pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang seharusnya disetujui DPR ternyata dilakukan tanpa persetujuan DPR. Selain itu, Dewan Perwakilan
Rakyat pun ternyata kurang menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah hukum tentang pengikatan diri Indonesia pada perjanjian
internasional maupun pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia. Kondisi ini memang berlangsung selama masa Orde Lama dan terus berlanjut
pada masa Orde Baru dan pada masa awal dari Orde Reformasi.
283
3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Surat Presiden No. 2826HK1960 tentang Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain disadari belum cukup memadai untuk dijadikan sebagai dasar hukum
dan pedoman dalam pembuatan perjanjian internasional di Indonesia. Surat Presiden tersebut belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan seputar
pengaturan perjanjian internasional di Indonesia. Meskipun dalam praktiknya Surat tersebut tetap dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian interasional yang
berlaku selama kurang lebih 40 tahun. Pada sisi lain, surat tersebut terus menimbulkan polemik baik di kalangan
praktisi maupun akademisi terkait dengan bentuk instrumen hukum Surat Presiden yang tidak termasuk dalam bagian tata urutan perundang-undangan maupun
terkait dengan materi muatannya yang kurang memberikan kepastian hukum.
283
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, praktik pembuatan perjanjian internasional pada kenyataannya seringkali menyimpang dari ketentuan yang ada dalam Surat Presiden.
284
Oleh sebab itu, anggapan yang menyatakan bahwa Surat Presiden tersebut tidak cukup untuk dijadikan sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 11 UUD
1945 terus berkembang. Pada akhirnya, polemik tersebut mengantarkan pada suatu simpulan yang sama, yaitu perlu adanya suatu undang-undang yang
mengatur lebih lanjut pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945, khususnya berkaitan dengan pembentukan perjanjian internasional.
285
Sebagai penjabaran dari Pasal 11 UUD 1945 tersebut, Pemerintah Indonesia mengajukan rancangan undang-undang atau RUU mengenai pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional yang terdiri dari 8 bab dan 22 pasal. Melalui diskusi dan perdebatan panjang, pada akhirnya Rapat Kerja Komisi I
DPR menyetujui RUU tersebut dan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 23 Oktober 2000. Sejak saat
itu Surat Presiden No. 2826HK1960 dinyatakan tidak berlaku lagi, dan sejak saat itu pula, Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai perjanjian
internasional.
286
Undang-Undang inilah yang kemudian menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia. Landasan
284
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 169-177.
285
Prasetyo Hadi Purwandoko, “Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000”, Yustisia Edisi Nomor 60 Januari-
Maret, 2003, hlm. 395.
286
Wisnu Aryo Dewanto, Op.Cit., hlm. 331.
Universitas Sumatera Utara
hukum pembuatan undang-undang ini antara lain ketentuan Pasal 11 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
287
Akan tetapi, Undang-Undang ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
dan Vienna Convention on the Law of Treaties 1986. Padahal, keduanya walaupun ada cukup banyak kesamaannya, juga terdapat beberapa perbedaannya.
Sebaliknya, undang-undang ini mencakup keduanya, tetapi dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian pertama mengenai hal-hal umum atau yang sama dari kedua
konvensi, bagian kedua tentang perjanjian antara Indonesia dan negara sahabat VCLT 1969 dan bagian ketiga tentang perjanjian antara Indonesia dan
organisasi internasional VCLT1986.
288
Sistematika undang-undang ini tidak mengalami perubahan seperti ketika pertama kali diajukan oleh pemerintah. Bab I berisi Ketentuan Umum, Bab II
mengenai Pembuatan Perjanjian Internasional, Bab III mengulas tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, Bab IV berbicara mengenai Pemberlakuan
Perjanjian Internasional, Bab V berisi tentang Penyimpanan Perjanjian Internasional, Bab VI tentang Pengakhiran Perjanjian Internasional, Bab VII
mengenai Ketentuan Peralihan dan Bab VIII adalah Ketentuan Penutup.
289
Jika dilihat dari sistematikanya, sudah tampak adanya keselarasan di dalam undang-undang tersebut. Misalnya mengenai urutan dalam proses
pembuatan, pengikatan diri, pemberlakuan, dan pengakhirannya. Namun,
287
Prasetyo Hadi Purwandoko, Op.Cit., hlm. 396.
288
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 474.
289
Wisnu Aryo Dewanto, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
sistematika ini tidak sepenuhnya mengikuti urutan dalam kedua konvensi tersebut walaupun tidak harus sama persis.
290
Masih terdapat materi-materi penting yang patut diberi tempat dalam satu Bab tersendiri, tetapi dalam undang-undang ini ternyata tidak ada sama sekali.
Sekalipun ada, hanyalah merupakan salah satu pasal atau ayat saja dari Babnya. Misalnya tentang ruang lingkup territorial berlakunya suatu perjanjian
internasional yang meskipun di dalam VCLT 1969 hanya merupakan salah satu pasal saja Pasal 29, tetapi jika dihubungkan dengan indonesia, masalah ruang
lingkup teritorial ini embutuhkan pengaturan lebih rinci. Hal ini mengingat adanya kemungkinan suatu perjanjian yang sudah diratifikasi dan diberlakukan ke
dalam hukum nasional, ada yang berlakunya di seluruh wilayah negara, di wilayah satu propinsi saja, atau di wilayah dari dua atau lebih propinsi dengan
segala konsekuensi internalnya.
291
Ketentuan Pasal 1 butir b pada Bab I tentang Ketentuan Umum menyatakan: “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada
suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratification ratifikasi, accession aksesi, acceptance penerimaan, dan approval persetujuan.”
292
Pasal ini telah jelas memberikan definisi pengesahan dalam undang- undang tersebut adalah sama dengan apa yang dimaksudkan dengan consent to be
bound by a treaty pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam pasal 11-17 VCLT 1969.
290
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 475.
291
Ibid.
292
Lihat Pasal 1 butir b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. LN No. 185 Tahun 2000. TLN No. 4012.
Universitas Sumatera Utara
Lebih tegas lagi bahwa pengesahan dalam ketentuan Pasal 1 butir b tersebut sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional, yaitu sebagai
tindakan ke luar eksternal dari negara Indonesia yang berupa pernyataan mengenai kesediaan Indonesia untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.
293
Menurut ketentuan Pasal 1 butir b tersebut, pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat ini dapat dilakukan dengan cara ratification ratifikasi,
accession aksesi, acceptance penerimaan, dan approval persetujuan. Pernyataan pengikatan diri ini dituangkan dalam suatu dokumen tertulis yang
disebut piagam pengikatan diri atau lazim juga disebut dengan piagam ratifikasi atau menurut Pasal 14 disebut piagam pengesahan, bukan dalam bentuk Undang-
Undang atau Keputusan Presiden.
294
Namun jika melihat ketentuan Pasal 3, tampak adanya duplikasi antara Pasal 1 butir b dengan Pasal 3 ini yang menyatakan: “Pemerintah Republik
Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut: a Penandatanganan; b Pengesahan cetak tebal, IWP; c
Pertukaran dokumen perjanjiannota diplomatic; d Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.”
295
Apabila dicermati lebih dalam, masing-masing pasal tersebut pada dasarnya menegaskan masalah yang sama, yakni tentang pengikatan diri atau
persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional dengan melalui cara-cara yang ditentukan dalam masing-masing pasal itu. Pada Pasal 1 butir b, istilah
293
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 476.
294
Ibid.
295
Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. LN No. 185 Tahun 2000. TLN No. 4012.
Universitas Sumatera Utara
pengesahan diartikan sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional sedangkan pada Pasal 3 butir b istilah pengesahan
diartikan hanya sebagai salah satu cara mengikatkan diri pada perjanjian internasional.
296
Berdasarkan Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, dalam praktiknya ada dua macam pengesahan perjanjian international di
Indonesia, yaitu dengan Undang-Undang dan Keputusan Presiden. Dalam menentukan macam ratifikasi perjanjian internasional, dilihat dari substansi atau
materi perjanjian, bukan berdasarkan nomenclature bentuk dan nama dari perjanjian tersebut dan dilakukan oleh Kemeterian Luar Negeri. Klasifikasi
menurut materi perjanjian tersebut dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan
undang-undang.
297
Selain itu, ketentuan Pasal 14 pada undang-undang tersebut menyatakan: “Menteri menandantangani piagam pengesahan untuk meningkatkan Republik
Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi
internasional.”
298
Pasal ini secara jelas dan tegas menyatakan bahwa piagam pengesahanlah yang menjadi sarana atau sebagai instrumen hukum bagi Republik Indonesia
untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional, bukan dengan Undang-
296
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 477.
297
Prasetyo Hadi Purwandoko, Op.Cit.
298
Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. LN No. 185 Tahun 2000. TLN No. 4012.
Universitas Sumatera Utara
Undang ataupun Keputusan Presiden. Dalam hal ini, Undang-Undang dan Keputusan Presiden sebagai sarana untuk memberlakukan perjanjian internasional
ke dalam hukum nasional dimana sebelumnya Indonesia sudah mengikatkan diri atau sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa pengesahan suatu perjanjian internasional dilaksanakan secara internal melalui
Undang-Undang ataupun Keputusan Presiden, dan secara eksternal melalui suatu piagam pengesahan walaupun tidak secara tegas menyatakannya.
299
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 mengatur ketentuan
tentang materi perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang yang menyatakan:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru; dan f. Pinjaman danatau hibah luar negeri.
300
Sedangkan Pasal 11 ayat 1 dan 2 undang-undang tersebut menegaskan tentang perjanjian internasional yang pengesahannya dengan Keputusan Presiden
dan dengan demikian tidak membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yang selengkapnya menyatakan:
299
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 478.
300
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. LN No. 185 Tahun 2000. TLN No. 4012.
Universitas Sumatera Utara
1 Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan
presiden. 2 Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap
keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
301
Kriteria dalam Pasal 10 ini walaupun sudah lebih rinci ketimbang Surat Presdien Nomor 2826HK1960 yang mana pada pasal ini telah memuat enam
criteria disbanding Surat Presiden tersebut yang hanya memuat tiga criteria. Namun, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh surat Presiden tersebut akan
masih tetap muncul dalam penerapan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini. Masalah yang paling utama yang akan muncul adalah
terjadinya perbedaan pendapat antara PemerintahPresiden dengan DPR mengenai penerapan kriteria tersebut.
302
Hal ini memungkinkan timbulnya perbedaan pendapat antara Presiden selaku Pemerintah dengan DPR tentang perjanjian internasional mana yang
memerlukan persetujuan DPR dan mana yang tidak memerlukannya apabila dilihat materi dari perjanjia internasional tersebut. Untuk menghindarinya,
dibutuhkan adanya peraturan pemerintah sebagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang ini yang substansinya
merinci keenam kriteria tersebut.
303
Pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia ini berpotensi memunculkan masalah domestik. Salah satunya adalah adanya
kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu Undang-Undang
301
Ibid., Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2.
302
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 480.
303
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tentang permbelakuan perjanjian internasional ke Mahkamah Konstitusi ataupun menggugat keabsahan dari suatu Keputusan Presiden tentang permbelakuan
perjanjian internasional melalui hak uji materil di Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Konstitusi membenarkan gugatan itu ataupun Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan hak uji materil itu, misalnya dengan menyatakan Undang-Undang atapun Keputusan Presiden itu tidak sah dan harus dibatalkan,
tentu saja ini akan menimbulkan dampak eksternal, yakni berkaitan dengan hak yang sudah diterima dan kewajiban yang sudah dilakukan oleh Indonesia dalam
hubungannya dengan negara peserta lainnya dalam perjanjian internasional tersebut.
304
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan BupatiWalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Hal ini telah terjadi dengan adanya pengajuan judicial review Piagam
ASEAN di Mahkamah Konstitusi. Setelah lahirnya Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang mengatur hal yang umum haruslah dimaknai sebagai Peraturan Presiden. Merujuk pada
ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, telah diberikan kepastian terhadap Keputusan Presiden yang bersifat mengatur hal yang umum
yang menyatakan:
305
304
Ibid., hlm. 483.
305
Lihat Pasal 100 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. LN No. 82 Tahun 2011. TLN No. 5234.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun dalam UU No. 24 Tahun 2000 tidak ditegaskan adanya prosedur internal dan eksternal, namun dalam praktik pelaksanaan pengesahan
perjanjian internasional tidak bisa terlepas dari kedua prosedur tersebut. Adanya prosedur internal dan eksternal ini ditegaskan oleh Kementerian Luar Negeri
sebagaimana tercantum dalam Pedoman Praktis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian Internasional yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri.
Adapun mekanisme pengesahanratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Kementerian Luar Negeri, antara lain:
1 Pemrakarsa adalah salah satu dari lembaga negara, lembaga pemerintah, kementerian dan non kementrian pusat dan daerah.
Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan sesuai dengan Pasal 9
dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 dengan undang-undang. Jika terdapat keragu-raguan tentang persyaratan ini maka pemrakarsa harus
mengkonsultasikannya dengan Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri.
2 Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden melalui Menteri Luar Negeri dengan tembusan kepada
Menteri terkait. Permohonan izin prakakarsa tersebut disertai penjelasan konsepsi pengaturan RUU yang meliputi: urgensi dan
tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.
Menteri Luar Negeri kemudian membuat surat kepada Presiden yang
Universitas Sumatera Utara
berisi pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Perpres No. 68 Tahun 2005 dan melampirkan Certified True
Copy Perjanjian. Pertimbangan-pertimbangan sebagaimana dimaksud adalah pertimbangan suatu kondisi dimana pemrakarsa dapat
mengajukan RUU di luar Prolegnas, yaitu : menetapkan Perpu menjadi UU, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, mengatasi
keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam, keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
RUU yang dapat disetujui bersama badan legislasi DPR dan Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Sekretaris Negara menerima
surat Menteri Luar Negeri dan kemudian meakukan analisa meliputi substansi, prosedural dan kepentingan sektoral terkait sebelum
diteruskan ke Presiden. Jika Presiden setuju maka Menteri Sekretaris Negara akan mengeluarkan Surat Persetujuan Izin Prakarsa kepada
Menteri Luar Negeri dengan tembusan ditujukan kepada Wakil Presiden dan Menteri terkait. Apabila disetujui Presiden, pemrakarsa
akan membentuk Panitia Antar Kementerian. 3 Pemrakarsa dapat membentuk Panitia Antar Kementrian PAK yang
terdiri dari : Kementerian Hukum dan HAM Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Sekretariat Kabinet Biro PUU II,
Kementerian Sekretariat Negara Biro Hukum dan Administrasi Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Luar Negeri Ditjen
Universitas Sumatera Utara
HPI dan unit satuan terkait, dan instansi terkait lainnya. catatan : Kepala Biro Hukum Pemrakarsa akan menjadi Sekretaris PAK
4 a. Setelah pembentukan PAK, pemrakarsa mengadakan Rapat Antar Kementerian RAK untuk koordinasi pembahasan RUU
Pengesahan, Naskah Akademik dan terjemahan perjanjian yang berdasarkan salinan Naskah Resmi Perjanjian Certified True
CopyCTC. Apabila terdapat reservasi danatau deklarasi atas perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan pernyataan
reservasi danatau deklarasi.
1
Dalam hal pembahasan RUU beserta lampirannya, pemrakarsa dapat melaksanakan sosialisasi dan meminta masukan dari
masyarakat. Kemudian masukan dari masyarakat tersebut diteruskan ke PAK untuk menjadi pertimbangan dalam RAK.
5 Setelah pembahasan dalam RAK selesai, pemrakarsa akan mengajukan permohonan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan
atas konsepsi RUU Pengesahan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Setelah proses harmonisasi tersebut selesai, pemrakarsa
menyampaikan dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri terkait untuk memperoleh
persetujuan dan paraf. Persetujuan dan paraf dimaksud, diberikan selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah dokumen pengesahan
diterima.
Universitas Sumatera Utara
6 a. Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas tidak diperoleh, maka pemrakarsa wajib untuk melakukan koordinasi
ulang dengan Kementerian terkait. Apabila setelah koordinasi tersebut masih belum diperoleh persetujuan dan paraf dimaksud,
maka pemrakarsa akan melapor secara tertulis kepada Presiden untuk memperoleh keputusan. Jika presiden tidak memberikan
persetujuan terhadap RUU tersebut, maka proses pengesahan dihentikan.
b.
Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas telah diperoleh, maka pemrakarsa melakukan perumusan ulang RUU
guna pengesahan. 7 Jika tidak ada masalah lagi, pemrakarsa mengajukan dokumen-
dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional untuk disampaikan
kepada Presiden, sesuai Pasal 12 3 UU No. 24 Tahun 2000 jo Pasal 19 Perpres No. 68 Tahun 2005.
8 Dokumen-dokumen pengesahan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 adalah 1 RUU Pengesahan, 1 salinan Naskah Resmi Perjanjian, 1
Naskah Akademik, 45 copy perjanjian, dan 45 copy naskah terjemahan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Setelah Kementerian
Luar Negeri melakukan verifikasi atas dokumen-dokumen RUU Pengesahan beserta lampirannya, Menteri Luar Negeri mengajukan
permohonan Amanat Presiden atas RUU Pengesahan tersebut dengan
Universitas Sumatera Utara
melampirkan dokumen pengesahan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara.
9 Menteri Sekretaris Negara menyiapkan Surat Amanat Presiden Ampres dan menerbitkan RUU Pengesahan di atas kertas polos guna
diparaf Menteri Luar Negeri, Menteri terkait dan Pimpinan Lembaga Pemrakarsa pada tiap-tiap lembarnya dan nama jelas Menteri yang
melakukan paraf dicantumkan pada lembar pertama. Setelah pemberian paraf, Menteri Luar Negeri akan meneruskan RUU
Pengesahan tersebut ke Presiden. 10 Presiden menandatangani Surat Presiden Ampres dan diteruskan
kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU Pengesahan disertai keterangan Pemerintah RI mengenai RUU dimaksud. Bersamaan
dengan itu, Menteri Sekretaris Negara membuat Surat Penunjukan Wakil Pemerintah yang berisi : Menteri yang ditugaskan mewakili
Presiden dalam pembahasan RUU Pengesahan di DPR, sifat RUU, dan cara penangananpembahasan. Surat Penunjukkan Wakil
Pemerintah tersebut ditembuskan kapada Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Pemrakarsa, dan Menteri Koordinator
terkait. 11 Pembahasan di DPR.
12 Apabila disetujui, DPR akan mengirimkan Surat Ketua DPR dan Keputusan DPR perihal persetujuan DPR atas RUU Pengesahan
beserta lampirannya tersebut yang ditujukan kepada Presiden.
Universitas Sumatera Utara
13 Menteri Sekretaris Negara menerbitkan RUU Pengesahan di atas Kertas Presiden untuk diparaf Menteri Luar Negeri dan Menteri
terkait lainnya. Setelah itu, RUU pengesahan yang sudah diparaf tersebut akan disampaikan kepada Presiden.
14 Presiden kemudian akan melakukan penandatanganan RUU dan mengesahkannya apabila tidak ditandatangani dalam 30 hari, maka
akan otomatis berlaku. Setelah disahkan, Menteri Sekretaris Negara akan memberikan nomor undang-undang dan akan memintakan
nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM. Pada tahap ini, otensifikasi UU Pengesahan guna penyebarluasan UU
dimaksud dilakukan oleh Kepala Biro Hukum Sekretariat Negara. 15 Pemrakarsa menyampaikan salinan UU Pengesahan kepada Menteri
Luar Negeri dengan dilampiri pernyataan reservasi danatau deklarasi jika ada.
16 Menteri Luar Negeri menyampaikan Instrument of Ratification kepada pimpinan lembaga depositori terkait.
17 Pimpinan lembaga depositori terkait menerima Instrument of Ratification serta menyampaikan acknowledgement kepada Menteri
Luar Negeri bahwa Instrument of Ratification telah diterima. Menteri Luar Negeri kemudian menerima acknowledgement tersebut beserta
tanggal mulainya pemberlakuan perjanjian tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Apabila digambarkan melalui suatu skema, maka pengesahan suatu perjanjian internasional di Indonesia melalui Undang-Undang dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 4.1 Skema Pengesahan Perjanjian Internasional dengan Menggunakan Undang-Undang
306
306
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Pedoman Praktis Pembuatan, Pengesahan dan Penyimpanan Perjanjian Internasional termasuk
Penyiapan Full Powers dan Credentials, Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI, 2012, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan mekanisme pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk Peraturan Presiden yang dibuat oleh Kementerian Luar Negeri, antara lain:
1
Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan dan sesuai dengan Pasal
9 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, pengesahan dimaksud dilakukan dengan peraturan presiden. Jika terdapat keragu-raguan
tentang persyaratan ini maka pemrakarsa harus mengkonsultasikannya dengan Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional,
Kementerian Luar Negeri.
2
Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri
terkait. Permohonan izin prkakarsa tersebut disertai penjelasan konsepsi pengaturan RPerpres yang meliputi: urgensi dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan serta
melampirkan Salinan Naskah Resmi Certified True Copy perjanjian yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri. Sekretaris Kabinet
menerima surat permohonan izin prakarsa dan kemudian melakukan analisa meliputi substansi, prosedural dan kepentingan sektoral terkait
sebelum diteruskan kepada Presiden. Jika Presiden setuju maka Sekretaris Kabinet akan mengeluarkan Surat Persetujuan Izin Prakarsa
kepada Menteri terkait dengan tembusan ditujukan kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri. Apabila disetujui Presiden,
Universitas Sumatera Utara
Pemrakarsa mengadakan Rapat Antar Kementerian RAK atau Panitia Antar Kementerian PAK yang terdiri dari Sekretariat Kabinet
Biro PUU II, Kementerian Sekretaris Negara Biro Hukum dan Administrasi Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Luar
Negeri Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan unit terkait, Kementrian Hukum dan HAM Direktorat Harmonisasi
Peraturan Perundang-Undangan dan instansi terkait lainnya untuk mengkoordinasikan pembahasan Perpres Pengesahan, Naskah
Akademik dan terjemahan perjanjian yang berdasarkan salinan naskah resmi perjanjian. Apabila terdapat reservasi danatau deklarasi atau
perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan pernyataan reservasi danatau deklarasi. Apabila diperlukan, sebelum Rancangan
Perpres disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Kabinet, dapat terlebih dahulu dibahas dan disepakati bersama oleh para
Menteri dan Kepala LPNK melalui koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator yang membidangi Surat Sekretaris Kabinet No. SE
8SeskabI2012 tanggal 5 Januari 2012. Dalam hal pembahasan RPerpres beserta lampirannya, Pemrakarsa dapat meminta masukan
dari masyarakat, kemudian dapat menjadi pertimbangan dalam RAKPAK. Pemrakarsa melaksanakan konsultasi dan koordinasi
dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri serta Sekretaris Kabinet dalam rangka harmonisasi dan pembulatan
serta pemantapan konsepsi Rperpres.
Universitas Sumatera Utara
3
Pemrakarsa mengajukan dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional untuk disampaikan kepada Presiden. Dokumen pengesahan tersebut terdiri dari 1 Rancangan PERPRES Pengesahan,
1 salinan naskah resmi perjanjian, 1 naskah penjelasan, 45 salinan naskah perjanjian dalam bahasa Inggris, dan 45 salinan naskah
perjanjian dalam bahasa Indonesia sesuai Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000 jo Pasal 40 Perpres No. 68 Tahun 2005.
4
Kementerian Luar Negeri akan melakukan verifikasi atas dokumen pengesahan tersebut, kemudian Menteri Luar Negeri akan mengajukan
dokumen pengesahan perjanjian tersebut kepada Presiden melalui Sekretariat Kabinet.
5
Sekretariat Kabinet akan melakukan verifikasi terhadap dokumen pengesahan, untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden. Bila
dipandang perlu, Sekretariat Kabinet akan menyampaikan Rancangan Perpres untuk mendapat paraf Menteri Luar Negeri serta Menteri
terkait lainnya.
6
Presiden menetapkan Perpres Pengesahan.
7
Sekretariat Kabinet memberikan nomor Perpres dan memintakan nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM,
selanjutnya Perpres disampaikan kepada Ketua DPR, Kantor Wakil Presiden, Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
Koordinator terkaitinstansi terkait.
Universitas Sumatera Utara
8
Setelah Perpres diterbitkan, Kementerian Luar Negeri Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional akan mempersiapkan
draft notifikasi, bila dipandang perlu dan dalam rangka koordinasi, Kementerian Luar Negeri dapat menyampaikan pemberitahuan
terlebih dahulu kepada lembaga pemrakarsa mengenai rencana penyampaian notifikasi tersebut. Dalam hal perjanjian yang disahkan
tersebut memerlukan atau membutuhkan adanya peraturan teknisperaturan menteri terkait dalam pemberlakuannya, maka
lembaga pemrakarsa menyampaikan surat tertulis kepada Kementerian Luar Negeri untuk menunda penyampaian Notifikasi tersebut sampai
peraturan teknis terkait diterbitkan. Menteri Luar Negeri akan melakukan notifikasi atau menyampaikan Instrument of Ratification
kepada counterpart atau lembaga depository yang ditunjuk.
9
Counterpart atau Pimpinan lembaga depository terkait menerima Instrument of Ratification serta menyampaikan acknowledgement
beserta tanggal pemberlakuan perjanjian tersebut bagi Indonesia kepada Menteri Luar Negeri.
10
Kementrian Luar Negeri akan menginformasikan acknowledgement dan tanggal berlakunya perjanjian tersebut kepada lembaga
pemrakarsa dan instansi terkait lainnya.
Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia melalui Peraturan Presiden digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.2 Skema Pengesahan Perjanjian Internasional dengan Menggunakan Peraturan Presiden
307
Dalam Pedoman tersebut jelas dinyatakan bahwa pengesahan perjanjian
internasional harus diartikan dari dua perspektif prosedur yang terpisah namun terkait, yaitu prosedur internal dan prosedur eksternal. Dari perspektif prosedur
internal, pengesahan perjanjian internasional adalah masalah hukum tata negara, yaitu hukum nasional Indonesia yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan
307
Ibid., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
legislatif dalam pembuatan perjanjian internasional. Sedangkan dari perspektif prosedur eksternal maka pengesahan perjanjian internasional adalah “the
international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound be a treaty” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2
VCLT 1969 1969.
308
B. Status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia