Pengaruh Karakteristik Akseptor Vasektomi Dan Kompensasi Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi Di Kota Tebing Tinggi Tahun 2009

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK AKSEPTOR VASEKTOMI DAN KOMPENSASI TERHADAP TINGKATAN KEPUTUSAN MENGGUNAKAN VASEKTOMI

DI KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2009

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 051000091 ADE YUS MULIANI LUBIS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK AKSEPTOR VASEKTOMI DAN KOMPENSASI TERHADAP TINGKATAN KEPUTUSAN MENGGUNAKAN VASEKTOMI

DI KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

NIM. 051000091 ADE YUS MULIANI LUBIS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

PENGARUH KARAKTERISTIK AKSEPTOR VASEKTOMI DAN KOMPENSASI TERHADAP TINGKATAN KEPUTUSAN MENGGUNAKAN VASEKTOMI

DI KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2009

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

ADE YUS MULIANI LUBIS NIM. 051000091

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripisi Pada Tanggal 30 Desember 2009 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si dr. Heldy BZ, MPH

NIP. 19680320 199308 2 001 NIP. 19520601 198203 1 003 Penguji II Penguji III

Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes dr. Fauzi, SKM NIP. 19730803 199903 2 001 NIP. 140052649

Medan, Maret 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, Dekan,

dr. Ria Masniari Lubis, M.Si NIP. 19531018 198203 2 001


(4)

ABSTRAK

Keikutsertaan pria dalam program KB secara nasional masih rendah. Salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang melaksanakan program KB pria (vasektomi) adalah Kota Tebing Tinggi. Program vasektomi mulai digerakkan di Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2006 dan hingga November 2008 jumlahnya mencapai 412 akseptor. Ada dugaan bahwa keikutsertaan peserta vasektomi tersebut dimobilisasi dengan pemberian kompensasi dari pemerintah sebesar Rp. 150.000,- untuk masing-masing akseptor. Para akseptor vasektomi sebaiknya melakukan vasektomi secara sukarela tanpa dipengaruhi oleh adanya anjuran, bujukan, apalagi paksaan dari berbagai pihak. Keputusan yang dipengaruhi oleh paksaan merupakan keputusan yang bersifat otomatis, tidak didasarkan pada berbagai pertimbangan dan pikiran sehingga lebih memungkinkan terjadi penyesalan di kemudian hari.

Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, dan dukungan istri) terhadap keputusan menggunakan vasektomi di Kota Tebing Tinggi tahun 2009. Populasi penelitian adalah semua akseptor vasektomi, yaitu sebanyak 412 orang yang ada di Kota Tebing Tinggi di mana jumlah sampel sebanyak 80 orang (simple random sampling). Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, dianalisis dengan menggunakan Regresi Linier Berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel karakteristik yang berpengaruh terhadap keputusan menggunakan vasektomi yaitu dukungan istri (p = 0,000) dan kompensasi (p = 0,035). Variabel yang tidak berpengaruh adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak dan pengetahuan (p > 0,05).

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada: 1) pasangan suami-istri untuk berperan aktif dalam memutuskan menggunakan vasektomi, 2) petugas Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) Kota Tebing Tinggi untuk mengadakan sosialisasi melalui penyuluhan yang berkelanjutan kepada kader vasektomi dan calon akseptor vasektomi serta lebih mempertegas syarat-syarat yang harus dipenuhi calon akseptor vasektomi sehingga tepat dalam memilih sasaran vasektomi.


(5)

ABSTRACT

Men’s participation in the national Family Planning programme was still very low. One of city in Province of North Sumatera which implement the male Family Planning program (vasectomy) is Tebing Tinggi City. Vasectomy programme began since 2006 in Tebing Tinggi City and until November 2008 amounted to 412 acceptors. There was hypothesis that the participants of the vasectomy were

mobilized by incentives from the government as many as IRD. 150.000,- for each

acceptor. Vasectomy acceptors should have vasectomy voluntarily without influenced by suggestions, enticements, moreover coercion from other side. Decision influenced by coercion was the automatic decision, not based on other considerations and thought so that was more conducive happened in the future regret.

The type of research was survey with explanatory research that aimed to explain the influence of characteristics of vasectomy acceptors (education, employment, income, number of children, knowledge, and wife’s support) and compensation on degree of decision in using vasectomy in Tebing Tinggi City in 2009. The population were all vasectomy acceptors as many as 412 acceptors in Tebing Tinggi City and the samples were 80 acceptors (simple random sampling). Data were collected by using questionnaire, it analyzed by using Multiple Linier Regression.

The results of research showed that the influence variables on the decision in using vasectomy were wife’s support (p = 0,000) and compensation (p = 0,035). The variables which had no influence were education, employment, number of children and knowledge (p > 0,05).

Based on the result of research, it is suggested to: 1) couple to take an active role in decide in using vasectomy, 2) officer of Women Empowerment and Family Planning (P2KB) in Tebing Tinggi City to conduct socialization through concern counseling for cadre of vasectomy and candidate of vasectomy acceptor and also more affirmative conditions that must be completed by the candidate of vasectomy acceptors so that precisely in selecting vasectomy target.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ade Yus Muliani Lubis

Tempat/Tanggal Lahir : Tebing Tinggi/17 Februari 1987 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 2 dari 3 bersaudara Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Kom. Laut Yos Sudarso No. 5 Tebing Tinggi

Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1992-1993 : TK R. A. Kartini Tebing Tinggi 2. Tahun 1993-1997 : SD R. A. Kartini Tebing Tinggi Tahun 1997-1998 : SD Negeri 167644 Tebing Tinggi Tahun 1998-1999 : SD Negeri 165726 Tebing Tinggi 3. Tahun 1999-2002 : SLTP Negeri 1 Tebing Tinggi

4. Tahun 2002-2005 : SMU Negeri 1 Tebing Tinggi 5. Tahun 2005-2010 : Fakultas Kesehatan Masyarakat


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Karakteristik Akseptor Vasektomi dan Kompensasi Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi di Kota Tebing Tinggi Tahun 2009”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Selama penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir selesainya skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (FKM USU).

2. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Dosen Pembimbing Akademi, Dosen Pembimbing I skripsi sekaligus sebagai Ketua Penguji yang telah banyak meluangkan waktu, tulus dan sabar membimbing, memberikan saran, dukungan, nasihat serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. dr. Heldy BZ, MPH, selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Penguji I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan serta saran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.


(8)

5. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Aman Nasution, MPH, selaku dosen di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

7. Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) Tebing Tinggi dan seluruh staf yang telah membantu penelitian penulis.

8. Direktur Rumah Sakit Kumpulan Pane Tebing Tinggi dan seluruh staf yang telah membantu penelitian penulis.

9. Seluruh Dosen dan staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Ayahanda (Zulfan Wari Lubis) dan Ibunda (Sutiah) yang telah tulus memberikan do’a, kasih sayang, dan dukungan kepada penulis selama ini, serta kakanda (Ulfi) dan adinda (Irham).

11. Sahabat-sahabat terbaikku di FKM (Rahmi, Shintya, Siska, Uswa, Yuni) yang selalu memberi semangat dan bantuan kepada penulis.

12. Abang Sadat dan Kakak Junica yang selalu sabar dan bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran serta motivasi.

13. Teman-teman seperjuangan di Departemen AKK : Tini, Risty, Franky, Umi, Rina, Irfani, Husein, Siska, Elina, Sri. Serta seluruh teman-teman mahasiswa peminatan AKK Imelda, Imron, Nelly, Mitha, Roni, Fitri, Fira, Dhita, Suaidah, Etrie, Aida, Iwit dan lainnya.


(9)

14. Rekan-rekan stambuk 2005 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dukungan, dan do’a selama ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, 30 Desember 2009


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Riwayat Hidup ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Konsep Pengambilan Keputusan ... 9

2.1.1. Pengertian Pengambilan Keputusan ... 9

2.1.2. Tujuan Pengambilan Keputusan ... 10

2.1.3. Komponen Pengambilan Keputusan ... 11

2.1.4. Dasar dan Faktor Pengambilan Keputusan ... 11

2.1.5. Tingkatan Keputusan ... 13

2.1.6. Proses Pengambilan Keputusan ... 14

2.1.7. Teori Pengambilan Keputusan ... 16

2.2. Kompensasi ... 20

2.3. Keluarga Berencana (KB) ... 21

2.3.1. Pengertian, Visi dan Misi Program Keluarga Berencana (KB) ... 21

2.3.2. Tujuan dan Manfaat Keluarga Berencana (KB) ... 22

2.3.3. Alat Kontrasepsi ... 24

2.4. Vasektomi ... 26

2.4.1. Pengertian Vasektomi ... 26

2.4.2. Kelebihan dan Keterbatasan Vasektomi ... 27

2.4.3. Sejarah Perkembangan Vasektomi ... 28

2.4.4. Syarat Sebagai Peserta Vasektomi ... 29

2.5. Penelitian-Penelitian yang Mendukung... 30

2.6. Kerangka Konsep ... 31

2.7. Hipotesis Penelitian ... 32


(11)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.3. Populasi dan Sampel ... 34

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 34

3.4. Teknik Pengambilan Data ... 35

3.4.1. Data Primer ... 35

3.4.2. Data Sekunder ... 35

3.5. Definisi Operasional ... 35

3.6. Aspek Pengukuran ... 38

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 38

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 38

3.7. Teknik Analisa Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

4.1. Gambaran Umum Kota Tebing Tinggi ... 40

4.2. Program Vasektomi di Kota Tebing Tinggi... 41

4.3. Deskripsi Variabel Karakteristik Responden ... 44

4.3.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, dan Jumlah Anak ... 46

4.3.2. Deskripsi Pengetahuan Responden tentang Vasektomi ... 48

4.3.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Istri ... 51

4.3.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Variabel Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 53

4.3.5. Deskripsi Responden Berdasarkan Variabel Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 54

4.4. Hasil Wawancara dan Informasi Tambahan ... 58

4.5. Hasil Uji Statistik Regresi Korelasi Pearson ... 62

4.6. Hasil Uji Analisis Regresi Linier Berganda... 64

BAB V PEMBAHASAN ... 67

5.1. Pengaruh Variabel Pendidikan Tingkatan Terhadap Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 67

5.2. Pengaruh Variabel Pekerjaan Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 68

5.3. Pengaruh Variabel Pendapatan Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 69

5.4. Pengaruh Variabel Jumlah Anak Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 71

5.5. Pengaruh Variabel Pengetahuan Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 74

5.6. Pengaruh Variabel Dukungan Istri Terhadap Tingkatan Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 75


(12)

Keputusan Menggunakan Vasektomi ... 77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Pedoman Jawaban

Lampiran 3. Hasil Pengolahan Statistik Lampiran 4. Surat Izin Penelitian


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Hasil Pelayanan Peserta Medis Operasi Pria (MOP) di

Sumatera Utara dari Tahun 2006 hingga November 2008 ... 3 Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 38 Tabel 4.1. Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Umur ... 45 Tabel 4.2. Distribusi Kategori Istri Responden Berdasarkan Usia

Reproduksi ... 39 Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 46 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak ... 46 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan, Pekerjaan,

Pendapatan, dan Jumlah Anak ... 47 Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi tentang

Vasektomi ... 48 Tabel 4.7. Distribusi Pengetahuan Responden tentang Vasektomi ... 49 Tabel 4.8. Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Pengetahuan

Responden tentang Vasektomi ... 51 Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Istri ... 52 Tabel 4.10. Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Dukungan Istri 53 Tabel 4.11.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Kompensasi ... 54 Tabel 4.12.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Kompensasi yang

Telah Dikategorikan ... 55 Tabel 4.13.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Lamanya Waktu

Berpikir untuk Memutuskan Menggunakan Vasektomi ... 56 Tabel 4.14.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Berbagai


(14)

Tabel 4.15.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Tingkatan Keputusan

Menggunakan Vasektomi ... 58 Tabel 4.16.Distribusi Responden Berdasarkan Suku... 59 Tabel 4.17.Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 60 Tabel 4.18.Distribusi Responden Berdasarkan Pandangan Responden tentang

Vasektomi dari Segi Agama ... 60 Tabel 4.19.Distribusi Responden Berdasarkan Izin dari Istri untuk Melakukan

Vasektomi ... 61 Tabel 4.20.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Terjadinya

Kehamilan Setelah Responden Vasektomi ... 61 Tabel 4.21.Distribusi Kategori Responden Berdasarkan Umur Anak yang

Lahir Setelah Responden Vasektomi ... 62 Tabel 4.22.Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson ... 64 Tabel 4.23.Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Karakteristik

Akseptor Vasektomi dan Kompensasi Terhadap Tingkatan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(16)

ABSTRAK

Keikutsertaan pria dalam program KB secara nasional masih rendah. Salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang melaksanakan program KB pria (vasektomi) adalah Kota Tebing Tinggi. Program vasektomi mulai digerakkan di Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2006 dan hingga November 2008 jumlahnya mencapai 412 akseptor. Ada dugaan bahwa keikutsertaan peserta vasektomi tersebut dimobilisasi dengan pemberian kompensasi dari pemerintah sebesar Rp. 150.000,- untuk masing-masing akseptor. Para akseptor vasektomi sebaiknya melakukan vasektomi secara sukarela tanpa dipengaruhi oleh adanya anjuran, bujukan, apalagi paksaan dari berbagai pihak. Keputusan yang dipengaruhi oleh paksaan merupakan keputusan yang bersifat otomatis, tidak didasarkan pada berbagai pertimbangan dan pikiran sehingga lebih memungkinkan terjadi penyesalan di kemudian hari.

Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, dan dukungan istri) terhadap keputusan menggunakan vasektomi di Kota Tebing Tinggi tahun 2009. Populasi penelitian adalah semua akseptor vasektomi, yaitu sebanyak 412 orang yang ada di Kota Tebing Tinggi di mana jumlah sampel sebanyak 80 orang (simple random sampling). Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, dianalisis dengan menggunakan Regresi Linier Berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel karakteristik yang berpengaruh terhadap keputusan menggunakan vasektomi yaitu dukungan istri (p = 0,000) dan kompensasi (p = 0,035). Variabel yang tidak berpengaruh adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak dan pengetahuan (p > 0,05).

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada: 1) pasangan suami-istri untuk berperan aktif dalam memutuskan menggunakan vasektomi, 2) petugas Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) Kota Tebing Tinggi untuk mengadakan sosialisasi melalui penyuluhan yang berkelanjutan kepada kader vasektomi dan calon akseptor vasektomi serta lebih mempertegas syarat-syarat yang harus dipenuhi calon akseptor vasektomi sehingga tepat dalam memilih sasaran vasektomi.


(17)

ABSTRACT

Men’s participation in the national Family Planning programme was still very low. One of city in Province of North Sumatera which implement the male Family Planning program (vasectomy) is Tebing Tinggi City. Vasectomy programme began since 2006 in Tebing Tinggi City and until November 2008 amounted to 412 acceptors. There was hypothesis that the participants of the vasectomy were

mobilized by incentives from the government as many as IRD. 150.000,- for each

acceptor. Vasectomy acceptors should have vasectomy voluntarily without influenced by suggestions, enticements, moreover coercion from other side. Decision influenced by coercion was the automatic decision, not based on other considerations and thought so that was more conducive happened in the future regret.

The type of research was survey with explanatory research that aimed to explain the influence of characteristics of vasectomy acceptors (education, employment, income, number of children, knowledge, and wife’s support) and compensation on degree of decision in using vasectomy in Tebing Tinggi City in 2009. The population were all vasectomy acceptors as many as 412 acceptors in Tebing Tinggi City and the samples were 80 acceptors (simple random sampling). Data were collected by using questionnaire, it analyzed by using Multiple Linier Regression.

The results of research showed that the influence variables on the decision in using vasectomy were wife’s support (p = 0,000) and compensation (p = 0,035). The variables which had no influence were education, employment, number of children and knowledge (p > 0,05).

Based on the result of research, it is suggested to: 1) couple to take an active role in decide in using vasectomy, 2) officer of Women Empowerment and Family Planning (P2KB) in Tebing Tinggi City to conduct socialization through concern counseling for cadre of vasectomy and candidate of vasectomy acceptor and also more affirmative conditions that must be completed by the candidate of vasectomy acceptors so that precisely in selecting vasectomy target.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keluarga merupakan basis pembangunan bangsa. Apabila kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera, yang harus kita lakukan pertama kali adalah membangun kesejahteraan keluarga itu sendiri. Membangun kesejahteraan keluarga bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah, tapi juga tugas dan tanggung jawab masyarakat. Salah satu sasaran pembangunan keluarga sejahtera adalah menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mendorong peningkatan kesejahteraan keluarga, baik dalam bidang Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan, pendidikan, agama, maupun kelembagaan keluarga sebagai basis pembinaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Program Keluarga Berencana (KB) Nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang sangat penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1992 Pasal 1 ayat 12 menyatakan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan “Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera” (BKKBN, 2008).

Selama ini yang ada dalam pemikiran masyarakat bahwa ber-KB merupakan masalah wanita/ibu saja. Padahal disadari banyak keluhan dari para ibu yang tidak cocok menggunakan salah satu alat kontrasepsi yang berdampak gemuk, pusing dan


(19)

aktif dari pasangan-pasangan tersebut baik istri maupun suami (Humas Pemkab Tulungagung, 2008).

Keikutsertaan suami/pria dalam program KB di Indonesia sangat diperlukan karena biasanya suami lebih dominan sebagai penentu kebijaksanaan keluarga. Berbagai cara KB yang melibatkan pria adalah : pantang berkala, senggama terputus, kondom dan vasektomi. Untuk pasangan suami-istri yang ingin menunda atau menjarangkan kehamilan maka cara pantang berkala, senggama terputus dan kondom cukup efektif oleh karena meskipun gagal, anak tetap masih diharapkan sedangkan untuk yang tidak menginginkan kehamilan lagi maka cara vasektomi adalah yang paling baik. Vasektomi adalah cara KB yang mantap di mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat melakukan hubungan suami istri (Tjokronegoro, 2003).

Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, keikutsertaan pria dalam program KB nasional masih rendah yaitu baru mencapai 1,1% dengan rincian : kondom 0,7% dan vasektomi 0,4%. Pada tahun 2003 partisipasi pria dalam ber-KB semakin meningkat walaupun tidak secara signifikan yaitu sebesar 1,3%, terdiri atas 0,7% dengan kondom, dan sisanya yang 0,6% dengan vasektomi (BKKBN, 2007). Di Sumatera Utara, keikutsertaan pria dalam ber-KB masih jauh lebih rendah dari angka nasional di atas terutama jika dilihat dari jumlah akseptor vasektomi yang hanya mencapai 0,19% dari tahun 2006 hingga November 2008 yaitu sebanyak 3.766 orang dari 2.017.229 PUS (BKKBN, 2008).


(20)

Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengenai hasil pelayanan peserta Medis Operasi Pria (MOP) di Sumatera Utara mulai dari tahun 2006 hingga November 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut :

Tabel 1.1. Hasil Pelayanan Peserta Medis Operasi Pria (MOP) di Sumatera Utara dari Tahun 2006 hingga November 2008

No Kabupaten/Kota Metode Kontrasepsi

MOP PUS Akseptor KB %

1. Deli Serdang 25 198.348 0,01

2. Langkat 108 114.444 0,09

3. Karo 10 36.944 0,03

4. Simalungun 512 94.905 0,54

5. Asahan 1161 74.578 1,56

6. Labuhan Batu 23 98.068 0,02

7. Tapanuli Tengah 6 27.804 0,02

8. Tapanuli selatan 1 22.740 0,00

9. Tapanuli Utara 143 18.961 0,75

10 Nias 0 34.885 0,00

11. Dairi 211 18.933 1,11

12. Medan 36 198.614 0,02

13. Pematang Siantar 3 23.324 0,01

14. Tanjung Balai 18 15.615 0,12

15. Binjai 28 26.509 0,11

16. Tebing Tinggi 412 17.420 2,37

17. Sibolga 35 9.061 0,39

18. Madina 3 38.647 0,01

19. Toba Samosir 10 10.353 0,10

20. Padang Sidempuan 0 19.090 0,00

21. Hbg Hasundutan 124 11.962 1,04

22. Pak-Pak Barat 202 2.818 7,17

23. Nias Selatan 0 34.096 0,00

24. Samosir 19 9.967 0,19

25. Serdang Bedagai 3 78.691 0,00

26. Batubara 668 43.840 1,52

27. Padang Lawas Utara 0 18.494 0,00

28. Padang Lawas 5 16.970 0,03

JUMLAH 3766 1.316.081 0,29


(21)

Salah satu kota di Sumut yang melaksanakan program KB pria adalah Kota Tebing Tinggi. Menurut BKKBN (2008), Tebing Tinggi memiliki jumlah akseptor vasektomi mulai dari tahun 2006 hingga November 2008 sebanyak 412 orang yang tersebar di lima kecamatan yaitu : Kecamatan Padang Hulu, Rambutan, Padang Hilir, Tebing Tinggi Kota, dan Bajenis. Pada bulan November 2008 Walikota Tebing Tinggi memperoleh penghargaan dari Presiden Republik Indonesia berupa Satya Lencana Wira Karya sebagai peringkat ke-2 setelah Pak-Pak Barat dalam rangka dilaksanakannya “Program Peningkatan Partisipasi Pria dalam Ber-KB di Beberapa Daerah di Sumut”.

Pelaksanaan program KB Nasional di Tebing Tinggi lebih terarah dan menunjukkan hasil yang menggembirakan sejak ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Tebing Tinggi No. 12 tahun 2006 tentang pembentukan susunan organisasi Kantor Pemberdayaan Perempuan dan KB (P2KB) serta tentang penjabaran tugas dan P2KB di mana pencapaian akseptor aktif tahun 2007 di Tebing Tinggi sebanyak 16.577 orang (71,75% dari 23.105 PUS), sedangkan pencapaian akseptor baru sebanyak 3.367 orang (BPS, 2008). Menurut BKKBN (2008), pencapaian akseptor aktif dari Januari hingga November 2008 di Tebing Tinggi sebanyak 17.420 orang (71,75% dari 24.278 PUS), sedangkan pencapaian akseptor baru sebanyak 4.283 orang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No. 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, indikator keberhasilan KB dapat dilihat dari cakupan


(22)

berhasil, keberhasilan ini dapat dilihat dari cakupan peserta KB aktif dari tahun 2006 hingga November 2008 telah melebihi target yaitu sebesar 71,75%. Keberhasilan pelaksanaan KB sangat ditentukan oleh komitmen politis dan operasional yang kuat, mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat lini lapangan, Advokasi dan KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) yang luas dan merata, serta peran serta masyarakat yang terpelihara dengan baik.

Sesuai dengan PP 38 dan PP 41 tahun 2007, di mana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam mengakomodir perbedaan geografis dan budaya yang beranekaragam di setiap daerah di Indonesia demi percepatan Tujuan Nasional dalam peningkatan pembangunan sehingga tercapainya kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah Kota Tebing Tinggi membentuk Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana di mana salah satu kebijakannya adalah upaya untuk meningkatan partisipasi pria dalam program KB kontap pria. Kebijakan tersebut antara lain dengan memberikan insentif Rp. 150.000 kepada masing-masing akseptor vasektomi. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pada umumnya para akseptor vasektomi di Tebing Tinggi berprofesi sebagai penarik beca, buruh bangunan, petugas parkir, pedagang keliling dan kepala lingkungan. Mereka umumnya berasal dari keluarga pra-sejahtera yang memiliki anak lebih dari 3 orang. Jenis pekerjaan tersebut merupakan jumlah terbanyak dari para akseptor vasektomi di Tebing Tinggi (Yustono, 2007).


(23)

namun ada dugaan bahwa peserta vasektomi dimobilisasi dengan adanya pemberian insentif bagi mereka yang melakukan vasektomi secara sukarela oleh pemerintah sebesar Rp. 150.000. Dugaan ini didukung oleh survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 7 orang akseptor vasektomi bahwa pada umumnya alasan mereka memutuskan menggunakan vasektomi adalah karena adanya insentif tersebut. Menurut Ali dalam Anfasa (1982), para akseptor vasektomi sebaiknya melakukan vasektomi secara sukarela tanpa dipengaruhi oleh adanya anjuran, bujukan, apalagi paksaan dari berbagai pihak. Keputusan yang dipengaruhi oleh paksaan merupakan keputusan yang bersifat otomatis. Berdasarkan teori keputusan yang diungkapkan oleh Irwin D. Bross dalam Syamsi (1995) bahwa keputusan otomatis merupakan keputusan yang berdasarkan gerak refleks serta tidak didasarkan pada berbagai pertimbangan dan pikiran sehingga lebih memungkinkan terjadi penyesalan di kemudian hari.

Sebuah penelitian mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit wilayah Medan antara lain : tingkat pengetahuan, tingkat kesehatan fisik, serta pengaruh istri, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh yaitu jumlah anak, lama menikah dan sifat inovasi (Simanjuntak, 2007). Hasil penelitian lain di desa Kaligentong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali (1993) menyimpulkan bahwa karakteristik akseptor vasektomi yang berkaitan dengan penerimaan vasektomi antara lain : pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, jumlah anak, sedangkan karakteristik yang tidak berpengaruh adalah umur dan agama (Rahayuningtyas, 2009).


(24)

Pada penelitian lain yang dilakukan di Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten (2001), faktor kerelaan istri, pendapat suami tentang vasektomi, serta status sosial ekonomi suami di masyarakat memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi. Faktor pendidikan dan keharmonisan keluarga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi (Ambarwati, 2009). Beberapa alasan yang mendorong suami untuk menggunakan kontrasepsi vasektomi di antaranya adalah karena alasan kesadaran, ekonomi, kesehatan, prosedural, keamanan, dan alasan psikologis (Ruthanti, 2008).

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi di kota Tebing Tinggi. Penelitian tidak dilakukan di Pak-Pak Barat sebagai Kab/Kota yang memiliki peminat vasektomi terbesar sejak tahun 2006 hingga November 2008 di Sumut disebabkan berbagai keterbatasan yang dimiliki penulis baik dalam hal waktu maupun biaya di mana penulis merupakan salah satu warga Kota Tebing Tinggi.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi di Kota Tebing Tinggi tahun 2009.


(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan masukan kepada petugas KB agar dapat meningkatkan peran serta masyarakat khususnya kaum pria (bapak) dalam menggunakan metode kontrasepsi vasektomi sebagai program KB.

2. Menambah pengetahuan penulis dalam penelitian lapangan dan dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengambilan Keputusan 2.1.1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Davis, keputusan adalah hasil proses pemikiran yang merupakan pemilihan satu di antara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus menjawab pertanyaan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan yang baik pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat rencana yang baik pula.

Menurut Handoko yang dikutip oleh Dahlan (2005), mengambil keputusan merupakan bagian dari proses berpikir ketika seseorang mempertimbangkan, memahami, mengingat, dan menalar tentang segala sesuatu. Sesuatu yang diputuskan akan dilakukan setelah menilai suatu keadaan, kenyataan atau peristiwa yang sedang dihadapi.

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Terry, pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih. Menurut Siagian pada hakekatnya pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.


(27)

Menurut Yustina (2007) yang mengutip pendapat Eilon, dalam pengambilan keputusan, orang yang bertindak sebagai pengambil keputusan melakukan perbandingan atas beberapa alternatif, termasuk melakukan evaluasi terhadap manfaatnya. Kebanyakan dari pengambilan keputusan yang dilakukan individu berhubungan dengan penyelesaian masalah pribadi, pekerjaan, atau masalah sosial.

Menurut Robbins (2001), pengambilan keputusan adalah membuat pilihan dari antara dua alternatif atau lebih. Semua keputusan menuntut penafsiran dan evaluasi terhadap informasi. Data dan informasi diterima dari berbagai sumber, dan data itu perlu disaring, diproses dan ditafsirkan.

Pengambilan keputusan merupakan pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, keputusan merupakan suatu yang bersifat futuristik, artinya menyangkut hari depan, masa mendatang, yang efeknya akan berlangsung cukup lama. Keputusan diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya terlebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif-alternatif yang disajikan (Syamsi, 1995).

2.1.2. Tujuan Pengambilan keputusan

Tujuan pengambilan keputusan dapat bersifat tunggal, dalam arti bahwa sekali diputuskan, tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain. Tujuan pengambilan keputusan dapat juga bersifat ganda, dalam arti bahwa satu keputusan yang diambil


(28)

sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang sifatnya kontradiktif ataupun yang tidak kontradiktif (Syamsi, 1995).

2.1.3. Komponen Pengambilan Keputusan

Menurut Syamsi (1995) yang mengutip pendapat Martin Star, menyebutkan unsur-unsur atau komponen pembuatan suatu keputusan antara lain:

1. Tujuan harus jelas dalam pengambilan keputusan.

2. Diperlukan identifikasi alternatif yang nantinya perlu dipilih salah satu yang dianggap paling tepat.

3. Memperhitungkan faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya. 4. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai.

Keempat komponen inilah yang harus diperhatikan sehingga dalam pengambilan keputusan dapat lebih terarah.

2.1.4. Dasar dan Faktor Pengambilan Keputusan

Dasar dan teknik pengambilan keputusan menurut Terry yang dikutip oleh Syamsi (1995) adalah sebagai berikut :

1) Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi

Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan jelas lebih bersifat subjektif sehingga mudah terkena sugesti, pengaruh luar, rasa lebih suka yang satu daripada yang lain (preferences), dan faktor kejiwaan lainnya.


(29)

Keputusan yang bersifat rasional banyak berkaitan dengan pertimbangan dari segi daya guna. Masalah-masalah yang dihadapinya juga merupakan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan yang rasional.

3) Pengambilan keputusan berdasarkan fakta

Sebaiknya pengambilan keputusan itu didukung oleh sejumlah fakta yang memadai. Istilah fakta perlu dikaitkan dengan istilah data dan informasi. Kumpulan fakta yang telah dikelompokkan secara sistematis dinamakan data, sedangkan data itu merupakan bahan mentahnya informasi. Dengan demikian, data harus diolah terlebih dahulu menjadi informasi, kemudian informasi inilah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

4) Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman

Pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan memprakirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecahan masalah.

5) Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang

Keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan organisasi dalam rangka menjalankan kegiatan demi tercapainya tujuan organisasi dengan berhasilguna dan berdayaguna.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan menurut Terry yang dikutip oleh Syamsi (1995) adalah sebagai berikut:


(30)

1. Hal-hal yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang emosional maupun yang rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2. Setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan. 3. Setiap keputusan janganlah hanya berorientasi pada kepentingan pribadi saja. 4. Jarang sekali ada satu pilihan yang memuaskan, oleh karena itu buatlah selalu

alternatif-alternatif tandingan.

5. Pengambilan keputusan itu merupakan tindakan mental yang kemudian harus diubah menjadi tindakan fisik.

6. Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama. 7. Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil yang

lebih baik.

8. Setiap keputusan itu merupakan tindakan permulaan dari serangkaian mata rantai berikutnya.

2.1.5. Tingkatan Keputusan

Ada tiga tingkatan keputusan menurut Irwin D. Bross (Syamsi, 1995) yaitu : 1. Keputusan otomatis, keputusan yang berdasarkan gerak refleks atau insting.

Keputusan otomatis dibuat dengan sangat sederhana. Pada dasarnya keputusan otomatis merupakan keputusan yang bersifat biologis atau fisis. Pada umumnya keputusan ini tidak berubah atau akan disempurnakan kembali karena bukan berdasarkan pikiran atau otak.

2. Keputusan memoris, keputusan yang mendasari diri pada kemampuan mengingat akan wewenang dan tugas yang diberikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal


(31)

ini, pengingatan kembali (memori) sangat dibutuhkan untuk kelancaran pengambilan keputusan.

3. Keputusan kognitif, keputusan yang pembuatannya berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ini akan berhasil apabila pembuat keputusan itu memperhatikan faktor lingkungan, pengetahuan dan pengalaman.

Brinckloe yang dikutip oleh Yustina (2007) menawarkan empat tingkatan keputusan yaitu :

1. Keputusan otomatis, keputusan yang dibuat dengan sangat sederhana.

2. Keputusan berdasarkan informasi yang diharapkan, yaitu keputusan yang sedikit lebih kompeks karena informasi yang ada harus lebih dahulu dipelajari baru keputusan dibuat.

3. Keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu keputusan yang lebih kompleks lagi karena untuk membuat keputusan harus banyak informasi yang dikumpulkan dan dianalisis.

4. Keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda, yaitu keputusan yang paling kompleks karena setiap informasi yang ada terdapat ketidakpastian, ruang lingkupnya luas, dan mempunyai dampak atau risiko yang besar dari suatu keputusan.

2.1.6. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan itu meliput i: 1. Identifikasi masalah.


(32)

3. Membuat alternatif kebijakan yang nantinya akan dijadikan alternatif-alternatif keputusan, dengan memperhatikan situasi lingkungan.

4. Memilih salah satu alternatif-alternatif terbaik untuk dijadikan keputusan. 5. Melaksanakan keputusan.

6. Memantau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan keputusan (Syamsi, 1995).

Menurut Handoko yang dikutip oleh Dahlan (2005), proses pengambilan keputusan individu atas jasa-jasa profesional berbeda-beda, tergantung dari jenis keputusan, partisipan dalam pengambilan keputusan, jenis jasa, dan beberapa faktor lainnya. Dalam upaya mengurangi ketidakpastian yang dialami dalam pembelian jasa-jasa profesional, orang cenderung untuk mencari informasi seluas-luasnya dari orang lain sebelum mengambil keputusan.

Mengacu pada pendapat Lila Engberg yang dikutip oleh Utari (2005), pengambilan keputusan terjadi apabila orang memilki sebuah pilihan di antara sejumlah alternatif. Jika tidak ada pilihan yang dipersepsikan dan dibawa ke kesadaran maka tidak ada keputusan yang akan dibuat. Dengan demikian langkah pertama yang mengarahkan kepada pengambilan keputusan adalah adanya kebutuhan untuk membuat keputusan. Di dalam banyak situasi keputusan, tanggung jawab untuk memilih antara alternatif terletak pada per orangan (individual) yang mengambil keputusan untuk kepentingannya sendiri. Pada situasi lainnya keputusan mungkin diambil oleh beberapa orang bersama-sama bertindak sebagai anggota suatu kelompok. Alasan-alasan serta faktor-faktor yang mendasari terjadinya proses pengambilan keputusan merupakan bagian terpenting dari kajian pengambilan


(33)

2.1.7. Teori Pengambilan Keputusan

Ada dua teori pengambilan keputusan (Syamsi, 1995) yaitu:

1. Teori Klasik

Menurut teori klasik, pengambilan keputusan haruslah bersifat rasional. Keputusan diambil dalam situasi yang serba pasti, pengambil keputusan harus memiliki informasi sepenuhnya dan menguasai permasalahannya. Teori pengambilan keputusan ini mendasarkan diri pada asumsi dari orang yang mempunyai pikiran ekonomi rasional untuk mendapatkan hasil atau manfaat yang semaksimal mungkin. Segala sesuatunya itu mengarah pada kepastian.

Kritik terhadap teori ini adalah pengambilan keputusan harus berorientasi pada ’apa yang seharusnya dilakukan’ bukan pada ’apa yang ia ingin lakukan’. Kritik berikutnya adalah kita ini tidak selalu serba mengetahui dengan pasti; ada hal-hal yang belum kita ketahui dengan pasti.

2. Teori Perilaku

Teori perilaku (behavioral theory) disebut juga administrative man theory. Teori ini mendasarkan diri pada keterbatasan kemampuan pimpinan untuk berpikir rasional penuh dalam menangani masalah. Dari informasi yang ada dan beberapa alternatif yang tersedia, maka apabila pimpinan telah merasa puas pada saru alternatif pemecahan masalah, maka alternatif itulah yang dipakainya (Syamsi, 1995).

Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003), dalam memutuskan untuk mengadopsi suatu perilaku baru, di dalam diri seseorang tersebut terjadi proses sebagai berikut:


(34)

2. Minat (interest), orang mulai menaruh minat terhadap stimulus dan mencari informasi lebih banyak.

3. Penilaian (Evaluation), orang mengadakan penilaian terhadap stimulus dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang, dan menentukan mencoba atau tidak.

4. Mencoba (Trial), orang mulai mencoba menerapkan ide-ide baru sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Penerimaan (Adoption), orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Menurut Rogers, perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Green (Yustina, 2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor pokok:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku.


(35)

2. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors), yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. 3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni

faktor yang merupakan pembentukan perilaku yang berasal dari orang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman, guru atau petugas kesehatan.

Menurut Notoatmodjo dan Sarwono (Sarwono, 1997), upaya mengubah perilaku dapat digolongkan menjadi tiga cara yaitu:

1. Menggunakan kekuasaan atau kekuatan. 2. Memberikan informasi.

3. Diskusi dan partisipasi.

Skiner dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons yaitu:

1. Respondents respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tetap.


(36)

2. Operant respons atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.

Sebagian besar perilaku manusia adalah operant respons. Oleh sebab itu untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut:

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforce berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang


(37)

ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

4.

2.2. Kompensasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), kompensasi adalah ganti rugi atau pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain atau imbalan berupa uang maupun bukan uang yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.

Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Notoatmodjo, 1998). Tujuan pemberian kompensasi adalah: 1. Menghargai prestasi kerja

2. Menjamin keadilan

3. Mempertahankan karyawan

4. Memperoleh karyawan yang bermutu 5. Pengendalian biaya

6. Memenuhi peraturan-peraturan

Proses kompensasi adalah suatu jaringan berbagai sub proses yang kompleks dengan maksud untuk memberikan balas jasa kepada karyawan bagi pelaksanaan pekerjaan dan untuk memotivasi mereka agar mencapai tingkat prestasi kerja yang diinginkan (Handoko, 2001).

Faktor-faktor yang memengaruhi sistem kompensasi antara lain: 1. Produktivitas


(38)

3. Kesediaan untuk membayar

4. Suplai dan permintaan tenaga kerja 5. Organisasi karyawan

6. Berbagai peraturan dan perundang-undangan

Pada umumnya ada tiga cara atau metode pemberian kompensasi (Notoatmodjo, 1998) antara lain:

1. Pemberian kompensasi berdasarkan satu jangka waktu tertentu.

2. Pembayaran upah atau gaji berdasarkan satuan produksi yang dihasilkan. 3. Kombinasi dari kedua cara tersebut.

2.3. Keluarga Berencana (KB)

2.3.1. Pengertian, Visi dan Misi Program Keluarga Berencana (KB)

Paradigma baru Keluarga Berencana (KB) Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).

Paradigma baru program Keluarga Berencana ini, menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6 (enam) misi, yaitu:


(39)

2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi.

5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender melalui program Keluarga Berencana.

6. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan usia lanjut (Saifuddin, 2003).

2.3.2. Tujuan dan Manfaat Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana bertujuan untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Mochtar, 1998).

Adapun manfaat dari program KB adalah : 1. Untuk kepentingan orang tua

Orang tua (ayah dan ibu) yang paling bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya (anak-anak), karena itu orang tua haruslah sadar akan batas-batas kemampuannya selama masa baktinya dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya sampai menjadi orang yang berguna. Walaupun manusia dapat mengharapkan pertolongan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka sebagai makhluk insan diberi akal, ilmu dan pikiran sehat, karena itu mereka wajib


(40)

memakai akal, ilmu dan pikiran sehat tersebut untuk mendapatkan jalan dan hidup yang sehat pula supaya jangan berbuat lebih kemampuan yang ada. Dengan demikian terciptalah keselamatan keluarga dan terbentuklah keluarga yang bahagia.

2. Untuk kepentingan anak-anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang harus dijunjung tinggi sebagai pemberian yang tidak ternilai harganya. Maka mengatur kelahiran merupakan salah satu cara dalam menghargai kepentingan anak. Dengan demikian orang tua mempunyai persiapan yang matang agar dapat memberikan kehidupan yang baik kepada anak-anaknya agar mereka kelak menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi orang tua dan bangsa.

3. Untuk kepentingan masyarakat

Keluarga merupakan kumpulan terpadu dari satu komunitas atau masyarakat. Kepentingan masyarakat meminta agar setiap orang tua sebagai kepala keluarga memelihara dengan baik keluarga dan anak-anaknya agar dapat membantu terlaksananya kesejahteraan seluruh komunitas sehingga secara makro telah ikut memelihara keseimbangan penduduk dan pelaksanaan pembangunan nasional. Tanpa bantuan kesungguhan keluarga-keluarga dalam menekan pertambahan penduduk dengan cepat, pembangunan tidak akan berarti. Orang tua yang menentukan jumlah anak yang ingin mereka miliki sesuai dengan kemampuanya dan tidak melupakan tanggung jawab anak-anak yang telah dilahirkan, tanggung jawab masyarakat dan Negara di mana mereka hidup dan berbakti (Mochtar, 1998).


(41)

2.3.3. Alat kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma (Wiknjosastro, 1999). Menurut Siswosudarmo (2001), pada dasarnya prinsip kerja kontrasepsi adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma).

Ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu : 1. Kontrasepsi Sederhana

Kontrasepsi sederhana terbagi lagi atas kontrasepsi tanpa alat dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup, cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).

2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif

Cara kontrasepsi ini antara lain : pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan, implant, serta metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada wanita) dan vasektomi (sterilisasi pada pria) (Wiknjosastro, 1999).


(42)

1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.

2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang memengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan lain-lain.

3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.

4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain (Siswosudarmo, 2001).

Tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut :

1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.

2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah terjadinya kehamilan.

3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat.


(43)

5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya (Saifuddin, 2003).

2.4. Vasektomi

2.4.1. Pengertian Vasektomi

Vasektomi berasal dari perkataan : (a) vas = vas deferen = saluran mani = saluran yang menghubungkan testis dengan urethra dan menjadi saluran untuk transpor sel mani, (b) ektomi = memotong dan mengangkat. Jadi vasektomi dalam arti yang murni berarti memotong dan mengangkat saluran vas deferens kanan dan kiri. Akan tetapi, yang dimaksud dengan vasektomi untuk KB adalah bilateral partial vasektomi, yaitu memotong sebagian kecil vas deferen kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa) (Anfasa, 1982).

Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi. Vasektomi merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas di mana fungsi reproduksi merupakan ancaman atau gangguan terhadap kesehatan pria dan pasangannya serta melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Saifuddin, 2003). Menurut Tjokronegoro (2003), vasektomi adalah cara KB yang mantap di mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat bersetubuh.


(44)

Vasektomi adalah satu-satunya cara sterilisasi pria yang diterima sampai saat ini. Vasektomi harus dibedakan dengan kebiri (pengambilan kedua testes) karena dengan vasektomi hanya perjalanan sperma dari testis ke dunia luar yang diputus, tepatnya dengan memotong dan mengambil sebagian dari vas deferens. Seseorang yang telah menjalani vasektomi masih mengeluarkan semen tetapi bebas sel sperma (spermatozoa) dan masih memiliki keinginan berhubungan seksual (libido) secara normal, bahkan potensi dan kepuasannya pun tidak berubah. Vasektomi merupakan operasi kecil yang cukup dilakukan dengan anestesia lokal.

Apabila akseptor vasektomi ingin memiliki anak lagi, maka dapat dilakukan rekanalisasi, namun rekanalisasi tidak boleh dijadikan sebagai promosi atau daya tarik bagi akseptor dalam memilih vasektomi. Rekanalisasi adalah tersambungnya kembali saluran reproduksi. Upaya untuk menyambung kembali salurang vas deferen adalah dengan melakukan operasi kembali yang agak sulit. Oleh sebab itu, keputusan untuk menerima vasektomi harus sudah dipertimbangkan secara matang dan bukan atas desakan atau bujukan pihak lain. Penyesalan akan terjadi bila motivasi tidak datang dari klien dan keluarganya sendiri (Siswosudarmo, 2001).

2.4.2. Kelebihan dan Keterbatasan Vasektomi

Adapun kelebihan metode kontrasepsi vasektomi adalah :

1. Mudah pelaksanaanya dengan pembiusan setempat kurang lebih 15 menit. 2. Bekas operasi hanya merupakan luka yang cepat sembuh.

3. Tidak mengganggu hubungan seksual.


(45)

5. Merupakan metoda mantap (BKKBN, 2007).

Keuntungan vasektomi (Anfasa, 1982) antara lain : (1) tidak ada mortalitas (kematian), (2) morbiditas (akibat sakit) kecil sekali, (3) tidak perlu mondok di rumah sakit, (4) waktu operasi hanya 15 menit, dan dilakukan dengan pembiusan setempat, (5) sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada), karena dapat diperiksa kepastiannya di laboratorium, (6) tidak membutuhkan biaya yang besar.

Keterbatasan metode kontrasepsi vasektomi antara lain : 1. Harus dengan tindakan pembedahan.

2. Walaupun merupakan operasi kecil, masih dimungkinkan terjadi komplikasi seperti pendarahan dan infeksi.

3. Tidak melindungi klien dari penyakit menular seksual.

4. Masih harus menggunakan kondom selama 15 kali ejakulasi agar tidak terjadi kehamilan akibat dari sisa-sisa sperma yang terdapat di saluran vas deferens. 5. Jika istri masih menggunakan alat kontrasepsi disarankan tetap mempertahankan

selama 2 bulan sampai 3 bulan sesudah suami menjalankan vasektomi.

6. Klien perlu istirahat total selama 1 hari dan tidak bekerja selama 1 minggu (BKKBN, 2007).

2.4.3. Sejarah Vasektomi

Vasektomi untuk pertama kalinya dilakukan pada manusia oleh Harrison pada tahun 1893 di London, Inggris. Mula-mula dengan alasan medis, untuk mengobati pasien dengan indikasi hipertrofi prostat. Kemudian untuk membatasi keturunan pada mereka yang memiliki penyakit serius maupun mental (Anfasa, 1982).


(46)

Vasektomi pertama kali dikerjakan oleh seorang ahli bedah Inggris pada tahun 1893 ini adalah salah satu metode kontrasepsi mantap bagi pria dengan biaya murah, efektif, sederhana, dan aman, yaitu dengan cara memotong kedua saluran sperma (Vas Deferens) sehingga pada saat ejakulasi cairan mani yang dikeluarkan tidak lagi mengandung sperma sehingga tidak terjadi kehamilan. Vasektomi ini merupakan suatu metode kontrasepsi dengan melakukan tindakan operasi kecil yang memakan waktu operasi yang singkat yaitu 10-15 menit dan tidak memerlukan anestesi (bius) umum, cukup dengan bius lokal saja sehingga relatif lebih aman (BKKBN, 2006)

2.4.4. Syarat sebagai Peserta Vasektomi

Syarat sebagai Peserta Vasektomi antara lain :

1. Sudah merasa cukup jumlah anak dan dalam keadaan sehat. 2. Atas kehendak sendiri, mendapat persetujuan dari istri. 3. Dalam kondisi keluarga yang harmonis.

4. Pasutri dalam keadaan sehat (BKKBN, 2007).

Syarat seseorang yang menginginkan kontrasepsi mantap (kontap) antara lain: (1) harus sudah memiliki sekurang-kurangnya satu anak, meskipun kebanyakan dokter baru mau melakukan sterilisasi kalau pasangan tersebut sudah memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) adanya perkawinan (keluarga) yang stabil, sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi. Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan


(47)

jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya (Siswosudarmo, 2001).

Konseling harus dilakukan pada saat calon klien (pasangan) berada pada psikologis yang prima. Klien diberikan kesempatan untuk menilai keuntungan, kerugian, akibat, prosedur, dan alternatif lain dan tidak harus menentukan pilihannya pada saat itu juga (Siswosudarmo, 2001).

Informed consent adalah pernyataan klien bahwa ia menerima atau menyetujui sebuah tindakan medis sterilisasi secara sukarela dan menyadari sepenuhnya semua resiko dan akibatnya. Konseling merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan dan informed consent merupakan salah satu hasil akhir dari sebuah konseling. Informed consent harus ditandatangani tidak hanya oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh pasangannya (Siswosudarmo, 2001).

Vasektomi tidak disarankan untuk :

1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak. 2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah. 3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa.

4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya.

5. Pria/suami yang menderita diabetes, kelainan jantung & pembekuan darah, hernia dan testisnya membesar dan nyeri (BKKBN, 2007).

2.5. Penelitian-Penelitian yang Mendukung

Penelitian Rahayuningtyas (1993), karakteristik akseptor Vasektomi yang berkaitan dengan penerimaan Vasektomi di Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel


(48)

Kabupaten Boyolali antara lain : pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, jumlah anak. Berdasarkan penelitian Ambarwati (2001), bahwa kerelaan istri, pendapat suami tentang vasektomi, serta status sosial ekonomi suami di masyarakat memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi.

Syarat seseorang yang menginginkan kontrasepsi mantap (kontap) antara lain: (1) harus sudah memiliki sekurang-kurangnya satu anak, meskipun kebanyakan dokter baru mau melakukan sterilisasi kalau pasangan tersebut sudah memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) adanya perkawinan (keluarga) yang stabil (BKKBN, 2006).

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka maka konsep penelititan ini adalah :

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Tingkatan Keputusan menggunakan vasektomi Karakteristik Akseptor

Vasektomi

1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Pendapatan 4. Jumlah anak

5. Pengetahuan tentang vasektomi dan 6. Dukungan istri


(49)

Definisi Konsep:

1. Karakteristik akseptor vasektomi adalah ciri yang dimiliki oleh suami yang menggunakan metode kontrasepsi vasektomi, yang membedakannya dengan suami lainnya, meliput i : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri.

2. Kompensasi adalah pemberian uang sebesar Rp.150.000,- dari pemerintah untuk mendorong calon akseptor vasektomi agar sukarela memutuskan menggunakan vasektomi.

3. Tingkatan keputusan menggunakan vasektomi adalah pengambilan alternatif terbaik berdasarkan lamanya waktu berpikir dan berbagai pertimbangan yang mendorong responden memilih metode kontrasepsi vasektomi.

2.6. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei dengan menggunakan pendekatan explanatory research atau penelitian penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik akseptor vasektomi terhadap keputusan menggunakan vasektomi di Kota Tebing Tinggi tahun 2009.

Menurut Singarimbun (1995), penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian survey explanatory bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa dengan menganalisa data yang ada.

[

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Tebing Tinggi. Adapun alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan tingginya angka akseptor vasektomi sehingga perlu diteliti apakah akseptor vasektomi tersebut dalam mengambil keputusan karena telah sadar KB sepenuhnya atau karena dipengaruhi oleh kompensasi yang diberikan oleh pemerintah. Penelitian tidak dilakukan di Pak-Pak Barat sebagai Kab/Kota yang memiliki peminat vasektomi terbesar sejak tahun 2006 hingga November 2008 di Sumut disebabkan berbagai keterbatasan yang dimiliki penulis baik dalam hal waktu maupun biaya di mana penulis merupakan salah satu warga Kota Tebing Tinggi. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai September tahun 2009.


(51)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah semua akseptor vasektomi, yaitu sebanyak 412 orang yang ada di Kota Tebing Tinggi, namun sampling frame yang tersedia hanya 282 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti baik berupa tenaga, waktu, maupun biaya, maka peneliti menetapkan sampel dengan menggunakan rumus :

N n =

1 + N (d2 )

412 n =

1 + 412 (0,12 )

n = 80,47 n = 80 orang Keterangan :

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi


(52)

Berdasarkan perhitungan, diperoleh jumlah sampel sebanyak 80 responden. Dalam penelitian ini, yang menjadi responden adalah para suami yang telah menjadi akseptor vasektomi. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode simple random sampling.

3.4. Teknik Pengambilan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) Kota Tebing Tinggi, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumut, dan Badan Pusat Statistik (BPS).

3.5. Definisi Operasional

1. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh responden, berdasarkan ijazah terakhir yang dimiliki. Pendidikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu :

1. Tinggi, bila responden tamat Akademi/Perguruan Tinggi 2. Sedang, bila responden tamat SMP/SMA

3. Rendah, bila responden tidak sekolah/Tamat SD

2. Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan responden secara rutin.


(53)

3. Pendapatan adalah jumlah penghasilan berbentuk uang yang diperoleh keluarga setiap bulan. Pendapatan diukur berdasarkan Upah Minimum Kota (UMK) Tebing Tinggi sesuai Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 561/285/K/Tahun 2009 yaitu :

1. ≥ UMK atau ≥ Rp 928.500,- per bulan 2. < UMK atau < Rp 928.500,- per bulan

4. Jumlah anak adalah banyaknya anak yang lahir hidup dari responden pada saat responden melakukan vasektomi. Jumlah anak dibagi menjadi dua kategori yaitu : 1. 1-2 orang

2. ≥3 orang

5. Pengetahuan tentang vasektomi adalah hasil dari tahu responden mengenai program vasektomi. Pengetahuan terdiri dari 7 pertanyaan dan diukur dengan menggunakan metode skoring melalui kuesioner yang telah diberikan bobot 1-3. Berdasarkan jumlah yang telah diperoleh responden maka pengetahuan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu :

1. Baik, apabila skor yang diperoleh responden 17-21 2. Sedang, apabila skor yang diperoleh responden 12-16 3. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden 7-11

6. Dukungan istri adalah dorongan yang diberikan istri kepada suami untuk menggunakan metode kontrasepsi vasektomi. Dukungan istri terdiri dari 4 pertanyaan dan diukur dengan menggunakan metode skoring terhadap kuesioner yang telah diberikan dengan bobot 1-3. Berdasarkan jumlah yang telah diperoleh


(54)

1. Sangat mendukung, apabila skor yang diperoleh responden10-12 2. Mendukung, apabila skor yang diperoleh responden7-9

3. Kurang mendukung, apabila skor yang diperoleh responden4-6

7. Kompensasi adalah pemberian uang sebesar Rp.150.000,- dari pemerintah untuk mendorong calon akseptor vasektomi agar sukarela memutuskan menggunakan vasektomi. Variabel kompensasi terdiri atas 2 pertanyaan dan dibagi menjadi 2 kategori yaitu:

1. Didorong dengan adanya kompensasi, jika skor yang diperoleh responden ≤ 2 2. Tidak didorong dengan adanya kompensasi, jika skor yang diperoleh responden

> 2

8. Tingkatan keputusan menggunakan vasektomi adalah pengambilan alternatif terbaik berdasarkan lamanya waktu berpikir dan berbagai pertimbangan yang mendorong responden memilih metode kontrasepsi vasektomi. Tingkatan keputusan terdiri dari 2 pertanyaan dan dibagi dalam 3 kategori yaitu :

1. Keputusan karena berbagai pertimbangan, yaitu keputusan responden karena telah mempertimbangkan berbagai alasan untuk menggunakan vasektomi. 2. Keputusan karena informasi, yaitu keputusan responden yang hanya didasari

oleh informasi yang diperoleh dan berupa anjuran atau ajakan dari yang lain untuk menggunakan vasektomi.

3. Keputusan otomatis, yaitu keputusan responden yang paling sederhana dan bersifat spontan untuk menggunakan vasektomi.


(55)

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas

Variabel karakteristik akseptor vasektomi meliputi skala pengukuran nominal, interval dan ordinal. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Aspek Skala Pengukuran Variabel Bebas No Variabel Jumlah

Indikator

Kriteria Bobot

Nilai

Skor Skala Pengu- Kuran

1. Pendidikan 1. Tinggi 2. Sedang 3. Rendah

Ordinal

2. Pekerjaan Nominal

3. Pendapatan 1. ≥UMK

2. <UMK

Ordinal 4. Jumlah anak 1. 1-2 orang

2. ≥3 orang

Ordinal 5. Pengetahuan

tentang Vasektomi

7 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang

3 2 1 17-21 12-16 7-11 Interval

6. Dukungan istri

4 1. Sangat mendukung 2. Mendukung 3. Kurang

mendukung 3 2 1 10-12 7-9 4-6 Interval

7. Kompensasi 2 1. Tidak didorong dengan adanya kompensasi

2. Didorong dengan adanya kompensasi 2 1 >2 ≤2 Interval

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat

Keputusan menggunakan vasektomi diukur melalui 2 pertanyaan dengan skala ukur interval dan dibagi dalam 3 kategori yaitu :


(56)

1. Keputusan karena berbagai pertimbangan, yaitu jika skor yang diperoleh responden ≥5.

2. Keputusan karena informasi, yaitu jika skor yang diperoleh responden 3-4. 3. Keputusan otomatis, yaitu jika skor yang diperoleh responden ≤2.

3.7. Teknik Analisa Data

Analisa data menggunakan uji statistik regresi linier berganda karena bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel independen (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap variabel dependen (tingkatan keputusan menggunakan vasektomi).

Rumus :

Keterangan :

Y = variabel dependen X = variabel independen

a

= konstanta

b

= koefisien regresi

e

= komponen kesalahan

Regresi Linier Berganda :


(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Tebing Tinggi

Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia Belanda Tebing Tinggi ditetapkan sebagai kota pemerintahan di mana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi. Menjelang persiapan Tebing Tinggi menjadi kota otonom, maka untuk melaksanakan roda pemerintahan pada tahun 1904 didirikan sebuah Badan Pemerintahan yang bernama Plaatselijkke Fonds oleh Cultuur Paad Soematera Timoer. Dalam perundang-undangan yang berlaku pada di Dentralisasiewet yang di tetapkan pada tanggal 23 Juli 1903 (untuk selanjutnya dapat disebut daerah Otonom Kota Kecil Tebing Tinggi) oleh pemerintah Hindia Belanda, pemerintahan Kota Tebing Tinggi ditetapkan sebagai daerah otonom dengan sistem Desentralisasi. Pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Desentralisasiewet berdirilah Gementee Tebing Tinggi dengan Stelings Ordanitie Van Statblaad 1917 yang berlaku 1 Juli 1917. Dengan demikian tanggal 1 Juli inilah merupakan hari jadi Kota Tebing Tinggi.

Secara geografis Kota Tebing Tinggi terletak di antara 3°19’-3°21’ LU dan 98°11’-98°21’ BT. Posisi Kota Tebing Tinggi ada di bagian utara Propinsi Sumatera Utara pada ketinggian tempat 26-34 m di atas permukaan laut dengan luas wilayah 38.438 km2. Dari Kota Medan berjarak sekitar ± 78 km serta terletak pada lintas utama Sumatera yaitu menghubungkan lintas timur dan lintas barat Sumatera. Kota Tebing Tinggi berada di bagian tengah Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang


(58)

Socfindo Kebun Tanah Besih di sebelah timur, PTPN III Kebun Pabatu di sebelah selatan dan PTPN III Kebun Gunung Pamela di sebelah barat.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Tebing Tinggi Nomor 15 tahun 2006 tentang pembentukan kecamatan dan kelurahan di Kota Tebing Tinggi, maka terhitung 1 Juli 2007 Kota Tebing Tinggi dibagi menjadi 5 kecamatan dengan 35 kelurahan.

4.2. Program Vasektomi di Kota Tebing Tinggi

Kota Tebing Tinggi berupaya mengendalikan jumlah penduduk yang pada tahun 2007 berjumlah 139.409 orang dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi mencapai 1,57 % pada periode tahun 2000-2007 melalui revitalisasi program keluarga berencana (KB) guna meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB. Dengan demikian, Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) melakukan berbagai kegiatan strategis program Keluarga Berencana antara lain:

1. Pengembangan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan konseling pelayanan KB, dan hak-hak reproduksi.

2. Pendataan keluarga serta peningkatan partisipasi keluarga dalam program Tri-Bina (Tri-Bina Keluarga Balita/BKB, Tri-Bina Keluarga Remaja/BKR, Tri-Bina Keluarga Lansia/BKL).

3. Melakukan kerjasama dan kemitraan dengan lembaga pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat.


(59)

4. Pembinaan dan pemantapan pelayanan KB serta pengadaan alat/obat dan pelayanan kontrasepsi yang berkualitas.

5. Pengembangan dan pembinaan penyuluhan/advokasi/KIE hak-hak reproduksi serta penanggulangan masalah Penyakit Menular Seksual (PMS), dan HIV/AIDS. 6. Peningkatan partisipasi pria dalam pelayaan Keluarga Berencana dan Kesehatan

Rproduksi (KB-KR) serta peningkatan kualitas pelayanan dan aksesibilitas pelayanan KB-KR pria.

7. Dukungan politis, sosial budaya, dan keluarga untuk peningkatan partisipasi pria dalam pelayanan KB-KR.

8. Pemberian jaminan dan perlindungan pemakaian kontrasepsi melalui pengendalian kualitas pelayanan, pengembangan asuransi KB-KR, dan pengembangan KB mandiri.

Program KB di Kota Tebing Tinggi dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari cakupan peserta KB aktif hingga November 2008 telah melebihi target yaitu sebesar 71,75% di mana indikator keberhasilan KB hanya sebesar 70% dari jumlah PUS. Kota Tebing Tinggi lebih memfokuskan program KB pada partisipasi pria melalui vasektomi (kontrasepsi mantap pria/kontap pria). Program vasektomi di Kota Tebing Tinggi mulai digerakkan sejak tahun 2006 oleh Kantor P2KB, di mana pelaksanaan pelayanannya secara operasional dilakukan di Rumah Sakit Umum Pemerintah Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Tebing Tinggi No. 12 tahun 2006 tentang pembentukan susunan organisasi Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) serta


(60)

Nasional di Tebing Tinggi menjadi lebih terarah dan menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Keikutsertaan pria dalam ber-KB yang masih rendah merupakan salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian penuh. Dalam upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB khususnya demi keberhasilan pelaksanaan KB kontap pria, Pemerintah Kota (Pemko) Tebing Tinggi memiliki beberapa kebijakan dan strategi yang dilakukan antara lain dukungan komponen masyarakat baik tokoh agama, tokoh masyarakat dalam memberikan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) terhadap klien pada kelompok masyarakat non formal yang juga sebagai kader KB pria untuk mendorong rekan-rekan mereka yang mau mengikuti KB kontap pria.

Komitmen Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam mendukung pelaksanaan KB vasektomi dengan memberikan kompensasi kepada peserta vasektomi yang tidak dapat bekerja beberapa hari (beristirahat) karena proses vasektomi tersebut sebesar Rp.150.000,- per akseptor. Selain memberi kompensasi kepada peserta KB, Pemko Tebing Tinggi juga memberikan kompensasi kepada kader vasektomi yang menggarap akseptor vasektomi sebesar Rp.50.000,- per akseptor yang diperoleh untuk memberikan motivasi kepada kader KB dan bertanggung jawab penuh terhadap pembinaannya. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pemko Tebing Tinggi juga memberikan bantuan dana kepada setiap peserta vasektomi yang mengalami komplikasi dan kegagalan yaitu dengan memfasilitasi


(61)

komplikasi dan memberikan uang pelayanan pasca operasi kepada petugas medis selesai pelayanan kontap.

Dengan adanya kebijakan tersebut, semakin banyak yang termotivasi untuk ikut melaksanakan program KB vasektomi sehingga Kantor P2KB telah memperoleh beberapa penghargaan antara lain:

1) Manggala Karya Kencana untuk Ibu Ketua PKK dari BKKBN Pusat tahun 2007 2) Juara I PKK KB-Kes kategori PHBS tingkat Sumut dan juara III tingkat nasional

tahun 2007

3) Satya Lencana Wira Karya kepada Bapak Walikota dari Presiden RI tahun 2008 4) Juara II Bulan KB IBI tingkat Sumut tahun 2008

5) Juara I PKK KB-Kes kategori Lingkungan Sehat tingkat Sumut dan juara III tingkat nasional tahun 2008

6) Juara I lomba Pendataan Keluarga (kader) tingkat Sumut tahun 2008.

4.3. Deskripsi Variabel Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah akseptor vasektomi yang berada di wilayah kerja Kota Tebing Tinggi dan namanya telah tercatat di Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (P2KB) sebagai akseptor vasektomi tahun 2008 dan telah menjadi sampel dalam penelitian berdasarkan metode simple random sampling sebanyak 80 orang.

Tabel 4.1. menunjukkan distribusi kategori responden berdasarkan tingkat kedewasaan menurut Hurlock (Anonimous, 2009).


(1)

Jumlah anak responden (orang) * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

4 0 0 4

3 9 1 13

7 11 1 19

12 8 0 20

6 8 0 14

3 7 0 10

35 43 2 80

1 2 3 4 5 6 Jumlah anak

responden (orang)

Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total

Jumlah anak responden setelah dikategorikan * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

28 34 1 63

7 9 1 17

35 43 2 80

=> 2 orang 1-2 orang Jumlah anak responden

setelah dikategorikan Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total

Pengetahuan responden setelah dikategorikan * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

21 22 0 43

14 21 2 37

35 43 2 80

Buruk Sedang Pengetahuan responden

setelah dikategorikan Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total


(2)

Dukungan istri responden setelah dikategorikan * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

33 11 1 45

2 31 1 34

0 1 0 1

35 43 2 80

Kurang mendukung Mendukung Sangat mendukung Dukungan istri

responden setelah dikategorikan Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total

asal informasi tentang vasektomi yang diperoleh responden * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

18 22 0 40

3 7 0 10

0 0 1 1

0 1 0 1

9 8 0 17

1 2 0 3

0 1 0 1

3 1 1 5

0 1 0 1

1 0 0 1

35 43 2 80

Kader vasektomi Petugas KB

Media elektronik (televisi, radio, internet, dll) Media massa (buku, majalah, koran, dll) Teman, rekan kerja, saudara, dll

Kepling Istri

Penyuluhan di RS/Puskesmas Walikota Mantri asal

informasi tentang vasektomi yang diperoleh responden

Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total


(3)

Pemberian kompensasi kategori * Variabel dependen (pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir) Crosstabulation

Count

32 14 1 47

3 29 1 33

35 43 2 80

Didorong dengan adanya pemberian kompensasi Tidak didorong dengan adanya pemberian kompensasi Pemberian

kompensasi kategori

Total

Keputusan otomatis

Keputusan karena informasi

Keputusan karena berbagai pertimbangan Variabel dependen

(pertimbangan-pertimbangan keputusan + waktu berpikir)

Total


(4)

Frequencies

Informasi tambahan

agama responden

76 95.0 95.0 95.0

4 5.0 5.0 100.0

80 100.0 100.0

islam kristen Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

pendapat responden tentang vasektomi dari segi agama

1 1.3 1.3 1.3

39 48.8 48.8 50.0

1 1.3 1.3 51.3

1 1.3 1.3 52.5

2 2.5 2.5 55.0

2 2.5 2.5 57.5

7 8.8 8.8 66.3

2 2.5 2.5 68.8

1 1.3 1.3 70.0

1 1.3 1.3 71.3

23 28.8 28.8 100.0

80 100.0 100.0

bagus2 aja bagi yang ekonomi rendah boleh

boleh, kalau bisa dikembalikan

boleh, sah2 saja yang penting tidak

membahayakan makruh

sah2 saja tidak boleh

tidak boleh, dalam islam tidak boleh

menghilankan yang ada tidak boleh, tapi kalau ekonomi seret ya gak apa2

tidak jelas, yg jelas kita dukung program pemerintah tidak tau Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(5)

PNDPTISL

4 5.0 5.0 5.0

1 1.3 1.3 6.3

37 46.3 46.3 52.5

1 1.3 1.3 53.8

1 1.3 1.3 55.0

2 2.5 2.5 57.5

2 2.5 2.5 60.0

5 6.3 6.3 66.3

2 2.5 2.5 68.8

1 1.3 1.3 70.0

1 1.3 1.3 71.3

23 28.8 28.8 100.0

80 100.0 100.0

bagus2 aja bagi yang ekonomi rendah boleh

boleh, kalau bisa dikembalikan

boleh, sah2 saja yang penting tidak

membahayakan makruh

sah2 saja tidak boleh

tidak boleh, dalam islam tidak boleh

menghilankan yang ada tidak boleh, tapi kalau ekonomi seret ya gak apa2

tidak jelas, yg jelas kita dukung program pemerintah tidak tau Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

PNDPTKRS

76 95.0 95.0 95.0

2 2.5 2.5 97.5

2 2.5 2.5 100.0

80 100.0 100.0

boleh tidak boleh Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

suku responden

28 35.0 35.0 35.0

1 1.3 1.3 36.3

1 1.3 1.3 37.5

34 42.5 42.5 80.0

2 2.5 2.5 82.5

14 17.5 17.5 100.0

80 100.0 100.0

batak cina india jawa melayu padang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(6)

pendidikan istri responden

6 7.5 7.5 7.5

32 40.0 40.0 47.5

25 31.3 31.3 78.8

17 21.3 21.3 100.0

80 100.0 100.0

tidak sekolah / tidak tamat SD SD / M. Tsanawiyah SLTP / M. Ibtidaiyah Akademi /

Perguruan Tinggi Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

kehamilan istri responden setelah vasektomi

8 10.0 10.0 10.0

72 90.0 90.0 100.0

80 100.0 100.0

Ya Tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

kehamilan istri responden setelah vasektomi

1 1.3 1.3 1.3

1 1.3 1.3 2.5

1 1.3 1.3 3.8

1 1.3 1.3 5.0

1 1.3 1.3 6.3

3 3.8 3.8 10.0

72 90.0 90.0 100.0

80 100.0 100.0

anak 1 tahun anak 1,5 tahun anak 7 bulan anak umur 3 bulan hamil 3 bulan keguguran tidak Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent