan dalam 4 urutan waktu, yaitu sebelum tindakan anestesi (T-pre), 1 menit sebelum intubasi (T-0), 1 menit setelah intubasi (T-1), serta pada menit ke-2 dan ke-3 setelah intubasi (T-2 dan T-3). Pengukuran TIO dilakukan pada mata kanan dengan Tonometri Schiotz. Uji hipotesis dilakukan dengan Mann whitney test dengan p<0,05 dianggap bermakna.

Hasil. Data karekteristik pasien tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok penelitian. Baik pada kelompok A maupun B, didapatkan penurunan profil hemodinamik dan TIO yang bermakna antara saat T-pre dengan T-0, T-1, T-2, dan T-3 (p<0,05). Namun secara statistik, penurunan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05).

Kesimpulan. Kedua obat ini mempunyai kemampuan yang sama dalam menumpulkan respon hemodinamik dan menurunkan TIO, serta mencegah kenaikan TIO akibat tindakan intubasi endotrakheal.


(21)

ABSTRACT

Background. Endotracheal intubation is routinely performed during general anaesthesia in patients undergoing intraocular surgery to secure a clear airway, allowing good surgical access and facilitating ventilation of the lungs to control of PaCO2

Aim. The aim of this study is to found alternative medicine in order to prevent the increase of intraocular pressure (IOP) during endotracheal intubation.

. However, intubation is associated with tachycardia, hypertension and an increase in intraocular pressure (IOP). Such situations are likely to be harmful to the patients with hypertension, cardiovascular disease, glaucoma, and penetrating eye injury. Any factor that may increases IOP will tend to cause drainage of aqueous humour or extrusion of the vitreous humour through the wound. The latter is a serious complication that can permanently damage vision.

Method. After approval by the local ethics committee, a double blind and randomized clinical trial on 40 patients of ASA 1 or 2 aged 18-40 years who had undergone elective surgery using endotracheal intubation was conducted. The patients were divided into two groups (group A, n=20, and group B, n=20). Group A was administered clonidine 2µg.kg-1 IV 30 minute prior to endotracheal intubation, meanwhile group B was administered lidocain 2% 1,5 mg.kg-1 IV 2 minutes before intubation. All of the patients had received midazolam 0,1 mg.kg-1 IV and pethidine 1 mg.kg-1 IV as pre-medication 5 minutes before intubation. General anaesthesia was induced 2 minutes before intubation with propofol 2 mg.kg-1 IV followed by rocuronium 1 mg.kg-1

Result. Patient characteristics data showed no differences between two groups. Hemodynamic profile and IOP within both groups A and B was showed significance reduction between T-pre and T-0, T-1, T-2 and T-3 (p<0,05). But statistically, the decline did not show significant differences between treatment groups (p>0,05).

IV to facilitate tracheal intubation. Hemodynamic profile (systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure, heart rate) and IOP were measured on the right eye using the Schioetz tonometer in 4 sequences of time, before pre-medication (T-pre), 1 minute before intubation (0), and 1, 2, and 3 minutes after endotracheal intubation (1, 2, and T-3). Non-parametric data was compared between group by Mann Whitney test. Statistical significance was assumed if p<0,05.

Conclusion. Both drugs have the same ability in blunting the hemodynamic response and lowering the IOP, and preventing the increase in IOP caused by endotracheal intubation. Key word: clonidine, endotracheal intubation, intra-ocular pressure, lidocaine,.


(22)

ABSTRAK

Latar Belakang. Intubasi endotrakheal merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pasien-pasien yang menjalani operasi intra okuler dengan anestesi umum untuk menjaga patensi jalan nafas, memberikan akses pembedahan yang lebih baik dan memfasilitasi ventilasi paru untuk mengendalikan PaCO2

Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif dalam upaya pencegahan kenaikan TIO selama tindakan intubasi endotrakheal.

. Akan tetapi, tindakan intubasi itu sendiri dapat menimbulkan takikardi, hipertensi, dan peningkatan tekanan intra okuler (TIO). Keadaan ini dapat membahayakan pasien-pasien yang disertai hipertensi dan penyakit kardiovaskular, glaukoma dan penetrating eye injury. Setiap faktor yang dapat meningkatkan TIO akan menyebabkan drainase humor aqueous atau pengeluaran humor vitreous melalui luka dan dapat mengakibatkan komplikasi yang serius berupa kerusakan fungsi penglihatan secara permanen.

Metode. Setelah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU, penelitian dilakukan dengan desain uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 pasien bedah elektif dengan intubasi endotrakheal, berusia antara 18-40 tahun, dengan status fisik ASA 1 atau 2. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok (A dan B), masing-masing 20 orang. Kelompok A diberikan Klonidin 2µg/kgBB intravena 30 menit sebelum intubasi endotrakheal, sedangkan kelompok B diberikan Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena 2 menit sebelum tindakan. Semua pasien dipremedikasi dengan midazolam 0,1 mg/kgBB intravena dan pethidin 1 mg/kgBB intravena 5 menit sebelum intubasi. Induksi dilakukan dengan menggunakan propofol 2 mg/kgBB intravena dan rokuronium 1 mg/kgBB intravena 2 menit sebelum intubasi. Pengukuran profil hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju nadi) dan TIO dilakukan dalam 4 urutan waktu, yaitu sebelum tindakan anestesi (T-pre), 1 menit sebelum intubasi (T-0), 1 menit setelah intubasi (T-1), serta pada menit ke-2 dan ke-3 setelah intubasi (T-2 dan T-3). Pengukuran TIO dilakukan pada mata kanan dengan Tonometri Schiotz. Uji hipotesis dilakukan dengan Mann whitney test dengan p<0,05 dianggap bermakna.

Hasil. Data karekteristik pasien tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok penelitian. Baik pada kelompok A maupun B, didapatkan penurunan profil hemodinamik dan TIO yang bermakna antara saat T-pre dengan T-0, T-1, T-2, dan T-3 (p<0,05). Namun secara statistik, penurunan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05).

Kesimpulan. Kedua obat ini mempunyai kemampuan yang sama dalam menumpulkan respon hemodinamik dan menurunkan TIO, serta mencegah kenaikan TIO akibat tindakan intubasi endotrakheal.


(23)

ABSTRACT

Background. Endotracheal intubation is routinely performed during general anaesthesia in patients undergoing intraocular surgery to secure a clear airway, allowing good surgical access and facilitating ventilation of the lungs to control of PaCO2

Aim. The aim of this study is to found alternative medicine in order to prevent the increase of intraocular pressure (IOP) during endotracheal intubation.

. However, intubation is associated with tachycardia, hypertension and an increase in intraocular pressure (IOP). Such situations are likely to be harmful to the patients with hypertension, cardiovascular disease, glaucoma, and penetrating eye injury. Any factor that may increases IOP will tend to cause drainage of aqueous humour or extrusion of the vitreous humour through the wound. The latter is a serious complication that can permanently damage vision.

Method. After approval by the local ethics committee, a double blind and randomized clinical trial on 40 patients of ASA 1 or 2 aged 18-40 years who had undergone elective surgery using endotracheal intubation was conducted. The patients were divided into two groups (group A, n=20, and group B, n=20). Group A was administered clonidine 2µg.kg-1 IV 30 minute prior to endotracheal intubation, meanwhile group B was administered lidocain 2% 1,5 mg.kg-1 IV 2 minutes before intubation. All of the patients had received midazolam 0,1 mg.kg-1 IV and pethidine 1 mg.kg-1 IV as pre-medication 5 minutes before intubation. General anaesthesia was induced 2 minutes before intubation with propofol 2 mg.kg-1 IV followed by rocuronium 1 mg.kg-1

Result. Patient characteristics data showed no differences between two groups. Hemodynamic profile and IOP within both groups A and B was showed significance reduction between T-pre and T-0, T-1, T-2 and T-3 (p<0,05). But statistically, the decline did not show significant differences between treatment groups (p>0,05).

IV to facilitate tracheal intubation. Hemodynamic profile (systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure, heart rate) and IOP were measured on the right eye using the Schioetz tonometer in 4 sequences of time, before pre-medication (T-pre), 1 minute before intubation (0), and 1, 2, and 3 minutes after endotracheal intubation (1, 2, and T-3). Non-parametric data was compared between group by Mann Whitney test. Statistical significance was assumed if p<0,05.

Conclusion. Both drugs have the same ability in blunting the hemodynamic response and lowering the IOP, and preventing the increase in IOP caused by endotracheal intubation. Key word: clonidine, endotracheal intubation, intra-ocular pressure, lidocaine,.


(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pasien-pasien mata umumnya memiliki risiko khusus terhadap tindakan anestesi. Pasien biasanya datang dengan umur yang ekstrim, sangat muda atau justru sangat tua. Oleh karenanya, kondisi medis yang mendasari keadaan pasien tersebut dapat memperberat risiko anestesi, demikian juga halnya respon pasien terhadap obat-obat anestesi yang diberikan. Seringnya, pasien-pasien mata yang mendapat pengobatan sehubugan dengan penyakit mata yang mereka derita dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tatalaksana anestesi. Terdapat variasi data mortalitas yang berkaitan dengan tindakan anestesi pada operasi-operasi mata sejak tahun 1960 sampai 1970-an, yaitu berkisar antara 0.06% – 0.16% tanpa membedakan apakah pasien mendapat tindakan anestesi lokal atau umum.1 Quigley pada tahun 1974 menyatakan bahwa morbiditas yang berkaitan dengan tindakan anestesi pada pembedahan mata termasuk di dalamnya mual, muntah, perdarahan retrobulbar, perforasi dan hilangnya humor vitreous.

Pengetahuan mengenai anatomi dan fisiologi mata merupakan hal yang penting bagi seorang dokter anestesi, diantaranya adalah pemahaman tentang tekanan intra okuler (TIO) serta bagaimana tekanan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit dan obat-obatan, termasuk obat-obat yang digunakan dalam tindakan anestesi.

2

3

Karena, salah satu tujuan penting dalam tatalaksana anestesi selama tindakan pembedahan mata adalah mengupayakan agar TIO tetap terkendali. Terutama sekali pada tindakan pembedahan mata sistem terbuka, dimana variasi perubahan TIO yang besar selama pembedahan dapat berakibat terjadinya kerusakan pada fungsi penglihatan paska operasi. Pada pasien-pasien seperti ini, tindakan-tindakan yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya suatu peningkatan TIO, termasuk stres mekanik ataupun farmakologik, haruslah dihindarkan.4


(25)

Usaha-usaha untuk mengendalikan TIO dalam rentang nilai yang fisiologis (berkisar antara 10-20 mmHg) merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan kondisi anatomis yang diperlukan untuk fungsi refraksi dan penglihatan yang optimal. Pentingnya TIO pada seorang dokter anestesi adalah sebagai berikut:

1) Pasien dengan peningkatan TIO yang terjadi secara akut atau kronis yang menjalani tindakan pembedahan korektif.

2) Pasien dengan peningkatan TIO kronik yang menjalani tindakan pembedahan non-ophthalmic.

3) Pasien dengan tindakan pembedahan bola mata terbuka akibat adanya penetrating eye injury.

4) Beberpa obat dan tindakan yang digunakan dalam anestesi yang dapat mempengaruhi TIO.

Tekanan intra okuler membantu untuk menjaga bentuk dan organel di dalam bola mata. Variasi tekanan yang temporer umumnya dapat ditoleransi oleh mata normal. Kedipan mata meningkatkan tekanan intra okuler sebanyak 5 mmHg hingga dapat mencapai 26 mmHg. Ketika bola mata terbuka selama tindakan operasi (tabel1.1-1) atau setelah perforasi traumatik, tekanan intra okuler akan mendekati tekanan atmosfer. Beberapa faktor yang normalnya meningkatkan tekanan intra okuler dapat mengakibatkan terjadinya penurunan volume intra okuler yang disebabkan oleh mengalirnya humor aqueous atau keluarnya humor vitreous melalui luka yang ada. Penyebab terakhir merupakan komplikasi serius yang dapat memperburuk penglihatan secara permanent.

5

Intubasi trakhea, merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pasien-pasien yang menjalani operasi intra okuler dengan anestesi umum untuk menjaga patensi jalan nafas, memberikan akses pembedahan yang lebih baik dan memfasilitasi ventilasi paru untuk mengendalikan PaCO

6


(26)

intubasi itu sendiri mempunyai efek terhadap terjadinya takikardia, hipertensi, peningkatan TIO, dan tekanan intra kranial.8,9

Tabel 1.1-1. Prosedur operasi mata terbuka Ekstraksi Katarak

6

Perbaikan laserasi kornea

Transplantasi kornea (penetrasi keratoplasti) Iridektomi perifer

Pengambilan benda asing Perbaikan ruptur bola mata

Implantasi lensa intraokuler sekunder

Trabekulektomi (dan prosedur penyaringan lain) Vitrektomi (anterior dan posterior)

Perbaikan kebocoran dari luka

Keadaan tersebut dapat membahayakan pasien-pasien yang disertai hipertensi dan penyakit kardiovaskuler10, space-occupying lesion (SOL) di intra kranial, glaukoma, dan penetrating eye injury.1,9,11 Setiap faktor yang dapat meningkatkan TIO akan menyebabkan drainase humor aqueous atau pengeluaran humor vitreous melalui luka dan dapat mengakibatkan komplikasi yang serius berupa kerusakan fungsi penglihatan secara permanen.12

Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa peningkatan TIO yang signifikan dapat terjadi sebagai akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.13 Respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi tampaknya mempunyai efek yang lebih signifikan terhadap peningkatan TIO dari pada akibat pemberian suksinilkolin.12-18 Laringoskopi dan intubasi akan menyebabkan kenaikan TIO sebesar 10-20 mmHg.5,19 Muntah, batuk dan bucking pada tindakan intubasi endotrakheal menyebabkan peningkatan TIO yang dramatis mencapai 30-40 mmHg.13,20 Hal ini mungkin berkaitan dengan respon simpatis kardiovaskuler akibat intubasi trakhea.19 Fluktuasi yang kecil dari tekanan darah arteri juga mempunyai efek yang minimal terhadap TIO, walaupun TIO dapat meningkat


(27)

ketika terjadi hipertensi dan akan turun secara signifikan apabila terjadi hipotensi. Di lain pihak, perubahan tekanan vena juga memiliki pengaruh yang besar terhadap TIO. Muntah, batuk, bucking dan maneuver valsava, dapat mengakibatkan terbendungnya sistem vena, yang akan mengganggu outflow humor aqueous dan meningkatkan volume darah koroidal.13 Peningkatan TIO terjadi segera setelah intubasi trakhea (dalam 20 detik)21 dan akan menghilang setelah 1 atau 2 menit.21- 23

Dikatakan bahwa, respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi trakhea mencerminkan suatu peningkatan aktivitas simpatoadrenal akibat stimulasi pada orofaringeal dan laringotrakheal.24,25 Reaksi ini tidak dapat dicegah dengan pemberian premedikasi rutin.26,27 Shribman et al, telah menunjukkan bahwa ujung afferent utama terhadap stimulus yang bertanggung jawab pada respon adrenergik mungkin adalah struktur supraglotik.28 Stimulasi adrenergik dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang berakibat pada peningkatan tekanan vena sentral (hubungannya lebih dekat terhadap kenaikan TIO dari pada terhadap tekanan darah arteri). Stimulasi adrenergik juga meningkatkan tahanan aliran humor aqueous antara bilik depan dan kanal Schlemm’s.29

Bharti N dkk (2008), melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 atau 2, membandingkan perubahan TIO antara pasien yang diintubasi dengan ILMA (intubating laryngeal mask airway) dengan yang diintubasi secara konvensional menggunakan laringoskop. Pada akhir penelitian diperoleh bahwa terjadi peningkatan TIO yang bermakna dari nilai baseline dibandingkan setelah tindakan intubasi trakhea, yaitu dari 7,2+1,4 menjadi 16,8+5,3 mmHg (p<0,01) dan tidak kembali ke level preintubasi selama 5 menit. Tekanan arteri rata-rata juga menunjukkan peningkatan yang bermakna setelah intubasi trakhea, yaitu dari nilai 73,08+9,4 menjadi 78,06+12,1 mmHg (p<0,05) dan baru kembali ke nilai


(28)

preintubasi selama 5 menit. Sedangkan laju jantung pada kedua kelompok sama-sama mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan nilai preintubasi (p<0,05).9

Banyak cara telah dicoba untuk mengurangi insidensi dan keparahan yang ditimbul akibat respon hemodinamik selama tindakan intubasi trakhea, seperti penggunaan opioid30, zat anestesi lokal baik secara topikal31 ataupun diberikan secara intravena32-34, obat penghambat α- atau β-adrenergik35,36, angiotensin-converting enzyme inhibitor, klonidin, obat-obat vasodilator seperti sodium nitroprusside, prostaglandin E1

Mahajan RP et al (1988)14, melaporkan dalam hasil penelitiannya tentang nitrogliserin (NTG) intranasal dan TIO selama anestesi umum. Mereka melakukan dua penelitian yang terpisah mengenai efek NTG terhadap TIO. Dalam penelitian pertama, 12 orang dewasa PS-ASA 1 mendapat 3 ml larutan NTG (2mg/3ml) yang diberikan secara intranasal selama steady-state anestesi umum, diperoleh penurunan TIO yang bermakna bersama dengan turunnya tekanan darah arteri dan vena sentral. Pada penelitian kedua, terhadap 30 orang pasien yang terbagi menjadi 2 kelompok secara random tersamar ganda. Kelompok 1 mendapat normal salin 3 ml dan kelompok 2 mendapat NTG 2mg/3ml, keduanya diberikan secara intranasal 2 menit sebelum induksi. Induksi anestesi dilakukan dengan thiopental lalu diikuti pemberian suksinilkolin 1,5mg/kgBB. Diakhir penelitian didapat bahwa pasien pada kelompok 1 mengalami kenaikan TIO yang bermakna setelah pemberian suksinilkolin. Sedangkan pada kelompok 2, peningkatan TIO setelh pemberian suksinilkolin dan setelah intubasi trakhea secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 1.

dan obat-obat calcium channel-blocking.37

Warner et al (1989)38, melakukan penelitian tentang efek lidokain, suksinilkolin dan intubasi trakhea terhadap TIO pada anak-anak dengan PS-ASA 1 berusia antara 18 bulan sampai 7 tahun yang menjalani koreksi strabismus yang dianestesi dengan halotan dan nitrous oksid (NO). Dalam penelitian tersebut didapat bahwa lidokain 2mg/kgBB intravena yang diberikan kira-kira 90 detik


(29)

sebelum laringoskopi, menyebabkan kenaikan TIO yang tidak bermakna antara saat segera sebelum dengan saat setelah intubasi trakhea.

Zimmerman AA et al (1996)39, melakukan penelitian terhadap 60 orang pasien PS-ASA I atau II yang dirandom, bertujuan untuk menilai apakah kombinasi propofol dan alfentanil dapat mencegah peningkatan TIO akibat pemberian suksinilkolin dan intubasi endotrakhea selama tindakan rapid sequence induction (RSI). Mereka menyimpulkan bahwa kombinasi propofol dan alfentanil mencegah kenaikan TIO akibat pemberian suksinilkolin dan RSI.

Mowafi HA et al (2003)40, melaporkan hasil penelitiannya tentang perubahan TIO selama tindakan laparoskopi pada pasien-pasien yang dianestesi dengan propofol total intravenous anesthesia (TIVA) dibandingkan dengan anestesi inhalasi isofluran. Setelah melakukan penelitian terhadap 40 orang wanita dewasa PS-ASA I atau II untuk operasi laparoskopi ginekologi elektif, mereka menyimpulkan bahwa propofol TIVA dapat menurunkan TIO selama laparoskopi dan mungkin merupakan obat pilihan bila pengendalian TIO selama operasi diperlukan.

Georgiou M et al (2002)12, telah melakukan penelitian tentang sufentanil atau klonidin untuk meredam kenaikan TIO selama RSI. Sebanyak 32 orang pasien dengan PS-ASA I-III yang telah terjadwal untuk tindakan operasi non-ophthalmik ikut dalam penelitian yang bersifat prospektif, tersamar ganda dan teracak. Diakhir peneltian mereka menyimpulkan bahwa sufentanil 0,05µg/kgBB intravena dapat menghambat kenaikan TIO yang berhubungan dengan pemberian suksinilkolin selama RSI. Dilain pihak, klonidin gagal menunjukkan efek yang sama. Hal ini mungkin disebabkan efek puncak klonidin (tercapai setelah 30-60 menit) yang belum adekuat saat dilakukannya RSI.

Sator-Katzenschlager SM et al (2004)11, melaporkan penelitian tentang efek remifentanil dan fentanil terhadap TIO selama rumatan dan pemulihan anesthesia


(30)

pada pasien-pasien yang menjalani operasi non-ophthalmic. Tiga puluh dua pasien usia 16-60 tahun, PS-ASA I-II yang telah terjadwal untuk tindakan operasi non-ophthalmic ikut dalam penelitian ini. Mereka menyimpulkan bahwa anestesi umum dengan remifentanil sebagai analgetik akan menurunkan TIO.

Moeini HA et al (2006)19, telah melaporkan hasil peneltiannya mengenai efek lidokain dan sufentanil dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuluer akibat suksinilkolin dan intubasi endotrakhea. Sebanyak 210 pasien ikut berpartisipasi dalam penelitian yang bersifat uji klinis tersamar ganda ini. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa premedikasi dengan lidokain dan sufentanil tidak hanya mencegah kenaikan TIO akibat pemberian suksinilkolin, laringoskopi dan intubasi trakhea, akan tetapi juga menurunkan TIO, sehingga memberikan kondisi yang lebih baik selama pembedahan.

Yavascaoglu B et al (2007)41, telah melakukan penelitian tentang perbandingan esmolol dan deksmedetomidin untuk melemahkan TIO dan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi trakhea, yang melibatkan 60 pasien PS-ASA I-II, berusia 18-60 tahun, yang menjalani tindakan pembedahan non-ophthalmic elektif. Pada akhir penelitian mereka menyimpulkan bahwa deksmedetomidin lebih efektif dari pada esmolol dalam mencegah respon hemodinamik dan kenaikan TIO pada saat intubasi trakhea.

Dari uraian latar belakang penelitian tadi, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang menyebabkan peneltian ini penting untuk dilakukan, yaitu:

a) Sebagai seorang ahli anestesi harus mampu melakukan managemen anestesia terhadap pasien-pasien dengan trauma okuli terbuka, pasien-pasien yang memerlukan pencegahan kenaikan TIO selama pembedahan mata, pasien dengan gangguan TIO yang akan menjalani tindakan pembedahan non-ophthalmic dengan anestesi umum


(31)

b) Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea dapat menyebabkan teraktivasinya simpatoadrenal akibat stimulasi pada orofaringeal dan laringotrakheal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan TIO

c) Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, belum ada yang membandingkan efek antara klonidin dosis 0,2µg/kgBB intravena dengan lidokain 2% dosis 1,5mg/kgBB intravena dalam upaya pencegahan kenaikan TIO saat laringoskopi dan intubasi trakhea.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan efek klonidin 2µg/kg intravena dan lidokain 2% 1.5 mg/kg intravena untuk mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.3 HIPOTESIS

Ada perbedaan efek klonidin 2µg/kg intravena dan lidokain 2% 1.5 mg/kg intravena untuk mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan umum

Untuk memperoleh obat alternatif dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui efek klonidin 2µg/kg intravena dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal


(32)

b. Untuk mengetahui efek lidokain 2% 1.5 mg/kg intravena dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal c. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui obat

mana yang lebih efektif dalam mencegah kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Manfaat akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha pencegahan kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal.

1.5.2 Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam pemberian adjuvan sebagai usaha pencegahan kenaikan tekanan intra okuler selama tindakan intubasi endotrakheal pada keadaan berikut:

a. Pasien-pasien dengan tekanan intra okuler tinggi yang akan menjalani tindakan pembedahan non-ophthalmik

b. Pasien-pasien dengan cedera bola mata terbuka yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan

c. Pasien-pasien yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan bola mata, baik elektif maupun emergensi, yang memerlukan pengendalian tekanan intra okuler.

d. Pasien-pasien dengan tekanan darah tinggi yang memerlukan tindakan intubasi endotrakheal selama pembedahan


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.JALAN NAFAS

2.1.1. Anatomi

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1.1-1).

Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas6

Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan.


(34)

Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.1-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring6

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.1-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3

Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan ] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah.


(35)

saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea6

Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas6

2.1.2. Pipa endotrakhea (ETT)

Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar ETT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). ETT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari ETT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil


(36)

kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.6

Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup.6

Tabel 2.1-1 Patokan ukuran ETT

Usia Diameter internal (mm) Panjang (cm)

Bayi cukup bulan 3,5 12

Anak anak 4 + usia/4 14 + usia/2

Dewasa

Wanita 7.0-7,5 24

Laki-laki 7,5-9,0 24

2.1.3. Laringoskop rigid

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.6


(37)

2.1.4. Teknik laringoskopi dan intubasi

2.1.4.1. Indikasi Intubasi

Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain.6

2.1.4.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi.6

Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade, handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.6


(38)

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.6

Gambar 2.1-4 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki6

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit.


(39)

Gambar 2.1-5 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos6

2.1.4.3. Intubasi Orotrakheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.6


(40)

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.6

Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan blade yang melengkung.

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.6

2.1.4.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau


(41)

malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.6

Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi

Selama laringoskopi dan intubasi

Malposisi

Intubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusak

Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa Dislokasi mandibula

Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme

2.2.Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal

King et al27, merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal yang melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakheal (LETI). Mereka mengusulkan bahwa disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena pengikatan curah jantung (CO) daripada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (SVR). Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari pada meningkatkan laju jantung (HR). Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung.


(42)

Bedford42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem saraf pusat (CNS) dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas (laring, trakhea, dan karina) memiliki refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain, seperti level anestesi yang ringan (light level of anesthesia). Refleks penutupan glottis (laringospasme) adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light anesthesia. Nervus glossopharyngeal berada di superior permukaan anterior epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi.

Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak-anak kecil, akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi.42

Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire et al43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal


(43)

dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk peningkatan letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi pada LETI.42,45

Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al46, telah melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi selama insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini hampir sama dengan penelitian Shribman et al28, yang meneliti tentang respon kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al47, membandingkan laringoskopi langsung dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum meningkat pada saat intubasi endotrakheal.


(44)

2.3.STRESS RESPONSE

Tubuh kita akan beraksi terhadap stimulus eksternal, mulai dari cedera ringan sampai yang bersifat massif, baik lokal maupun umum (general). Respon yang bersifat umum dapat berupa aktivasi sistem endokrin, reaksi metabolik serta reaksi biokimia di seluruh tubuh. Besarnya respon sangat bergantung pada keparahan, intensitas dan durasi stimulus. Pemicu terjadinya refleks respon tersebut, serta pemicu bekerjanya beberapa substansi yang saling mempengaruhi yaitu antara aksis pituitari-hipothalamus, sistem hormon neuro-endokrin klasik dan sistem saraf otonomik disebut dengan stress response atau alarm reaction.48,49 Respon lokal meruapakan hal yang penting untuk proses penyembuhan dan pertahanan melawan infeksi. Respon ini melibatkan mediator-mediator, produk sel endothelial pembuluh darah dan bahkan produk intraseluler dari sel tunggal.49

Stress response menyebabkan sekresi dari beberapa hormon anabolik dan katabolik yang menghasilkan suatu hipermetabolisme disertai akselerasi pada hampir seluruh reaksi biokimiawi. Efek dari Stress response (The neuro-endocrinal outflow) dapat berupa:

• Perubahan pada sistem kardiovaskuler: peningkatan curah jantung, laju jantung, tekanan darah, peningkatan kontraktilitas miokardium dan meningkatnya kebutuhan oksigen

• Distribusi volume darah: vasokonstriksi perifer dan splanchnic, vasodilatasi pembuluh darah koroner dan serebral

• Perubahan pada respiratori: peningkatan laju nafas

• Perubahan pada cairan dan elektrolit: retensi garam dan air • Koagulasi: terjadi hiperkoagubiliti dan fibrinolisis

Immunosuppression: infeksi luka

• Perubahan pada metabolik: mobilisasi substrat, hiperglikemia • Perubahan pada perkemihan: pengurangan jumlah urin49


(45)

Stimuli utama untuk terjadinya refleks neuroendokrin di dalam tubuh adalah:

1) Hipotensi: berkurangnya volume darah yang bersirkulasi efektif yang disebabkan oleh suatu alasan apapun (seperti trauma, perdarahan, luka bakar, infark miokard, tamponade jantung, sepsis, kolaps neurogenik, dan lain sebagainya), akan diindera oleh baroreseptor di aorta, karotis dan arteri renalis, sesuai dengan seberapa besar kehilangan volum yang terjadi. Terjadi baik secara langsung, yaitu melalui jalur otonom sentral untuk mengaktivasi pelepasan hormon pituitari seperti ACTH, vasopressin, growth hormone, beta endorphin, maupun secara tidak langsung melalui sistem saraf simpatetik untuk mengaktivasi pelepasan katekolamin, glucagon, mencegah pelepasan insulin dan pada akhirnya menyebabkan retensi natrium dan air serta peningkatan laju jantung, tekanan darah dan gula darah.48,50

2) Oksigen, karbondioksida dan ion hydrogen Perubahan pada konsentrasi oksigen, CO2

3) Ansietas dan emosional

dan ion hydrogen dalam darah akan mencetuskan respon kardiovaskuler, pulmonal dan neuroendokrin melalui aktivasi kemoreseptor di perifer, aorta dan carotid bodies.49

Ketakutan, ansietas, emosional, serta ketegangan secara signifikan dapat menurunkan toleransi terhadap nyeri. Stimulus ini melalui sistem limbik terutama pada region amigdala hipokampus dan nukleus batang otak bagian bawah yang kemudian sinyal akan ditransmisi hipothalamus posterior, selanjutnya akan diteruskan ke pituitari.49

4) Temperatur 5) Anestesia


(46)

a. Obat anestesi: siklopropan, eter dapat menyebabkan pelepasan katekolamin

b. Laringoskopi dan intubasi

Stimulasi mekanis pada saluran pernafsan atas melalui hidung, epifaring, laringofaring, dengan jalur afferen dibawah oleh nervus glossopharyngeus dan yang berasal dari pohon trakheobronkhial melalui nervus vagus.

c. Light anaesthesia d. Nyeri

6) Sensitisasi perifer 7) Sensitisasi sentral 8) Pembedahan, dan 9) Luka49

2.4.STRESS HORMONE

Respon refleks neuroendokrin terhadap suatu cedera terdiri dari: 1) Autokrin (respon otonomik), terdiri dari:

a. Katekolamin

Katekolamin plasma akan meningkat segera setelah cedera dan mencapai konsentrasi puncak dalam 24 sampai 48 jam tergantung pada keparahannya. Hormon ini akan memicu aktifitas metabolik, hemodinamik dan modulasi hormon. Epineprin akan menyebabkan glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis, lipolisis pada jaringan adipose, ketogenesis meningkatkan resistensi insulin, mencegah ambilan glukosa oleh sel. Sedangkan efek langsung pada sistem kardio-respiratori adalah meningkatnya laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah dan laju nafas.


(47)

c. Insulin49

2) Endokrin, yaitu hormon-hormon yang berada dibawah kendali hipothalamus-pituitari

a. Kortisol

b. Growth hormone c. Arginin vasopressin d. Aldosteron

e. Rennin-angiotensin

3) Parakrin, terdiri dari: jaringan lokal yang teraktivasi, sistem sel endothelial pembuluh darah, dan sel tunggal. Semuanya memicu respon selama terjadinya perdarahan, inflamasi, sepsis dan bentuk lain dari cedera sel.50 Keadaan ini akan melepaskan sel-sel mediator seperti: sitokin, leukotrin, prostaglandin, histamine, serotonin, TNF, interleukin I, II, VI, plasminogen aktifator, ekisanoid, kallikrein-kinin dan mediator-mediator lainnya.49

2.5.LIDOKAIN

2.5.1. Struktur, rumus bangun

Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amide. Di sintesa pertama sekali dengan nama dagang xylocaine oleh Nils Lofgren tahun 1943. Rekan kerjanya Bengt Lundqvist melakukan ekperimen pertama sekali tahun 1948. Lidokain terdiri dari satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan suatu rantai perantara (jenis amida) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amine tersier). Anestesi lokal merupakan basa lemah. Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Di dalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relatif dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa-nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch.51


(48)

2.5.2. Famakokinetik

Lidokain efektif bila diberikan secara intra vena. Pada pemberian intra vena mula kerja 45-90 detik. Kadar Puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 menit dan waktu paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme dihepar menjadi monoethylglcinexcylidide melalui oksidatif dealkylation, kemudian diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglcinexcylidide mempunyai aktivitas sekitar 80% dari lidokain sebagai antidisritmia sedangkan xylidide hanya mempunyai aktifitas antidisritmia 10%. Xylidide dieksresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk 4-hydroxy-2,6-dimethylaniline. Lidokain dalam plasma 50% terikat oleh albumin.

2.5.3. Mekanisme kerja

Ada dua pendapat kerja lidokain sebagai analgesi, meskipun efek analgesi ini tidak jelas. Mekanisme lidokain sebagai analgesik menghambat suatu enzim yang mensekresi kinin atau memblok C nosiseptor lokal secara langsung. Penghambatan saluran ion natrium dan blokade yang bersifat reversible sepanjang konduksi akson periferal dari serabut saraf Aδ dan digambarkan oleh Carlton 1997 dengan tujuan target analgesik pada dorsal horn medulla spinalis.52

Sebagai anestesi lokal, lidokain menstabilisasi membran saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada membran saraf melalui penghambatan masuknya ion

CH3

NHCCH2N

CH3 O

C2H5 C2H5


(49)

natrium. Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat perjalanan ion sodium (Na+) melalui saluran ion selektif Na+ dalam membran saraf (butterworth dan stricharrtz 1990). Saluran Na+ sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na+ oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na+. Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap Na+, memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan.

Saluran Na+ ada dalam keadaan diaktivasi-terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial. Pada membran saraf istirahat, saluran Na+ di distribusi dalam keseimbangan diantara keadaan istirahat– tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup.

Gambar 2.5-2 Mekanisme kerja anestesi lokal

Dengan ikatan yang selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup, molekul anestesi lokal menstabilisasi saluran dalam konfigurasi ini dan mencegah perubahan mereka menjadi dalam keadaan istirahat-tertutup dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeable terhadap Na+ sehingga konduksi impuls saraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak dapat terjadi. Hal ini diartikan bahwa ikatan obat anestesi lokal pada sisi yang spesifik yang terletak pada bagian sebelah dalam saluran Na+ sebaik penghambatan saluran Na+ dekat


(50)

pembukaan eksternalnya mempertahankan saluran ini dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup.52,53

Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun , amplitude potensial berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan hilang.

Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestetik lokal dengan saluran ion natrium yang semangkin menigkat. Pada setiap saluran ion, ikatan menghasilkan penghambatan arus Na+. Apabila arus Na+ dihambat disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukam untuk menghambat impuls, potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti.53

2.5.4. Toksisitas Lidokain

2.5.4.1.Efek terhadap Jantung

Pada kardiovaskular lidokain menekan dan memperpendek periode refrakter efektif dan lama potensial aksi dari sistem His-Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Lidokain menekan aktifitas listrik jaringan aritmogenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium).

Efek toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasma+ obat anestesi lokal dapat terjadi karena obat-obatan ini menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Na+ ini mungkin memperbesar sifat antidisritmia jantung dari obat-obat anestesi ini.


(51)

Tetapi jika konsentrasi plasma obat anestesi lokal berlebihan, saluran Na+ jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi menjadi di depresi dan merugikan. Memperlambatnya impuls kardiak melalui jantung yang ditunjukan dengan pemanjangan interval P-R dan komplek QRS pada elektrokardia. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung.51-55 Dosis intra vena 2-4 mg/kgbb terhadap kontraktilitas jantung pada manusia minimal.51

2.5.4.2. Efek terhadap SSP

Gejala awal dari komplikasi pada SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorientasi, euphoria, pandangan kabur, dan mengantuk kemudian bila kadar lidokain menembus sawar darah otak timbul gejala seperti vertigo, tinnitus, twictching otot dan jika konsentrasi plasma melebihi dari >5µgr/ml, kejang umum dapat terjadi. Kejang biasanya berlangsung singkat dan berespon baik dengan diazepam, dan sangat penting untuk mencegah hypoxemia. Dalam mencegah nyeri Lidokain mempunyai dua mekanisme di peripheral dan sentral nervus system. Di peripheral Lidokain menginhibisi transduksi neural, inhibisi migrasi leukosit, menurunkan pelepasan mediator inflamasi dan menekan albumin extravassasi, sementara di sentral memblok aktivasi neural di dorsal horn, kemudian memodulasi pelepasan neurotransmitter excitatory.

Gambar 2.5-3 Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan konsentrasi plasma lidokain51


(52)

Lidokain sebagai analgetik selain inhibisi sodium channel juga blok N-Methyl-D-Aspartat (NMDA).56

2.6.KLONIDIN

2.6.1. Struktur,rumus bangun

Klonidin sautu senyawa imidazole57 agonis α2-adrenergik selektif parsial (α2:α1=220:1) yang bekerja secara sentral (gambar 2.6-1) yang mempunyai aksi sebagai obat anti hipertensi karena kemampuannya untuk menurunkan pengeluaran sistem saraf simpatetik dari sistem saraf pusat (SSP). Obat ini terbukti sangat efektif untuk pengobatan pasien-pasien dengan hipertensi berat atau renin dependent disease. Dosis lazim untuk orang dewasa adalah 0,2-0,3 mg peroral. Obat ini dapat menimbulkan sedasi, mengurangi kebutuhan obat-obat anestesi dan memperbaiki status hemodinamik perioperatif (menurunkan tekanan darah dan laju jantung sebagai respon terhadap stimulus pembedahan) serta stabilisasi simpatoadrenal.

Gambar 2.6-1 Rumus bangun klonidin58

Sebagai tambahan, reseptor α2 yang berada di medulla spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan efek analgesia. Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvant anestesia dan kelengkapan untuk sedasi paska operasi tanpa menimbulkan adanya depresi ventilasi menjadi terbatas oleh karena waktu paruhnya yang relative panjang yaitu 6 – 10 jam. Obat lain yang mempunyai

H N

N NH

Cl


(53)

waktu paruh yang lebih singkat yaitu 2 – 3 jam dan lebih poten daripada klonidin adalah deksmedetomidin.58

2.6.2. Farmakokinetik

Klonidin diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 60 sampai 90 menit. Waktu paruh eliminasi klonidin berkisar antara 9 – 12 jam. Kira-kira 50% dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif, sementara sisanya dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak diubah.57,58 Alpha-methyldopa dimetabolisme menjadi α -methylnorepinephrine yang bersifat sangat agonis terhadap reseptor α2 dan

memiliki selektifitas 10 kali lipat terhadap reseptor α-2adrenoreseptor daripada

terhadap α-1adrenoreseptor.57 Beberapa ligand memiliki cincing imidazol yang memfasilitasi ikatan pada reseptor imidazole-preferring nonadrenergik, demikian juga halnya terhadap α-2

2.6.3. Mekanisme kerja

adrenoreseptor. Durasi efek hipotensif setelah dosis tunggal peroral sekitar 8 jam. Sedangkan pemberian transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk mencapai konsentrasi terapetik plasma.58

Alfa-2adrenergik agonis menimbulkan efek klinis dengan berikatan pada

reseptor α-2 yang memiliki 3 subtype, yaitu alfa2A, alfa2B, dan alfa2C, yang terdistribusi dimana-mana, dan uniknya masing-masing reseptor (walaupun tidak semua) berkaitan dengan lainnya dalam aksi alfa-2 agonis. Reseptor Alfa2A memediasi untuk terjadinya efek sedasi, analgesia, dan simpatolisis, sementara reseptor alfa2B memediasi vasokonstriksi dan mungkin berefek antishivering. Sedangkan reseptor alfa2C memiliki nilai terapetik pada kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya respon yang “mengejutkan” dan defisit sensorimotor gating seperti pada penyakit schizophrenia, gangguan attention deficit hyperactivity, gangguan stress pasaka trauma, dan gangguan akibat putus obat. Ringkasan respon yang dapat dimediasi oleh reseptor α-2 adrenergik dapat


(54)

dilihat pada gambar 2.6-2 berikut. Lokasi untuk efek sedasi berada pada lokus seruleus yang berada pada batang otak, sementara lokasi utama untuk aksi analgetik mungkin berada pada medulla spinalis, walaupun terdapat bukti yang jelas bahwa lokasi ini juga terdapat di perifer dan supraspinal. Di jantung, aksi yang dominan dari α-2

Pada pembuluh darah perifer, kerja α

agonis adalah dapat menurunkan takikardia (melalui blokade pada saraf kardioakselerator) dan menimbulkan bradikardi (melalui aksi vagomimetiknya).

2 adrenergik dapat sebagai vasodilator maupun vasokonstriktor. Kerja vasodilator melalui efek simpatolisis, sedangkan efek vasokonstriknya dimediasi melalui reseptor-reseptor yang ada sel smooth muscle pembuluh darah.59

Gambar 2.6-2 Respon yang dapat dimediasi oleh reseptor –reseptor α2-adrenergik59


(55)

2.6.3.1.Efek pada sistem saraf pusat (SSP)

Efek Sedatif

Salah satu reseptor alfa-2 yang paling tinggi densitasnya berada di lokus seruleus pontin, yang merupakan sumber penting dari sistem saraf simpatis yang menginervasi forebrain dan modulator vital dari sistem kewaspadaan.58,60 Belakangan diketahui bahwa lokus seruleus ini merupakan daerah utama yang betanggung jawab terjadinya efek sedatif.61,62 Efek sedatif yang ditimbulkan oleh alfa-2 agonis sangat mungkin mencerminkan adanya inhibisi pada nukleus ini.60 Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa-2

Efek ansiolotik

agonis berbeda dengan efek sedasi yang ditimbulkan oleh obat-obat seperti midazolam dan propofol, yang mana obat-obat tersebut bekerja pada reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA). Obat yang mengaktivasi reseptor GABA akan menyebabkan kesadaran yang berkabut dan dapat menimbulkan agitasi, toleransi dan ketergantungan.58

Karekteristik lain dari efek alfa-2 agonis adalah ansiolotik yang sebanding dengan yang dihasilkan oleh senyawa benzodiazepine.63,64 Klonidin juga dapat mendepresi gangguan panik pada manusia. Akan tetapi, pada pemberian dosis besar justru dapat menimbulkan respon ansiogenik karena bersifat nonselektif yang dapat mengaktivasi reseptor alfa-1

Efek analgetik

.57

Mekanisme kerja klonidin dalam menghasilkan efek analgesia diduga dengan mengaktivasi alfa-2 reseptor postsinaptik yang berada pada substansia gelatinosa medulla spinalis.58 Efek analgesia yang poten ini melibatkan reseptor-reseptor yang berlokasi pada supraspinal maupun spinal. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa klonidin menghasilkan analgesia yang lebih poten dari pada yang dihasilkan oleh morfin. Selanjutnya, efek analgesia dari alfa-2 agonis akan


(1)

tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan

yang dilakukan pada penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian dapat

menghubungi dr.M.Jalaluddin A Chalil (Tel 061-76223239/081263597517)

untuk mendapatkan pertolongan. Selain dari itu penelitian ini juga diawasi

konsultan–konsultan di bagian anestesiologi dan terapi intensif, sehingga bila

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, peneliti dapat berkonsultasi dalam

penanganan kejadian tersebut.

Kerja sama Bapak/Ibu/Saudara/i sangat diharapkan untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini. Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut

penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan kepada peneliti : dr. M. Jalaluddin A

Chalil.

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,

diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah terpilih sebagai sukarelawan pada

penelitian ini, dapat mengisi lembar peretujuan turut serta dalam penelitian yang

telah disiapkan.

Medan,

2011

Peniliti,


(2)

LAMPIRAN 4

: LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN

LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN

(INFORMED CONCENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: ______________________________

Umur

: ______________________________

Alamat

:

Pekerjaan

: ______________________________

_____________________________________________

No.KTP/Lainnya

: ______________________________

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami

tentang tujuan, manfaat, serta resiko yang mungkin timbul dalam penelitian

berjudul :

PERBANDINGAN EFEK KLONIDIN 2

µ

g/KgBB INTRAVENA DAN

LIDOKAIN

2% 1.5mg/KgBB

INTRAVENA UNTUK MENCEGAH

KENAIKAN TEKANAN INTRA OKULER (TIO) SELAMA TINDAKAN

LARINGOSKOPI DAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL.

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini

sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka saya setuju ikut

serta/mengikutsertakan

anak/adik/ayah/ibu/suami/istri

saya bernama :

………...dalam uji penelitian dan bersedia berperan serta

dengan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam

penelitian tersebut di atas. Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk

dipergunakan semestinya.

Medan,……… 2011

Mengetahui


(3)

LAMPIRAN 5 :

LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN

LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN

Identitas pasien

:

Nama

:……….

Umur

:……….

Jenis Kelamin

:……….

Alamat

:……….

Dignosa

:……….

Tindakan

:……….

PS-ASA

:……….

BB :………

TB

:………..

BMI :…………

Variabel yang diukur

Variabel

Pre

operasi

T-0

(pkl……..)

T-1

(pkl……..)

T-2

(pkl……..)

T-3

(pkl……..)

Sensorium

Tek.sistolik

(mmHg)

Tek.diastolik

(mmHg)

MAP (mmHg)

HR (kali/menit)

RR (kali/menit)

Tekanan Intra

Okuler (mmHg)

Saturasi O2

No.Urut

:………

KLP

:………


(4)

LAMPIRAN 6 : RANDOMISASI BLOK SAMPEL DAN DAFTAR SAMPEL

Nomor Sekuens

TABEL RANDOMISASI PASIEN

00-04

AAABBB

05-09

AABABB

10-14

AABBAB

15-19

AABBBA

20-24

ABAABB

25-29

ABABAB

30-34

ABABBA

35-39

ABBAAB

40-44

ABBABA

45-49

ABBBAA

50-54

BAAABB

55-59

BAABAB

60-64

BAABBB

65-69

BABAAB

70-74

BABABA

75-79

BABBAA

80-84

BBAAAB

85-89

BBAABA

90-94

BBABAA

95-99

BBBAAA

Kelompok A

: Klonidin 2µg/kgBB

Kelompok B

: Lidokain 2% 1,5mg/kgBB


(5)

(6)

LAMPIRAN 8 : MASTER TABEL DATA PENELITIAN

Jenis Jenis Berat Tinggi BMI

Kelamin Tind.Operasi Badan (kg) Badan (m) (kg/m2) Tekanan Tekanan Laju Tekanan Tekanan Laju Tekanan Tekanan Laju Tekanan Tekanan Laju TIO Tekanan Tekanan Laju Sistolik Diastolik Nadi Sistolik Diastolik Nadi Sistolik Diastolik Nadi Sistolik Diastolik Nadi Sistolik Diastolik Nadi

1 B S 32 Pr digestif ASA 2 50 1.50 22.22 118 75 89.33 88 14.60 119 65 83.00 82 10 110 65 80.00 79 9 100 65 76.67 78 9 103 58 73.00 80 9

2 B F 43 Pr onkologi ASA 1 70 1.67 25.10 125 71 89.00 98 12.20 110 72 84.67 60 10 100 57 71.33 54 9 102 60 74.00 63 9 102 60 74.00 63 10

3 A SM 48 Pr orthopedi ASA 1 55 1.60 21.48 134 82 99.33 79 12.20 109 64 74.00 73 10 110 62 78.00 68 10 108 63 78.00 68 9 110 64 79.33 72 10

4 A AS 25 Lk plastik ASA 1 50 1.69 17.51 110 70 83.33 76 14.60 105 69 81.00 69 9 100 60 73.33 68 9 96 62 73.33 70 9 100 62 74.67 68 9

5 A MY 49 Lk THT ASA 1 51 1.62 19.43 101 72 81.67 86 10.20 100 60 73.33 63 9 93 60 71.00 62 9 93 65 74.33 70 9 100 64 76.00 72 9

6 B S 30 Lk Urologi ASA 1 56 1.70 19.38 122 82 95.33 90 17.30 104 66 78.67 90 10 119 68 85.00 87 9 100 60 73.33 79 9 111 63 79.00 76 10

7 A RE 26 Lk THT ASA 1 50 1.69 17.51 114 70 84.67 90 15.90 116 74 88.00 89 10 112 70 84.00 80 10 102 66 78.00 82 10 100 62 74.67 80 10

8 B S 30 Pr onkologi ASA 1 65 1.60 25.39 110 70 83.33 80 17.30 114 76 88.67 87 9 121 78 92.33 79 9 103 65 77.67 70 9 99 59 72.33 76 9

9 A A 46 Pr THT ASA 1 60 1.68 21.26 100 70 80.00 80 17.30 100 65 76.67 69 9 95 60 71.67 60 10 102 65 77.33 65 10 103 62 75.67 68 10

10 A S 47 Pr onkologi ASA 2 50 1.58 20.03 110 71 84.00 63 12.20 111 61 77.67 62 10 102 66 78.00 56 10 103 67 79.00 55 10 99 63 75.00 56 10

11 B B 24 Pr onkologi ASA 1 45 1.68 15.94 110 71 84.00 96 14.60 100 65 76.67 80 9 96 68 77.33 76 10 118 80 92.67 73 10 104 71 82.00 71 10

12 B SS 28 Lk THT ASA 1 53 1.70 18.34 125 59 81.00 60 17.30 112 70 84.00 61 10 90 58 68.67 60 9 98 60 72.67 62 9 102 68 79.33 65 9

13 A D 27 Pr plastik ASA 1 50 1.65 18.37 118 59 78.67 84 12.20 108 61 76.67 76 9 108 59 75.33 70 9 100 61 74.00 60 10 106 56 72.67 60 10

14 A D 40 Lk digestif ASA 1 56 1.70 19.38 115 75 88.33 60 14.60 104 65 78.00 60 9 110 69 82.67 61 9 117 76 89.67 66 10 127 88 101.00 60 10

15 B UK 29 Pr plastik ASA 1 60 1.68 21.26 138 80 99.33 70 14.60 98 60 72.67 69 7 100 62 74.67 66 7 99 59 72.33 68 7 100 62 74.67 66 7

16 B H 35 Pr plastik ASA 1 60 1.69 21.01 110 72 84.67 70 12.20 102 69 80.00 68 7 103 68 79.67 65 7 102 65 77.33 68 7 105 68 80.33 69 7

17 B L 32 Pr THT ASA 1 56 1.68 19.84 112 54 73.33 83 14.60 100 62 74.67 72 9 99 59 72.33 70 9 100 60 73.33 74 9 102 64 76.67 76 9

18 A LI 22 Pr onkologi ASA 1 50 1.54 21.08 116 61 79.33 80 14.60 92 58 69.33 78 9 116 68 84.00 74 9 111 71 84.33 80 10 100 56 70.67 76 10

19 A I 49 Pr onkologi ASA 2 60 1.70 20.76 123 74 90.33 80 12.20 95 58 70.33 76 7 99 60 73.00 78 7 102 70 80.67 80 7 105 72 83.00 80 7

20 B M 34 Pr plastik ASA 1 60 1.69 21.01 107 72 83.67 69 12.20 100 64 76.00 68 9 104 60 74.67 62 9 102 61 74.67 60 9 114 67 82.67 60 10

21 B SH 44 Pr onkologi ASA 1 55 1.69 19.26 110 72 84.67 80 14.60 96 58 70.67 75 9 102 59 73.33 78 7 111 76 87.67 80 9 115 68 83.67 78 10

22 B R 21 Lk plastik ASA 1 60 1.68 21.26 116 76 89.33 84 12.20 109 67 81.00 72 7 102 62 75.33 76 9 114 72 86.00 76 10 104 65 78.00 80 10

23 A H 50 Lk Urologi ASA 2 50 1.68 17.72 119 72 87.67 83 14.60 98 57 70.67 74 10 101 64 76.33 76 10 108 67 80.67 76 10 116 65 82.00 80 10

24 A RL 22 Pr THT ASA 1 50 1.68 17.72 110 70 83.33 86 12.20 99 57 71.00 72 9 103 57 72.33 76 9 106 75 85.33 78 9 109 75 86.33 78 9

25 B LS 46 Pr Urologi ASA 2 55 1.65 20.20 101 65 77.00 71 12.20 95 62 73.00 67 7 93 60 71.00 60 7 101 63 75.67 63 9 105 63 77.00 66 9

26 B N 25 Pr THT ASA 2 56 1.67 20.08 110 70 83.33 80 10.20 102 68 79.33 76 9 107 68 81.00 72 9 110 70 83.33 72 10 108 67 80.67 74 10

27 A LP 45 Pr THT ASA 1 56 1.63 21.08 124 80 94.67 74 12.20 96 54 68.00 68 9 102 59 73.33 68 9 97 56 69.67 70 9 112 66 81.33 69 10

28 B H 49 Pr THT ASA 2 53 1.68 18.78 118 72 87.33 86 12.20 98 56 70.00 70 9 103 70 81.00 72 9 102 68 79.33 72 9 104 65 78.00 72 9

29 A SS 46 Pr onkologi ASA 2 56 1.69 19.61 110 72 84.67 78 14.60 100 58 72.00 74 7 103 60 74.33 72 9 106 65 78.67 74 9 104 63 76.67 74 9

30 A Y 28 Pr onkologi ASA 1 55 1.68 19.49 128 78 94.67 80 12.20 97 60 72.33 66 10 101 55 70.33 70 7 97 59 71.67 72 9 100 59 72.67 72 9

31 B MH 49 Lk Urologi ASA 2 50 1.56 20.55 125 70 88.33 82 12.20 94 58 70.00 63 9 100 69 79.33 63 7 106 65 78.67 66 7 105 65 78.33 64 7

32 B MF 25 Lk THT ASA 1 52 1.72 17.58 100 70 80.00 80 14.60 101 62 75.00 70 9 100 60 73.33 72 7 102 62 75.33 72 9 104 60 74.67 70 9

33 B N 47 Pr onkologi ASA 1 60 1.69 21.01 134 72 92.67 82 12.20 100 58 72.00 72 9 102 60 74.00 70 9 106 59 74.67 72 9 104 60 74.67 72 9

34 A F 55 Pr orthopedi ASA 1 55 1.68 19.49 133 70 91.00 68 10.20 96 59 71.33 61 7 99 56 70.33 60 9 102 60 74.00 62 9 103 60 74.33 62 9

35 A H 24 Lk THT ASA 1 56 1.70 19.38 128 82 97.33 72 12.20 98 56 70.00 70 9 96 58 70.67 72 9 100 58 72.00 72 9 100 60 73.33 70 9

36 A P 58 Lk orthopedi ASA 1 58 1.72 19.61 132 83 99.33 86 12.20 101 60 73.67 79 9 100 58 72.00 76 9 100 60 73.33 76 9 102 60 74.00 75 9

37 A AA 51 Lk onkologi ASA 1 55 1.68 19.49 130 79 96.00 74 14.60 99 58 71.67 70 7 98 56 70.00 70 7 100 59 72.67 72 10 102 59 73.33 72 10

38 B Y 23 Pr onkologi ASA 1 50 1.67 17.93 120 76 90.67 76 12.20 96 60 72.00 70 9 100 60 73.33 73 9 102 59 73.33 72 9 100 59 72.67 74 9

39 A D 32 Pr digestif ASA 1 58 1.69 20.31 110 70 83.33 82 14.60 101 56 71.00 70 9 100 58 72.00 72 9 106 62 76.67 73 9 104 60 74.67 69 9

40 B S 41 Lk Urologi ASA 1 60 1.68 21.26 126 84 98.00 78 14.60 106 62 76.67 68 9 104 60 74.67 68 9 111 64 79.67 66 10 109 62 77.67 68 10

TIO MAP MAP TIO

No KLP Inisial Umur PS-ASA

T-Pre T-0 T-1 T-2 T-3


Dokumen yang terkait

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

PERBEDAAN RESPON KARDIOVASKULER ANTARA FENTANIL 2g kg DAN KLONIDIN 3g kg PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEK DILTIAZEM DAN LIDOKAIN INTRAVENA TERHADAP RESPON KARDIOVASKULER PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 46

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 17

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 2

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 10

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 23

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 1 5

Perbandingan Priming Atracurium 0.05 mg Kg BB Intravena Dengan Pretreatment Magnesium Sulphate 30 mg Kg BB Intravena Terhadap Mula Kerja Atracurium Dan Kemudahan Intubasi

0 0 12