Potensi Permasalahan yang Mungkin Ditimbulkan

memuat materi hukum internasional secara utuh, untuk itu dirasakan tidak tepat Mahkamah Konstitusi menilai materi muatan yang secara utuh merupakan suatu produk hukum internasional dengan UUD 1945 sebagai alas ujinya. 235

3. Potensi Permasalahan yang Mungkin Ditimbulkan

Prosedur ratifikasi suatu perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu proses internal dan proses eksternal. Ratifikasi melalui proses internal berarti mekanisme penerimaan suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional oleh suatu negara diserahkan sepenuhnya pada prosedur legislasi negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, berarti akan mengacu pada Pasal 11 UUD 1945, Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 236 Sedangkan prosedur eksternal merupakan pernyataan keterikatan suatu negara atas perjanjian internasional secara tertulis yang di dalamnya memuat pernyataan negara tersebut tentang kesepakatannya untuk meratifikasi, menerima, mengesahkan dan mengaksesi suatu perjanjian internasional dan kesediannya untuk melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di 235 Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit., hlm. 468. 236 Prosedur internal ini didasarkan pada amanat Pasal 11 UUD 195 yang menyatakan: “Dengan Persetujuan DPR, Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional dengan negara lain.” Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 menyatakan: “Kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan: “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan Undang-Undang dan Keputusan Presiden.” Lihat di UUD 1945, Undang- Undang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Perjanjian Internasional. Universitas Sumatera Utara dalamnya dengan itikad baik. Cara-cara ini dilaksanakan sesuai dengan kesepakatannya dengan negara-negara peserta perjanjian internasional tersebut. 237 Dalam konteks pengesahan Piagam ASEAN oleh Indonesia, prosedur internal yang dilakukan melalui pengundangan Undang-Undang pengesahan Piagam ASEAN melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang disahkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2008 oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2008 melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Matalatta. 238 Adapun prosedur eksternal yang dilakukan oleh Indonesia yaitu penyerahan instrumen ratifikasi tersebut ke Sekretaris Jenderal ASEAN di Jakarta pada tanggal 13 November 2008. 239 Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 ayat 3 Piagam ASEAN yang menyatakan: “Instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of ASEAN who shall prompthy notify all member states of each deposit.” 240 Pada umumnya, prosedur eksternal akan menjadi dasar acuan kapan perjanjian internasional akan berlaku efektif sebagai sumber hukum internasional. Jadi, penentu pemberlakuan suatu perjanjian internasional bukan pada tanggal dimana negara-negara pihak menyatakan keterikatannya dalam prosedur internal, 237 Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit., hlm. 470. 238 Lihat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. LN No. 165 Tahun 2008. TLN No. 4915. 239 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 63. 240 Lihat Pasal 47 ayat 3 Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Universitas Sumatera Utara namun pada tanggal dimana negara pihak menyatakan keterikatannya dalam prosedur eksternal. 241 Pada konteks Piagam ASEAN, ketentuan mengenai pemberlakuannya diatur dalam Pasal 47 ayat 4, yang menyatakan: “This Charter shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of the tenth instrument of ratification with the Secretary-General of ASEAN.” 242 Ketentuan ini mengatur pemberlakuan Piagam ASEAN dilaksanakan 30 hari sejak negara kesepuluh mengirimkan instrument ratifikasinya. Dalam hal ini, Thailand adalah negara kesepuluh tersebut. 243 Pembatalan suatu perjanjian internasional harus dilaksanakan dalam proses internal dan juga proses eksternalnya. Pembatalan undang-undang pengesahan suatu perjanjian internasional dikatakan sebagai penarikan proses internal suatu negara. Namun pada dasarnya, keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional merupakan perbuatan hukum dalam proses eksternal. 244 241 Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit. 242 Lihat Pasal 47 ayat 4 Charter of the Association of Southeast Asian Nations. 243 Eddy Pratomo, Op.Cit. 244 Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit. 472. Indonesia tetap akan terikat pada Piagam ASEAN dan melaksanakan semua ketentuannya sepanjang masih tercatat sebagai negara pihak dan belum melakukan penarikan terhadap instrumen ratifikasinya terhadap Piagam ASEAN. Jika Indonesia berkeinginan untuk menarik diri dari Piagam ASEAN, maka Indonesia akan terikat dengan ketentuan formal dalam Piagam ASEAN yang berhubungan dengan persoalan penarikan diri. Universitas Sumatera Utara Hal ini selaras dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 54 Vienna Convention on the Law of treaties 1969 yang menyatakan: “The termination of a treaty or the withdrawal of a party may take place: a In conformity with the provisions of the treaty; or b at any time by consent of all the parties after consultation with the other contracting States.” 245 a. It is established that the parties intended to admit the possibility of denuncia tion or withdrawal; or Pasal ini menyatakan bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional dapat terjadi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam traktat atau setiap saat sesuai dengan persetujuan semua negara pihak sesudah berkonsultasi dengan negara-negara yang terikat perjanjian lainnya. Kemudian pada Pasal 56 Vienna Convention on the Law of treaties 1969 menyatakan: A treaty which contains no provision regarding its termination and which does not provide for denunciation or withdrawal is not subject to denunciation or withdrawal unless: b. A right of denunciation or withdrawal may be implied by the nature of the treaty. A party shall give not less than twelve months notice of its intention to de nounce or withdraw from a treaty under paragraph 1. 246 Ketentuan ini menegaskan bahwa jika suatu perjanjian internasional tidak memuat ketentuan mengenai pengakhiran, pemutusan atau penarikan diri maka tidaklah tunduk pemutusan atau penarikan diri jika tidak ternyata bahwa pihak- pihak berniat mengizinkan kemungkinan pemutusan atau penarikan diri atau suatu hak pemutusan atau penarikan diri itu dapat disimpulkan secara diam-diam sesuai dengan sifat dari perjanjian internasional tersebut. 245 Lihat Pasal 54 Vienna Convention on the Law of treaties 1969. 246 Ibid., Pasal 56. Universitas Sumatera Utara Merujuk pada ketentuan ini, maka dalam konteks penarikan diri Indonesia terhadap Piagam ASEAN haruslah diselesaikan dengan klausula formal yang diatur dalam Piagam ASEAN itu sendiri dan tidak cukup hanya dilakukan penarikan terhadap undang-undang ratifikasinya saja. Apabila dilihat pada Piagam ASEAN, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang pengakhiran, pemutusan atau penarikan diri dalam piagam tersebut. Maka, solusi lain yang dapat diupayakan untuk penarikan diri dari Piagam ASEAN dapat merujuk pada Pasal 56 Vienna Convention on the Law of treaties 1969 yang secara garis besar mengatur bahwa pengunduran diri dari suatu perjanjian internasional dapat didasarkan pada kesepakatan negara-negara pihak atas pengunduran diri yang dilakukan. 247 Jadi, dalam konteks apabila Indonesia ingin menarik keikutsertaannya pada Piagam ASEAN maka yang harus dilakukan adalah mengajukan penarikan diri kepada negara-negara pihak Piagam ASEAN. Hasil dari penerimaan ataupun penolakan pengunduran diri tersebut didasarkan pada hasil keputusan negara- negara pihak tersebut. 248 Mekanisme pengambilan keputusan tersebut diatur dalam Bab VII Pasal 20 Piagam ASEAN yang pada intinya menegaskan bahwa sedapat mungkin keputusan dalam ASEAN terhadap persoalan yang ada di ASEAN diambil melalui konsensus di antara negara-negara anggota. 249 247 Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit. 248 Ibid. 249 1 As a basic principle, decision-making in ASEAN shall be based on consultation and consensus; 2 Where consencus cannot be achieved, the ASEAN Summit may decide how a specific decision can be made; Jika consensus tidak dapat Universitas Sumatera Utara dicapai, maka Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN dapat memutuskan bagaimana keputusan tersebut dapat diambil. Dalam kasus pelanggaran serius dan ketidakpatuhan maka masalahnya akan diputuskan oleh Konferensi Tingkat Tinggi tersebut. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 27 VCLT 1969, maka jelaslah bahwa Indonesia tidak dapat mengajukan hukum nasional sebagai alasan pembenar untuk tidak melaksanakan kewajiban dari Piagam ASEAN. Hal ini bersesuaian dengan pendapat yang disampaikan oleh Damos Dumoli Agusman. Pada prinsipnya, Indonesia telah terikat dalam Piagam ASEAN. Tidak melaksanakan ketentuan yang diatur dalam pasal tersebut jelas telah membuat Indonesia dianggap telah melanggar hukum internasional. 250 3 Nothing in paragraphs 1 and 2 of this Article shall affect the modes of decision- making as contained in the relevant ASEAN legal instruments; Jika menggunakan Pasal 46 VCLT 1969 sebagai dasar penarikan diri terhadap Piagam ASEAN, jelas hal ini akan sangat sulit sebab semua unsur pasalnya harus dapat dipenuhi semua. Pasal ini dapat digunakan untuk batalnya keterikatan Indonesia pada Piagam ASEAN hanya apabila Indonesia dapat membuktikan adanya pelanggaran hukum nasional terkait kewenangan perwakilannya dalam pembuatan Piagam ASEAN yang mana pelanggaran tersebut haruslah hal yang nyata dan terkait akan suatu hal yang mendasar pada UUD 1945. 4 In the case of a serious breach of the Charter of non-complianc, the matter shall be referred to the ASEAN Summit for decision. Lihat Pasal 20 Charter of the Association of Southeast Asian Nations. 250 Damos Dumoli Agusman, “Apakah MK bisa Menguji Piagam ASEAN”, dimuat dalam http:www.antaranews.comberita268734apakah-mk-bisa-menguji-piagam-asean , diakses pada tanggal 26 Februari 2015 Pukul 23.05 WIB. Universitas Sumatera Utara Jika diterapkan pada kasus ini, maka Indonesia tidak dapat mengajukan pernarikan diri terhadap Piagam ASEAN tersebut hanya dengan alasan bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945 semata, karena kedua pasal tersebut tidak memuat ketentuan tentang perwakilan negara yang mengadakan perjanjian internasional. Ketentuan mengenai perwakilan negara yang mengadakan perjanjian internasional yang tidak berwenang ataupun melebihi batas kewenangannya, sudah tidak lagi menjadi masalah. Sebab Piagam ASEAN telah melalui proses pembuatan dan pengesahannya dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008. Hal ini jelas membuktikan bahwa perwakilan Indonesia dalam pembentukan Piagam ASEAN telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945, Undang-Undang Hubungan Luar Negeri, Undang-Undang Perjanjian Internasional, Undang-Undang Pembentukan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, serta ketentuan di dalam Piagam ASEAN itu sendiri. Apabila permohonan uji materi ini dikabulkan, maka komitmen Indonesia sebagai negara anggota ASEAN juga akan hilang. Penarikan diri terhadap Piagam ASEAN seharusnya menjadi hal yang harus dipikirkan secara matang. Mengingat Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, maka pengabulan permohonan uji materi ini haruslah memerlukan alasan yang sangat kuat bagi Mahkamah Konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan implikasi penghindaran atau pembatalan kewajiban dalam Piagam ASEAN berpotensi menciptakan situasi yang menyulitkan terhadap negara Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara dalam pergaulan internasional. Apabila setiap perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dapat dibatalkan dengan alasan penerapan hukum nasional, maka negara Republik Indonesia akan menjadi negara yang dianggap tidak dapat sepenuhnya menghormati prinsip pacta sun servanda yang merupakan kaidah utama dalam hukum perjanjian internasional dan diakui secara universal dalam pergaulan antar bangsa. 251 Sebagai norma hukum internasional, Piagam ASEAN harus dihormati dan dilaksanakan. Apabila kewajiban-kewajiban dalam setiap perjanjian internasional dapat dihindari, maka tata hukum internasional, khususnya rejim hukum perjanjian internasional, akan diwarnai dengan ketidakpastian dan kesimpangsiuran. Prinsip pacta sunt servanda menjadi kehilangan makna, karena setiap negara dapat mengingkari atau membatalkan ketentuan suatu perjanjian internasional dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. 252 Terwujudnya tata hukum internasional yang lebih kredibel juga merupakan salah satu kepentingan nasional utama, karena hal ini merupakan amanat konstitusional yang juga harus dilaksanakan oleh Indonesia. Kewajiban konstitustional Negara Republik Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana tercermin dalam Paragraf 4 Pembukaan UUD 1945 hanya dapat dipenuhi apabila terdapat suatu rejim hukum perjanjian internasional yang lebih tertib dan berwibawa. 253 251 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 117-120 252 Ibid. 253 Ibid. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA

KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

A. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia