Ketentuan Hukum Nasional sebagai Alasan Pembatalan Keterikatan

Dengan berlakunya Piagam ASEAN, maka secara de jure telah mengubah ASEAN dari organisasi regional yang longgar menjadi sebuah organisasi yang berdasarkan aturan atau rules-based organization. 195 Keberadaan Piagam ASEAN telah memberikan kerangka hukum dan institusional bagi ASEAN untuk berkembang ke arah sebuah komunitas bersama yang mengedepankan antara lain perdamaian, keamanan, stabilitas, pertumbuhan ekonomi berlanjut, kesejahteraan dan kemajuan sosial. 196

B. Ketentuan Hukum Nasional sebagai Alasan Pembatalan Keterikatan

terhadap Perjanjian Internasional berdasarkan Pengaturan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Keberadaan Piagam ASEAN sebagai konstitusi dalam kerangka kerjasama ASEAN memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi ASEAN dibandingkan keadaan sebelumnya. Tantangan besar bagi hukum internasional dalam konteks ASEAN adalah hal klasik yang telah menjadi momok dalam hukum internasional, yaitu kemauan politik atau political will dari setiap negara anggota ASEAN untuk melaksanakan ketentuan dari Piagam ASEAN tersebut. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai kasus judicial review Piagam ASEAN yang dipermasalahkan dalam implikasi pemberlakuannya dengan ketentuan hukum nasional Indonesia. Untuk itu pada bagian ini akan dibahas bagaimana hukum internasional mengatur tentang pembatalan perjanjian 195 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 63. 196 Lihat bagian Pembukaan Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Universitas Sumatera Utara internasional yang berkaitan dengan pertentangan terhadap ketentuan hukum nasional sebagai alasannya. Pembatalan suatu perjanjian internasional dapat disebabkan oleh bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum nasional iregularitas formal dan kekeliruan mengenai unsur pokok atau dasar perjanjian iregularitas substansial. 197 VCLT 1969 mengatur tentang empat alasan yang dapat menjadi dasar pembatalan suatu negara dari keterikatannya terhadap suatu perjanjian internasional yang dikaitkan dengan substansi dari perjanjian itu, antara lain pelanggaran terhadap pasal tertentu terkait dengan hukum internal yang berhubungan dengan kompetensi untuk menyepakati perjanjian internasional, error kekeliruan yang diatur dalam Pasal 48, fraud penipuan yang diatur dalam Pasal 49, corruption of a representative of state korupsi perwakilan negara yang diatur dalam Pasal 50, dan kekerasan yang diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 52. 198 Pasal 27 menyatakan: “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.” Berdasarkan VCLT 1969, terdapat dua pasal yang mengatur tentang hubungan antara hukum nasional dengan perjanjian internasional. Pasal tersebut adalah Pasal 27 dan Pasal 46. 199 197 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 149. 198 Ian Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties, Manchester: Manchester University Press, 1984, hlm. 89. 199 Lihat Pasal 27 Vienna Convention on the Law of treaties 1969. Sedangkan Pasal 46 menyatakan: Universitas Sumatera Utara 1. A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. 2. A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. 200 Pasal 27 merupakan usulan dari perwakilan Pakistan yang meminta dengan jelas agar tidak ada satu pihak pun yang akan mengajukan pasal dari konstitusinya atau hukumnya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian internasional. 201 Pasal ini jelas telah memuat prinsip pacta sunt servanda. 202 Pasal ini berkaitan erat dengan hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. 203 200 Ibid., Pasal 46. 201 Ian Sinclair, Op.Cit., hlm. 54. 202 Dalam hukum internasional, prinsip Pacta Sunt Servanda erat kaitannya dengan Pasal 26 Vienna Convention on the Law of treaties 1969 yang menyatakan: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” Suatu persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007, hlm. 335. Suatu pelaksanaan aturan yang berlaku berarti pertama dan utama adalah bahwa perjanjian harus dipenuhi dengan itikad baik. Pada prinsipnya, suatu perjanjian hanya dapat dihentikan ataupun ditanggguhkan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Suatu perjanjian tidak bileh berisi norma-norma yang bertentangan dengan peremptory norms hukum internasional. Lihat di Jan Klabbers, The Concept of Treaty in International Law, Cambridge: Kluwer Law International, 1998, hlm. 38- 39. 203 Taslim Olawale Elias, The Modern Law of Treaties, Leiden: Oceana Publication, 1974, hlm. 45. Pada pasal ini, prinsip ini telah mengatur bahwa pada sebuah perjanjian internasional tidak dapat diajukan pasal dari konstitusi atau hukum nasional dari sebuah negara sebagai suatu alasan atas kegagalan untuk menjalankan kewajiban internasional yang telah disepakati ataupun penarikan diri Universitas Sumatera Utara dari keterikatan pada sebuah perjanjian internasional. Suatu perjanjian internasional haruslah dilakukan dengan itikad baik. 204 Antonio Casesse menyatakan “International law provides that states can invoke the legal procedures of their municipal system a justification for not complying with international rules.” 205 Indonesia pernah mengalami situasi dimana telah meratifikasi sebuah perjanjian internasional namun tidak melaksanakannya. Pada tahun 1981 Indonesia meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau yang dikenal dengan nama New York Convention 1958. Meskipun telah meratifikasinya sejak tahun 1981, namun hingga tahun 1990 perjanjian internasional tersebut tidak dapat dilaksanakan. 206 Ketidakmampuan melaksanakan perjanjian internasional tersebut disebabkan oleh tidak adanya implementing regulation peraturan pelaksana. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, kewajiban Indonesia dalam konvensi tersebut dapat dilaksanakan. Pada dasarnya, apabila suatu negara telah mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional namun tidak melaksanakanna, maka dapat digugat oleh negara lain yang dirugikan atas ketidakpatuhan tersebut. Hal ini dapat terjadi kepada Indonesia pada waktu itu. 207 204 Ibid. 205 Antonio Casesse, International Law, 2 nd ed., UK: Oxford University Press, 2005, hlm. 217 sebagaimana dikutip oleh Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional: Dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang, Jakarta: PT Yarsif Wantampone, 2010, hlm. 79. 206 Ibid., hlm. 80 207 Ibid. Universitas Sumatera Utara Salah satu alasan pembatalan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yaitu adanya hukum internasional yang dilanggar terkait dengan kompetensi dari perwakilan untuk menyatakan kesepakatannya. Hal ini telah jelas diatur dalam Pasal 46 VCLT 1969. 208 a Ketentuan hukum nasional yang dilanggar itu adalah ketentuan tentang wewenang untuk membuat perjanjian; Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 46 VCLT 1969, terdapat tiga faktor yang dapat menjadi dasar bagi suatu negara untuk membatalkan keterikatannya pada suatu perjanjian internasional, antara lain: b Ketentuan yang dilanggar mempunyai arti yang mendasar; c Pelanggaran itu harus benar-benar bukan saja untuk negara yang bersangkutan tetapi juga untuk pihak-pihak lainnya. 209 Pasal 46 VCLT 1969 ini sebenarnya menyangkut hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam suatu negara. Pada satu sisi, dampak dari pasal ini meliputi tindakan eksekutif dalam membuat perjanjian berdampak mengikat bagi negaranya. Sedangkan di sisi yang lain, harus ditentukan anggota eksekutif tertentu yang mana yang diberikan wewenang untuk bertindak atas nama negara. 210 Pada Pasal 27 VCLT 1969 dan Pasal 46 VCLT 1969 terdapat hubungan yang erat, yaitu jika suatu negara mengajukan ketentuan Pasal 27, maka tidak 208 Ian Sinclair, Op.Cit., hlm. 89. 209 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 113. 210 Ibid. Universitas Sumatera Utara lantas mengabaikan Pasal 46 VCLT 1969. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 27 itu sendiri yang menyatakan: “…this rule is without prejudice to article 46.” Kalimat tersebut dapat berarti dengan mengajukan Pasal 27, tidak serta merta dapat mengabaikan atau menyampingkan ketentuan dari Pasal 46. Baik Pasal 27 dan Pasal 46 mengatur tentang hubungan antara hukum nasional suatu negara dengan pemberlakuan perjanjian internasional. Pasal 27 VCLT 1969 telah jelas menyatakan bahwa suatu negara tisdak dapat mengajukan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar untuk tidak melaksanakan kewajiban yang muncul dari keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional. Namun, jika melihat pada ketentuan Pasal 46 VCLT 1969 maka suatu negara bisa saja batal untuk terikat pada suatu perjanjian internasional oleh karena hukum nasionalnya. 211 Namun, berdasarkan Pasal 46 VCLT 1969 perlu diperhatikan lebih lanjut tentang kriteria hukum nasional yang bagaimana yang dapat diajukan untuk dapat membuat suatu negara batal untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Hukum nasional yang dimaksud dalam Pasal 46 VCLT 1969 bukan yang menyangkut dengan kompetensi perwakilan atas pembuatan perjanjian internasional semata, kecuali pelanggarannya tersebut adalah manifest nyata dan terkait dengan fundamental importance aturan dasar dari hukum nasionalnya. 212 211 Ibid., hlm. 83 212 Ibid., hlm. 84 Universitas Sumatera Utara

C. Kasus Judicial Review Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi