disebabkan karena harga yang terdapat dalam penghitungan menggunakan satu harga saja, adanya keterbatasan dalam data di lapangan, dan kurva biaya marginal
yang tidak memiliki bentuk kubik sehingga kurva tidak membentuk U. Kurva marginal cost
dari analisis 40 responden petani tambak polikultur dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Kurva Surplus Produsen Tambak Polikultur Kelurahan Marunda
Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada tingkat harga sebesar Rp 19.300,00 petani memperoleh surplus produsen karena tingkat harga tersebut berada diatas
kurva penawaran dan dibatasi oleh harga yang lebih tinggi dari harga minimalnya. Tingkat harga tersebut diperoleh dari hasil konversi harga udang windu terhadap
harga ikan bandeng hasil produksi tambak polikultur. Harga udang windu terendah sebesar Rp 80.000,00kg setara dengan 5 kali harga ikan bandeng,
dimana harga bandeng per kilogramnya ialah sebesar Rp 15.000,00. Konversi tingkat harga dilakukan dengan membagi rata-rata harga udang windu dengan 5
kali harga ikan bandeng sehingga akan diperoleh tingkat harga sebesar Rp 19.300,00 untuk kurva surplus produsen tambak polikultur. Daerah A-B-C pada
kurva merupakan surplus produsen yang akan diterima oleh petani tambak polikultur per hektar per tahun bila P=MC, harga berpotongan dengan marginal
cost keuntungan maksimum pada titik produksi sebesar 80.569.348 kg yaitu
sebesar Rp 103.085.133.600,00. Surplus produsen hingga titik keuntungan maksimum tersebut dapat dicapai bila petani tambak mengoptimalkan pula biaya
produksinya, baik dari segi teknologi, penambahan peralatan yang digunakan, atau penambahan luas lahan yang dimiliki petani tambak polikultur. Hasil rata-
rata produksi yang diperoleh petani tambak Kelurahan Marunda di lapangan hanya sekitar 2.199 kg per hektar per tahun dengan surplus produsen sebesar Rp
23.649.565,00. Hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah lahan sewa yang dimiliki petani tambak sebagai akibat dari konflik dengan angkatan laut yang
memiliki hampir sebagian besar lahan tambak di Kelurahan Marunda. Rata-rata produksi tersebut diperoleh setelah mengkonversi berat ikan bandeng menjadi
berat udang windu pada tambak polikultur sehingga diperoleh satuan berat yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa dengan produksi sebesar 2.199 kg per hektar
per tahun, petani telah memperoleh surplus produsen karena luas daerah surplusnya berada di atas kurva penawaran dan berada dibawah tingkat harga
namun belum mencapai keuntungan maksimum. Bila petani tambak polikultur Kelurahan Marunda ingin memperoleh surplus produsen yang lebih besar lagi,
petani tambak dapat meningkatkan produksinya hingga mencapai titik keuntungan maksimum P=MC.
Gambar 8 Kurva Surplus Produsen Tambak Monokultur Bandeng Kelurahan Marunda
Pada Gambar 8 petani tambak monokultur ikan bandeng akan memperoleh surplus produsen pada tingkat harga sebesar Rp 17.571,00. Tingkat harga tersebut
diperoleh dari rata-rata harga ikan bandeng hasil produksi tambak monokultur. Daerah D-E-F pada kurva surplus produsen tambak monokultur ikan bandeng
menunjukkan surplus produsen yang akan diperoleh petani tambak per hektar per tahun pada saat P=MC, keuntungan maksimum yaitu sebesar Rp 3.794.952,00
dengan produksi sebesar 455 kg ikan bandeng. Surplus produsen aktual petani tambak monokultur ikan bandeng Kelurahan Marunda ialah sebesar Rp
1.382.629,00 dengan rata-rata produksi sebesar 832 kg ikan bandeng.
Gambar 9 Kurva Surplus Produsen Tambak Monokultur Udang Kelurahan Marunda
Pada Gambar 9 tingkat harga sebesar Rp 86.667,00 akan memberikan keuntungan atau surplus bagi petani monokultur udang windu. Tingkat harga
tersebut diperoleh dari rata-rata harga udang windu hasil produksi monokultur. Daerah G-H-I pada kurva surplus produsen tambak monokultur udang windu
menunjukkan surplus produsen yang akan diterima oleh petani per hektar per tahun pada saat keuntungan maksimum yaitu sebesar Rp 18.396.396,00 dengan
tingkat produksi sebesar 732 kg udang windu. Surplus produsen aktual petani
tambak monokultur udang windu ialah Rp 15.935.370,00 dengan rata-rata produksi sebesar 428 kg udang windu. Hasil tersebut menunjukkan bahwa petani
tambak monokultur udang windu telah memperoleh surplus produsen pada tingkat produksi sebesar 428 kg karena daerah surplus produsennya berada diatas kurva
penawaran dan dibawah tingkat harga namun belum mencapai titik maksimal sehingga perlu ditingkatkan lagi.
6.3 Analisis Dampak Ekonomi Kegiatan Budidaya Tambak Ikan Bandeng dan Udang Windu
Budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu memberikan dampak kepada masyarakat lokal disekitar lokasi budidaya tambak. Dampak yang paling
dirasakan adalah dampak ekonomi usaha budidaya tambak terhadap masyarakat lokal, yang berupa dampak ekonomi langsung direct, dampak tidak langsung
indirect impact, dan dampak lanjutan induced impact.
Gambar 10 Diagram Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi langsung direct yaitu munculnya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, baik sebagai tenaga kerja galian lumpur, tenaga kerja rehab
lahan tambak, tenaga kerja panen, dan pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat. Dampak tidak
langsung indirect impact merupakan aktivitas ekonomi lokal dari pembelanjaan
unit usaha penerima dampak langsung dan dampak lanjutan induced impact yang dapat diartikan sebagai aktivitas ekonomi lanjutan dari tambahan pendapatan
tenaga kerja.
6.3.1 Dampak Ekonomi Langsung Direct Impact
Berdasarkan responden petani tambak ikan bandeng dan udang windu Kelurahan Marunda menurut pengeluaran kegiatan budidaya tambak setahun
terakhir, yang memiliki proporsi terbesar adalah biaya pembelian pakan yakni sebesar 33,14. Hal ini disebabkan mahalnya harga pakan karena sebagian pakan
yang digunakan adalah pakan hasil buatan pabrik. Biaya benih udang juga memiliki proporsi cukup besar yaitu sebesar 12,17. Hal ini disebabkan karena
jumlah benih udang yang dibutuhkan untuk kegiatan budidaya tambak di Kelurahan Marunda tergolong cukup besar sehingga proporsi pengeluaran petani
untuk pembiayaan pembelian benih udang windu juga cukup besar. Hasil analisis ini secara rinci disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22 Total proporsi struktur pengeluaran petani tambak
Komponen Biaya Proporsi
Bubu 0,73
Pompa 3,20
Pintu Air 3,85
Jaring 0,58
Waring 0,23
Rumah Jaga 2,53
Cangkul 0,09
Paralon 0,06
Sewa alat panen 0,69
Upah Tenaga Kerja 3,10
Sewa Lahan 10,10
Benih Bandeng 6,05
Benih Udang 12,17
Pakan 33,14
Obat 4,58
Pupuk 4,38
Bensin 8,46
Tenaga Kerja Panen 6,06
Jumlah 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
Pengeluaran rata-rata petani tambak per hektar adalah Rp 8.448.164,00. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti biaya faktor produksi yang dikeluarkan
oleh petani tambak. Tabel 23 menyajikan komponen pengeluaran petani tambak setiap musim panen ikan bandeng dan udang windu di Kelurahan Marunda
sebesar Rp 632.767.504,00. Pengeluaran petani tambak per musim berdasarkan pada jumlah tambak yang berproduksi yaitu sebanyak 74,9 hektar bila
diasumsikan semua tambak berproduksi. Besarnya arus uang menunjukkan besar dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pengeluaran petani tambak untuk
keperluan tambak. Tabel 23 Komponen pengeluaran petani tambak per musim panen ikan bandeng
dan udang windu
Keterangan Proporsi
Proporsi Pengeluaran Pembudidaya di Kelurahan Marunda
95,26 Proporsi biaya di luar lokasi budidaya
4,74 Rata-rata pengeluaran pembudidaya Rpha
8.448.164,00 Jumlah tambak per musim panen ha
74,9 Pengeluaran pembudidaya Rp
632.767.504,00 Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
Tersedianya usaha tambak ikan bandeng dan udang windu membuka peluang usaha bagi masyarakat lokal lainnya untuk menciptakan usaha yang
berkaitan dengan kebutuhan petani tambak dalam masa produksi. Penerimaan yang diterima oleh unit usaha merupakan pengeluaran budidaya dari petani
tambak yang kemudian digunakan oleh unit usaha untuk menjalankan aktivitas usaha mereka. Komponen biaya utama yang dikeluarkan unit usaha adalah biaya
pembelian input bahan baku. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Proporsi pendapatan dan biaya produksi terhadap penerimaan total unit
usaha terkait di lokasi budidaya ikan bandeng dan udang windu
Keterangan Proporsi
Pendapatan Pemilik 62,59
Kebutuhan Pangan Harian 5,52
Pembelian Inputbahan baku 22,20
Upah tenaga kerja 7,08
Perizinan 0,50
Transportasi 1,10
Biaya Pemeliharaan Alat 1,01
Jumlah 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
Berdasarkan Tabel 24, proporsi paling besar adalah pendapatan pemilik usaha yaitu sebesar 62,59. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan budidaya
ikan bandeng dan udang windu memberikan dampak ekonomi secara langsung kepada perekonomian Kelurahan Marunda khususnya bagi masyarakat yang
memiliki unit usaha.
6.3.2 Dampak Ekonomi Tidak Langsung Indirect Impact
Jumlah unit usaha di bidang perikanan tambak yang dijalankan oleh masyarakat Kelurahan Marunda tidak terlalu banyak, karena kegiatan budidaya
tambak ini terkendala oleh semakin menipisnya lahan tambak yang digunakan untuk kegiatan budidaya akibat konversi lahan menjadi pabrik industri atau real
estate . Peluang kerja terbesar yang tercipta dari kegiatan budidaya tambak ikan
bandeng dan udang adalah saat datangnya musim panen dan pada masa awal persiapan lahan, namun tetap memberikan dampak pada tenaga kerja di hari-hari
biasa. Sebagian besar tenaga kerja bekerja setiap hari dengan jam kerja yang terbatas. Rata-rata jam kerja adalah setengah hari, namun jam kerja dan hari kerja
akan meningkat bila musim panen tiba. Dampak ekonomi tidak langsung dapat diketahui dari proporsi pengeluaran
unit usaha untuk mengupah tenaga kerja. Proporsi upah tenaga kerja hanya sebesar 7,08 Tabel 24. Hal ini karena jam kerja yang dimiliki oleh tenaga
kerja lokal tidak tetap, sehingga pendapatan yang diperoleh pun disesuaikan dengan lamanya jam dan hari mereka bekerja.
6.3.3 Dampak Ekonomi Lanjutan Induced Impact
Kegiatan budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu Kelurahan Marunda tidak hanya memberikan dampak ekonomi langsung maupun tidak
langsung saja, namun juga memberikan dampak lanjutan. Dampak lanjutan ialah suatu pengeluaran yang dilakukan oleh tenaga kerja lokal di Kelurahan Marunda,
sehingga dapat dikatakan bahwa dampak lanjutan merupakan pengeluaran sehari- hari dari tenaga kerja lokal. Sebagian besar tenaga kerja lokal menggunakan
penerimaan mereka untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya yaitu sebesar 49,47 dari total pengeluaran. Proporsi selanjutnya yaitu pengeluaran untuk
kebutuhan sehari-hari kebutuhan rumah tangga selain konsumsi yaitu sebesar
12,75 dari total keseluruhan pengeluaran. Proporsi pengeluaran kebutuhan sehari-hari cukup besar karena tenaga kerja lokal selalu membeli barang lain
diluar konsumsi sehari-hari seperti sabun, pasta gigi, sabun cuci, dan keperluan rumah tangga lainnya. Proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal dapat
dilihat dalam Tabel 25. Tabel 25 Proporsi pengeluaran tenaga kerja lokal budidaya tambak Kelurahan
Marunda
Keterangan Proporsi
Kebutuhan Pangan 49,47
Pendidikan Anak 7,18
Kebutuhan Sehari-hari 12,75
Listrik 4,34
PAM 6,91
Transportasi 9,70
Komunikasi 9,65
Jumlah 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
6.3.4 Nilai Multiplier Effect dari Pengeluaran Petani Tambak
Dampak Ekonomi suatu kegiatan dapat dilihat dari dua tipe pengganda, yaitu Keynesian Local Income Multiplier dan Ratio Income Multiplier. Keynesian
Local Income Multiplier merupakan nilai yang menunjukkan berapa besar
pengeluaran petani tambak berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat
lokal, sedangkan Ratio Income Multiplier ialah nilai yang menunjukkan seberapa
besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran petani tambak yang berdampak pula pada perekonomian lokal META, 2001 dalam Amanda, 2009.
Hasil perhitungan multiplier effect penelitian ini dijelaskan pada Tabel 26 dan untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Lampiran 26.
Tabel 26 Nilai multiplier effect arus uang di lokasi budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu
No. Kriteria
Nilai 1
Keynesian Income Multiplier 0,75
2 Ratio Income Multiplier
Tipe I 1,05
3 Ratio Multiplier
Tipe II 1,10
Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 26 diperoleh nilai Keynesian Income Multiplier
sebesar 0,75 yang memiliki arti setiap terjadi peningkatan pengeluaran petani tambak sebesar 1 rupiah, akan meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal sebesar 0,75 rupiah. Keynesian Income Multiplier ini merupakan dampak ekonomi langsung yang diterima oleh unit usaha dari
pengeluaran petani tambak sebagai hasil dari profit yang diperolehnya. Nilai Keynesian Income Multiplier
berada diantara nol dan satu 0 x 1 yang menunjukkan bahwa daerah tambak Kelurahan Marunda memberikan dampak
ekonomi yang relatif rendah. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe I sebesar 1,05 yang artinya bila terjadi peningkatan sebesar 1 rupiah terhadap penerimaan
pemilik unit usaha, maka akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja lokal sebesar 1,05 rupiah. Dampak ekonomi tidak langsung yang dirasakan oleh tenaga
kerja disekitar tambak, yaitu berupa upah yang diperolehnya. Nilai yang diperoleh dari Ratio Income Multiplier Tipe II sebesar 1,10 yang merupakan nilai
pengganda dari dampak lanjutan. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe II memiliki arti bila terjadi peningkatan sebesar 1 rupiah terhadap pendapatan pemilik usaha,
maka akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,10 rupiah terhadap dampak langsung pendapatan pemilik usaha, dampak tidak langsung tenaga kerja, dan
dampak lanjutan pengeluaran konsumsi pada masyarakat lokal Kelurahan Marunda. Hasil analisis data menunjukan Nilai Ratio Income Multiplier Tipe I
dan Tipe II lebih besar dari satu ≥ 1 , yang artinya daerah tambak Kelurahan Marunda telah memberikan dampak ekonomi yang cukup besar meskipun nilai
yang diperolehnya tidak terlalu besar. Nilai Keynesian Income Multiplier sebesar 0,75 diperoleh dari penjumlahan
pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari pengeluaran kegiatan budidaya tambak D sebesar Rp 431.800.000,00, pendapatan lokal yang
diperoleh secara tidak langsung dari pengeluaran budidaya tambak N sebesar Rp 23.500.000,00, dan pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari
pengeluaran budidaya tambak U sebesar Rp 18.580.000,00 dibagi dengan pengeluaran budidaya tambak itu sendiri E sebesar Rp 632.767.504,00. Nilai
Ratio Income Multiplier Tipe I sebesar 1,05 diperoleh dari penjumlahan
pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari pengeluaran budidaya tambak D dan pendapatan lokal yang diperoleh secara tidak langsung dari
pengeluaran budidaya tambak N dibagi dengan pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung itu sendiri D. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe II sebesar
1,10 diperoleh dari penjumlahan pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari pengeluaran budidaya tambak D, pendapatan lokal yang diperoleh secara
tidak langsung dari pengeluaran budidaya tambak N, dan pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari pengeluaran budidaya tambak U dibagi dengan
pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung D. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
usaha budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu memberikan dampak ekonomi terhadap pendapatan masyarakat setempat serta dapat menimbulkan
sumber-sumber penghasilan baru. Dari hasil analisis data, kegiatan usaha budidaya ikan bandeng dan udang windu telah memberikan dampak yang nyata
secara ekonomi pada masyarakat setempat baik secara langsung direct, tidak langsung indirect, dan lanjutan induced. Namun, nilai multiplier yang
diperoleh dari hasil olahan data memiliki nilai yang relatif rendah, yang menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang terjadi belum optimal. Hal ini dapat
terjadi karena penggunaan input dalam produksi yang belum efisien, prasarana dan sarana yang belum memadai, perubahan kualitas air akibat pencemaran
limbah pabrik yang berada di Kelurahan Marunda, dan faktor lainnya yang kurang mendukung produksi budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu.
6.4 Rekomendasi Hasil Penelitian untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani Tambak dan Masyarakat Lokal Daerah Tambak Kelurahan
Marunda Hasil analisis usaha yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap responden
petani tambak Kelurahan Marunda, menunjukkan bahwa usaha tambak polikultur menghasilkan rataan penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha
tambak monokultur bandeng dan tidak jauh berbeda penerimaannya dengan usaha tambak monokultur udang. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan rataan panen
petani tambak yang memperlihatkan bahwa total hasil panen tambak polikultur lebih besar dibandingkan dengan total hasil panen tambak monokultur bandeng,
yaitu sebesar Rp 59.868.000,00 untuk total hasil panen tambak polikultur dalam satu tahun dan Rp 33.542.857,00 untuk total panen tambak monokultur bandeng
Kelurahan Marunda dalam satu tahun. Total hasil panen tambak polikultur juga tidak jauh berbeda jumlahnya dengan total hasil panen tambak monokultur udang
dalam satu tahun yaitu sebesar Rp 60.516.667,00, meskipun dalam hal ini total penerimaan tambak monokultur udang lebih besar daripada tambak polikultur
Tabel 20. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani tambak polikutur lebih sedikit
dibandingkan dengan biaya produksi petani tambak monokultur udang namun lebih besar bila dibandingkan dengan biaya produksi tambak monokultur
bandeng. Hasil olahan data menunjukkan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani tambak polikultur adalah sebesar Rp 24.532.966,00 Tabel 18, biaya
produksi yang dikeluarkan oleh tambak monokultur bandeng sebesar Rp 19.695.357,00, dan biaya produksi tambak monokultur udang adalah Rp
32.333.809,00 Tabel 19. Bila melihat dari besarnya pendapatan yang diperoleh tambak polikultur
dibandingkan dengan tambak monokultur, menunjukkan bahwa kegiatan usaha tambak polikultur memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani tambak.
Hal ini disebabkan karena dalam tambak polikultur, biaya produksi yang dimiliki oleh petani tambak digunakan untuk memproduksi dua komoditi sekaligus yaitu
ikan bandeng dan udang windu dalam satu lahan tambak. Sehingga biaya produksi yang dikeluarkan pun menjadi lebih sedikit dan lebih efisien
dibandingkan dengan petani tambak monokultur yang hanya memproduksi satu jenis komoditi saja, ikan bandeng atau udang windu.
Setiap bulannya petani tambak polikultur memperoleh pendapatan sekitar Rp 2.944.586,00, petani tambak monokultur bandeng memperoleh pendapatan
sebesar Rp 1.153.958,00 per bulan, dan petani tambak monokultur udang memperoleh pendapatan perbulan sebesar Rp 2.348.571,00 Tabel 21. Bila
merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2014,
menetapkan bahwa Upah Minimum Provinsi UMP DKI Jakarta ialah sebesar Rp 2.441.000,00, maka pendapatan petani tambak polikultur berada di atas Upah
Minimum Provinsi sedangkan pendapatan petani tambak monokultur bandeng dan petani tambak monokultur udang windu masih berada dibawah Upah Minimum
Provinsi. Upah minimum DKI Jakarta tahun 2014 telah dinaikkan dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2013 Upah Minimum provinsi DKI Jakarta ialah
sebesar Rp 2.200.000,00 setara dengan tingkat Kebutuhan Hidup Layak tahun 2013. Penjelasan mengenai pendapatan petani tambak polikultur dan monokultur
terhadap Upah Minimum Provinsi ini disajikan dalam Tabel 27. Tabel 27 Pendapatan petani tambak polikultur dan monokultur terhadap upah
minimum provinsi DKI Jakarta
No Jenis Tambak
Pendapatan Rp
Upah Minimum Provinsi Rp
Selisih Rp Presentase
1
Tambak Polikultur
2.944.586 2.441.000
503.586 21
2
Tambak Monokultur Monokultur Bandeng
Monokultur Udang
Windu 1.153.958
2.348.571 2.441.000
2.441.000 1.287.042
92.429 53
4 Sumber : Hasil Analisis Data, 2014
Pada Tabel 27 selisih antara Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta dengan pendapatan tambak polikultur ialah sebesar Rp 503.586,00 atau sebesar 21 dari
Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta. Pendapatan monokultur bandeng berada di bawah Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta dengan selisih sebesar Rp
1.287.042,00 atau sebesar 53 dari Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta. Pendapatan monokultur udang windu juga berada di bawah Upah Minimum
Provinsi DKI Jakarta dengan selisih sebesar Rp 92.429,00 atau sebesar 4 dari Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta.
Penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa usaha budidaya tambak polikultur memberikan keuntungan lebih besar kepada petani tambak karena
pendapatan yang diperoleh dari hasil kegiatan usaha budidaya tersebut berada diatas Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta. Petani tambak monokultur ikan
bandeng dan petani tambak monokultur udang windu Kelurahan Marunda disarankan untuk mengefisienkan lahan yang dimilikinya dengan menanam dua
jenis komodoti atau melakukan budidaya polikultur, sehingga dengan lahan yang terbatas dapat menghasilkan produksi ikan bandeng dan udang windu yang cukup
besar serta mampu memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Melihat dari hasil analisis surplus produsen, petani tambak Kelurahan
Marunda telah memperoleh surplus produsen dari kegiatan budidaya tambak yang diusahakan. Namun surplus produsen yang diperoleh belum mencapai
keuntungan maksimum, sehingga perlu ditingkatkan kembali hasil produksi tambak agar dapat diperoleh hasil surplus produsen yang lebih besar. Peningkatan
hasil produksi dapat dilakukan dengan cara mengefisiensikan biaya produksi,
antara lain dengan menggunakan teknologi intensif dalam pengelolaan tambak atau melakukan perluasan lahan tambak yang digunakan untuk berproduksi.
Kegiatan usaha budidaya tambak telah terbukti memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari munculnya unit usaha
maupun sektor tenaga kerja lokal di bidang budidaya tambak, namun dari hasil penelitian diketahui bahwa dampak ekonomi yang terjadi masih relatif rendah
sebagai efek dari produksi budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu yang belum mencapai keuntungan maksimum. Dampak ekonomi yang masih tergolong
relatif rendah ini dapat ditingkatkan bila didukung oleh penggunaan input produksi yang lebih efisien serta adanya perbaikan sarana dan prasarana yang
dapat menjadi pemicu timbulnya unit usaha dan tenaga kerja baru yang lebih banyak di sektor budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu.
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan atas permasalahan dalam penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka simpulan yang dapat dirumuskan oleh peneliti
ialah sebagai berikut : 1. Karakteristik usaha budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu dapat
dijelaskan berdasarkan karakteristik sosial dan ekonominya. Usia mayoritas petani tambak berusia 40-49 tahun, pendidikan petani tambak sampai sekolah
dasar, sebagian petani tambak menjadikan kegiatan budidaya tambak sebagai mata pencaharian utama dan sebagian lainnya tidak, sistem budidaya yang
digunakan adalah sistem tradisional dan semi-intensif dengan mayoritas lama usaha polikultur dan monokultur adalah 20-29 tahun.
2. Pendapatan tambak polikultur berada diatas Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan DKI Jakarta yaitu sebesar Rp 2.441.000, sesuai dengan Peraturan
Gubernur DKI Jakarta nomor 123 tahun 2013. Sehingga tingkat kesejahteraan petani tambak polikultur dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan tambak
monokultur, baik monokultur ikan bandeng maupun udang windu. 3. Gambar kurva surplus produsen dalam skripsi belum sesuai dengan kurva teori
biaya. Hal tersebut disebabkan karena harga yang terdapat dalam penghitungan menggunakan satu harga saja, adanya keterbatasan dalam data di
lapangan, dan kurva biaya marginal yang tidak memiliki bentuk kubik sehingga kurva tidak membentuk U.
4. Dampak ekonomi langsung yang diterima oleh pemilik unit usaha sebesar 62,59, dampak ekonomi tidak langsung yang diterima oleh tenaga kerja lokal
adalah sebesar 7,08, dan dampak ekonomi lanjutan yang merupakan pengeluaran tenaga kerja sebesar 49,47. Nilai Keynesian Income Multiplier
sebesar 0,75. Ratio Income Multiplier Tipe I sebesar 1,05 dan Ratio Income Multiplier
Tipe II sebesar 1,10. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu telah memberikan dampak ekonomi
kepada masyarakat lokal meskipun masih tergolong rendah.
7.2 Saran
1. Melihat dari hasil analisis usaha budidaya tambak dimana keuntungan petani tambak polikultur lebih besar dibandingkan dengan keuntungan petani
tambak monokultur serta keuntungan tambak polikultur berada diatas Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta, maka akan lebih baik bila petani tambak
monokultur mengefisienkan lahannya dengan menjalankan usaha budidaya tambak polikultur agar pendapatan yang diperoleh meningkat dan tentunya
kesejahteraan petani tambak akan semakin meningkat pula. 2. Hasil analisis surplus produsen menunjukkan bahwa petani tambak Kelurahan
Marunda telah memperoleh surplus dari kegiatan budidaya tambak, namun belum mencapai hasil yang maksimal. Surplus produsen petani tambak dapat
ditingkatkan dengan cara mengefisiensikan biaya produksi, baik dari segi teknologi dengan menggunakan teknologi intensif dalam pengelolaan
budidaya tambak, atau memperluas lahan tambak yang digunakan untuk berproduksi.
3. Usaha budidaya ikan bandeng dan udang windu yang dijalankan oleh masyarakat Kelurahan Marunda tergolong belum mencapai keuntungan
maksimum, sehingga disarankan pada petani untuk mengefisiensikan faktor- faktor produksi yang digunakannya agar tercapai keuntungan yang
maksimum. 4. Peran dari pemerintah baik dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga tingkat
kota serta peran serta dari lembaga-lembaga terkait dibutuhkan dalam rangka mencapai pengoptimalan produksi budidaya tambak ikan bandeng dan udang
windu. Peran serta yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan tersebut antara lain, pemberian pelatihan dan penyuluhan, serta
bantuan modal bagi para petani tambak di Kelurahan Marunda. 5. Perlu dilakukan pula penelitian lebih lanjut tentang penggunaan input
produksi secara optimal di Kelurahan Marunda, sehingga dalam pengembangannya usaha budidaya tambak ikan bandeng dan udang windu di
daerah tersebut dapat memberikan keuntungan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Solihin. 2005. Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Bandung : Humaniora.
Amanda, M. 2009. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Lokal Studi Kasus Pantai Bandulu Kabupaten
Serang Provinsi Banten [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Anoroga, P. 1992. Dimanika Koperasi. Jakarta ID: Rineka Cipta.
Anshori, E. S. 1983. Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya
. Jakarta ID: Raja Grafindo. Asriyah, W. 2007. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat
Melalui Usaha Tambak Di Desa Bababalan Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah [skripsi]. Yogyakarta ID: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga.
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2014. Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I Tahun 2014. DKI Jakarta
ID: Badan Pusat Statistik. [DKP] Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. 2012. Data Statistik Tahunan
Perikanan DKI Jakarta Tahun 2012. DKI Jakarta ID: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Pembenihan Bandeng. Jakarta ID: Direktorat Jenderal Perikanan.
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. 2010. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah. Jakarta ID: Bank Indonesia.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1980. Shrimps and Prawns of The World. FAO Species Catalogue [Internet]. [28 Oktober 2014]; 125Vol.1:
271. www.ftp.fao.org Fauzi, A. 2010a. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan
Aplikasi . Jakarta ID: Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, A. 2010b. Ekonomi Perikanan : Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta ID: Gramedia Pustaka Utama.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012. Buku Statistik Kelautan Perikanan 2011. Jakarta ID: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2013. Buku Statistik Kelautan Perikanan 2012. Jakarta ID: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Kordi, M. Ghufran H. 2010a. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya – Pintar
Budidaya Ikan di Tambak Secara Intensif . Yogyakarta ID: Lily Publisher.
Kordi, M. Ghufran H. 2010b. Budidaya Udang Laut. Yogyakarta ID: Lily Publisher.
Larastiti, R. 2011. Estimasi Nilai dan Dampak Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Sebagai Kawasan Budidaya Ikan Bandeng di Desa