dilakukan tahun 1999 dan perubahan keduanya pada tahun 2000, Pasal 11 belum diubah.
269
Dengan diamandemennya Pasal 11 tersebut pada perubahan ketiga tahun 2001, menimbulkan pertanyaan yang mendasar tentang apakah substansi dari
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 masih sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 yang telah diamandemen ataukah harus diubah lagi supaya benar-
benar menjadi penjabaran dari isi dan jiwa ketentuan Pasal 11 UUD 1945 tersebut. Untuk menjawab hal ini tidaklah sederhana, untuk itu diperlukan adanya
pengkajian secara mendalam lagi.
270
2. Berdasarkan Surat Presiden Nomor 2826HK1960
Surat Presiden Nomor 2826HK1960 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Pada masa itu, apabila merujuk pada Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966
tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia tidak
dikenal adanya suatu peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai Surat Presiden.
271
Dalam menjawab permasalahan ini, Abdul Hamid Saleh Attamimi berpendapat: “Sebuah surat presiden tidak mungkin menafsirkan ketentuan
Undang-undang Dasar apalagi secara menyimpang. Tetapi apabila yang menjadi
269
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 474.
270
Ibid.
271
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXMPRS1966, dimuat di
http:id.wikisource.orgwikiKetetapan_Majelis_Permusyawaratan_ Rakyat_Sementara_Republik_Indonesia_Nomor_XXMPRS1966 diakses pada tanggal pada
tanggal 10 Maret 2015 Pukul 20.41 WIB.
Universitas Sumatera Utara
masalah sampai di manakah praktek dan kebiasaan ketatanegaraan yang ditimbulkan berdasarkan sebuah surat presiden dan yang tidak bertentangan pula
dengan ketentuan UUD 1945 dapat dibenarkan dan menjadi konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention, maka jawaban pertanyaan ini
mungkin akan menempatkan Surat Presiden No. 2826HK1960 tanggal 22 Agustus 1960 tersebut dalam kedudukan yang wajar”.
272
Pendapat tersebut diperkuat oleh Bagir Manan yang berpendapat bahwa surat tersebut merupakan suatu konvensi ketatanegaraan, yang menyatakan:
“Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini dikategorikan sebagai Konvensi Ketatanegaraan yang tertulis sehingga sebelum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembuatanmemasuki perjanjian atau persetujuan internasional maka surat tersebut berlaku sebagai
hukum yang harus dipatuhi. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan rule yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat
etik belaka constitutional ethic. Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan policy rules, beleidsregel,
yang didasarkan pada asas manfaat doelmatigheid, bukan berdasarkan hukum rechtmatigheid.”
273
Sementara dalam hal tata cara pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia, ia berpendapat bahwa dalam hal tata cara melaksanakan ratifikasi,
penentuan materi perjanjian yang memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan
272
Abdul Hamid Saleh Attamimi, Loc.Cit.
273
Bagir Manan, “Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional Tinjauan Hukum Tata Negara”, Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-
Undangan Nasional, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Luar Negeri Departemen Luar Negeri RI, 2008, hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
DPR, bentuk hukum nasional yang diberikan pada suatu perjanjian atau persetujuan, mungkin hanya diatur berdasarkan ketatanegaraan. Konvensi
ketatanegaraan ini merupakan kaidah yang hidup dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan meskipun tidak memiliki daya paksa secara hukum. Oleh karena
tidak dapat dipaksakan oleh atau melalui pengadilan maka kepatuhan terhadap konvensi ketatanegaraan ini didasarkan pada etika dan moral, atau biasa disebut
dengan political ethics.
274
Berbeda dengan pendapat Abdul Hamid Saleh Attamimi dan Bagir Manan tersebut, Harjono berpendapat bahwa Surat Presiden tersebut yang kemudian
digunakan sebagai dasar hukum dalam pengesahan perjanjian internasional pada saat itu memiliki kelemahan materil dan formil. Lebih lanjut, dikatakan bahwa
surat tersebut tidak memiliki unsur sebagai sumber hukum dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia karena surat tersebut sebenarnya hanya merupakan
penafsiran Presiden terhadap ketentuan Pasal 11 UUD 1945. Oleh karena itu, surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi lembaga tinggi
lainnya, dalam hal ini DPR.
275
Kemudian Harjono berpendapat bahwa dibuatnya surat tersebut terkait dengan praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia hanya didasarkan
pada pertimbangan kecepatan dan kemudahan saja tanpa mempertimbangkan aspek yuridis lainnya yang lebih penting, sehingga hal ini mengarah pada praktik
274
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Op.Cit., hal. 146.
275
Wisnu Aryo Dewanto, Op.Cit., hlm. 328.
Universitas Sumatera Utara
fiat accompoli yuridis terhadap kekuasaan DPR dalam hal pembuatan perjanjian internasional.
276
Surat Presiden tersebut tidak dijawab oleh DPR hingga tahun 1975 melalui suratnya No. 107KD1784DPR-RI75 tanggal 30 Juni 1975 yang ditujukan
kepada Menteri Sekretariat Negara memohon lagi konfirmasi tentang isi Surat Presiden tersebut. Kemudian melalui suratnya Nomor 202M-Sesneg875
tertanggal 23 Agustus 1975, Menteri Sekretariat Negara menjawab surat Ketua DPR tersebut dengan penjelasan bahwa Surat Presiden tersebut tetap merupakan
dasar hukum bagi pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945. Hal ini berarti penegasan kembali dari Pemerintah bahwa Surat Presiden tersebut masih tetap berlaku.
277
1 Perjanjian yang sifatnya penting dalam bentuk treaties traktat yang pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dalam suatu Undang-
Undang; dan Berdasarkan Surat Presiden tersebut, terdapat dua macam bentuk
perjanjian, yaitu:
2 Perjanjian yang sifatnya kurang penting berbentuk agreements persetujuan yang pengesahannya tidak memerlukan persetujuan DPR
dan cukup dengan suatu Keputusan Presiden yang selanjutnya disampaikan oleh Sekretariat Kabinet kepada DPR sebagai
permberitahuan.
278
Melalui Surat Presiden tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 UUD 1945 tidak mengartikan perjanjian sebagai semua jenis perjanjian
276
Ibid.
277
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 167.
278
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
internasional, tetapi hanya persoalan terpenting saja, yaitu yang mengandung soal- soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Alasan
yang diajukan Pemerintah adalah bahwa apabila semua perjanjian dengan negara asing harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR, Pemerintah tidak akan
cukup mempunyai keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional apabila mengenai soal-soal yang kecil-kecil harus diperoleh
persetujuan dahulu dari DPR. Menurut Pemerintah, hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang
cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
279
Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antara Pemerintah dan DPR sebagai dimaksudkan dalam Pasal 11 UUD 1945,
Pemerintah akan menyampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuannya hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja treaties, sedangkan perjanjian
lain agreement akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui saja. Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 11 UUD 1945 tidak menentukan bentuk
yuridis dari persetujuan DPR. Karena itu, tidak ada keharusan bagi DPR untuk memberikan persetujuannya dalam bentuk undang-undang.
280
279
Lihat pada butir 2 Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826HK1960 yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembuatan
Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.
280
Lihat pada butir 3 Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826HK1960 yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembuatan
Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.
Dalam Surat Presiden tersebut dinyatakan bahwa suatu
perjanjian internasional yang harus mendapat persetujuan DPR ialah perjanjian yang bersifat penting treaty yang
mengandung materi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1 Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan aliansi, perjanjian-perjanjian
tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas; 2 Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya, sehingga mempengaruhi
haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau
pinjam uang; dan 3 Soal-soal yang menurut Undang-undang Dasar atau menurut
perundang-undangan harus diatur dengan undang-undang seperti soal- soal kehakiman.
281
Dalam praktiknya, Surat Presiden ini memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak Presiden eksekutif ketimbang Dewan Perwakilan Rakyat
legislatif dalam pengikatan diri negara Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional maupun dalam pemberlakuannya ke dalam hukum nasional
Indonesia. Hal ini disebabkan karena Surat Presiden itu sendiri tidak secara tuntas menjawab permasalahan-permasalahan di sekitar pengikatan diri pada perjanjian
internasional dan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia. Secara umum, UUD 1945 memang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada
pihak eksekutif ketimbang legislatif.
282
Sebagai akibatnya, cukup banyak terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang sesudah diratifikasi oleh pihak eksekutif kemudian
281
Lihat pada butir 4 Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826HK1960 yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembuatan
Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.
282
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis dan Praktis…, Op.Cit., hlm. 470.
Universitas Sumatera Utara
pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang seharusnya disetujui DPR ternyata dilakukan tanpa persetujuan DPR. Selain itu, Dewan Perwakilan
Rakyat pun ternyata kurang menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah hukum tentang pengikatan diri Indonesia pada perjanjian
internasional maupun pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia. Kondisi ini memang berlangsung selama masa Orde Lama dan terus berlanjut
pada masa Orde Baru dan pada masa awal dari Orde Reformasi.
283
3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian