yang dapat ditemukan di ekosistem tambak antara lain ikan, udang, ketam, reptilia, mamalia, dan burung Martosudarmo, 1992.
2.5 Budidaya Ikan Bandeng
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Kitab Kutaramenawa telah menuliskan undang-undang tentang pengaturan air yang diduga sebagai awal pemeliharaan
bandeng dalam tambak di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa ikan bandeng telah menjadi ikan konsumsi yang penting bagi masyarakat Indonesia sejak
dahulu. Ikan Bandeng menjadi komoditas budidaya yang penting karena selain rasanya yang gurih, harganya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,
tahan terhadap serangan penyakit, serta dapat dibudidayakan di berbagai habitat, yaitu air payau, laut, dan tawar Kordi, 2010a. Gambar ikan bandeng disajikan
pada Gambar 3.
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan, 1994 Gambar 3 Ikan Bandeng
Jenis ikan bandeng tersebar mulai dari pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tuamotu, sebelah timur Tahiti, dan dari Jepang selatan sampai
Australia Utara Soeseno, 1983. Di dunia internasional, bandeng disebut milkfish
. Sementara itu, nama lokal di Indonesia antara lain bandang, bandeng, bolu, ikan bebi, muloh, dan ikan agam Kordi, 2010a.
Menurut Kordi, 2010a, Ikan Bandeng memiliki klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Filum : Chordata Kelas : Pisces
Ordo : Gonorhynchiformes
Famili : Chanidae Genus : Chanos
Spesies : Chanos chanos Keunggulan komoditas ini dibandingkan dengan komoditas lain,
diantaranya indukan memiliki fekunditas yang tinggi dan teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasok nener tidak tergantung dari alam, teknologi
budidaya relatif mudah, bersifat eurihalin antara 0-50 ppt, bersifat herbivora, namun dapat juga menjadi omnivora dan tanggap terhadap pakan buatan, pakan
relatif murah dan tersedia secara komersial, tidak bersifat kanibal sehingga dapat hidup dalam kepadatan tinggi, dan dapat dibudidayakan dengan cara polikutur
bersama komoditas lainnya. Induk bandeng baru dapat memijah setelah mencapai umur 5 tahun dengan
panjang 0,5 – 1,5 m dan berat badan 3 – 12 kg. Jumlah telur yang dihasilkan oleh
induk bandeng sekitar 0,5 – 1,0 juta butir tiap kg berat badan. Pertumbuhan ikan
bandeng pun relatif cepat, yaitu 1,1 – 1,7 bobot badanhari. Pada saat
pendederan ikan bandeng, penambahan bobot perhari berkisar 40 – 50 mg
Sudradjat, 2008. Ikan Bandeng memiliki tingkat konsumsi yang tinggi khusus di daerah
Jawa dan Sulawesi Selatan. Selain sebagai ikan konsumsi, ikan bandeng banyak pula digunakan sebagai umpan hidup dalam usaha penangkapan ikan tuna
Thunnus spp. dan cakalang Katsuwonus pelamis. Ikan Bandeng juga memiliki permintaan yang tinggi untuk keperluan induk Sudradjat, 2008.
Bandeng diproduksi dalam berbagai tipikal ukuran, yaitu untuk umpan dalam penangkapan tuna dan cakalang, konsumsi dalam negeri, ekspor, serta
untuk induk. Tabel 5 Tipikal bandeng menurut permintaan
No. Target Produk
Ukuran g ekor Kebutuhan
Kekurangan 1.
2. 3.
4. Umpan
Konsumsi Ekspor
Induk 100
– 200 300
– 500 500
– 800 4000
200 juta ekor 6 juta ekor
- -
- 639.000 tonthn
- 13.200 ekorthn
Sumber : Atjo 2000 dalam Kordi 2010
2.6 Budidaya Udang Windu
Udang Windu merupakan salah satu jenis udang yang hidup di wilayah perairan Indonesia selain udang putih, udang api-api, udang vanname, udang
rostris, dan udang galah. Jumlah spesies udang laut di Indonesia tergolong beragam. Terdapat setidaknya 11 spesies yang dikategorikan memiliki nilai
ekonomi penting yang tergolong dalam dua marga yakni Penaeus dan Metapenaeus
Kordi, 2010b.
Sumber : Food and Agriculture Organization, 1980 Gambar 4 Udang Windu
Menurut Food and Agriculture Organization FAO, 1980, udang windu memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon Udang windu Penaeus monodon adalah spesies udang laut yang dapat
mencapai ukuran besar sampai 35 cm di alam bebas dan berat sekitar 260 g, sedangkan udang windu yang dipelihara ditambak, panjang tubuhnya hanya
mencapai 20 cm dengan berat sekitar 140 g. Dalam tambak yang dikelola dengan cermat, udang windu dalam waktu 6 bulan dapat mencapai bobot 120 grekor,
mulai dari benur benih udang 2 cm Soeseno, 1983. Spesies udang ini secara zoogeografik hanya tersebar di beberapa kawasan Asia Pasifik seperti Taiwan,
Indonesia, Philipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan perairan di negara- negara produsen udang lain memiliki spesies udang dengan ukuran yang lebih
kecil sehingga usaha budidaya udang windu hanya efisien dibudidayakan disejumlah negara tersebut. Terbatasnya negara pesaing menguntungkan negara-
negara produsen udang windu sehingga dapat memonopoli perdagangan udang berukuran besar Kordi, 2010b.
Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras, berwarna hijau kebiruan dan berloreng-loreng besar. Udang dewasa yang hidup di laut memiliki warna kulit
merah muda kekuningan dengan ujung kaki renang berwarna merah. Sedangkan udang muda memiliki ciri khas totol-totol hijau pada tubuhnya. Habitat hidup
udang windu adalah laut. Saat muda udang windu berada diperairan yang dangkal di tepi pantai bahkan ada yang memasuki muara sungai dan tambak air payau,
sedangkan udang windu dewasa mencari tempat yang dalam di tengah laut. Udang merupakan hewan euryhaline dapat mentolerir kisaran salinitas yang
luas. Udang windu hidup pada salinitas 3-35 ppt. Udang windu tergolong hewan nokturnal
atau hewan yang aktif di malam hari. Udang dikenal juga sebagai hewan kanibalisme, yaitu memiliki sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat
kanibal seringkali muncul pada udang yang tengah lapar. Sifat kanibal ini juga muncul pada udang yang sehat yang tidak sedang berganti kulit. Sasarannya
adalah udang-udang yang tengah berganti kulit. Udang memiliki kerangka luar yang keras dan untuk tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama
dan menggantinya dengan kulit yang baru. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan moulting
atau ecdysis. Selain bersifat euryhaline, udang windu juga bersifat eurythermal, yaitu hewan yang dapat mentolerir perubahan suhu yang luas. Pada
siang hari di musim kemarau suhu mencapai 32 derajat celcius dan pada malam hari suhu menurun menjadi 22 derajat celcius masih dapat ditolerir oleh udang.
Udang windu tergolong hewan pemakan segala omnivor, baik hewan maupun tumbuhan Kordi, 2010b.
2.7 Penelitian Terdahulu
Layli Triana 2010 melakukan penelitian “Peranan Subsektor Perikanan
Tangkap Terhadap Pembangunan Wilayah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat“. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus, data dianalisis menggunakan analisis Location Quotient, Multiplier Effect dan
penentuan sektor unggulan. Salah satu bahasan dalam skripsinya menjelaskan tentang peranan dan dampak sektor perikanan dan kelautan dalam pembangunan
wilayah dengan menganalisis multiplier effect. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa multiplier effect sektor perikanan dan kelautan menunjukan nilai yang
fluktuatif selama periode analisis, dengan nilai rata-rata multiplier effect sebesar 89,89.
Ria Larastiti 2011 melakukan penelitian “Estimasi Nilai dan Dampak Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir sebagai Kawasan Budidaya Ikan
Bandeng Di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon ”. Penelitian
tersebut dianalisis dengan menggunakan fungsi Cobb-Douglas dan uji kriteria Ekonometrika untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
ikan bandeng. Residual Rent digunakan untuk mengestimasi nilai pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kegiatan budidaya ikan bandeng. Analisis dampak
ekonomi kegiatan budidaya ikan bandeng terhadap masyarakat lokal dianalisis dengan Multiplier Effect. Hasil analisis menunjukan unit usaha yang berkembang
di Desa Ambulu memberikan pendapatan bersih perbulan sebesar Rp 2.008.116,00 untuk usaha penjualan benih bandeng, Rp 2.587.500,00 untuk
penjualan pakan, pupuk dan obat-obatan, Rp 660.000,00 untuk usaha pembuatan bubu, Rp 244.450,00 untuk penyewaan alat panen, serta Rp 965.000,00 untuk
usaha bakul tengkulak. Hasil analisis regresi Cobb-Douglas menunjukan bahwa usaha tambak ikan bandeng di Desa Ambulu berada dalam kondisi belum optimal.
Sedangkan Nilai Rent dari total pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kegiatan budidaya ikan bandeng di Desa Ambulu adalah sebesar Rp 2.810.262.630,00
dalam satu tahun. Dampak ekonomi dari kawasan budidaya ikan bandeng di Desa Ambulu dapat dilihat dari nilai Keynesian Income Multiplier adalah 0,60, Ratio
Income Multiplier Tipe I sebesar 1,14 dan Ratio Income Multiplier Tipe II adalah
1,59. Rizki Prabanugraha 2013 melakukan penelitian “Estimasi Nilai dan
Dampak Ekonomi Kawasan Budidaya Tambak Polikultur dengan Keterkaitan Mangrove Studi Kasus Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang”. Penelitian tersebut dianalisis dengan menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
, uji kriteria Ekonometrika, dan Residual Rent untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani tambak polikultur. Analisisi
dampak ekonomi kegiatan budidaya tambak polikultur terhadap masyarakat lokal dianalisis dengan menggunakan Multiplier Effect. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petai tambak yang diduga menggunakan model fungsi Cobb-Douglas adalah, hasil panen ikan
bandeng dan hasil panen udang windu. Nilai rent diperoleh dengan mengasumsikan semua tambak yang berstatus tanah milik petani tambak di Desa
Langensari yang berjumlah 71 hektar berproduksi dan melakukan tiga kali panen dalam satu tahun adalah Rp 1.066.847.630,00. Dampak ekonomi langsung yang
diterima oleh pemilik usaha sebesar 80,30, dampak ekonomi tidak langsung yang diterima oleh tenaga kerja lokal adalah 1,74 dan dampak ekonomi lanjutan
yang merupakan pengeluaran yang dilakukan oleh tenaga kerja lokal sebesar 77,42. Nilai Keynesian Income Multiplier sebesar 0,34. Ratio Income
Multiplier Tipe 1 sebesar 1,02 dan Ratio Income Multiplier Tipe II sebesar 1,25.
Besarnya rata-rata total pendapatan petani tambak polikultur yang tidak terdapat mangrove sebesar Rp 15.693.753,00hatahun, sedangkan rata-rata total
pendapatan petani tambak polikultur yang tidak terdapat mangrove sebesar Rp 10.701.683,00hatahun,
sehingga surplus
pendapatan sebesar
Rp 4.992.070,00hatahun.
Hesti Yunita Wulandari 2014 melakukan penelitian “Optimalisasi Usaha
Budidaya Tambak Ikan Bandeng di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten”. Penelitian ini dianalisis menggunakan 4
metode yaitu fungsi produksi Cobb-Douglas, Analisis Optimasi, Analisis Location Quotinent
dan Analisis Multiplier. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi usaha budidaya
tambak ikan bandeng adalah bibit ikan bandeng, pakan, tenaga kerja pemeliharaan dan luas tambak. Tingkat penggunaan produksi optimal pada usaha budidaya
tambak ikan bandeng di daerah tersebut berdasarkan fungsi Cobb-Douglas adalah bibit ikan bandeng sebesar 519.699 kg per hektar per musim tanam, pakan sebesar
1.157.632 kg per hektar per musim tanam, pupuk sebesar 234.801 kg per hektar