Republik Indonesia mengeluarkan putusan terhadap permohonan para Pemohon yang amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya.
220
Dua Hakim Mahakamah Konstitusi yakni Maria Farida Indrati dan Hamdan Zoelva, melalui dissenting opinion menyatakan keberatan dengan
argumen yang mengidentikkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 dengan undang-undang pada umumnya. Menurut kedua hakim ini, memang benar bahwa
secara formil undang-undang tersebut adalah Undang-Undang, tetapi secara materil bukanlah undang-undang dan tidak tepat dijadikan objek pengujian
undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
221
2. Analisis Yuridis
Pada kasus ini, dapat dilihat adanya isu hukum nasional dan isu hukum internasional di dalamnya. Pada bagian ini, tidak akan dibahas analisis terhadap
pertimbangan dan substansi permohonan tersebut lebih jauh. Pada isu hukum nasional, terdapat klasifikasi atas karakter undang-undang
ratifikasi dengan undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Selain itu, persoalan yang muncul menyangkut kewenangan dan kompetensi Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia untuk menguji materi dari suatu undang-undang ratifikasi.
220
Ibid., hlm. 197.
221
Damos Dumoli Agusman, “Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI Kajian Kritis terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN”,
Disampaikan pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Juni, 2014.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan isu hukum internasional yang ada pada kasus ini ialah jika memang Mahkamah Konstitusi tidak membedakan karakter dari undang-undang
ratifikasi suatu perjanjian intenasional dan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materi pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 hingga
kemudian memberikan putusan untuk membatalkan ratifikasi tersebut, maka akibat hukum apa yang akan terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa dalam mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian internasional, suatu negara
haruslah melakukan pengesahan sesuai dengan ketentuan hukum nasional negara tersebut. Berdasarkan hukum nasional, Indonesia dalam melakukan pengesahan
suatu perjanjian internasional harus melakukan pengesahan terhadap hukum internasional melalui suatu undang-undang ataupun Peraturan Presiden.
Mengingat tidak ada ketegasan yang baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
tentang dapatkah undang-undang ratifikasi yang mengesahkan perjanjian internasional dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi jelas menimbulkan persoalan.
Jika yang diuji adalah undang-undang implementasi perjanjian interasional jelas tidak akan menimbulkan masalah karena memang materi muatan suatu perjanjian
internasional tersebut telah disesuaikan dengan tatanan hukum nasional Indonesia. Tetapi untuk suatu undang-undang pengesahan ratifikasi, jelas relatif problematik
dikarenakan secara bentuk memang nomenklatur hukum nasional, tetapi untuk materi muatan merupakan hukum internasional secara utuh. Sehingga yang
Universitas Sumatera Utara
menjadi persoalan adalah bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi
222
untuk menguji suatu undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang memiliki
materi muatan hukum internasional dengan alas uji UUD 1945.
223
Kondisi ketidakjelasan sikap Indonesia mengenai penerapan hukum internasional dalam ranah hukum nasional baik dalam UUD 1945 maupun
Undang-Undang Perjanjian Internasional, telah menimbulkan kerancuan dalam praktiknya apakah suatu perjanjian internasional yang sudah disahkan oleh
pemerintah baik dalam instrumen undang-undang maupun dalam peraturan presiden termasuk atau menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Persoalan ini sebenarnya telah banyak terjadi di berbagai negara. Hanya saja Suatu infiltrasi hukum internasional dan perjanjian internasional dalam
hukum nasional secara umum dijelaskan oleh teori monisme dan dualisme. Dari kedua teori tersebut, Indonesia tidak secara spesifik memilih salah satu antara
monisme, dualisme, atapun kombinasi keduanya yang diatur dalam suatu perundang-undangan nasional.
222
Pada Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dicantumkan dengan tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal ini, ditentukan 4 kewenangan konstitusional constitutionally
entrusted powers dan 1 kewajiban konstitusional constitutional obligation. Keempat kewenangan konstitusional itu antara lain:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara satu kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus tudingan DPR
bahwa PresidenWakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggara hukum ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai PresidenWakil Presiden. Lihat di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi.
223
Andi Sandi Ant.T.T. Agustina Merdekawati, Op.Cit., hlm. 467.
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks ini telah menjadi ranah hukum ketatanegaraan dalam suatu negara.
224
Pada praktik yang dilakukan Amerika Serikat, jika pengadilan menetapkan bahwa suatu perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan
termasuk golongan perjanjian internasional self executing, maka perjanjian tersebut dianggap bagian dari hukum nasional Amerika Serikat dan tidak
memerlukan pengundangan nasional. Sedangkan jika perjanjian internasional tersebut termasuk perjanjian non self executing, maka diperlukan pengundangan
nasional.
225
a Perjanjian internasional yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang, namun tetap membutuhkan implementing legislation yang berupa undang-
undang dalam pelaksanaannya, misalnya: Sedangkan di Indonesia, apabila mengacu pada hukum positif saat ini baik
dalam Pasal 11 UUD 1945 dan Undang-Undang Perjanjian Internasional, keduanya tidak memberikan jawaban terhadap persoalan tersebut. Maka acuan
mengenai penerapan hukum internasional dalam ranah hukum nasional dapat dilihat dalam praktik yang secara umum terbaca dalam dua kategori, antara lain:
i. Convention on the Law of the Sea 1982 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982, tetap membutuhkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
224
Ibid., hlm. 465.
225
Ibid., hlm. 466.
Universitas Sumatera Utara
ii. Convention on Psychotropic Substances 1971 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention
on Psychotropic Substances 1971 yang untuk pelaksanaannya masih membutuhkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Narkotika. b Perjanjian internasional yang ketika sudah diratifikasi dengan Undang-
Undang, dapat langsung diimplementasikan tanpa membutuhkan implementation legislation yang berupa undang-undang dalam
pelaksanannya misalnya Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 yang diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol
Opsionalnya mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna
Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisting of Nationality 1961 dan Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik
beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan Vienna Convention on Diplomatic Relations and
Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisting of Nationality 1963.
226
Berdasarkan praktik di atas, ditemukan dua jenis undang-undang yang digunakan untuk melakukan pengesahan terhadap perjanjian internasional, yaitu
226
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang ratifikasi dan undang-undang implementasi. Undang-undang ratifikasi tidak serta merta membuat perjanjian internasional menjadi hukum
nasional Indonesia. Undang-undang ratifikasi hanya membuat Indonesia terikat terhadap perjanjian internasional sebagai perwujudan dari persetujuan DPR
sebagaimana amanat konstitusi.
227
Dalam mentransformasikan materi muatan perjanjian internasional diperlukan suatu peraturan implementasi yang memasukkan perjanjian
internasional dalam tatanan hukum nasional. Peraturan implementasi unutk mengabsorbsi atau menyerap materi muatan perjanjian internasional ke dalam
hukum nasional Indonesia. Dengan diabsorbsinya materi muatan perjanjian internasional ke dalam peraturan implementasi maka secara nyata perjanjian
internasional telah bertransformasi dan menjadi hukum nasional.
228
Dalam persoalan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi terhadap suatu undang-undang pengesahan perjanjian internasional,
berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa sejatinya undang-undang pengesahan perjanjian internasional merupakan undang-undang yang sejenis
dengan undang-undang yang lain sepanjang mengikuti tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Titik perbedaannya terdapat pada materi muatan di dalamnya.
229
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 dapat diuji di Mahkamah Konstitusi. Argumen penguat lainnya
227
Ibid.
228
Ibid., hlm. 467.
229
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam ketentuan
tersebut tidak dikecualikan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional bukanlah objek pengujian Mahkamah Konstitusi, maka tidak ada
alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak menguji undang-undang tersebut.
230
Undang-undang pengesahan perjanjian internasional merupakan undang- undang yang dbentuk semata untuk mengesahkan perjanjian internasional,
sedangkan materi perjanjian internasional belum diabsorbsi atau diimplementasikan dalam undang-undang tersebut, melainkan hanya dilampirkan
salinannya dalam bahasa Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Persoalan yang kemudian muncul adalah apakah materi
perjanjian internasional yang disalin dalam bahasa Indonesia dan memuat materi hukum internasional secara utuh tersebut yang menjadi lampiran undang-undang
pengesahan perjanjian internasional dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
231
Jika dicermati lebih lanjut, bagian lampiran tersebut sejatinya bukanlah berasal dari hukum nasional Indonesia sehingga tidak mungkin diuji dengan UUD
1945 sebagai dasar pengujiannya. Suatu undang-undang pengesahan perjanjian tidak untuk mentransformasikan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional. Namun hanya sebatas pengesahan terhadap perjanjian internasional itu saja. Agar materi muatan perjanjian internasional tersebut dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi, seharusnya materi muatan perjanjian internasional tersebut
230
Ibid., hlm. 468.
231
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
haruslah terlebih dahulu ditransformasikan ke dalam suatu undang-undang implementasi yang secara harmonis memasukkan materi muatan perjanjian
internsonal tersebut ke dalam tatanan hukum nasional Indonesia.
232
Dalam hal Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam ASEAN, secara sistematika hanya memuat dua pasal. Pasal 1
menyatakan: “Mengesahkan Charter of the Association of Southeast Asian Nations Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang salinan
naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.” Pengujian terhadap undang-undang pengesahan suatu perjanjian
internasional memiliki dampak yang lebih sempit dibandingkan dengan pengujian terhadap undang-undang dengan materi muatan yang lainnya. Hal ini dikarenakan
secara sistematika undang-undang pengesahan perjanjian internasional tersebut hanya berisi beberapa pasal yang berfungsi sebagai norma pengesahan perjanjian
internasional.
233
Sedangkan pada Pasal 2 menyatakan: “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
234
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya dapat menguji kedua pasal tersebut. Selain itu, lampiran Undang-Undang tersebut
232
Ibid.
233
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.
LN No. 165 Tahun 2008. TLN No. 4915.
234
Ibid., Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
memuat materi hukum internasional secara utuh, untuk itu dirasakan tidak tepat Mahkamah Konstitusi menilai materi muatan yang secara utuh merupakan suatu
produk hukum internasional dengan UUD 1945 sebagai alas ujinya.
235
3. Potensi Permasalahan yang Mungkin Ditimbulkan